Skrining Fitokimia dan Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat

(1)

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEKTIVITAS

SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL DAUN KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PENYEMBUHAN

LUKA SAYAT

SKRIPSI

OLEH:

CINTA SUCI HASIBUAN

NIM 101501098

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEKTIVITAS

SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL DAUN KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PENYEMBUHAN

LUKA SAYAT

OLEH:

CINTA SUCI HASIBUAN NIM 101501098

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 14 Juli 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 195709091985112001 NIP 195409091982011001

Pembimbing II, Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195709091985112001

Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195504241983031003 NIP 195107231982032001

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. NIP 130953857

Medan, 14 Juli 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(3)

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEKTIVITAS

SEDIAAN GEL EKSTRAK ETANOL DAUN KELAPA SAWIT

(Elaeis guineensis Jacq.) TERHADAP PENYEMBUHAN

LUKA SAYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

tera Uta

OLEH:

CINTA SUCI HASIBUAN

NIM 101501098

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul Skrining Fitokimia dan Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat.

Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan bimbingan dan penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., yang telah membimbing dengan sangat baik, memberikan petunjuk, saran-saran dan motivasi selama penelitian hingga selesainya skripsi ini, Bapak Prof. Karsono, Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Bapak Edy Suwarso, S.U., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan.


(5)

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada kedua orangtua yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat secara moral dan moril. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan. Serta seluruh pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, 14 Juli 2014 Penulis,

Cinta Suci Hasibuan NIM 101501098


(6)

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GELEKSTRAK ETANOL DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis

Jacq.) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) famili Arecaceae banyak tumbuh di Indonesia, yang terkenal dengan minyaknya. Salah satu penggunaan daunnya adalah sebagai obat luka, juga berkhasiat sebagai hepatoprotektor, antihipertensi, antidiabetes dan dapat mengobati toksisitas akut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining fitokimia dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun kelapa sawit terhadap penyembuhan luka.

Serbuk daun kelapa sawit dimaserasi dengan pelarut etanol 80% selama 5 hari, serkai, ampasnya dicuci dengan etanol, filtrat didiamkan selama 2 hari kemudian dienap tuangkan. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50ºC) dan dikeringkan dengan freeze dryer (±-40ºC). Terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi sediaan gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 2,5, 5, dan 7,5%. Selanjutnya sediaan gel dievaluasi kemudian diuji efektivitasnya terhadap punggung kelinci yang dibuat menjadi luka sayat dengan diameter 2 cm.

Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan EEDKS masing-masing mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak EEDKS diperoleh kadar air (6,64 dan 2,66%), kadar sari larut air (13,44 dan 20,13%), kadar sari larut etanol (16,85 dan 46,25%), kadar abu total (3,74 dan 2,52%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,76 dan 0,22%). Hasil evaluasi gel EEDKS stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas sediaan gel menunjukkan gel homogen, pH sediaan gel diperoleh nilai 6,0-6,4, nilai viskositas diperoleh 3,7 poise untuk basis gel, 3,4 poise gel 2,5%, 3,1 poise gel 5% dan 2,9 poise gel 7,5%. Hasil pemeriksaan sediaan gel EEDKS mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 5% (19 hari), 2,5% (20 hari), dan 7,5% (22 hari).


(7)

PHYTOCHEMICALS SCREENING AND EFFECTIVENESS TEST ETHANOL EXTRACT GEL OF OIL PALM LEAF (Elaeis guineensis Jacq.)

FOR WOUND HEALING Abstract

Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) leaf family Arecaceae widely growing in Indonesia, which is common known with its oil. One of the medical using is for wound healing, and also effective for hepatoprotective, antihypertensive, antidiabetic, and can heal acut toxicity. The objective of this research is to test phytochemicals screening and effectiveness test ethanol extract gel of oil palm leaf (elaeis guineensis jacq.) for wound healing.

Palm’s leaf powder macerated by ethanol 80% for 5 days, filtered, the residue has extraction by ethanol, then the filtrate leave for 2 days and poured ponder. The maserat has evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (±-40ºC). Simplicia powder and ethanol extract of palm’s leaf (EEDKS) have executed in phytochemical screening, characteristic, and the extract has formulated to gel preparation that have HPMC 4000 for the basic with its concentration 2.5, 5 and 7,5 %. Subsequently, gel preparations had evaluated then test the effectiveness on rabbit’s back which have wounded 2 cm for the diameter.

The results from phytochemicals screening of simplicia powder and EEDKS respectively have alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin and steroid/triterpenoid. The results from characterization are obtained by water level (6,64 and 2,66%) (6,64 and 2,66%), water-soluble extract’s level (13,44 dan 20,13%), ethanol soluble extract’s level (16,85 dan 46,25%), total ash content (3,74 dan 2,52%), and ash level which insoluble in acid (0,76 dan 0,22%). The evaluated results from Gel EEDKS preparations had been stable for 90 days in storage. Homogeneity examination of gel preparation have showed homogeneous, the value of gel preparation is 6,0-6,4, viscosity value is 3,7 basic gel poise is 3,4 gel poise 2,5%, 3,1 gel poise 5% dan 2,9 gel poise 7,5%. The results of examination have significant correlation to healing the wound with each concentration 5% (19 days), 2,5% (20 days), and 7,5% (22 days).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Habitat ... 6

2.1.2 Morfologi ... 6


(9)

2.1.4 Sistematika tumbuhan ... 7

2.1.5 Kandungan Kimia ... 7

2.1.6 Khasiat Tumbuhan ... 7

2.2 Ekstraksi ... 8

2.3 Gel ... 9

2.3.1 Hidroksi propil metil selulosa ... 11

2.3.2 Propilenglikol ... 12

2.3.3 Metil Paraben ... 12

2.3.4 Propil Paraben ... 13

2.4 Kulit ... 14

2.4.1 Epidermis ... 15

2.4.2 Dermis ... 16

2.4.3 Hipodermis ... 16

2.5 Luka ... 17

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit ... 19

2.7 Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka ... 20

2.7.1 Alkaloida ... 20

2.7.2 Flavonoida ... 20

2.7.4 Tanin ... 21

2.7.5 Saponin ... 21

2.7.6 Steroid ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Alat ... 22


(10)

3.3 Pembuatan Pereaksi ... 23

3.3.1 Pereaksi meyer ... 23

3.3.2 Pereaksi dragendroff ... 23

3.3.3 Pereaksi molish ... 23

3.3.4 Pereaksi bouchardat ... 23

3.3.5 Pereaksi lieberman-bourchad ... 23

3.3.6 Pereaksi kloralhidrat ... 24

3.3.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 24

3.3.8 Pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v) ... 24

3.3.9 Pereaksi asam klorida 2 N ... 24

3.3.10 Pereaksi asam sulfat 2 N ... 24

3.4 Hewan Percobaan ... 24

3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Simplisia ... 25

3.5.1 Pengumpulan sampel ... 25

3.5.2 Identifikasi tumbuhan ... 25

3.5.3 Pengolahan sampel ... 25

3.6 Pembuatan Ekstrak ... 25

3.7 Skrining Fitokimia ... 26

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida ... 26

3.7.2 Pemeriksaan flavonoida ... 27

3.7.3 Pemeriksaan tanin ... 27

3.7.4 Pemeriksaan glikosida ... 27

3.7.5 Pemeriksaan saponin ... 28


(11)

3.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ... 28

3.8.1 Penetapan kadar air ... 28

3.8.2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 29

3.8.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ... 30

3.8.4 Penetapan kadar abu total ... 30

3.8.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 30

3.9 Pembuatan Formula Sediaan ... 31

3.9.1 Pembuatan basis gel ... 31

3.9.2 Komposisi formula ... 31

3.10 Evaluasi Formula ... 32

3.10.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan ... 32

3.10.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan ... 33

3.10.3 Penentuan pH Sediaan ... 33

3.10.4 Penentuan viskositas Sediaan ... 33

3.11. Pengujian Sediaan gel terhadap Penyembuhan Luka Sayat 34 3.12. Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil Identifikasi tumbuhan kelapa sawit ... 53

2 Gambar tumbuhan kelapa sawit . ... 54

3 Gambar simplisia dan serbuk daun kelapa sawit ... 55

4 Perhitungan karakterisasi simplisia dan ekstrak ... 56

5 Perhitungan viskositas ... 61

6 Sedian gel ... 62

7 Homogenitas sediaan ... 63

8 Bagan alur penelitian ... 64

9 Bagan pembuatan gel ... 65

10 Data perubahan diameter luka sayat ... 66

11 Gambar luka sayat ... 67

12 Hasil variansi ANOVA ... 74


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Komposisi formula gel ... 32

4.1 Hasil pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak ... 36

4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak ... 37

4.3 Data pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel ... 38

4.4 Data pengamatan homogenitas sediaan ... 39

4.5 Data pengukuran pH ... 40

4.6 Data pengukuran viskositas ... 40


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5

2.1 Rumus bangun HPMC ... 11

2.2 Rumus bangun propilenglikol ... 12

2.3 Rumus bangun metil paraben ... 13

2.4 Rumus bangun propil paraben ... 13

2.5 Struktur kulit ... 14

3.1 Gambaran perhitungan diameter luka sayat ... 35


(15)

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEKTIVITAS SEDIAAN GELEKSTRAK ETANOL DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis

Jacq.) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SAYAT Abstrak

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) famili Arecaceae banyak tumbuh di Indonesia, yang terkenal dengan minyaknya. Salah satu penggunaan daunnya adalah sebagai obat luka, juga berkhasiat sebagai hepatoprotektor, antihipertensi, antidiabetes dan dapat mengobati toksisitas akut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan skrining fitokimia dan uji efektivitas sediaan gel ekstrak etanol daun kelapa sawit terhadap penyembuhan luka.

Serbuk daun kelapa sawit dimaserasi dengan pelarut etanol 80% selama 5 hari, serkai, ampasnya dicuci dengan etanol, filtrat didiamkan selama 2 hari kemudian dienap tuangkan. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan bantuan rotary evaporator (±50ºC) dan dikeringkan dengan freeze dryer (±-40ºC). Terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) dilakukan skrining fitokimia, karakterisasi, dan ekstrak diformulasi menjadi sediaan gel berbasis HPMC dengan konsentrasi 2,5, 5, dan 7,5%. Selanjutnya sediaan gel dievaluasi kemudian diuji efektivitasnya terhadap punggung kelinci yang dibuat menjadi luka sayat dengan diameter 2 cm.

Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan EEDKS masing-masing mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak EEDKS diperoleh kadar air (6,64 dan 2,66%), kadar sari larut air (13,44 dan 20,13%), kadar sari larut etanol (16,85 dan 46,25%), kadar abu total (3,74 dan 2,52%), dan kadar abu yang tidak larut asam (0,76 dan 0,22%). Hasil evaluasi gel EEDKS stabil dalam penyimpanan selama 90 hari. Pemeriksaan homogenitas sediaan gel menunjukkan gel homogen, pH sediaan gel diperoleh nilai 6,0-6,4, nilai viskositas diperoleh 3,7 poise untuk basis gel, 3,4 poise gel 2,5%, 3,1 poise gel 5% dan 2,9 poise gel 7,5%. Hasil pemeriksaan sediaan gel EEDKS mampu menyembuhkan luka sayat dengan konsentrasi 5% (19 hari), 2,5% (20 hari), dan 7,5% (22 hari).


(16)

PHYTOCHEMICALS SCREENING AND EFFECTIVENESS TEST ETHANOL EXTRACT GEL OF OIL PALM LEAF (Elaeis guineensis Jacq.)

FOR WOUND HEALING Abstract

Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) leaf family Arecaceae widely growing in Indonesia, which is common known with its oil. One of the medical using is for wound healing, and also effective for hepatoprotective, antihypertensive, antidiabetic, and can heal acut toxicity. The objective of this research is to test phytochemicals screening and effectiveness test ethanol extract gel of oil palm leaf (elaeis guineensis jacq.) for wound healing.

Palm’s leaf powder macerated by ethanol 80% for 5 days, filtered, the residue has extraction by ethanol, then the filtrate leave for 2 days and poured ponder. The maserat has evaporated by using rotary evaporator (±50ºC) and dried by freeze dryer (±-40ºC). Simplicia powder and ethanol extract of palm’s leaf (EEDKS) have executed in phytochemical screening, characteristic, and the extract has formulated to gel preparation that have HPMC 4000 for the basic with its concentration 2.5, 5 and 7,5 %. Subsequently, gel preparations had evaluated then test the effectiveness on rabbit’s back which have wounded 2 cm for the diameter.

The results from phytochemicals screening of simplicia powder and EEDKS respectively have alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin and steroid/triterpenoid. The results from characterization are obtained by water level (6,64 and 2,66%) (6,64 and 2,66%), water-soluble extract’s level (13,44 dan 20,13%), ethanol soluble extract’s level (16,85 dan 46,25%), total ash content (3,74 dan 2,52%), and ash level which insoluble in acid (0,76 dan 0,22%). The evaluated results from Gel EEDKS preparations had been stable for 90 days in storage. Homogeneity examination of gel preparation have showed homogeneous, the value of gel preparation is 6,0-6,4, viscosity value is 3,7 basic gel poise is 3,4 gel poise 2,5%, 3,1 gel poise 5% dan 2,9 gel poise 7,5%. The results of examination have significant correlation to healing the wound with each concentration 5% (19 days), 2,5% (20 days), and 7,5% (22 days).


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia, yang tumbuh dan tersebar di 22 provinsi (Departemen Pertanian, 2005). Kelapa sawit umumnya hanya digunakan sebagai minyak goreng dan daunnya sebagai limbah. Penggunaan secara tradisional, daun kelapa sawit diperas dipakai untuk penyembuhan luka (Irvin, 1985). Ekstrak daun tanaman ini memilki aktivitas antibakteri dan antioksidan (Sashidaran, dkk., 2009; Manjunatha, dkk., 2005), antihipertensi (Juliana, 2011), antidiabetes (Varatharajan, 2012), sebagai hepatoprotektor (Vijayarathna, 2012), serta dapat mengobati toksisitas akut (Victor, 2013). Menurut Rajoo dan Syahmi, (2010) pada penelitiannya menyatakan bahwa daun kelapa sawit tidak beracun dan direkomendasikan sebagai produk alami komersial.

Daun kelapa sawit mengandung senyawa polifenol lebih tinggi dari pada daun teh (flavonoid, karotenoid, dan katekhin) (Runnie dkk., 2003). Menurut Sreenivasan (2010) menyebutkan bahwa daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, gula reduksi, saponin, steroid, terpenoid, dan tanin. Banyaknya kandungan senyawa kimia yang dimiliki daun kelapa sawit sangat berpotensi sebagai obat luka (Sashidaran, dkk., 2009).

Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2000). Menurut Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) (2004), luka merupakan kerusakan pada jaringan yang mengganggu proses selular


(18)

normal. Luka sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang salah satunya berdasarkan penyebab, yaitu luka sayat (vulnus scisum) yang dapat disembuhkan dengan pemberian obat penutup luka (Walton, 1990). Tujuan dari kesembuhan luka adalah penutupan luka dengan cepat dan secara estetik tidak meningggalkan bekas luka. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu dapat dibagi menjadi luka akut contohnya luka sayat (luka eksisi) dan luka kronis contohnya luka bakar. Proses perbaikan jaringan dapat diurutkan ke dalam tiga fase yakni hemostasis/inflamasi, proliferasi dan remodeling (Yuliani, 2012). Menurut Simon dan Kerry (2000) senyawa-senyawa yang biasa digunakan sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan adstringensia adalah senyawa steroid, senyawa flavonoid, dan tanin.

Dipasaran obat luka telah banyak beredar dalam bentuk gel dan krim, dari jenis sediaan tersebut bentuk gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin dikulit, mudah mengering membentuk lapisan film sehingga mudah dibersihkan (Suardi dan Murhayati, 2008). Bahan pembawa yang digunakan untuk sediaan topikal akan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap absorbsi obat dan memiliki efek yang menguntungkan jika dipilih secara tepat (Lachman, dkk., 1994). Pemilihan hidroksi propil metil selulosa (HPMC) sebagai dasar gel karena tidak berbau dan berasa, mudah larut dalam air panas dan sebagai penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep sedangkan propilenglikol dapat digunakan sebagai pelarut dan pengawet (Rowe, dkk., 2005).

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Sashidaran, dkk. (2012), yaitu formulasi salep ekstrak metanol daun kelapa sawit konsentrasi 10% untuk menyembuhkan luka sayat diperoleh hasilnya selama 25 hari yang diuji terhadap


(19)

mencit. Berdasarkan hal di atas peneliti tertarik melakukan penelitian terhadap ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) yang diformulasi sediaan gel berbasis HPMC untuk selanjutnya diuji efektivitasnya terhadap penyembuhan luka sayat.

1.2Perumusan Masalah

a. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit?

b. Apakah karakterisasi simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit dapat dijadikan pembanding untuk penelitian selanjutnya?

c. Berapakah konsentrasi yang paling efektif dalam penyembuhan luka sayat?

1.3Hipotesis

a. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit adalah golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tannin dan steroid/triterpenoid.

b. Karakterisasi simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit dapat dijadikan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

c. Konsentrasi yang paling efektif dalam penyembuhan luka sayat.

1.4Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit.


(20)

c. Untuk mengetahui konsentrasi yang paling efektif dalam penyembuhan luka sayat.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi tentang kandungan senyawa kimia, karakteristik dan efektivitas penyembuhan luka sayat dari daun kelapa sawit.

1.6Kerangka Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap kelinci jantan yang di buat luka sayat pada bagian punggung kelinci. Kerangka penelitian ini menjadi variabel bebas dan variabel terikat. Terdapat 7 variabel bebas yaitu simplisia dan ekstrak etanol daun kelapa sawit, sediaan gel tanpa EEDKS, sediaan gel EEDKS konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, dan Betadine®. Variabel terikat meliputi golongan senyawa metabolit sekunder simplisia dan ekstrak, karakteristik simplisia dan ekstrak, karakteristik dan kualitas gel serta penyembuhan luka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.1.


(21)

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka penelitian 1. Alkaloid 2. Flavonoid 3. Tanin 4.Steroid/Triterpenoid 5. Saponin Skrining fitokima simplisia dan ekstrak Simplisia daun kelapa sawit

1. Kadar air 2. Kadar sari larut

dalam air 3. Kadar sari larut

dalam etanol 4. Kadar abu total 5. Kadar abu tidak

larut asam Ekstrak etanol

daun kelapa

sawit Karakteristik

simplisia dan ekstrak

(Kelompok kontrol) Basis Gel HPMC

1. Stabilitas fisik 2. pH 3. Homogenitas 4. Viskositas karakteristik sediaan gel (Bahan uji)

Sediaan gel EEDKS konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5%

1. Diameter luka 2. Hari kesembuhan

Kelinci Penyembuhan luka (Kelompok pembanding) Betadine®


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat

Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea Savanna Afrika Barat yang kering. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada daerah di luar habitat aslinya, yaitu 16º lintang utara hingga 15º lintang selatan. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).

2.1.2 Morfologi

Ciri-ciri morfologi tumbuhan kelapa sawit yaitu merupakan pohon yang tingginya dapat mencapai 24 meter, mempunyai akar serabut yang mengarah ke bawah dan samping. Selain itu terdapat beberapa akar yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Daunnya tersusun majemuk menyirip, berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun dan kemudian pelepah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa. (Sastrosayono, 2008).

2.1.3 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan kelapa sawit adalah Afrikaanse oliepalm (Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak minyak (Sunda) dan klapa sawit (Jawa) (Heyne, 1987).


(23)

2.1.4 Sistematika tumbuhan (Herbarium Medanense)

Sistematika tumbuhan kelapa sawit adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Nama lokal : Kelapa sawit

2.1.5 Kandungan kimia

Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan, 2010).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Semua bagian tumbuhan ini memiliki manfaat, daunnya merupakan obat tradisional untuk kanker, sakit kepala dan rematik. Ekstrak daun dan jus dari tangkai daun muda dapat mengobati luka (Balick, 1996). Daging buahnya digunakan dapat mengobati infeksi kulit, minyak dari buah dan bijinya digunakan untuk memasak, membuat sabun, krim, dan kosmetik lainnya. Kayunya sebagai bahan bangunan rumah, getah digunakan sebagai pencahar (Chong, 2008). Akar digunakan untuk mengobati sakit kepala di Nigeria. Bubuk akar ditambahkan ke minuman sebagai obat untuk gonore, menorrhagia, dan bronchitis (Sreenivasan, 2010).


(24)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut maka perlu diserbuk sampai halus (Direktorat Jendral POM, 2000: Departemen Kesehatan, 1979).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu: 1. Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Dengan kata lain adalah proses pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Direktorat Jendral POM, 2000; Departemen Kesehatan, 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator,


(25)

tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam. (Departemen Kesehatan, 1979; Direktorat Jendral POM, 2000).

2.3 Gel

Gel suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif yang merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989; Aulton, 2007). Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri (Herdiana, 2007).

Gel dibuat dengan proses peleburan atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman., dkk, 1994). Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase. Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol (Aulton, 2007).

Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. 1. Dasar gel hidrofobik

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara


(26)

spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989; Aulton, 2007).

2. Dasar gel hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989; Aulton, 2007). Gel hidrofilik umummnya mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet (Voigt, 1995). Keuntungan sediaan gel :

Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1995) adalah sebagai berikut: 1. kemampuan penyebarannya baik pada kulit

2. efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit 3. tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. kemudahan pencuciannya dengan air yang baik 5. pelepasan obatnya baik

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Upaya stabilisasi dari segi mikrobial di samping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan


(27)

terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan (Voigt, 1995; Aulton, 2007).

2.3.1 Hidroksi propil metil selulose (HPMC)

HPMC merupakan turunan metilselulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol atau aseton, mudah larut dalam air panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC sebagai pengemulsi, pensuspensi dan sebagai penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya.. (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC 2.3.2 Propilen glikol

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan minyak lemak (Departemen Kesehatan, 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental non parental. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa,


(28)

barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid dan banyak anastetik lokal (Rowe., dkk, 2005; Reynold,1989). Rumus bangun propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol 2.3.3 Metil paraben

Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikiuti rasa tebal (Departemen Kesehatan, 1979; Rowe., dkk, 2005).

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002). Rumus bangun metil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(29)

2.3.4 Propil paraben

Propil paraben merupakan serbuk kristalin putih, tidak berbau, dan tidak berasa serta berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6 %. Propil paraben efektif sebagai pengawet pada rentang pH 4-8, peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air. (Wade, 1994; Reynold, 1989). Rumus bangun propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben

2.4. Kulit

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5- 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin (Perdanakusuma, 2007; Handoko, 2010).

Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung, terdiri atas 650 kelenjar keringat, 20 pembuluh darah, 60.000 melanosit dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku, dan kelenjar keringat/sebasea.


(30)

Kulit atau skin terdiri atas dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Beberapa referensi lainnya menyebutkan bahwa hipodermis menjadi bagian dari kulit sehingga kulit terdiri atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutis) (Arisanty, 2013; Wasitaatmadja, 2010). Sruktur kulit dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur kulit 2.4.1 Epidermis

Epidermis adalah lapisan paling luar dan paling tipis dari kulit. Epidermis tidak memiliki pembuluh darah dan sistem persarafan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak dan usia. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. (Arisanty, 2013; Wasitaatmadja, 2010).


(31)

Fungsi epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (Perdanakusuma, 2007).

Berikut ini adalah lapisan epidermis menurut Berger (2007), yaitu:

1. Stratum germinativum atau disebut stratum basale adalah lapisan paling dalam dari epidermis yang mulai melakukan pembelahan sel (mitosis) pada regenerasi sel keratinosit epidermis.

2. Stratum spinosum merupakan hasil pembelahan sel yang berikatan dan melakukan migrasi sel ke arah atas.

3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan keratin. Pada lapisan ini, sel berinti mulai mati dan terus terdorong ke atas.

4. Stratum lusidum hanya ditemukan di telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan ini terdapat sel mati yang tidak memiliki inti.

5. Stratum korneum adalah lapisan paling atas memiliki sel keratin mati, tipis, tidak berinti, dan berfungsi sebagai waterproof (anti air).

2.4.2 Dermis

Dermis adalah lapisan kedua dari kulit yang merupakan jaringan ikat, memiliki banyak pembuluh darah, sistem persarafan dan kelenjar tubuh. Dermis terdiri dari dua lapisan:

a. Lapisan papiler: tipis mengandung jaringan ikat jarang. b. Lapisan retikuler: tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kolagen dan elastin, fibroblas, sistem imun (makrofag, sel mast, limfosit), dan sistem saraf. Lapisan ini tebal pada paha, tangan dan kaki (Arisanty, 2013). Dermis juga mengandung beberapa


(32)

derivat epidermis yaitu folikel rambut dan kelenjar keringat. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007; Hunter, 2003).

2.4.3 Hipodermis

Hipodermis atau lapisan subkutan adalah lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat, fibroblast dan pembuluh darah. Hipodermis memiliki fungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga organ di sekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Hipodermis tebal pada gluteus, abdomen dan mammae (Boyle, 2009;

Handoko, 2010). Hipodermis bukan merupakan bagian dari kulit, tetapi batasnya

tidak jelas yang letaknya di bawah dermis (Arisanty, 2013)

2.5Luka

Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integritas epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fungsinya (Yuliani, 2012). Menurut Baroroh (2011) berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

c. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.


(33)

d. Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2009). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Arisanty, 2013).

Pada fase inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah luka dan peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013; Barankin, 2006).

Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan (Dewi, dkk., 2013). Proses ini sangat penting, karena tidak ada jaringan baru yang dapat dibentuk tanpa suplai oksigen dan nutrient yang dibawa oleh pembuluh darah yang baru (Boyle, 2009). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan


(34)

berkembang menjadi keropeng yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013; Hunter, 2003).

Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan

bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013; Morison, 2003). Pada fase ini kolagen bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan (Arisanty, 2013).

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidrrmis. Absorbsi perkutan didefinisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus lapisan stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman., dkk, 1994; Hunter, 2003).

Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permiabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989; David, 2007).


(35)

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien yang diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Daya dorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran (Martin., dkk, 1993; Rassner, 1995).

2.7Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

2.7.1Alkaloid

Alkaloid diduga memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Paju, 2013).

2.7.2Flavonoid

Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Flavonoid dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995; Barku, 2013). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, 2013).


(36)

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai astringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010).

2.7.4 Saponin

Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013). Menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

2.7.5Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu, pengumpulan dan pengolahan sampel, identifikasi sampel, pembuatan simplisia, skrining fitokimia dan karakterisasi simplisia serta ekstrak, pembuatan ekstrak, pembuatan sediaan gel dari ekstrak etanol daun kelapa sawit, evaluasi sediaan gel, pengujiaan sediaan gel terhadap penyembuhan luka sayat. Pengamatan efek penyembuhan luka sayat dilakukan secara visual terhadap diameter luka sayat dan analisis statistik.

3.1 Alat - alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, blender, eksikator, gunting bedah, mortir, neraca analitik, penangas air, pH meter (HANNA instrument), pinset bedah, pisau cukur, pot plastik, stamfer, spatula, sudip, termometer dan viskometer Brookfiled.

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian adalah daun kelapa sawit, dan bahan kimia yang digunakan yaitu etanol 96%, kloral hidrat, toluen (p.a), air suling, kalium iodida, merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam nitrat, iodium, alpha naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, metanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etil asetat (teknis), serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, HPMC, propilenglikol, metil paraben, propil paraben,


(38)

air suling, akuades, Lidokain HCl, Betadine salep®, dan larutan dapar pH 4 dan pH 7.

3.3 Pembuatan Pereaksi 3.3.1 Pereaksi meyer

Campurkan 60 ml larutan Raksa (II) Klorida dan 10 ml larutan Kalium Iodida, tambahkan air secukupnya hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995). 3.3.2 Pereaksi dragendroff

Campur 20 ml larutan Bismuth (III) Nitrat dalam Asam Nitrat lalu tambahkan dengan 50 ml larutan Kalium Iodida diamkan sampai memisah sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995).

3.3.3 Pereaksi molish

Ditimbang sebanyak 3 g Alfa Naftol dilarutkan dalam Asam Nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995). 3.3.4 Pereaksi bouchardat

Sebanyak 4 g Kalium Iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian ditambah 2 g Iodium sambil diaduk sampai larut, lalu cukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995).

3.3.5 Pereaksi lieberman-bourchard

Sebanyak 1 g bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat (Farnswoth, 1966).

3.3.6 Pereaksi kloralhidrat

Larutkan 50 g Kloralhidrat jenuh dalam 20 ml air (Departemen Kesehatan, 1995).


(39)

3.3.7 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Ditimbang sebanyak 15,17 g Timbal (II) Asetat dilarutkan dalam air hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995).

3.3.8 Pereaksi besi (III) klorida 1 % (b/v)

Ditimbang sebanyak 1 g Besi (III) Klorida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml kemudian disaring (Departemen Kesehatan, 1995).

3.3.9 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml Asam Klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995).

3.3.10 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,5 ml Asam Sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Departemen Kesehatan, 1995).

3.4 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci jantan dengan berat 1,5 kg sampai 2 kg. Kelinci ini sebelumnya telah diaklimasi selama seminggu. Kelinci dipelihara dalam kandang dan diberi makan standar.

3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel 3.5.1 Pengumpulan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Bahan diambil dari pohon yang tumbuh di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara II Tanjung Morawa – Medan. Daun yang diambil sebagai sampel adalah daun yang masih dalam keadaan baik dengan usia dewasa, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda.


(40)

3.5.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanense, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.5.3 Pengolahan Sampel

Sampel yang diperoleh dipisahkan dari tulang daunnya, dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan, dirajang dan ditimbang. Berat sampel yang digunakan adalah 5 kg. Selanjutnya daun tersebut dikeringkan selama 5 hari dalam oven dengan temperatur ±40oC sampai daun kering (ditandai bila diremas rapuh). Sampel yang telah kering (rapuh) diserbuk dengan blender dan disimpan dalam wadah tertutup rapat dan di simpan pada suhu kamar. Kemudian serbuk ditimbang. Diperoleh berat kering sebesar 1,2 kg.

3.6 Pembuatan Ekstrak

Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol. Sebanyak 1 kg serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana, dituangi dengan 7,5 L (75 bagian) etanol, ditutup, dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk lalu diserkai. Ampas diremaserasi dengan etanol secukupnya hingga diperoleh 10 L (100 bagian). Pindahkan maserat ke dalam bejana tertutup, dibiarkan di tempat sejuk terlindung dari cahaya selama 2 hari, enap tuangkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator pada suhu ±50°C hingga diperoleh ekstrak kental, selanjutnya di


(41)

3.7 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin, steroid/triterpenoid.

3.7.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan terbentuk endapan berwarna coklat-hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan di atas (Departemen Kesehatan, 1995).

3.7.2 Pemeriksaan flavonoida Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Cara Percobaan:


(42)

Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Departemen Kesehatan, 1995).

3.7.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966). 3.7.4 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g sampel ditimbang kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Departemen Kesehatan, 1995).

3.7.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi


(43)

1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Departemen Kesehatan, 1995).

3.7.6. Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida triterpenoida (Harborne, 1987).

3.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak 3.8.1 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, alat penampung dan pemanas listrik. Cara kerja :

Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g sampel yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume


(44)

air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992; Departemen Kesehatan, 1995).

3.8.2 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g sampel dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; Departemen Kesehatan, 1995).

3.8.3 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g sampel dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; Departemen Kesehatan, 1995).

3.8.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g sampel dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis,


(45)

jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; Departemen Kesehatan, 1995).

3.8.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992; Departemen Kesehatan, 1995).

3.9 Pembuatan Formula Sediaan 3.9.1 Pembuatan basis gel

Basis gel rmenurut Soeratri (2004), adalah sebagai berikut: R/ Hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) 2,75 g

Propilenglikol 20 g

Metil paraben 0,15 g

Propil paraben 0,05 g

Akuades 77,05 g (ad 100 g)

Cara pembuatan: HPMC didispersikan terlebih dahulu dengan cara menaburkan secara merata dalam air panas, lalu didiamkan selama 24 jam. Metil paraben dan propil paraben dilarutkan dalam propilenglikol, lalu ditambahkan


(46)

sedikit demi sedikit ke dalam HPMC yang terdispersi dengan baik, lalu ditambahkan dengan akuades hingga 100 g, dan digerus hingga homogen.

3.9.2 Komposisi formula

Sediaan dibuat dalam 4 formula dengan komposisi masing-masing 10 g yang terlihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 3.1 Komposisi formula gel EEDKS

NO Formula Komposisi (10g)

Basis gel EEDKS

1 F1 10 g -

2 F2 9,75 g 0,25 g

3 F3 9,5 g 0,5 g

4 F4 9,25 g 0,75 g

Keterangan: F1: gel tanpa EEDKS, F2: gel EEDKS 2,5%, F3: gel EEDKS 5%, F4: gel EEDKS 7,5%

Cara pembuatan sediaan gel EEDKS: ke dalam lumpang dimasukkan EEDKS masing- masing dengan konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5%, ditambahkan sedikit demi sedikit basis gel lalu gerus sampai homogen.

3.10 Evaluasi Formula

Evaluasi formula meliputi evaluasi fisik dan biologi. Evaluasi fisik meliputi pemeriksaan stabilitas sediaan, pemeriksaan homogenitas, pemeriksaan pH dan viskositas selama 90 hari, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90 hari. Evaluasi biologi meliputi pemeriksaan efektivitas sediaan gel EEDKS terhadap penyembuhan luka sayat.

3.10.1 Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan

Pemeriksaan stabilitas fisik sediaan meliputi bentuk, warna, dan bau yang diamati secara visual (Suardi, dkk., 2008). Sediaan dinyatakan stabil apabila


(47)

warna, bau, dan penampilan tidak berubah secara visual selama penyimpanan. pengamatan di lakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90. 3.10.2 Pemeriksaan homogenitas sediaan

Cara: sejumlah tertentu sediaan dioleskan pada dua keping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Direktorat Jendral POM, 1985). Pengamatan di lakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90. 3.10.3 Penentuan pH sediaan

Penentuan pH sediaan dilakukan dengan mengunakan pH meter.

Cara: alat terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut, elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan kertas tissue. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 gram sediaan dan dilarutkan dalam 100 ml air suling, kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut, sampai alat menunjukkan harga pH yang konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan harga pH sediaan (Rawlins, 2003). Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

3.10.4 Penentuan viskositas sediaan

Penentuan viskositas sediaan menggunakan viskometer Brookfield.

Cara: sediaan dimasukkan kedalam gelas sampai mencapai volume 100 ml, lalu spindel diturunkan hingga spindel tercelup ke dalam formulasi. Selanjutnya alat dihidupkan dengan menekan tombol ON. Kecepatan spindel diatur, kemudian dibaca skalanya (dial reading) dimana jarum merah yang bergerak telah stabil.


(48)

Nilai viskositas dalam sentipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian skala baca (dial reading) dengan faktor koreksi (f) khusus untuk masing- masing kecepatan spindel. Pengamatan dilakukan pada suhu kamar pada hari ke-0, 7, 14, 21, 28 dan 90.

3.11 Pengujian Sediaan Gel Terhadap Penyembuhan Luka Sayat

Pengujian efek penyembuhan luka sayat dilakukan berdasarkan metode oleh Stefan Frank and Heiko Kampfer (2000). Pengujian terdiri atas 6 kelompok yaitu kelompok 1 yang diberi Betadine® (kontrol positif), kelompok 2 diberi gel tanpa EEDKS (kontrol negatif) (F1), kelompok 3 tanpa diberi perlakuan, kelompok 4 diberi gel EEDKS 2,5% (F2), kelompok 5 diberi gel EEDKS 5% (F3), kelompok 6 diberi gel EEDKS 7,5% (F4).

Sebelum pengujian, kelinci dicukur bulu bagian punggungnya, dibuat pola berbentuk lingkaran diameter ± 2 cm, didesinfikasi kulitnya dengan alkohol 70%, lalu dianestesi lokal dengan lidokain HCl dengan dosis 1 ml. Kemudian dibuat luka dengan ukuran tanda yang telah dibuat bentuk lingkaran dengan cara mengangkat kulit hewan uji dengan pinset lalu digunting dengan gunting bedah, dihitung diameter awal. Setelah itu, pada kulit yang telah disayat dioleskan ± 0,5 g sediaan gel yang telah disediakan sesuai dengan kelompok masing-masing. Pemberian sediaan gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka sebanyak 1 kali sehari. Pengamatan luka dilakukan setiap hari secara visual dengan mengukur diameter luka dan hari kesembuhan. Luka dianggap sembuh jika diameter luka sama dengan nol.


(49)

Diameter luka dihitung dengan rumus: d = d1 + d2 + d3 + d4

4

Keterangan: d : diameter rata-rata d1 : diameter pertama d2 : diameter kedua d3 : diameter ketiga d4 : diameter keempat

Gambaran perhitungan diameter luka sayat pada punggung kelinci dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.1 Gambaran perhitungan diameter luka sayat

3.12 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 18. Pertama data dianalisis menggunakan metode Kolmogorov Smirnov untuk menentukan homogenitas dan normalitasnya. Kemudian dilanjutkan dianalisis menggunakan metode One Way ANOVA untuk menentukan perbedaan rata-rata diantara kelompok. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan.

d1 d2

d3 d4


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi sampel dilakukan oleh Laboratorium Herbarium Medanense Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Hasil identifikasi adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), famili Arecaceae, dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 53.

4.2 Hasil Ekstraksi

Ekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 80% untuk menarik senyawa yang terdapat dalam simplisia baik yang bersifat non polar dan polar. Hasil ekstraksi dari 1 kg simplisia diperoleh ekstrak etanol 152,85 g dan setelah di freeze dryer pada suhu ±-40ºC diperoleh 39,90 g.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan EEDKS

Keterangan: ( + ) = Positif, ( - ) = Negatif

Pada pemeriksaan skirining alkaloid dengan penambahan pereaksi Mayer terbentuk endapan putih, Bourchardat terbentuk endapan berwarna coklat kemerahan dan dengan Dragendroff terbentuk endapan berwarna jingga.

No. Golongan senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak 1. 2. 3. 4. 5. 6. Alkaloida Flavonoida Tanin Steroid/Triterpenoida Saponin Glikosida + + + + + + + + + + + +


(51)

Penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat membentuk cincin berwarna ungu yang menunjukkan adanya senyawa glikosida. Terbentuknya busa yang stabil dengan pengocokkan dengan air panas dan tidak hilang dengan penambahan HCl 2 N, ini menunjukkan adanya senyawa saponin (Depkes, 1995). Penambahan serbuk Mg dan asam klorida pekat menghasilkan larutan berwarna merah dan penambahan amil alkohol terbentuk warna merah yang menunjukkan adanya flavonoid. Penambahan FeCl3 memberikan warna biru kehitaman yang

menunjukkan adanya senyawa tanin (Fransworth, 1966). Penambahan pereaksi Liebermann-Burchad membentuk warna merah ungu yang menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid (Robinson, 1991).

4.4 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Kelapa Sawit

Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 56. Monografi dari

simplisia daun kelapa sawit tidak ditemukan di buku Materia Medika Indonesia (MMI),

sehingga tidak ada acuan untuk menentukan parameter simplisia tersebut.

Tabel 4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak

No Parameter

Hasil (%)

Simplisia Ekstrak

1 Kadar air 6,64 2,66

2 Kadar sari larut air 13,44 20,13

3 Kadar sari larut etanol 16,85 46,25

4 Kadar abu total 3,74 2,52

5 Kadar abu tidak larut asam 0,76 0,22

Pada tabel di atas dapat terlihat bahwa kadar air simplisia dan ekstrak memenuhi persyaratan umu yaitu di bawah 10%. Penetapan kadar air dilakukan karena air merupakan media yang baik untuk tumbuhnya jamur. Penetapan kadar sari larut air dan etanol untuk mengetahui kadar metabolit sekunder yang terdapat


(52)

dalam simplisia maupun ekstrak. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar, sedang kadar sari larut dalam etanol untuk mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol, baik polar maupun non polar. Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dalam simplisia, misalnya logam K, Ca, Na, Pb dan Hg, sedang penetapan kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa abu yang tidak larut dalam asam, misalnya silika.

4.5 Hasil Evaluasi Sediaan

4.5.1 Hasil pemeriksaan stabilitas fisik sediaan

Hasil pemeriksaan stabilitas fisik formulasi sediaan gel EEDKS dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan gambar sediaan gel Lampiran 6 halaman 62.

Tabel 4.3 Data pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel EEDKS

Formula Penampilan

Warna Bau Konsistensi

F1 bening tidak berbau semi padat

F2 hijau kecoklatan praktis tidak berbau semi padat F3 hijau kecoklatan praktis tidak berbau semi padat F4 hijau kecoklatan praktis tidak berbau semi padat Keterangan: F: Formula, 1: gel tanpa EEDKS, 2: gel EEDKS 2,5%, 3: gel EEDKS

5%, dan 4: gel EEDKS 7,5%

Sediaan formula 2 dan 3 memiliki penampilan sama yaitu warna hijau kecoklatan sedikit lebih muda dan konsistensi lebih padat dibandingkan formula 4 warnanya lebih pekat dengan konsistensi yang encer. Hasil pemeriksaan stabilitas fisik sediaan gel menunjukkan bahwa semua sediaan gel tidak mengalami perubahan yang berarti dari segi penampilan sediaan baik warna, bau maupun konsistensinya setelah penyimpanan selama 90 hari. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi penampilan, gel EEDKS stabil dalam penyimpanan.


(53)

4.5.2 Hasil pengamatan homogenitas sediaan

Hasil pengamatan homogenitas dari semua sediaan adalah homogen, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan gambarnya pada Lampiran 7 halaman 63. Uji homogenitas bertujuan untuk melihat dan mengetahui bahan-bahan sediaan gel apakah terdistribusi secara merata.

Tabel 4.4 Data pengamatan homogenitas sediaan

Keterangan: F: Formula, 1: gel tanpa EEDKS, 2: gel EEDKS 2,5%, 3: gel EEDKS 5%, dan 4: gel EEDKS 7,5%, (+) = tidak homogen, (−) = homogen 4.5.3 Hasil Penentuan pH Sediaan

Hasil penentuan pH sediaan gel EEDKS dilakukan dengan menggunakan pH meter untuk seluruh sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.5. Nilai pH sediaan gel EEDKS diperoleh antara 6,0 - 6,4, sediaan tersebut cenderung stabil. Penurunan nilai pH pada suatu sediaan bisa dipengaruhi oleh lingkungan seperti gas-gas di udara yang bersifat asam. Kenaikan nilai pH dipengaruhi oleh adanya mikroba di dalam sediaan (Ida, dkk., 2012).

Tabel 4.5 Data pengukuran pH

Sediaan Nilai pH Rata-rata Pada Hari Ke

0 7 14 21 28 90

F1 6,3 6,3 6,3 6,3 6,3 6,4

F2 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,1

F3 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0

F4 6,0 6,0 6,0 6,0 6,2 6,2

Keterangan: F: Formula, 1: gel tanpa EEDKS, 2: gel EEDKS 2,5%, 3: gel EEDKS 5%, 4: gel EEDKS 7,5%.

Sediaan Lama Pengamatan (hari)

0 7 14 21 28 90

F1 - - - - - -

F2 - - - - - -

F3 - - - - - -


(54)

4.5.4 Hasil penentuan viskositas sediaan

Hasil penentuan viskositas gel EEDKS dilakukan menggunakan viskometer Brookfield pada seluruh sediaan. Hasil penentuan viskositas sediaan dapat dilihat pada Tabel 4.6 dan contoh perhitungan pada Lampiran 5 halaman 61. Tabel 4.6 Data pengukuran viskositas

Sediaan Nilai viskositas rata-rata pada hari ke-

0 7 14 21 28 90

F1 3,7p 3,7p 3,7p 3,7p 3,7p 3,7p

F2 3,4p 3,4p 3,4p 3,4p 3,4p 3,4p

F3 3,1p 3,1p 3,1p 3,1p 3,1p 3,1p

F4 2,9p 2,9p 2,9p 2,9p 2,9p 2,9p

Keterangan: F: Formula, p: poise, 1: gel tanpa EEDKS, 2: gel EEDKS 2,5%, 3: gel EEDKS 5%, 4: gel EEDKS 7,5%

Berdasarkan di atas dapat dilihat hasil viskositas sediaan gel stabil dalam penyimpanan. Nilai viskositas sediaan gel yang baik yaitu 2000-4000 cps (Garg et, al., 2002) sehingga sediaan gel EEDKS memenuhi persyaratan viskositas gel.

4.6 Hasil Uji Efektivitas Penyembuhan Luka Sayat

Pengujian efektivitas penyembuhan luka sayat dilakukan berdasarkan metode oleh Stefan Frank and Heiko Kampfer (2000). Pengamatan dilakukan dilakukan 1 kali sehari secara visual. Hasil pengamatan menunjukkan pemberian sediaan gel EEDKS dapat mempercepat penyembuhan luka dibandingkan dasar gel. Luka pada hewan uji dinyatakan sembuh yang ditandai dengan perubahan diameter luka yaitu semakin mengecil. Data hasil perubahan diameter luka dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.7.


(55)

Gambar 4.1 Grafik perubahan diameter luka sayat Tabel 4.7 Data rata-rata hasil perubahan diameter luka

Hari ke-

Diameter luka (cm)

K 1 K 2 K 3 K 4 K 5 K 6 0 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 1 1,98±0,01 2,00±0,00 2,00±0,00 1,98±0,06 1,95±0,06 2,00±0,00 2 1,95±0,06 2,00±0,00 2,00±0,00 1,95±0,00 1,85±0,02 1,98±0,01 3 1,85±0,01 1,98±0,01 2,00±0,00 1,90±0,00 1,80±0,00 1,95±0,00 4 1,80±0,01 1,95±0,02 2,00±0,00 1,80±0,01 1,75±0,01 1,92±0,02 5 1,72±0,01 1,90±0,00 1,98±0,01 1,75±0,02 1,70±0,00 1,85±0,00 6 1,65±0,01 1,85±0,02 1,92±0,03 1,70±0,00 1,62±0,02 1,80±0,01 7 1,52±0,01 1,80±0,00 1,85±0,02 1,62±0,02 1,50±0,00 1,70±0,00 8 1,45±0,01 1,72±0,02 1,82±0,02 1,50±0,00 1,42±0,02 1,62±0,02 9 1,32±0,01 1,65±0,02 1,75±0,00 1,42±0,02 1,30±0,01 1,50±0,00 10 1,25±0,02 1,55±0,00 1,70±0,00 1,30±0,01 1,20±0,00 1,40±0,00 11 1,15±0,10 1,45±0,02 1,65±0,03 1,15±0,02 1,05±0,02 1,32±0,01 12 0,95±0,10 1,35±0,00 1,50±0,00 0,95±0,00 0,88±0,01 1,15±0,06 13 0,85±0,00 1,22±0,02 1,40±0,00 0,85±0,00 0,72±0,02 1,05±0,00 14 0,68±0,02 1,15±0,00 1,32±0,02 0,72±0,02 0,62±0,01 0,90±0,00 15 0,55±0,00 0,95±0,02 1,20±0,00 0,65±0,00 0,52±0,02 0,82±0,02 16 0,38±0,02 0,85±0,00 1,05±0,00 0,55±0,02 0,42±0,02 0,70±0,00 17 0,25±0,00 0,72±0,00 0,90±0,01 0,40±0,00 0,32±0,01 0,62±0,02 18 0±0,00 0,65±0,02 0,85±0,02 0,30±0,05 0,22±0,20 0,50±0,00 19 0±0,00 0,55±0,00 0,75±0,02 0,20±0,01 0±0,00 0,45±0,02 20 0±0,00 0,45±0,00 0,60±0,40 0±0,00 0±0,00 0,35±0,02 21 0±0,00 0,30±0,00 0,55±0,00 0±0,00 0±0,00 0,25±0,00 22 0±0,00 0,20±0,00 0,40±0,00 0±0,00 0±0,00 0±0,00 23 0±0,00 0±0,00 0,35±0,02 0±0,00 0±0,00 0±0,00 24 0±0,00 0±0,00 0,25±0,00 0±0,00 0±0,00 0±0,00 25 0±0,00 0±0,00 0±0,00 0±0,00 0±0,00 0±0,00

Keterangan: K: kelompok, 1: diberi betadine (kontrol positif), 2: diberi basis gel (kontrol negatif), 3: tanpa diberi perlakuan, 4: diberi gel EEDKS 2,5%, 5: diberi gel EEDKS 5%, 6: diberi gel EEDKS 7,5%

D ia me ter 0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Kontrol Positif Kontrol Negatif Tanpa Perlakuan

Gel EEDKS 2,5% Gel EEDKS 5% Gel EEDKS 7,5%


(56)

Pengukuran diameter luka yang terlihat pada Tabel 4.7, menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan dari hari ke-1 sampai hari ke-25 mengalami perubahan pada diameter luka.

Pada tabel dan gambar grafik diatas dapat dilihat adanya pengurangan diameter luka sayat oleh masing-masing perlakuan yang berangsur sembuh mulai hari ke-1 hingga ke-25. Luka dinyatakan sembuh apabila tidak menimbulkan bekas pada kulit (Boyle, 2009). Adanya perbedaan penyembuhan diameter luka pada masing-masing kelinci karena adanya faktor psikologis atau variabel individu yang dapat menurunkan efisiensi kerja sistem imun tubuh dalam proses penyembuhan luka (Arisanty, 2013). Untuk kelompok pembanding dan perlakuan 2,5, 5 dan 7,5% luka sampai tidak menimbulkan bekas selama masing-masing 3 hari setelah diameter luka sayat sama dengan nol, sedangkan pada basis gel dan tanpa perlakuan selama 5 hari.

Pada betadine salep, pengurangan diameter luka sayat pada hari ke-1 sebesar 0,02 cm dan 1,75 cm pada hari ke-17, sembuh pada hari ke-18. Data tersebut menunjukkan bahwa pengurangan diameter luka berangsur cepat. Hal ini disebabkan betadine mengandung bahan aktif povidone iodine yang mampu menyembuhkan infeksi luka di kulit yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan negatif (Gennaro, 2000).

Ketiga dosis sediaan gel EEDKS dapat menyembuhkan luka sayat, dimana pada sediaan gel EEDKS 2,5% pengurangan diameter luka dimulai pada hari ke-1 (0,02 cm) dan hari ke-19 (1,80 cm), sembuh pada hari ke-20. Sediaan gel EEDKS 5% pengurangan diameter luka pada hari ke-1 (0,05) cm dan hari ke-18 adalah 1,78 cm, sembuh pada hari ke-19. Sediaan gel EEDKS 7,5% pengurangan


(57)

diameter luka terjadi pada hari ke-2 (0,02 cm) dan hari ke-21 (1,75 cm), sembuh pada hari ke-22.

Pada basis gel pengurangan diameter luka dimulai pada hari ke-3 (0,02 cm) dan hari ke-22 (1,80 cm), sembuh hari ke-23. Pengurangan diameter luka berangsur lambat karena tidak ada zat berkhasiat dalam basis gel yang digunakan sebagai bahan pembawa. Pada kelompok yang tanpa diberi perlakuan pengurangan diameter luka terjadi pada hari ke-5 (0,02 cm) dan hari ke-24 (1,75 cm), sembuh pada hari ke-25.

Efektivitas penyembuhan luka sayat dari sediaan gel EEDKS karena adanya kandungan streoid dan terpenoid yang bersifat sebagai antibakteri dan astringen (Sreenivasan, 2010), alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri (Paju, 2013), flavonoid memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, 2013), tanin sebagai astringen yang mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010) dan saponin dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013).

Berdasarkan hasil pengujian penyembuhan luka sayat yang memiliki daya efektivitas paling baik berturut-turut adalah betadine salep sebagai pembanding, sebagai ekstrak uji yaitu sediaan gel EEDKS 5%, 2,5%, 7,5%, dan basis gel. Adanya perbedaan kesembuhan pada ekstrak uji disebabkan karena pada sediaan gel EEDKS 2,5% dosis belum maksimal untuk penyembuhan luka sayat, pada sediaan gel EEDKS 5% dosis sudah tepat untuk menyembuhkan luka sayat yang sudah sebanding dengan obat pembanding, sedangkan pada sediaan gel EEDKS


(58)

7,5% kesembuhan luka sayat lebih lama karena daya lekat sediaan gel rendah terhadap kulit sehingga memberikan efek terapi yang lebih lama. Hal ini sesuai menurut Ansel (1989) bahwa kemampuan daya lekat gel akan mempengaruhi efek terapi. Semakin lama kemampuan gel melekat pada kulit, maka gel dapat memberikan efek terapi yang lebih lama.

Data diameter luka (cm) pada masing-masing hewan uji pada tiap perlakuan dianalisis secara statistik dengan metode ANOVA lalu dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan kelinci. Berdasarkan hasil statistik terdapat perbedaan secara signifikan

(α ≤ 0,05) terhadap penyembuhan luka sayat pada hari ke-1 hingga ke-25. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan gel EEDKS mempunyai efek penyembuhan luka sayat. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 75.

Pengujian Post Hoc Tukey HSD dilakukan untuk melihat kelompok perlakuan mana yang memiliki efek sama atau berbeda dan efek terkecil sampai terbesar antara satu dengan yang lainnya. Pengujian ini dilakukan terhadap semua perlakuan dari hari ke-1 sampai ke-25. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 13 halaman 76.


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Golongan senyawa yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

b. Hasil karakteristik simplisia dan ekstrak daun kelapa sawit berturut-turut adalah kadar air (6,64 dan 2,66%), kadar sari larut air (13,44 dan 20,13%), kadar sari larut etanol (16,85 dan 46,25%), kadar abu total (3,74 dan 2,52%) dan kadar abu tidak larut asam (0,76 dan 0,22%).

c. Ketiga dosis dapat menyembuhkan luka sayat, namun konsentrasi yang

paling efektif dalam penyembuhan luka sayat adalah 5% (α ≤ 0,05) yang

sebanding dengan Betadine mengandung Povidon Iodin pada konsentrasi 10%.

5.2Saran

a. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya melakukan pengukuran luka sayat berdasarkan luas luka.

b. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya melakukan uji aktivitas biologi lainnya.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Adlin, L. (2008). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Halaman 24-25.

Ansel, C.H. (1989). Penghantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Halaman 390, 489.

Arisanty, I.P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 1-7, 29.

Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics:The Design and Manufactures of Medicine. Third Edition. New York: Churcill Livingstone Elsevier. Halaman 70-72.

Balick, M.A. (1996). Plants, People and Culture: The Science of Ethnobotany. New York :Scientific American Library, W.H. Freeman and Company. Halaman 12.

Barankin B. (2006). Derm Notes Dermatology Clinical Pocket Guide. Philadelphia: F. A. Davis Company. Halaman 98-100.

Barku, V.Y.A., Boye, A., dan Ayaba, S. (2013). Phytochemical Screening and Assessment of Wound Healing Activity of The Leaves of Anogeissus leiocarpus. European Journal of Experimental Biology. 3(4): 25.

Baroroh, D. B. (2011). Konsep Luka. Malang: Basic Nursing Department PSIK FIKES UMM . Halaman 2.

Berger, T.G. (2007). Skin, Hair, & Nails. In: McPhee, Stephen J., Papadaxis, Maxine A., Tierney, Lawrence M. Current Medical Diagnosis & Treatment. Edition 46th. San Francisco, California: McGraw Hill’s. Halaman 109-111.

Boyle, M. (2009). Wound Healing in Midwifery. Abingdon: Radcliffe Publishing Ltd. Halaman 14.

Chong, K.H. (2008). Antimicrobial of Elaeis guineensis leaf. Pharmacologyonline 3(3):379–386.

David, P.S. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 1.

Dewi, I.A.L.P., Damriyasa, I.M., dan Dada, I.K.A. (2013). Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharanthus roseus) Terhadap Periode Epitelisasi Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus. 2(1): 71-72.


(1)

Lampiran 13. (Lanjutan)

H5 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,7000

Kontrol Positif 3 1,7233 1,7233 Gel EEDKS 2,5% 3 1,7467

Gel EEDKS 7,5% 3 1,8500

Kontrol Negatif 3 1,9000

Tanpa Perlakuan 3 1,9867

Sig. ,159 ,159 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H6 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,6200

Kontrol Positif 3 1,6533 1,6533

Gel EEDKS 2,5% 3 1,7000

Gel EEDKS 7,5% 3 1,8033

Kontrol Negatif 3 1,8467

Tanpa Perlakuan 3 1,9267

Sig. ,298 ,076 ,109 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

H7 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,5000 Kontrol Positif 3 1,5167

Gel EEDKS 2,5% 3 1,6467

Gel EEDKS 7,5% 3 1,7000

Kontrol Negatif 3 1,8000

Tanpa Perlakuan 3 1,8467

Sig. ,734 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(2)

N 1 2 3 4 5 Tukey

HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,4200

Kontrol Positif 3 1,4533 1,4533 Gel EEDKS 2,5% 3 1,5000

Gel EEDKS 7,5% 3 1,6233

Kontrol Negatif 3 1,7233

Tanpa Perlakuan 3 1,8233

Sig. ,362 ,107 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H9 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,3033 Kontrol Positif 3 1,3167

Gel EEDKS 2,5% 3 1,4233

Gel EEDKS 7,5% 3 1,5000

Kontrol Negatif 3 1,6467

Tanpa Perlakuan 3 1,7500

Sig. ,874 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H10 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6

Tuke y HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,2000

Kontrol Positif 3 1,2467

Gel EEDKS 2,5% 3 1,3033

Gel EEDKS 7,5% 3 1,4000

Kontrol Negatif 3 1,5500

Tanpa Perlakuan 3 1,700

0 Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(3)

Lampiran 13. (Lanjutan)

H11 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 1,0467 Gel EEDKS 2,5% 3 1,1467 Kontrol Positif 3 1,1500

Gel EEDKS 7,5% 3 1,3167

Kontrol Negatif 3 1,4467

Tanpa Perlakuan 3 1,6500

Sig. ,138 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

H12 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 ,8833 Gel EEDKS 2,5% 3 ,9500 Kontrol Positif 3 ,9500

Gel EEDKS 7,5% 3 1,2167

Kontrol Negatif 3 1,3500

Tanpa Perlakuan 3 1,5000

Sig. ,539 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

H13 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 ,7200

Kontrol Positif 3 ,8500 Gel EEDKS 2,5% 3 ,8500

Gel EEDKS 7,5% 3 1,0500

Kontrol Negatif 3 1,2467

Tanpa Perlakuan 3 1,4000

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(4)

N 1 2 3 4 5 6 Tukey

HSDa

Gel EEDKS 5% 3 ,6167

Kontrol Positif 3 ,6767

Gel EEDKS 2,5% 3 ,7233

Gel EEDKS 7,5% 3 ,9000

Kontrol Negatif 3 1,1500

Tanpa Perlakuan 3 1,3200

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displaye

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H15 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Gel EEDKS 5% 3 ,5233 Kontrol Positif 3 ,5500

Gel EEDKS 2,5% 3 ,6500

Gel EEDKS 7,5% 3 ,8233

Kontrol Negatif 3 ,9467

Tanpa Perlakuan 3 1,2000

Sig. ,481 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H16 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Kontrol Positif 3 ,3800 Gel EEDKS 5% 3 ,4233

Gel EEDKS 2,5% 3 ,5233

Gel EEDKS 7,5% 3 ,7000

Kontrol Negatif 3 ,8500

Tanpa Perlakuan 3 1,0500

Sig. ,067 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(5)

Lampiran 13. (Lanjutan)

H17 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6

Tukey HSDa

Kontrol Positif 3 ,2500

Gel EEDKS 5% 3 ,3100

Gel EEDKS 2,5% 3 ,4000

Gel EEDKS 7,5% 3 ,6233

Kontrol Negatif 3 ,7200

Tanpa Perlakuan 3 ,9033

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H18 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5 6

Tukey HSDa

Kontrol Positif 3 ,0000

Gel EEDKS 5% 3 ,2200

Gel EEDKS 2,5% 3 ,3033

Gel EEDKS 7,5% 3 ,5000

Kontrol Negatif 3 ,6467

Tanpa Perlakuan 3 ,8467

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. H19 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

Tukey HSDa

Kontrol Positif 3 ,0000 Gel EEDKS 5% 3 ,0000

Gel EEDKS 2,5% 3 ,2033

Gel EEDKS 7,5% 3 ,4467

Kontrol Negatif 3 ,5500

Tanpa Perlakuan 3 ,7467

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(6)

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Tukey HSDa

Kontrol Positif 3 ,0000 Gel EEDKS 2,5% 3 ,0000 Gel EEDKS 5% 3 ,0000

Gel EEDKS 7,5% 3 ,3467

Kontrol Negatif 3 ,4500

Tanpa Perlakuan 3 ,6400

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

H23 Perlakuan

N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa Kontrol Positif 3 ,0000

Kontrol Negatif 3 ,0000

Gel EEDKS 2,5% 3 ,0000

Gel EEDKS 5% 3 ,0000

Gel EEDKS 7,5% 3 ,0000

Tanpa Perlakuan 3 ,3467

Sig. 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.