Konsep Ekonomi Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam...

(1)

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR . ... ... ... ... i

DAFTAR ISI ……….ii

I. PENDAHULUAN ... ……….1

II. KONSEP EKONOMI LINGKUNGAN……….3

A. Konsep Ekternalitas ... 3

B. Pembangunan yang Berkelanjutan ………..4

III. PEMBAHASAN………6

A. Memperkirakan Biaya Pencemaran………...6

B. Pembatasan secara Sah terhadap Hak Penguasaan ... 6

G. Harga sebagai Refleksi dari Struktur Insentif ... 7

D. Gontoh Kasus HTI : Sebuah Ilusi Kebijakan yang Mendukung Keberlanjutan ...……….8

IV. KESIMPULAN . ... ………. 10


(3)

I. PENDAHULUAN

Pembangunan dalam kacamata ekonomi berarti peningkatan kesejahteraan material manusia melalui peningkatan konsumsi berbagai barang dan jasa. Peningkatan kesejahteraan non-material yang juga merupakan bagian dari konsep pembangunan Indonesia berada di luar jangkauan teori ekonomi konvensional. Untuk dapat meningkatkan konsumsi material manusia harus meningkatkan pendapatannya melalui peningkatan produksi, yaitu memanfaatkan segala sumberdaya seperti tenaga kerja, keahlian, tanah, modal, dan kewirausahaan (entrepreneurship) untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED. 1988) Oleh karena itu, kemampuan sumberdaya-sumberdaya alam dan lingkungan dalam meneropong proses masa depan perlu dilestarikan.

Dalam kegiatan ekonomi suatu masyarakat yaitu kegiatan mengkonsumsi dan memproduksi barang dan jasa, teori ekonomi menempatkan manusia pada dua peran. Pertama, sebagai aktor atau pelaku kegiatan ekonomi, yaitu pihak yang melakukan kegiatan konsumsi atau kegiatan produksi. Kedua sebagai incident atau pihak yang terkena pengaruh kegiatan ekonomi. Pengaruh ini dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari sisi lain, kedua pengaruh tadi, baik yang langsung maupun tidak langsung dapat bersifat positif atau negatif. Positif, jika meningkatkan kesejahteraan manusia yang terkena dampak negatif, jika menurunkan kesejahteraan pihak yang terkena ( Ahmad. 1992)

Karena ekonomi merupakan sistem terbuka, maka ketiga proses dasarnya (ekstraksi, prosesing/fabrikasi, dan konsumsi) masing-masing menghasilkan residual (limbah) yang akhirnya kembali ke lingkungan. Terlalu banyak di tempat dan pada waktu yang salah (terlalu lama) akan menyebabkan perubahan biologis dan perubahan lainnya (kontaminasi.), yang selanjutnya dapat mengganggu atau merusak tanaman/hewan dan ekosistemnya (pencemaran). Jika kerusakan tersebut selanjutnya berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan manusia, maka hal ini memenuhi batasan ekonomi pencemaran. Batasan ekonomi dari pencemaran,


(4)

mensyaratkan dua hal, yaitu terjadinya pengaruh fisik terhadap lingkungan dan reaksi manusia terhadap pengaruh fisik yang bersangkutan. Dalam bahasa ekonomi, telah terjadi kerugian (berkurang kesejahteraan) yang tidak dikompensasi, karena adanya biaya eksternal yang berkaitan dengan disposal limbah ke media lingkungan, yang melahirkan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat (Turner. Pearce & Bateman, 1994)


(5)

II. KONSEP EKONOMI LINGKUNGAN

A. Konsep Eksternalitas (Biaya Sosial)

Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut pula sebagai biaya sosial. Perbincangan mengenai biaya sosial ini sesungguhnya berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan yang sebagai akibatnya adalah kerusakan lingkungan hidup yang dapat dianggap sebagai biaya pembangunan ekonomi (Soeparmoko, 1989).

Biaya ekternalitas juga timbul dengan adanya penebangan hutan, karena banyak pengusaha telah menebang tanpa memperhatikan aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga membahayakan kelangsungan pembangunan berhubungan dengan jumlah kayu yang dipasok ke industri kayu dikhawatirkan semakin menurun jumlahnya. Dengan penebangan hutan akan hancur pula sumber plasma nutfah dan meningkatkan laju erosi dan resiko banjir. Pada gilirannya erosi dan banjir akan menghancurkan kesuburan tanah, memperpendek umur waduk, mendangkalkan saluran irigasi, dan merusak tanaman. Setiap kegiatan itu memiliki biaya yang harus dibayar sendiri (internal cost.), ternyata juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain (external cost). Oleh sebab itu biaya lingkungan itu nyata dan harus dipertimbangkan dalam kegiatan pembangunan.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Saemarwoto (1989) bahwa dalam dunia yang fana ini tidak ada yang gratis. Apabila seseorang ingin memperoleh sesuatu tanpa membayar, pasti ada prang lain yang harus membayar biaya yang diperlukan untuk memperoleh sesuatu yang dianggap menguntungkan. Contohnya bila ada orang yang membuang limbah ke sungai; pada hakekatnya ia menggunakan sungai untuk mengangkut limbah secara gratis. Namun orang lain yang harus memikul biaya pengangkutan limbah yaitu dalam bentuk penurunan hasil ikan atau biaya penjernihan air minum yang lebih tinggi yang harus dikeluarkan oleh PAM.

Dampak yang dituju oleh kegiatan ekonomi tetapi dirasakan pihak selain pelaku disebut eksternalitas (externalities). Konsumen dan produsen tidak memasukkan eksternalitas ini, baik yang positif maupun yang negatif, sebagai


(6)

keuntungan atau biaya dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable development) dikenal istilah “eksternalitas ekonomi” (economic externalities), eksternalitas ekologi (ecological externalities) dan eksternalitas sosial (Social externalities) (Ahmad, 1992). Selain itu, teori ekonomi juga menawarkan alternatif bagi pengelolaan imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact ad

incident), juga mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai aktor atau pelaku

kegiatan ekonomi (Ahmad. 1992).

B. Pembangunan yang Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sebagai proses peningkatan kesejahteraan masyarakat luas suatu bangsa secara terus-menerus dan dalam kurun waktu yang mencakup antar generasi. Dalam ekonomi, keberlanjutan pembangunan menunjuk pada kemampuan untuk tumbuh dan berubah secara terus-menerus agar masyarakat dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang sekurang-kurangnya sama dari waktu ke waktu dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam upaya mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, sedikitnya ada tiga komponen keberlanjutan yang harus dicapai secara simultan untuk mewujudkan kondisi keberlanjutan yang harus dicapai secara simultan untuk mewujudkan kondisi pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga komponen itu ialah keberlanjutan ekonomi (economic sustainability), berkelanjutan ekonomi (ecological sustainability) dan keberlanjutan sosial (social

sustainability) (Ahmad, 1992).

Secara ringkas, pendekatan kebijaksanaan yang sistemik bagi pembangunan berkelanjutan bertumpu pada empat unsur kebijaksanaan berikut:

1. Menetapkan harga yang benar (get tire priceright) untuk memberikan insentif yang sesuai bagi pelaksanaan ekonomi untuk mengarahkan kegiatannya ke tujuan economic

sustainability yang diinginkan.

2. Menetapkan regulasi yang benar (get tire regulation tight) untuk menghentikan perusakan lingkungan dan sumberdaya tanpa menimbulkan distorsi dalam bidang lain. 3. Menetapkan instalasi yang benar (get tire instalation right) untuk meneraskan fungsi,


(7)

4. Menetapkan dasar hukum dan pelaksanaannya yang benar (get the law and its

enforcement right) untuk memastikan bahwa ketiga unsur lain dijalankan dengan cara


(8)

III. PEMBAHASAN

A. Memperkirakan Biaya Pencemaran

Biaya pencemaran yang tidak dapat diukur dengan mudah disebut intangible cost atau

non pecuniary cost, seperti asap yang memedaskan mata, limbah I sungai yang mematikan

banyak ikan. Salah satu cara untuk menentukan biaya pencemaran adalah dengan melihat tingkat harga, tetapi bila tidak dapat secara langsung mengetahui harga pasar untuk kerugian karena polusi, maka harus ditemukan cara lain, yakni menggunakan harga barang lain seperti berapa nilai udara bersih dan nilai air yang bersih dengan cara melihat kesediaan membayar bagi pengurangan pencemaran itu. Apabila kita telah mengetahui berapa nilai hilangnya pencemaran untuk setiap orang, maka kita dapat menjumlahkannya untuk memperoleh perkiraan biaya marginal dari pencemaran itu.

Cara lain adalah dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran apakah dengan mensubsidi pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran atau subsidi untuk mengganti kerugian bila diadakan penekanan volume pencemaran di bawah standar yang diijinkan.

B. Pembatasan Secara Sah Terhadap Hak Penguasaan

Dalam hal ini Siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya sosial akhirnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya secara legal, contoh : sebuah pabrik yang membuang limbah ke udara, air, lautan dan pabrik tersebut tidak mengeluarkan biaya apa-apa untuk pembuangan limbah tersebut dan bila limbah yang dibuang tersebut tidak menimbulkan dampak yang merugikan kepada siapapun berarti biaya swasta dan biaya sosial identik dengan nol dan keputusan produsen secara perorangan (swasta) tidak efisien secara sosial. Namun, bila pembuangan limbah tidak sama dengan nol maka biaya sosial tidak lama dengan nol Biaya swsata dan biaya sosial tidak sama dengan dengan keputusan swasta untuk memaksimumkan keuntungan menjadi tidak efisien dalam arti sosial. Misalnya, pabrik semen yang menghamburkan debu ke udara dan mengganggu penduduk sekitarnya, tetapi produsen tersebut tidak membayar apa-apa ke penduduk maupun pemerintah dalam bentuk pajak, maka akan timbul kecendrungan


(9)

masyarakat akan menghadapi harga semen terlalu rendah dan menggunakannya secara berlebihan karena tidak memasukkan biaya sosial dalam perhitungan biaya perusahaan.

C. Harga Sebagai Refleksi dari Struktur Intensif

Aplikasi mekanisme pasar dalam konsep pembangunan berkelanjutan menuntut perubahan dalam sistem penetapan harga. Perubahan ini mensyaratkan perhitungan eksternalitas dalam negatif dari suatu kegiatan ekonomi dimasukkan sebagai biaya dalam perhitungan bisnis. Penggunaan konsep ini juga menuntut konsumen untuk dapat menerima biaya ekternalitas itu sebagai bagian dari harga barang yang harus dibayar, serta meminta konsumen untuk menghargai rente ekonomi yang mencerminkan nilai kelangkaan sumberdaya yang dihasilkan melalui proses akumulasi alami. Rente ekonomi itu sendiri harus direinvestasikan untuk pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya alam, atau untuk menghasilkan suatu kapasitas produktif baru yang euivalen dengan jenis nilai yang hilang dari suatu sumberdaya tak terbarukan (unrenwable) yang terpakai.

Karena itu stategi penetapan harga yang ideal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan harus memasukkan nilai kelangkaan alami dan nilai ekternalitas dari suatu harga sebagai tambahan biaya faktor produksi. Kekeliruan dalam penetapan harga sumberdaya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menurunkan kualitas lingkungan akan menjadi insentif yang menyesatkan dan mengarahkan manusia pada pemborosan sumberdaya dan perusakan lingkungan. Dalam perspektif untung rugi ini, pajak dan subsidi merupakan dua instrumen yang paling tidak distortif sifatnya untuk memperbaiki harga (to get the price

right).

Dan sudut ekonomi, penggunaan pendekatan sistemik dalam pembangunan berkelanjutan menjadi konsep intervensi kebijakan yang optimal. Pasar tidak dapat diandalkan mengoreksi masalah ketidaksempurnaan sendiri. Adanya fenomena eksternalitas dan barang publik, misalnya fungsi ekologis lingkungan; karena inheren menyebabkan kegagalan mekanisme pasar bebas. Karena itulah kita memerlukan intervensi kebijakan untuk mengoreksi ketidaksempurnaan itu melalui mekanisme pajak dan subsidi.


(10)

D. Contuh Kasus HTI : Sebuah ilusi tentang Kebijakan yang Mendukung Keberlanjutan

Semua pihak tentu sepakat dan mendukung kebijakan pemerintah dalam pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang bertujuan mendukung industri kayu dan kertas, serta menunjang kelestarian hutan alam Indonesia. Agaknya karena itulah pemerintah mensponsori pembangunan HTI dengan memberikan berbagai insentif. Jika dicermati, benarkah kebijakan itu dapat mendukung kelestarian hutan alam atau bersifat

pro-sustainable ?

Teori ekonomi mengungkapkan bahwa produsen akan mencari substitusi jika bahan baku yang biasa dipergunakan menjadi lebih mahal. Tidak masuk akal bagi perusahaan untuk mencari bahan baku alternatif selama bahan baku yang biasa dipergunakan masih sangat murah harganya. Prinsip ini berlaku juga pada kayu alam menjadi bahan baku utama industri kayu. Selama harga kayu alam masih sangat murah, tidak terdapat insentif ekonomi yang murni untuk memproduksi bahan baku alternatif dengan membangun HTI. Bagi pengusaha, kayu dari HTI pasti lebih mahal dibanding dari kayu hutan alam, karena harus dihasilkan dari proses investasi jangka panjang. Karena itu sukar mengharapkan HTI terwujud seperti yang dicita-citakan pemerintah, betapapun banyak insentif yang ditawarkan untuk pengembangannya.

Teori ekonomi menyebutkan, jika ada pengusaha yang membangun HTI mungkin saja untuk tujuan lobi, public relation, dan menikmati insentif yang ditawarkan terutama dana murah yang tentu saja selalu dapat dialihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Untuk pembangunan dan mengembangkan HTI, pemerintah memberikan tiga macam insentif yang sangat memikat. Pertama, penyertaan dana pemerintah dalam unit HTI dan kesempatan memperoleh pinjaman dengan suku bunga 0 %. Secara keseluruhan sebuah HTI berhak mendapatkan dana gratis sebesar 46 % dari total aset perusahaan tersebut. Kedua, rabat dari jumlah kewajiban pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas wilayah HTI yang luas ekonominya ditentukan secara resmi sebesar 300.000 ha untuk HTI pulp dan 60.000 ha untuk HTI kayu gelondongan. Untuk memenuhi skala ekonomis resmi wilayah HTI seperti ini memberi kemungkinan bagi perusahaan status atau konversi dari berbagai kategori hutan non produksi (termasuk hutan lindung dan suaka alam) menjadi wilayah HTI.


(11)

Kasus perubahan status sebagian kawasan Taman Nasional Plehairi menjadi kawasan HTI merupakan salah satu contoh implementasi peraturan pemerintah ini.

Ketiga, dalam pelaksanaan pemberian HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

Industri) pemerintah juga memberi kesempatan bagi konversi kawasan HPH yang sudah rusak menjadi HPHTI. Dengan praktek ini, pengusaha HPH yang tidak menjalankan kewajibannya melakukan penanaman kembali (replanting) dan pengayaan kembali (enrichment planting) atas biaya sendiri di samping kewajiban membayar Dana Reboisasi mendapat kesempatan untuk mengkonversi wilayahnya menjadi HTI dan menanaminya kembali atas biaya negara.

Berdasrkan hal tersebut, menurut perhitungan pengusaha HPH yang rasional akan mengarahkannya untuk mempercepat pengundulan HPH-nya, berusaha mengubah statusnya menjadi HTI, memenuhi kewajiban minimum dan mencairkan dana gratis yang ditawarkan. Bahkan hutan lindung yang ada dapat dikonversi menjadi HTI.

Skenario lainnya yang sangat mungkin adalah pengusaha akan meminta HPHTI di kawasan hutan alam yang masih perawan (Irian Jaya misalnya) dengan mengatakan bahwa tujuannya adalah membangun pabrik kertas. Kemudiaan, pengusaha tersebut akan membabat hutan alam yang ada untuk meperoleh keuntungan dari kayu yang sudah tersedia dan hanya akan membangun pabriknya jika pelaksanaan untuk itu tidak lagi dapat dihindarkan. Bahkan jika izin investasinya dicabut pun, pengusaha tersebut telah menikmati keuntungan dari penebangan kayu alam dari kawasan HPHTI-nya plus dana gratis 46 % dari modal HTI yang mungkin sudah dicairkan.

Studi kasus di atas menunjukkan bahwa insentif yang tidak tepat bukan hanya menghambat pencapaian tujuan keberlanjutan, bahkan memperkuat ancaman terjadinya ketidak-berlanjutan dalam proses pembangunan. Hal ini menunjukkan bagaimana harga dan insentif yang salah mendorong terjadinya pemborosan sumberdaya dan bagaimana insentif yang benar tapi dalam setting pasar yang salah bekerja melawan tujuan kesinambungan pembangunan. Dalam kasus HTI, seluruh insentif yang secara resmi ditunjukkan untuk mendukung keberlanjutan hutan alam berubah menjadi insentif untuk mempercepat kemusnahannya.


(12)

IV. KESIMPULAN

Masalah biaya eksternal yang selalu ada dalam perekonomian dan pembangunan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah karena umumnya pihak produsen tidak mampu atau tidak mau memikirkannya dan memasukannya dalam biaya proses produksi dan usahanya, sehingga pihak masyarakatlah seringkali yang dirugikan.

Keinginan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dimulai dari ketulusan melakukan komitmen (political will) yang murni dan kemauan untuk melaksanakan prinsip-prinslp ekonomi lingkungan serta konsistensi untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.


(13)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. 1992. Ekologi Manusia den Konsep Ekonomi Kebijaksanaan Industrialisasi Dalam Prosiding Seminar Pendekatan Ekologi Manusia dalam Menyongsong Era Industrialisasi Menjelang PJPT II, Jakarta. Desember 1992. Komphalindo. Jakarta. Salim. E. 1993 . Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.

Soemarwoto, O. 1955. Ekonomi Berwawasan Lingkungan. Kompas 12 Juni 1959. Halaman 4-5.

Soerjani, M.,R. Ahmad & R. Munir (editor). 1981. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.

Suparmoko, M. 1959 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PAU-Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Turner. R.K., D. Pearce & I. Bateman. 1994. Environmental Economics An Elementary

Introduction. Harvester Wheatsheaf. New York.


(1)

III. PEMBAHASAN

A. Memperkirakan Biaya Pencemaran

Biaya pencemaran yang tidak dapat diukur dengan mudah disebut intangible cost atau

non pecuniary cost, seperti asap yang memedaskan mata, limbah I sungai yang mematikan

banyak ikan. Salah satu cara untuk menentukan biaya pencemaran adalah dengan melihat tingkat harga, tetapi bila tidak dapat secara langsung mengetahui harga pasar untuk kerugian karena polusi, maka harus ditemukan cara lain, yakni menggunakan harga barang lain seperti berapa nilai udara bersih dan nilai air yang bersih dengan cara melihat kesediaan membayar bagi pengurangan pencemaran itu. Apabila kita telah mengetahui berapa nilai hilangnya pencemaran untuk setiap orang, maka kita dapat menjumlahkannya untuk memperoleh perkiraan biaya marginal dari pencemaran itu.

Cara lain adalah dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran apakah dengan mensubsidi pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran atau subsidi untuk mengganti kerugian bila diadakan penekanan volume pencemaran di bawah standar yang diijinkan.

B. Pembatasan Secara Sah Terhadap Hak Penguasaan

Dalam hal ini Siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya sosial akhirnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya secara legal, contoh : sebuah pabrik yang membuang limbah ke udara, air, lautan dan pabrik tersebut tidak mengeluarkan biaya apa-apa untuk pembuangan limbah tersebut dan bila limbah yang dibuang tersebut tidak menimbulkan dampak yang merugikan kepada siapapun berarti biaya swasta dan biaya sosial identik dengan nol dan keputusan produsen secara perorangan (swasta) tidak efisien secara sosial. Namun, bila pembuangan limbah tidak sama dengan nol maka biaya sosial tidak lama dengan nol Biaya swsata dan biaya sosial tidak sama dengan dengan keputusan swasta untuk memaksimumkan keuntungan menjadi tidak efisien dalam arti sosial. Misalnya, pabrik semen yang menghamburkan debu ke udara dan mengganggu penduduk sekitarnya, tetapi produsen tersebut tidak membayar apa-apa ke penduduk maupun


(2)

masyarakat akan menghadapi harga semen terlalu rendah dan menggunakannya secara berlebihan karena tidak memasukkan biaya sosial dalam perhitungan biaya perusahaan.

C. Harga Sebagai Refleksi dari Struktur Intensif

Aplikasi mekanisme pasar dalam konsep pembangunan berkelanjutan menuntut perubahan dalam sistem penetapan harga. Perubahan ini mensyaratkan perhitungan eksternalitas dalam negatif dari suatu kegiatan ekonomi dimasukkan sebagai biaya dalam perhitungan bisnis. Penggunaan konsep ini juga menuntut konsumen untuk dapat menerima biaya ekternalitas itu sebagai bagian dari harga barang yang harus dibayar, serta meminta konsumen untuk menghargai rente ekonomi yang mencerminkan nilai kelangkaan sumberdaya yang dihasilkan melalui proses akumulasi alami. Rente ekonomi itu sendiri harus direinvestasikan untuk pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya alam, atau untuk menghasilkan suatu kapasitas produktif baru yang euivalen dengan jenis nilai yang hilang dari suatu sumberdaya tak terbarukan (unrenwable) yang terpakai.

Karena itu stategi penetapan harga yang ideal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan harus memasukkan nilai kelangkaan alami dan nilai ekternalitas dari suatu harga sebagai tambahan biaya faktor produksi. Kekeliruan dalam penetapan harga sumberdaya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang menurunkan kualitas lingkungan akan menjadi insentif yang menyesatkan dan mengarahkan manusia pada pemborosan sumberdaya dan perusakan lingkungan. Dalam perspektif untung rugi ini, pajak dan subsidi merupakan dua instrumen yang paling tidak distortif sifatnya untuk memperbaiki harga (to get the price

right).

Dan sudut ekonomi, penggunaan pendekatan sistemik dalam pembangunan berkelanjutan menjadi konsep intervensi kebijakan yang optimal. Pasar tidak dapat diandalkan mengoreksi masalah ketidaksempurnaan sendiri. Adanya fenomena eksternalitas dan barang publik, misalnya fungsi ekologis lingkungan; karena inheren menyebabkan kegagalan mekanisme pasar bebas. Karena itulah kita memerlukan intervensi kebijakan untuk mengoreksi ketidaksempurnaan itu melalui mekanisme pajak dan subsidi.


(3)

D. Contuh Kasus HTI : Sebuah ilusi tentang Kebijakan yang Mendukung Keberlanjutan

Semua pihak tentu sepakat dan mendukung kebijakan pemerintah dalam pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) yang bertujuan mendukung industri kayu dan kertas, serta menunjang kelestarian hutan alam Indonesia. Agaknya karena itulah pemerintah mensponsori pembangunan HTI dengan memberikan berbagai insentif. Jika dicermati, benarkah kebijakan itu dapat mendukung kelestarian hutan alam atau bersifat

pro-sustainable ?

Teori ekonomi mengungkapkan bahwa produsen akan mencari substitusi jika bahan baku yang biasa dipergunakan menjadi lebih mahal. Tidak masuk akal bagi perusahaan untuk mencari bahan baku alternatif selama bahan baku yang biasa dipergunakan masih sangat murah harganya. Prinsip ini berlaku juga pada kayu alam menjadi bahan baku utama industri kayu. Selama harga kayu alam masih sangat murah, tidak terdapat insentif ekonomi yang murni untuk memproduksi bahan baku alternatif dengan membangun HTI. Bagi pengusaha, kayu dari HTI pasti lebih mahal dibanding dari kayu hutan alam, karena harus dihasilkan dari proses investasi jangka panjang. Karena itu sukar mengharapkan HTI terwujud seperti yang dicita-citakan pemerintah, betapapun banyak insentif yang ditawarkan untuk pengembangannya.

Teori ekonomi menyebutkan, jika ada pengusaha yang membangun HTI mungkin saja untuk tujuan lobi, public relation, dan menikmati insentif yang ditawarkan terutama dana murah yang tentu saja selalu dapat dialihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Untuk pembangunan dan mengembangkan HTI, pemerintah memberikan tiga macam insentif yang sangat memikat. Pertama, penyertaan dana pemerintah dalam unit HTI dan kesempatan memperoleh pinjaman dengan suku bunga 0 %. Secara keseluruhan sebuah HTI berhak mendapatkan dana gratis sebesar 46 % dari total aset perusahaan tersebut. Kedua, rabat dari jumlah kewajiban pajak bumi dan bangunan yang dikenakan atas wilayah HTI yang luas ekonominya ditentukan secara resmi sebesar 300.000 ha untuk HTI pulp dan 60.000 ha untuk HTI kayu gelondongan. Untuk memenuhi skala ekonomis resmi wilayah HTI seperti ini memberi kemungkinan bagi perusahaan status atau konversi dari berbagai


(4)

Kasus perubahan status sebagian kawasan Taman Nasional Plehairi menjadi kawasan HTI merupakan salah satu contoh implementasi peraturan pemerintah ini.

Ketiga, dalam pelaksanaan pemberian HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

Industri) pemerintah juga memberi kesempatan bagi konversi kawasan HPH yang sudah rusak menjadi HPHTI. Dengan praktek ini, pengusaha HPH yang tidak menjalankan kewajibannya melakukan penanaman kembali (replanting) dan pengayaan kembali (enrichment planting) atas biaya sendiri di samping kewajiban membayar Dana Reboisasi mendapat kesempatan untuk mengkonversi wilayahnya menjadi HTI dan menanaminya kembali atas biaya negara.

Berdasrkan hal tersebut, menurut perhitungan pengusaha HPH yang rasional akan mengarahkannya untuk mempercepat pengundulan HPH-nya, berusaha mengubah statusnya menjadi HTI, memenuhi kewajiban minimum dan mencairkan dana gratis yang ditawarkan. Bahkan hutan lindung yang ada dapat dikonversi menjadi HTI.

Skenario lainnya yang sangat mungkin adalah pengusaha akan meminta HPHTI di kawasan hutan alam yang masih perawan (Irian Jaya misalnya) dengan mengatakan bahwa tujuannya adalah membangun pabrik kertas. Kemudiaan, pengusaha tersebut akan membabat hutan alam yang ada untuk meperoleh keuntungan dari kayu yang sudah tersedia dan hanya akan membangun pabriknya jika pelaksanaan untuk itu tidak lagi dapat dihindarkan. Bahkan jika izin investasinya dicabut pun, pengusaha tersebut telah menikmati keuntungan dari penebangan kayu alam dari kawasan HPHTI-nya plus dana gratis 46 % dari modal HTI yang mungkin sudah dicairkan.

Studi kasus di atas menunjukkan bahwa insentif yang tidak tepat bukan hanya menghambat pencapaian tujuan keberlanjutan, bahkan memperkuat ancaman terjadinya ketidak-berlanjutan dalam proses pembangunan. Hal ini menunjukkan bagaimana harga dan insentif yang salah mendorong terjadinya pemborosan sumberdaya dan bagaimana insentif yang benar tapi dalam setting pasar yang salah bekerja melawan tujuan kesinambungan pembangunan. Dalam kasus HTI, seluruh insentif yang secara resmi ditunjukkan untuk mendukung keberlanjutan hutan alam berubah menjadi insentif untuk mempercepat kemusnahannya.


(5)

IV. KESIMPULAN

Masalah biaya eksternal yang selalu ada dalam perekonomian dan pembangunan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah karena umumnya pihak produsen tidak mampu atau tidak mau memikirkannya dan memasukannya dalam biaya proses produksi dan usahanya, sehingga pihak masyarakatlah seringkali yang dirugikan.

Keinginan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dimulai dari ketulusan melakukan komitmen (political will) yang murni dan kemauan untuk melaksanakan prinsip-prinslp ekonomi lingkungan serta konsistensi untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. 1992. Ekologi Manusia den Konsep Ekonomi Kebijaksanaan Industrialisasi Dalam Prosiding Seminar Pendekatan Ekologi Manusia dalam Menyongsong Era Industrialisasi Menjelang PJPT II, Jakarta. Desember 1992. Komphalindo. Jakarta. Salim. E. 1993 . Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.

Soemarwoto, O. 1955. Ekonomi Berwawasan Lingkungan. Kompas 12 Juni 1959. Halaman 4-5.

Soerjani, M.,R. Ahmad & R. Munir (editor). 1981. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.

Suparmoko, M. 1959 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PAU-Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Turner. R.K., D. Pearce & I. Bateman. 1994. Environmental Economics An Elementary

Introduction. Harvester Wheatsheaf. New York.