RESUME BUKU PARADIGMA RASIONAL DALAM ILM

(1)

RESUME BUKU PARADIGMA RASIONAL DALAM

ILMU HUKUM: BASIS EPISTEMOLOGIS PURE

THEORY OF LAW HANS KELSEN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Dosen : Kelik Wardiono S.H., M.H.

Penyusun :

Dicky Putra Arumawan C100120150/ E

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta 2015


(2)

PARADIGMA RASIONAL DALAM ILMU HUKUM

BASIS EPISTEMOLOGIS

PURE THEORY OF LAW

HANS

KELSEN

BAB I

PURE THEORY OF LAW

: SEBUAH DESKRIPSI

A. Pure Theory of Law : Sebuah Jalan Tengah Antinomi Yurisprudensi

Pure Theory of Law sebagai sebuah teori yang dibentuk dan dikembangkan oleh Hans Kelsen, terbangun dalam rentang waktu relative lama (1911-1973). Berkembang secara evolutif dan dinamis, mengikuti aneka respon secara internal maupun eksternal yang muncul.

Hans kelsen berupaya melakukan purify (pemurnian) tentang teori hokum dalam 3 hal, yaitu : 1. Pemurnian terhadap obyek teori hokum.

Menurut Kelsen teori murni akan memberikan cirri tersendiri sebgai sebuah teori hokum “murni” karena kognisi hokum, selain difokuskan pada hokum itu dari kognisi yang bukan termasuk obyek kognisi.Jadi yang jadi obyek satu-satunya dari kognisi hokum adalah norma.

2. pemurnian tujuan dan uang ling teori Kelsen. Teori hokum murni memiliki kecenderungan :

a. Dengan menempatkan hokum positif sebagaihukum yang bebas dari percampuran dengan dengan hokum yang right (benar) atau ideal.

b. teori hokum murni bertujuan untuk menggmbarkan hokum sebagai mana adanya, tanpa mengabsahkan hokum itu sebagai adil atau membatalkan hokum karena tidak adil.

3. pemurnian terhadap metodologi teori hokum.

Dalam hal ini kelsen berupaya menghindari terjaadinya sinkretisme metodologi, terutama sinkrestisme metodologi antara sosiologi dengan teori hokum.


(3)

B. Pure theory of Law : Aspek –aspek Epistemologis

Pure Theory of law dari Hans kelsen secara epistemologis, dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1. Pure Theory of Law : aspek ontology

Secara ontologism Kelsen mengatakan bahwa, yang menjadi objek dari kognisi ilmu hokum adalam hokum. Meskipun hans Kelsen menyebutkan secara tegas , bahwa kognisi dari ilmu hokum adalah norma, akan tetapi bagi Hans Kelsen norma yang dimaksudkan adalah norma dengan karakter yang khas sebagai berikut ;

a. Norma Hukum sebagai makna tindakan berkehendak.

b. Norma hokum, sebagai norma moral relative yang berkarakter normative. 2. Aspek epistemology dari Pure Theory of Law

Ilmu Hukum menunjukkan penafsiran normative atas objeknya dengan memahami perilaku manusia yang merupakan isi –dari dan ditentukan oleh- norma hokum. Menurut maknanya norma hokum adalah perintah, pemberian izin, atau wewenang, namun ia tidak mengajarkan apapun. Ilmu hokum berfungsi untuk menegtahui dan menjelaskan norma-norma hokum, serta hubungan –yang ditetapkan oleh norma- antara fakta-fakta yang ditetapkan oleh norma. Untuk dapat melakukan itu, maka masyarakat harus dipahami sebagai sebuah tatanan norma perilaku manusia. Dan hokum merupakan tatanan normative dari perilaku timbale balik.

Bedasarkan deskripsi diatas maka dapatlah diketahui bahwa tujuan dari ilmu hukum adalah untuk : a. Mengetahui hokum yang berlaku terhadap suatu perilaku/ peristiwa kongkrit tertentu.

Tujuan dari ilmu hukum adalah menunjukan dan menetapkan norma hukum yang beralaku terhadap suatu perilaku atau peristiwa kongkret tertentu. Sistem norma dapat dibedakan dua jenis berbeda menurut jenis norma dasarnya yaitu :

 Norma norma jenispertama adalah norma yang sah berdasarkan

substansinya yaitu perilaku manusia yang diteteapkan berdasarkan norma ini di anggap wajib karna muatan norma tersebut memiliki kualitas yang sangat jelas yang mengesahkan norma norma tersebut.

 Norma norma jenis kedua yaitu norma hukum yang tidak sah berdasarkan substansinya ( muatannya ). Dalam hal ini muatan apapun bisa menjadi hukum semua perilaku manusia yang dijadikan muatan sebuah norma hukum hanya berdasarkan substansinya.


(4)

Norma dasar hukum posotif hanyalah aturan dasar yang menciptakan norma norma sistem hukum tersebut. Norma khusus harus diciptakan melalui sebuah cara khusus yang menetapkan atau mengeluarkannya. Norma dasar hanyalah pernyataan tentang perkiraan penting semua pemahaman data hukum positivistic. Norma dasar dasar sah bukan sebagai norma hukkum positif karena norma tersebut tidak diciptakan melalui proses hukum tidak diteteapkan atau dikelauarkan tetapi sebagai kondisi disyaratkan untuk semua pembuatan hukum pada setiap hukum positif.

b. Menjelaskan hokum yang diberlakukan terhadap perilaku/peristiwa factual-kongkrit.

Aturan hukum perisis dengan hukum alam mengaitkan dua hal. Namun hubungan yang di ungkapkan oleh aturan hukum memiliki makna yang sepenuhnya berbeda dari hunungan kausalitas dalam hukum alam. Imputasi mendasar pada prinsip pada kondisi tertentu, konsekuensi tertentu semestinya terjadi dengan perkataan lain : jika hubungan antar fakta fakta yang di ciptakan dalam norma hukum sebagai kondisi dan konsekuensi di ungkapkan dengan kata ‘mestinya’, dengan pengertian yang berbeda pada umumnya. Kata ‘mestinya’ dalam aturan hukum dalam aturan hukum, mengacu pada ketiga fungsi normative. Kata ‘semestinya’ ini hanya mengungkapkan makna khusus dimana kedua fakta itu dihubungkan dikaitkan oleh sebuah norma hukum, yang berarti dalam di dalam norma hukum. Dengan kata lain hans kelsen melihat imputasi peripheral sebagai hubungan noarmatif secara khusus antara fakta material sebagai kondisi(delik) dan fakta material yang lain sebagai konsekuensi ( sanksi ). Hubungan ini mengungkaplan fungsi imputisi bahwa hukuman kepada delik, dan eksekusi hak gadai pada fakta material tindakan perdata yang tidak sah mempunyai makna normative bukan makna kasual.

Hubungan antara kondisi dan konsekuensi yang di ungkapkan dengan kata ‘harusnya’ dalam ilmu hukum disebut ‘imputasi’ konsep imputasi tersirat dalam konsep ‘pertanggung jawaban’. Pertsnggung jawaban seseorang individu atas perbuatannya bermakna bahwa : dia bisa dihukum atas perbuatan ini, dan bila ia dinyatakan tidak bertanggung jawab, ini berarti ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang sama. Dalam konsep pertanggung jawaban bukan merupakan kaitan antara perbuatan tertentu dengan seorang


(5)

individu yang berbuat, akan tetapi antara perbuatan dan sanksi. Perbedaan antara kualitas dan imputasi : pertama ada pada fakta bahwa hubungan antara kondisi sebagai penyebab dan konsekuensi sebagai akibat yang dijabarkan dalam hukum alam tidak di munculkan oleh norma norma yang dibuat manusia.

Kedua, tiap penyebab konkrit harus dianggap sebagai akibat dari penyebab lain dan tiap akibat konkrit seabagai penyebab dari akibat lain, sampai rangkaian sebab akibat ini tidak berujung pangkal dan ini sesuai dengan esensi kualitas.

3. Aspek aksiologi dari Pure Theory of Law

Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskan/memurnikan ilmu hokum dari anasir-anasir asing yang selama ini secara langsung ataupun tidak langsung yang seringkali terakomodasi di ilmu hokum “tradisional”. Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan hans Kelsen memberi ciri sebagai teori hokum murni kaena mengarahkan kognisi hanya pada hokum itu sendiri. Norma hokum sebagai norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hokum akan menjadi bagian dari moralitas kepada, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan standard moralitas kepada hokum.

Keadilan bagi Kelsen adalah kesesuaian dengan hokum positif. Jika suatu norma umum diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang muncul maka dikatakan “tidak adil”, ketidakadilan yang terlepas dari berbagai pertimbangan moral dan nilai norma umum tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relative dengan sebuah norma; adil adalah kata lain dari sah. Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap abash atau berlaku secara obyektif, berfungsi sebagai standard nilai yang diterapkan pada perilaku actual.

Pertimbangan Nilai harus dibedakan dengan nilai yang membentuk norma tersebut. Pertimbangan nilai bias benar atau salah karena ia mengacu pada sebuah norma dari sebuah system yang berlaku.namun sebuah norma tidak bias dinyatakan benar atau salah, ia hanya bias dinyatakan berlaku atau tidak berlaku. Sebagai fungsi pengetahuan, pertimbangan apapun harus obyektif yakni ia harus dilakukan tanap memperdulikan keinginan individu yang mempertimbangkannya, tanpa memperhatikan apakah dirinya stuju atau tidak dengan hasil pertimbangan tersebut. Oleh karena itu kelsen membedkan antara : (a) pertimbangan nilai yang menetapkan nilai obyektif , yang menjelaskan hubungan antara suatu perilaku dan sebuah norma yang dianggap berlaku obyektif dan yang berbeda secara mendasar dari pertimbangan tentang realita, dan (b) pertimbangan nilai yang menetapkan nilai subyektif, dengan menjelaskan hubungan antara sebuah obyek


(6)

( khususnya suatu perilaku) dan fakta bahwa seorang individu atau beberapa individu menginginkan obyek itu dan kebalikannya (secara khusus menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu).

Berdasarkan deskripsi diatas, dapatlah diketahui bahwa melalui pemurnian yang dilakukan, maka norma-norma sebagai objek kognisi hokum tidak diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai moral absolute (keadilan) ataupun “sekedar” mengakui dan mewjudkan nilai-nilai yang terbentuk dari perilaku- perilaku yang terpolakan sebagai perilaku hokum (kemanfaatan), akan tetapi berupaya mewweujudkan nilai-nilai yang ditetepakan didalam norma hokum itu sendiri (kepastian hokum).

BAB II

PURE THEORY OF LAW:

BASIS EPISTEMOLOGI BERKARAKTER DUALISME KRITIS

A. Basis Epistemologi: Sebuah Pengantar

Dalam sebuah paradigm, basis epistemologi – meskipun keberadaannya seringkali tidak disadari – merupakan bagian yang realtif penting dibandingkan unsure-unsur yang lain, karena unsure-unsur paradigm yang terdiri dari: asumsi,nilai/etos dan model, yang membentuk basis epistemology, merupakan isi epistemology dan menjadi dasar dari sebuah paradigm.

Hans Kelsen menawarkan sebuah basis epistemology “baru”di dalam ilmu hokum, yang menurutnya sbuah jalan tengah diantara 2 mainstream ilmu (filsafat) hokum, yaitu teori hokum alam dan teori hokum empiris-positivistik. Teori hokum alam lebih merujuk pada dualisme metafisik – religious pesimistik, dan teori hokum empiris-positivistik, yang lebih bersandar pada dualisme metafisik-religius positivistic. Sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya tipe ketiga, sebagai jalan tengah antara dualism pesimistik dan optimistic.

B.Asumsi asumsi atau anggapan anggapan dasar ( basic assumptions) Pure Theory of Law 1) Asumsi tentang manusia

Asumsi dasar tentang manusia ini akan memberikan petunjuk tentang bagaimana kedudukannya manusia dihadapan Allah SWT, dirinya sendiri, sesame manusia dan alam semesta, potensi potensi apakah yang dimiliiki manusia untuk dapat dipahami kedudukannya dihadapan Allah SWT,manusia dan alam semesta Adapun karakterisitik dari manusia ilmiah kritis, menurut hans kelsen adalah sebagai berikut:


(7)

Pertama, manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia quasi-transendental. Manusia ini selalu merindukan keseimbangan (keadaan jiwa),sehingga manusia memiliki pendulum spiritual yang kurang stabil, yang dengan mudah bergerak dari arah satu kea rah yang lain.

Kedua, manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia aurea aetas. Ini bukanlah ekspresi dari mimpi mimpi yang tidak mengandung harapan dan bukan pula ekspresi kebahagiaan duniawi yang telah lama hilang, yaitu mewujudkan masa silam ketika dewa dewa berjalan di daerah umat manusia atau berbicara langsung dengan manusia, yaitu dunia aurea aetas.

2) Asumsi ontologis

a) Realitas adalah realitas empiris yang di dukung oleh realitas transcendental

Dunia adalah seperti apa yang tampak dimata kita, karena bagi kita tidak ada dan tidak aka nada di dunia lain.filsafat bagi hans kelsen dipandang sebagai sains yang menolak dualism metafisik yaitu pernyataan apapun tentang objek yang berada di luar pengamatan. Sesuatu yang didalam dirinya sendiri itu bukan merupakan ‘realitas’ transenden, tapi sebuah kebantuan dalam proses pengamatan yang ‘tidak terbatas’. Ia sekedar ‘fenomena’ serta mengambil realitas dari dunia diluar kehidupandunia ini.

b) Realitas terbagi dua: yaitu realitas seharusnya( sollen ought) dan senyatanya ( sein is) dan merupakan realitas yang sederajat

Sollen dan sein merupakan kategori puncak yang bersifat fundamental bagi penjelasan terhadap segala sesuatu yang lainnya sehingga dua dunia ini dipisahkan oleh jurang yang tidak bisa terjembatani secara epistemology. Dunia sollen sejajar dengan dunia sein. Hubungan yang ‘seharusnya’ (sollen0 dengan yang ‘senyatanya’ (sein) bukan sekedar menunjukan relasi bahwa yang ‘senyatanya’ berkesesuaian dengan ‘seharusnya’

c) Normativitas sollen merupakan kondisi logika transcendental

Meskipun sollen termasuk dunia normative sksn tetapi nomativitas sollen bukanlah alam transenden sebagaimana yang diklaim sebagai ada menurut hukum kodrat

3) Asumsi epistimologis

a. ilmu hukum sebagai ilmu kognitif yang bersifat konstitutif

Bahwa tugas ilmu hukum bukanlah membentuk hukum praktis, karena itu merupakan kewenangan yudikatif , legislative, dan eksekutif. Yugas ilmu hukum dengan menggunakan kognisi adalah mewujudkan struktur norma hukum yang ‘direkonstruksi’ atau di rumuskan secara hipotesis.

b. norma hukum merupakan suatu kesatuan objek kognisi yang mandiri yang bermakna(otonom)

norma yang mereprentasikan alasan keabsahan norma lain oleh hans kelsen disebut ‘norma yang lebih tinggi’ namun pencarian keabsahan terhadap norma tersebut tidaklah tanpa henti , pencarian tersebut harus berujung pada sebuah norma yang di andaikan sebagai yang terakhir dan tertinggi. Ia mesti diandaikan karena ia tidak bisa di’dalilkan’yakni diciptakan otoritas yang kompetensinya harus bersandar pada norma yang lebih tinggi c. norma hukum yang direkonstruksi terbentuk dari relasi antara fakta fakta materialyang bersifat non kausal dan non metafisikal


(8)

kelsen berpendapat bahwa dengan imputasi memungkinkan satu fakta material yang bisa di serap oleh indera dihubungkan dengan fakta material lainna, bukan secara kausal tetapi secara normative dengan memberikan ‘ interpretasi normatif’ terhadap fakta fakta material.

4) Asumsi aksiologi

 Setiap ilmu harus memiliki objeknya sendiri, dan objek ilmu hukumadalah norma yang direkonstruksi Melalui kontruktivisme, kelsen berupaya ‘memurnikan’ konstruksi konstruksi pokok dalam ilmu hukum tradisional jerman.dalam kritiknya terhadap teori kehendak kelsen secara tegas menyatakan bahwa hukum adalah norma dan bukan kemauan atau kehendak. Melalui doktrin dualisme metodologis yang diperluas konsep ‘kemurnian’, dilakukan dengan cara menghindari terjadinya penyatuan atau kombinasi yang tidak sah dari berbagai metode kognisi yang berbeda. Melalui doktrin konstruktivisme dan methodological dualism inilah kelsen menyelamatkan kemurnian teori atau independensi hukum sebagai satu obyek ilmiah terutama dari dua arah sinkretisme metodologis. Sebagai ilmu pengetahuan kasual memiliki karakter hukum yang berbeda darin teori hukum yang termasuk ilmu ilmu pengetahuan normative.

 Norma dasar memiliki kualitas yang sama dan sederajad dengan hukum alam

Ide keadilan dari dpktrin hukum alam yang pada dasarnya merupakan gagasan etis akan berubah menjadi gagasan logis ketika diterapkan dalam sistem hukum positif yang logis, agar kesatuan sistem tidak rusak. Ilmu pengetahuan tidak mampu dan karenanya tidak berhak memberikan putusan putusan nilai.

C. Nilai-Nilai Dasar Pure Theory of Law 1.Nilai tentang manusia

 Humanism manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia manusia yang bersandar pada kemampuan indera berikut penalaranya

 Optimis/ idealis manusia memiliki kepercayaan yang besar terhadap kemampuan panca indera dan penalarannya.

 Pragmatis dunia yang ada sekarang ini harus diterima sebagai kondisi yang terbaik. Dunia yang merupakan symbol penghibur dari rekonsiliasi duniawi dan surgawi

2.Nilai dasar ontologis

 Sekualrisme bahwa dunia dapat dia amati dan dunia yang berada diluar pengamatan inderawi

 Relativisme hukum sebagai salah satu tatanan social harus memiliki kemampuan untuk mengakomodasi pemberlakuan berbagai tatanan ,oral

 Otonom sebagai konsekuensi dari pendirian kelsen yang berpendapat bahwa sollen dan sein adalah dunia meskipun berada dan tidak dapat disatukan

 Rasional yang dimaksud dengan dunia adalah apa yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dapat dipahami oleh rasio


(9)

3.Nilai dasar aspek epistemology daripure theory of law

 Rasional manusia yang dapat berpikir secara rasional adalah manusia yang dapat menghargai dirinya sendiri sebagai manusia tanpa menyadari keterbatasannya

 Obyektif pertimbangan apapun harus obyektif yakni ia harus dilakukan tanpa memperdulikan keinginan individu yang mempertimbangkannya

4.Nilai dasar aspek aksiologi dari Pure Theory of Law

 Normativitas yaitu sebuah konstruksi yang berupaya melakukan pendiskripsian dalam bentuk kewajiban hukum yang sepenuhnya bebas dari fakta

 Relative hukum akan memiliki arti bila secara substansial tidak hanya mengandung satu standar nilai yang bersifat absolut.

 Formalistic ide keadilan dari doktrin hukum aam yang pada dasarnya merupakan gagasan etis akan berubah menjadi gagasan logis

 Kepastian hukum penciptaan norma hukum tidak ditujukan untuk meralisasikan nilai nilai moral absolut akan tetapi berupaya mewujudkan nilai nilai yang ditetapkan

D.Model Pure Theory of Law 1. Dari aspek ontologis

 Norma hukum sebagai makna tindakan berkehendak

Dalam perspektif teori hukum murni ilmu hukum diarahkan pada upaya untuk memahami norma hukum sbg makna tindakan berkehendak

 Norma hukum sebagai norma moral relative yang berkarakter normative

Moral sebagai bagian dari tatanan dan nilai yag absolut hanya bisa diterima dari keyakinan religious dalam otoritaas absolut.

2. Dari aspek epistemologis

 Mengetahui hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku kongkret tertentu

 Menjelaskan hukum yang diberlakukan terhadap perilaku factual konkrit

Hubungan antar fakta fakta yang diciptakan oleh norma yang ditetapkan dalam norma hukum sebagai kondisi dan konsekuensi diungkap dengan kata mestinya.


(10)

3. Dari Aspek Aksiologi

Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskan/memurnikan ilmu hokum dari anasir-anasir asing yang selama ini secara langsung ataupun tidak langsung yang seringkali terakomodasi di ilmu hokum “tradisional”. Kelsen Menyatakan bahwa, hokum adalah norma, dan inilah yang menjadi satu-satunya obyek kognisi hokum. Norma hokum sebagai norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hokum akan menjadi bagian dari moralitas kepada, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan standard moralitas kepada hokum.

Keadilan bagi Kelsen adalah kesesuaian dengan hokum positif. Jika suatu norma umum diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang muncul maka dikatakan “tidak adil”, ketidakadilan yang terlepas dari berbagai pertimbangan moral dan nilai norma umum tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relative dengan sebuah norma; adil adalah kata lain dari sah. Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap abash atau berlaku secara obyektif, berfungsi sebagai standard nilai yang diterapkan pada perilaku actual.

Berdasarkan deskripsi diatas, dapatlah diketahui bahwa melalui pemurnian yang dilakukan, maka norma-norma sebagai objek kognisi hokum tidak diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai moral absolute (keadilan) ataupun “sekedar” mengakui dan mewjudkan nilai-nilai yang terbentuk dari perilaku- perilaku yang terpolakan sebagai perilaku hokum (kemanfaatan), akan tetapi berupaya mewweujudkan nilai-nilai yang ditetepakan didalam norma hokum itu sendiri (kepastian hokum).


(11)

Daftar Pustaka

Dimyati, Khudzaifah & Wardiono, Kelik.2014. Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen.Yogyakarta: Genta Publishing.


(1)

( khususnya suatu perilaku) dan fakta bahwa seorang individu atau beberapa individu menginginkan obyek itu dan kebalikannya (secara khusus menyetujui atau tidak menyetujui perilaku tertentu).

Berdasarkan deskripsi diatas, dapatlah diketahui bahwa melalui pemurnian yang dilakukan, maka norma-norma sebagai objek kognisi hokum tidak diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai moral absolute (keadilan) ataupun “sekedar” mengakui dan mewjudkan nilai-nilai yang terbentuk dari perilaku- perilaku yang terpolakan sebagai perilaku hokum (kemanfaatan), akan tetapi berupaya mewweujudkan nilai-nilai yang ditetepakan didalam norma hokum itu sendiri (kepastian hokum).

BAB II

PURE THEORY OF LAW:

BASIS EPISTEMOLOGI BERKARAKTER DUALISME KRITIS

A. Basis Epistemologi: Sebuah Pengantar

Dalam sebuah paradigm, basis epistemologi – meskipun keberadaannya seringkali tidak disadari – merupakan bagian yang realtif penting dibandingkan unsure-unsur yang lain, karena unsure-unsur paradigm yang terdiri dari: asumsi,nilai/etos dan model, yang membentuk basis epistemology, merupakan isi epistemology dan menjadi dasar dari sebuah paradigm.

Hans Kelsen menawarkan sebuah basis epistemology “baru”di dalam ilmu hokum, yang menurutnya sbuah jalan tengah diantara 2 mainstream ilmu (filsafat) hokum, yaitu teori hokum alam dan teori hokum empiris-positivistik. Teori hokum alam lebih merujuk pada dualisme metafisik – religious pesimistik, dan teori hokum empiris-positivistik, yang lebih bersandar pada dualisme metafisik-religius positivistic. Sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya tipe ketiga, sebagai jalan tengah antara dualism pesimistik dan optimistic.

B.Asumsi asumsi atau anggapan anggapan dasar ( basic assumptions) Pure Theory of Law 1) Asumsi tentang manusia

Asumsi dasar tentang manusia ini akan memberikan petunjuk tentang bagaimana kedudukannya manusia dihadapan Allah SWT, dirinya sendiri, sesame manusia dan alam semesta, potensi potensi apakah yang dimiliiki manusia untuk dapat dipahami kedudukannya dihadapan Allah SWT,manusia dan alam semesta Adapun karakterisitik dari manusia ilmiah kritis, menurut hans kelsen adalah sebagai berikut:


(2)

Pertama, manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia quasi-transendental. Manusia ini selalu merindukan keseimbangan (keadaan jiwa),sehingga manusia memiliki pendulum spiritual yang kurang stabil, yang dengan mudah bergerak dari arah satu kea rah yang lain.

Kedua, manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia aurea aetas. Ini bukanlah ekspresi dari mimpi mimpi yang tidak mengandung harapan dan bukan pula ekspresi kebahagiaan duniawi yang telah lama hilang, yaitu mewujudkan masa silam ketika dewa dewa berjalan di daerah umat manusia atau berbicara langsung dengan manusia, yaitu dunia aurea aetas.

2) Asumsi ontologis

a) Realitas adalah realitas empiris yang di dukung oleh realitas transcendental

Dunia adalah seperti apa yang tampak dimata kita, karena bagi kita tidak ada dan tidak aka nada di dunia lain.filsafat bagi hans kelsen dipandang sebagai sains yang menolak dualism metafisik yaitu pernyataan apapun tentang objek yang berada di luar pengamatan. Sesuatu yang didalam dirinya sendiri itu bukan merupakan ‘realitas’ transenden, tapi sebuah kebantuan dalam proses pengamatan yang ‘tidak terbatas’. Ia sekedar ‘fenomena’ serta mengambil realitas dari dunia diluar kehidupandunia ini.

b) Realitas terbagi dua: yaitu realitas seharusnya( sollen ought) dan senyatanya ( sein is) dan merupakan realitas yang sederajat

Sollen dan sein merupakan kategori puncak yang bersifat fundamental bagi penjelasan terhadap segala sesuatu yang lainnya sehingga dua dunia ini dipisahkan oleh jurang yang tidak bisa terjembatani secara epistemology. Dunia sollen sejajar dengan dunia sein. Hubungan yang ‘seharusnya’ (sollen0 dengan yang ‘senyatanya’ (sein) bukan sekedar menunjukan relasi bahwa yang ‘senyatanya’ berkesesuaian dengan ‘seharusnya’

c) Normativitas sollen merupakan kondisi logika transcendental

Meskipun sollen termasuk dunia normative sksn tetapi nomativitas sollen bukanlah alam transenden sebagaimana yang diklaim sebagai ada menurut hukum kodrat

3) Asumsi epistimologis

a. ilmu hukum sebagai ilmu kognitif yang bersifat konstitutif

Bahwa tugas ilmu hukum bukanlah membentuk hukum praktis, karena itu merupakan kewenangan yudikatif , legislative, dan eksekutif. Yugas ilmu hukum dengan menggunakan kognisi adalah mewujudkan struktur norma hukum yang ‘direkonstruksi’ atau di rumuskan secara hipotesis.

b. norma hukum merupakan suatu kesatuan objek kognisi yang mandiri yang bermakna(otonom)

norma yang mereprentasikan alasan keabsahan norma lain oleh hans kelsen disebut ‘norma yang lebih tinggi’ namun pencarian keabsahan terhadap norma tersebut tidaklah tanpa henti , pencarian tersebut harus berujung pada sebuah norma yang di andaikan sebagai yang terakhir dan tertinggi. Ia mesti diandaikan karena ia tidak bisa di’dalilkan’yakni diciptakan otoritas yang kompetensinya harus bersandar pada norma yang lebih tinggi c. norma hukum yang direkonstruksi terbentuk dari relasi antara fakta fakta materialyang bersifat non kausal dan non metafisikal


(3)

kelsen berpendapat bahwa dengan imputasi memungkinkan satu fakta material yang bisa di serap oleh indera dihubungkan dengan fakta material lainna, bukan secara kausal tetapi secara normative dengan memberikan ‘ interpretasi normatif’ terhadap fakta fakta material.

4) Asumsi aksiologi

 Setiap ilmu harus memiliki objeknya sendiri, dan objek ilmu hukumadalah norma yang direkonstruksi Melalui kontruktivisme, kelsen berupaya ‘memurnikan’ konstruksi konstruksi pokok dalam ilmu hukum tradisional jerman.dalam kritiknya terhadap teori kehendak kelsen secara tegas menyatakan bahwa hukum adalah norma dan bukan kemauan atau kehendak. Melalui doktrin dualisme metodologis yang diperluas konsep ‘kemurnian’, dilakukan dengan cara menghindari terjadinya penyatuan atau kombinasi yang tidak sah dari berbagai metode kognisi yang berbeda. Melalui doktrin konstruktivisme dan methodological dualism inilah kelsen menyelamatkan kemurnian teori atau independensi hukum sebagai satu obyek ilmiah terutama dari dua arah sinkretisme metodologis. Sebagai ilmu pengetahuan kasual memiliki karakter hukum yang berbeda darin teori hukum yang termasuk ilmu ilmu pengetahuan normative.

 Norma dasar memiliki kualitas yang sama dan sederajad dengan hukum alam

Ide keadilan dari dpktrin hukum alam yang pada dasarnya merupakan gagasan etis akan berubah menjadi gagasan logis ketika diterapkan dalam sistem hukum positif yang logis, agar kesatuan sistem tidak rusak. Ilmu pengetahuan tidak mampu dan karenanya tidak berhak memberikan putusan putusan nilai.

C. Nilai-Nilai Dasar Pure Theory of Law 1.Nilai tentang manusia

 Humanism manusia berkarakter ilmiah kritis adalah manusia manusia yang bersandar pada kemampuan indera berikut penalaranya

 Optimis/ idealis manusia memiliki kepercayaan yang besar terhadap kemampuan panca indera dan penalarannya.

 Pragmatis dunia yang ada sekarang ini harus diterima sebagai kondisi yang terbaik. Dunia yang merupakan symbol penghibur dari rekonsiliasi duniawi dan surgawi

2.Nilai dasar ontologis

 Sekualrisme bahwa dunia dapat dia amati dan dunia yang berada diluar pengamatan inderawi

 Relativisme hukum sebagai salah satu tatanan social harus memiliki kemampuan untuk mengakomodasi pemberlakuan berbagai tatanan ,oral

 Otonom sebagai konsekuensi dari pendirian kelsen yang berpendapat bahwa sollen dan sein adalah dunia meskipun berada dan tidak dapat disatukan

 Rasional yang dimaksud dengan dunia adalah apa yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dapat dipahami oleh rasio


(4)

3.Nilai dasar aspek epistemology daripure theory of law

 Rasional manusia yang dapat berpikir secara rasional adalah manusia yang dapat menghargai dirinya sendiri sebagai manusia tanpa menyadari keterbatasannya

 Obyektif pertimbangan apapun harus obyektif yakni ia harus dilakukan tanpa memperdulikan keinginan individu yang mempertimbangkannya

4.Nilai dasar aspek aksiologi dari Pure Theory of Law

 Normativitas yaitu sebuah konstruksi yang berupaya melakukan pendiskripsian dalam bentuk kewajiban hukum yang sepenuhnya bebas dari fakta

 Relative hukum akan memiliki arti bila secara substansial tidak hanya mengandung satu standar nilai yang bersifat absolut.

 Formalistic ide keadilan dari doktrin hukum aam yang pada dasarnya merupakan gagasan etis akan berubah menjadi gagasan logis

 Kepastian hukum penciptaan norma hukum tidak ditujukan untuk meralisasikan nilai nilai moral absolut akan tetapi berupaya mewujudkan nilai nilai yang ditetapkan

D.Model Pure Theory of Law 1. Dari aspek ontologis

 Norma hukum sebagai makna tindakan berkehendak

Dalam perspektif teori hukum murni ilmu hukum diarahkan pada upaya untuk memahami norma hukum sbg makna tindakan berkehendak

 Norma hukum sebagai norma moral relative yang berkarakter normative

Moral sebagai bagian dari tatanan dan nilai yag absolut hanya bisa diterima dari keyakinan religious dalam otoritaas absolut.

2. Dari aspek epistemologis

 Mengetahui hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku kongkret tertentu

 Menjelaskan hukum yang diberlakukan terhadap perilaku factual konkrit

Hubungan antar fakta fakta yang diciptakan oleh norma yang ditetapkan dalam norma hukum sebagai kondisi dan konsekuensi diungkap dengan kata mestinya.


(5)

3. Dari Aspek Aksiologi

Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskan/memurnikan ilmu hokum dari anasir-anasir asing yang selama ini secara langsung ataupun tidak langsung yang seringkali terakomodasi di ilmu hokum “tradisional”. Kelsen Menyatakan bahwa, hokum adalah norma, dan inilah yang menjadi satu-satunya obyek kognisi hokum. Norma hokum sebagai norma adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hokum akan menjadi bagian dari moralitas kepada, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan standard moralitas kepada hokum.

Keadilan bagi Kelsen adalah kesesuaian dengan hokum positif. Jika suatu norma umum diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang muncul maka dikatakan “tidak adil”, ketidakadilan yang terlepas dari berbagai pertimbangan moral dan nilai norma umum tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relative dengan sebuah norma; adil adalah kata lain dari sah. Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap abash atau berlaku secara obyektif, berfungsi sebagai standard nilai yang diterapkan pada perilaku actual.

Berdasarkan deskripsi diatas, dapatlah diketahui bahwa melalui pemurnian yang dilakukan, maka norma-norma sebagai objek kognisi hokum tidak diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai moral absolute (keadilan) ataupun “sekedar” mengakui dan mewjudkan nilai-nilai yang terbentuk dari perilaku- perilaku yang terpolakan sebagai perilaku hokum (kemanfaatan), akan tetapi berupaya mewweujudkan nilai-nilai yang ditetepakan didalam norma hokum itu sendiri (kepastian hokum).


(6)

Daftar Pustaka

Dimyati, Khudzaifah & Wardiono, Kelik.2014. Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen.Yogyakarta: Genta Publishing.