Pure Theory of Law : Sebuah Jalan Tengah Antinomi Yurisprudensi

BASIS EPISTEMOLOGIS PURE THEORY OF LAW HANS KELSEN

BAB I PURE THEORY OF LAW : SEBUAH DESKRIPSI

A. Pure Theory of Law : Sebuah Jalan Tengah Antinomi Yurisprudensi

Pure Theory of Law sebagai sebuah teori yang dibentuk dan dikembangkan oleh Hans Kelsen, terbangun dalam rentang waktu relative lama 1911-1973. Berkembang secara evolutif dan dinamis, mengikuti aneka respon secara internal maupun eksternal yang muncul. Hans kelsen berupaya melakukan purify pemurnian tentang teori hokum dalam 3 hal, yaitu : 1. Pemurnian terhadap obyek teori hokum. Menurut Kelsen teori murni akan memberikan cirri tersendiri sebgai sebuah teori hokum “murni” karena kognisi hokum, selain difokuskan pada hokum itu dari kognisi yang bukan termasuk obyek kognisi.Jadi yang jadi obyek satu-satunya dari kognisi hokum adalah norma. 2. pemurnian tujuan dan uang ling teori Kelsen. Teori hokum murni memiliki kecenderungan : a. Dengan menempatkan hokum positif sebagaihukum yang bebas dari percampuran dengan dengan hokum yang right benar atau ideal. b. teori hokum murni bertujuan untuk menggmbarkan hokum sebagai mana adanya, tanpa mengabsahkan hokum itu sebagai adil atau membatalkan hokum karena tidak adil. 3. pemurnian terhadap metodologi teori hokum. Dalam hal ini kelsen berupaya menghindari terjaadinya sinkretisme metodologi, terutama sinkrestisme metodologi antara sosiologi dengan teori hokum. Pure Theory of law dari Hans kelsen secara epistemologis, dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1. Pure Theory of Law : aspek ontology Secara ontologism Kelsen mengatakan bahwa, yang menjadi objek dari kognisi ilmu hokum adalam hokum. Meskipun hans Kelsen menyebutkan secara tegas , bahwa kognisi dari ilmu hokum adalah norma, akan tetapi bagi Hans Kelsen norma yang dimaksudkan adalah norma dengan karakter yang khas sebagai berikut ; a. Norma Hukum sebagai makna tindakan berkehendak. b. Norma hokum, sebagai norma moral relative yang berkarakter normative. 2. Aspek epistemology dari Pure Theory of Law Ilmu Hukum menunjukkan penafsiran normative atas objeknya dengan memahami perilaku manusia yang merupakan isi –dari dan ditentukan oleh- norma hokum. Menurut maknanya norma hokum adalah perintah, pemberian izin, atau wewenang, namun ia tidak mengajarkan apapun. Ilmu hokum berfungsi untuk menegtahui dan menjelaskan norma-norma hokum, serta hubungan –yang ditetapkan oleh norma- antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma. Untuk dapat melakukan itu, maka masyarakat harus dipahami sebagai sebuah tatanan norma perilaku manusia. Dan hokum merupakan tatanan normative dari perilaku timbale balik. Bedasarkan deskripsi diatas maka dapatlah diketahui bahwa tujuan dari ilmu hukum adalah untuk : a. Mengetahui hokum yang berlaku terhadap suatu perilaku peristiwa kongkrit tertentu. Tujuan dari ilmu hukum adalah menunjukan dan menetapkan norma hukum yang beralaku terhadap suatu perilaku atau peristiwa kongkret tertentu. Sistem norma dapat dibedakan dua jenis berbeda menurut jenis norma dasarnya yaitu :  Norma norma jenispertama adalah norma yang sah berdasarkan substansinya yaitu perilaku manusia yang diteteapkan berdasarkan norma ini di anggap wajib karna muatan norma tersebut memiliki kualitas yang sangat jelas yang mengesahkan norma norma tersebut.  Norma norma jenis kedua yaitu norma hukum yang tidak sah berdasarkan substansinya muatannya . Dalam hal ini muatan apapun bisa menjadi hukum semua perilaku manusia yang dijadikan muatan sebuah norma hukum hanya berdasarkan substansinya. norma norma sistem hukum tersebut. Norma khusus harus diciptakan melalui sebuah cara khusus yang menetapkan atau mengeluarkannya. Norma dasar hanyalah pernyataan tentang perkiraan penting semua pemahaman data hukum positivistic. Norma dasar dasar sah bukan sebagai norma hukkum positif karena norma tersebut tidak diciptakan melalui proses hukum tidak diteteapkan atau dikelauarkan tetapi sebagai kondisi disyaratkan untuk semua pembuatan hukum pada setiap hukum positif. b. Menjelaskan hokum yang diberlakukan terhadap perilakuperistiwa factual-kongkrit. Aturan hukum perisis dengan hukum alam mengaitkan dua hal. Namun hubungan yang di ungkapkan oleh aturan hukum memiliki makna yang sepenuhnya berbeda dari hunungan kausalitas dalam hukum alam. Imputasi mendasar pada prinsip pada kondisi tertentu, konsekuensi tertentu semestinya terjadi dengan perkataan lain : jika hubungan antar fakta fakta yang di ciptakan dalam norma hukum sebagai kondisi dan konsekuensi di ungkapkan dengan kata ‘mestinya’, dengan pengertian yang berbeda pada umumnya. Kata ‘mestinya’ dalam aturan hukum dalam aturan hukum, mengacu pada ketiga fungsi normative. Kata ‘semestinya’ ini hanya mengungkapkan makna khusus dimana kedua fakta itu dihubungkan dikaitkan oleh sebuah norma hukum, yang berarti dalam di dalam norma hukum. Dengan kata lain hans kelsen melihat imputasi peripheral sebagai hubungan noarmatif secara khusus antara fakta material sebagai kondisidelik dan fakta material yang lain sebagai konsekuensi sanksi . Hubungan ini mengungkaplan fungsi imputisi bahwa hukuman kepada delik, dan eksekusi hak gadai pada fakta material tindakan perdata yang tidak sah mempunyai makna normative bukan makna kasual. Hubungan antara kondisi dan konsekuensi yang di ungkapkan dengan kata ‘harusnya’ dalam ilmu hukum disebut ‘imputasi’ konsep imputasi tersirat dalam konsep ‘pertanggung jawaban’. Pertsnggung jawaban seseorang individu atas perbuatannya bermakna bahwa : dia bisa dihukum atas perbuatan ini, dan bila ia dinyatakan tidak bertanggung jawab, ini berarti ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang sama. Dalam konsep pertanggung jawaban bukan merupakan kaitan antara perbuatan tertentu dengan seorang antara kualitas dan imputasi : pertama ada pada fakta bahwa hubungan antara kondisi sebagai penyebab dan konsekuensi sebagai akibat yang dijabarkan dalam hukum alam tidak di munculkan oleh norma norma yang dibuat manusia. Kedua, tiap penyebab konkrit harus dianggap sebagai akibat dari penyebab lain dan tiap akibat konkrit seabagai penyebab dari akibat lain, sampai rangkaian sebab akibat ini tidak berujung pangkal dan ini sesuai dengan esensi kualitas. 3. Aspek aksiologi dari Pure Theory of Law Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskanmemurnikan ilmu hokum dari anasir- anasir asing yang selama ini secara langsung ataupun tidak langsung yang seringkali terakomodasi di ilmu hokum “tradisional”. Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan hans Kelsen memberi ciri sebagai teori hokum murni kaena mengarahkan kognisi hanya pada hokum itu sendiri. Norma hokum sebagai norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hokum akan menjadi bagian dari moralitas kepada, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan standard moralitas kepada hokum. Keadilan bagi Kelsen adalah kesesuaian dengan hokum positif. Jika suatu norma umum diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang muncul maka dikatakan “tidak adil”, ketidakadilan yang terlepas dari berbagai pertimbangan moral dan nilai norma umum tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relative dengan sebuah norma; adil adalah kata lain dari sah. Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap abash atau berlaku secara obyektif, berfungsi sebagai standard nilai yang diterapkan pada perilaku actual. Pertimbangan Nilai harus dibedakan dengan nilai yang membentuk norma tersebut. Pertimbangan nilai bias benar atau salah karena ia mengacu pada sebuah norma dari sebuah system yang berlaku.namun sebuah norma tidak bias dinyatakan benar atau salah, ia hanya bias dinyatakan berlaku atau tidak berlaku. Sebagai fungsi pengetahuan, pertimbangan apapun harus obyektif yakni ia harus dilakukan tanap memperdulikan keinginan individu yang mempertimbangkannya, tanpa memperhatikan apakah dirinya stuju atau tidak dengan hasil pertimbangan tersebut. Oleh karena itu kelsen membedkan antara : a pertimbangan nilai yang menetapkan nilai obyektif , yang menjelaskan hubungan antara suatu perilaku dan sebuah norma yang dianggap berlaku obyektif dan yang berbeda secara mendasar dari pertimbangan tentang realita, dan b pertimbangan nilai yang menetapkan nilai subyektif, dengan menjelaskan hubungan antara sebuah obyek itu dan kebalikannya secara khusus menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu. Berdasarkan deskripsi diatas, dapatlah diketahui bahwa melalui pemurnian yang dilakukan, maka norma-norma sebagai objek kognisi hokum tidak diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai moral absolute keadilan ataupun “sekedar” mengakui dan mewjudkan nilai-nilai yang terbentuk dari perilaku- perilaku yang terpolakan sebagai perilaku hokum kemanfaatan, akan tetapi berupaya mewweujudkan nilai-nilai yang ditetepakan didalam norma hokum itu sendiri kepastian hokum.

BAB II PURE THEORY OF LAW: