Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan hamparan perak umumnya adalah pesisir pantai, yang memiliki
kawasan hutan mangrove yang luas. Dan juga dalam kondisi yang cukup baik.
Kawasan hutan mangrove banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai mata
pencarian utama. Melalui system silvofishery yang dilakukan di kawasan sekitar
mangrove. Hal ini menjadi dampak yang baik bagi pelestarian hutan mangrove
(Simanjuntak, 2008).
Kecamatan Hamparan Perak merupakan salah satu kawasan di Sumatera
Utara. berada di dataran rendah yang merupakan bagian lembah Deli di wilayah
pantai Timur Sumatera. Terletak di posisi 30 43’ Lintang Utara dan 980 38’ Bujur
Timur yang dapat dicapai dari Kota Medan setelah menyusuri tepi Sungai Deli
sejauh 14 km ke arah Utara/Belawan, dan kemudian menyeberangi sungai Deli
sejauh 2 km ke arah Barat. Terletak pada 1,5 meter dari permukaan laut (dpl) dan
merupakan lahan rawa yang banyak dipengaruhi pasang surut air laut. Diyakini,
kawasan ini memiliki kesibukan yang luar biasa sebagai Bandar pelabuhan besar
berskala Internasional yang dikelola dibawah satu kekuatan administratif pada
masa abad ke-7 M hingga 14 M (Badan Pusat Statistik Kecamatan Hamparan
Perak, 2012).


Hutan Mangrove
Hutan mangrove saat ini menjadi trend perbincangan, terutama setelah
bencana tsunami di akhir tahun 2004 menelan ratusan ribu korban dan kehancuran
sebagian besar pesisir pantai. Namun demikian, pada daerah pantai yag memiliki

Universitas Sumatera Utara

hutan mangrove lebat dampak tsunami sangat minim atau tidak membahayakan,
seperti yang dijumpai di pantai utara Nias

(Balai Pengelolaan Hutan Mangrove

Wilayah II, 2006).
Banyak yang menganggap hutan mangrove seperti lahan terlantar yang
tidak bermanfaat. Oleh karenanya lebih baik dikonversi menjadi areal tambak,
perkebunan (kelapa sawit), misalnya, yang jelas manfaat ekonominya. Praktek
konversi mangrove yang umum dilakukan adalah menebang habis pepohonan
mangrove sampai ke pinggir pantai. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa tambak yang diusahakan dengan menebang habis hutan mangrove hanya
produktif selama 3-4 tahun awal saja, setelahnya sudah tidak menguntungkan

sehingga kemudian areal tersebut ditinggalkan begitu saja. Dampak kondisi ini
adalah meningkatnya abrasi pantai, instrusi air laut dan berbagai dampak lainnya
kerena pelindung alami pantai yang berupa tegakan hutan mangrove hilang. Kasus
abrasi di pantai utara Jawa, pantai selatan Lampung merupakan bukti, dimana
pantai hilang dengan lebar lebih dari 10 m. Bisa dibayangkan luasnya pantai yang
hilang atau pulau-pulau kecil, misalnya pulau Tapak Kuda di Langkat. Kondisi
yang sama juga terjadi di sebagian besar pantai Aceh dan Sumatera Utara. Hasil
inventarisasi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 tahun, yakni dalam
periode 1993 – 1999, sekitar 97% hutan mangrove di Aceh dan 27% hutan
mangrove di Sumutera Utara hilang dan rusak (Puspita et al 2005).
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair
payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran

Universitas Sumatera Utara

ombak, maupun di sekitar muarasungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu (Irwanto, 2006).
Menurut Zaitunah (2002) : “hutan mangrove memiliki fungsi dan

manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya.
Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : penahan abrasi
pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan
kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di
perairan rawa pantai.” Secara Biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat
sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota
laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan
konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang
selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus
rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti
monyet, buaya muara, biawak dan burung (Hartina, 1996).

Fungsi hutan mangrove
1. Fungsi fisik
Secara fisik hutan mangrove menjaga garis pantai agar tetap stabil,
melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi laut serta sebagai
perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan,
melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan dan gelombang dan
angin kencang; mencegah intrusi garam (salt intrution) ke arah darat; mengolah
limbah organik, dan sebagainya.


Universitas Sumatera Utara

Hutan mangrove mampu meredam energi arus gelombang laut, ekosistem
mangrove juga mampu mereduksi energi gelombang sampai 60%, sehingga
keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil gelombang tsunami yang
menyerang

daerah

pantai.

Rumpun

bakau

(Rhizophora)

memantulkan,


meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam
perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.
Hasil pengujian tersebut dapat digunakan dalam pertimbangan awal bagi
perencanaan penanaman hutan mangrove bagi peredaman penjalaran gelombang
tsunami di pantai (Mulyadi et al, 2009).
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran
(polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan
polutan, misalnya seperti jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm
Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu, dan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi
Pb 15 ppm, Cd 0,5 ppm,

Ni 2,4 ppm . Selain itu, hutan mangrove dapat

mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan, yakni percepatan
intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar
0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan (Irwanto, 2006).
2. Fungsi biologis
Secara biologi hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berkembang
biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan
(feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya

ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting
dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah
(Gunawan, 2008).

Universitas Sumatera Utara

3. Fungsi ekonomi atau fungsi produksi
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya. Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh
ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh
masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan
bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero,
bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk
pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula,
alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk
menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain.
Hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Di
kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan
untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.


Silvofishery atau Wanamina
Pengertian Silvofishery atau Wanamina
Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola agroforestri yang
digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan
mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya
untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara
hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove
dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah
pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove.
Silvofishery yang telah dikembangkan selama ini menggunakan jenis Rhizophora

Universitas Sumatera Utara

sp. Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk
sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian
dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery)
(Bengen, 1998).
Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan
mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya
mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis

(mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan di tambak.
Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan yang
pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah
dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering
dimanfaatkan

untuk

kepentingan

pengembangan

perikanan

(sivofishery).

Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil
perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya

murah, karena tanpa harus


memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton
sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi sebagai energi utama
perairan telah mampu memenuhi kebutuhan perikanan tersebut. Oleh karena itu
keberhasilan silvofishery sangat ditentukan oleh produktivitas fitoplankton
(Dahuri, 2002).

Model silvofishery atau model wanamina
Model tambak wanamina terbagi tiga, yaitu; model empang parit,
komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang

Universitas Sumatera Utara

berkembang di masyarakat. Pada tambak wanamina model empang parit, lahan
untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh
satu pintu air. Pada tambak wanamina model komplangan, lahan untuk hutan
mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air
dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen,
1998).
Pada tambak wanamina model ini terjadi penambahan saluran-saluran di

bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul,
hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Berdasarkan 3 pola
wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola
wanamina kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas
pertimbangan:
1. Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari
longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi
serasah.
2. Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan
perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.
(Bengen, 1998).

Sosial Ekonomi
Teknologi budidaya tambak dengan pola silvofishery oleh masyarakat
dilakukan terlebih dahulu dengan menanam bakau di wilayah pesisir. Setelah
bakau-bakau tersebut besar, bakaunya di tebang dan tanah yang timbul dari
kegiatan penanaman bakau tersebut dibuat jadi tambak. Setelah terbentuk tambak,

Universitas Sumatera Utara


pada pematang tambak ditanami lagi dengan bibit bakau dan masyarakat bisa
memelihara ikan bandeng (Channos channos), udang windu (Penaeus monodon)
dan rumput laut (Gracillaria) di dalam tambak tersebut (Primavera, 2000).
Dengan model silvofishery tersebut, aspek ekonomi masyarakat terpenuhi
dari kegiatan budidaya ikan, udang dan rumput laut dalam tambak, sedangkan
aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga
bakau-bakau di pematang tambak dan bagian terluar dari tambak yang terbentuk
dengan greenbelt sekitar 100-200 meter. Kegiatan penanaman bakau dan
pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat walaupun tanpa
bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry
tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut.
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih tetapi
dibatasi oleh faktor pembatas alami dan non-alami. Faktor pembatas alami adalah
faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan dari ekosistemnya sendiri, seperti
ketersediaan makanan,

predator, persaingan

memperoleh makanan,

laju

pertumbuhan alami, persaingan ruang dan sebagainya. Sedangkan faktor pembatas
non-alami adalah faktor-faktor penghambat ketersediaan ikan yang disebabkan
oleh kegiatan manusia seperti eksploitasi, pengrusakan habitat dan pencemaran
(Setyawan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 33 52

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Lama, Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

3 19 49

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 13

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Identifikasi Dampak Pendapatan Masyarakat Terhadap Penggunaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery Di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 2

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 2

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 0 3

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa , Desa Paluh Manan dan Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang

0 1 11