bc e Lebih lanjut diketahui bahwa isolat

32 inkubasi singkat dan serangan yang luas, lebih virulen dibandingkan dengan isolat yang masa inkubasinya lama dengan serangan yang kecil Uji Pertumbuhan Colletotrichum pada Beberapa Suhu Pada suhu 16 o C, 20 o C dan 24 o C isolat C. gloeosporioides dari buah pepaya TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2 menunjukkan pertumbuhan yang sama dan tidak berbeda dengan isolat dari buah cabai BGR11 namun berbeda nyata dengan pertumbuhan isolat C. capsici GGc Tabel 5. Pertumbuhan C. capsici cendrung lebih lambat dibandingkan isolat lainnya . Pada suhu 28 o C, 32 o C, dan 36 o C pertumbuhan koloni masing-masing isolat menunjukkan perbedaan yang nyata. Selain isolat C. capsici, semua C. gloeosporioides asal pepaya TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2 dan asal cabai BGR11 menunjukkan pertumbuhan optimum pada suhu 28 o C, dan pertumbuhan mulai menurun pada suhu 32 o C dan 36 o C. Isolat C. capsici mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32 o C. Lebih lanjut dapat diamati bahwa C. capsici menunjukkan pertumbuhan lebih lambat dibandingkan pertumbuhan C. gloeosporioides asal pepaya dan cabai pada semua kondisi suhu. Hasil tersebut sejalan dengan laporan penelitian AVRDC 1988 dimana pertumbuhan C. gloeosporioides asal cabai mencapai optimum pada suhu 28 o C dan C. capsici tumbuh optimum pada suhu 28-32 o C. Tabel 5 Rata-rata diameter koloni delapan isolat antraknosa pada beberapa suhu Diameter koloni Isolat Suhu o C 16 20 24 28 32 36 ……………………..cm ……………………………… TJR1 5.85 a 5.66 a 5.60 a 6.05 a 4.48 d 3.55 bcd TJR2 5.30 a 5.43 a 5.28 a 5.45 cd 6.05 ab 3.85 bc TJR3 5.83 a 5.78 a 5.75 a

5.70 bc

4.50 d 4.33 ab TJR4 5.75 a 5.45 a 5.30 a 5.38 d 5.05 bcd 3.08 cde GG1 5.48 a 5.78 a 5.75 a 5.93 ab 6.13 a 2.43 e GG2 5.43 a 5.95 a 5.73 a 5.63 cd 6.33 a 4.98 a BGR11 5.63 a 5.68 a 5.53 a 5.58 cd 5.60 abc 3.40 bcde GGc 3.32 b 4.93 b 4.18 b

4.96 e

4.60 cd 2.80 de Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT Keterangan: TJR1-TJR4 = isolat C. gloeosporioides dari pepaya di Kebun Percobaan PKBT Tajur; GG1GG2 = isolat C. gloeosporioides pepaya di Kebun PT. Agrorekatama Gunung Geulis; BGR11 = isolat C. gloeosporioides dari buah cabai koleksi 33 Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB; GGc = isolat C. capsici dari buah cabai di Gunung Geulis koleksi Zulfadillah Isolat yang memiliki pertumbuhan optimal tertinggi pada suhu 28 o C yaitu TJR1 dan GG1. Oleh karena itu Isolat TJR 1 dipilih untuk sumber isolat pada pengujian percobaan selanjutnya, mengingat pengujian dilakukan di laboratorium pada suhu kamar yaitu antara 27-28 o C. Perbedaan pertumbuhan C. gloeosporioides dan C. capsici juga tampak pada kecepatan pertumbuhan koloni yang diamati setiap hari selama delapan hari berturut-turut. Tujuh isolat C. gloeosporioides mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada suhu 24 o C, sementara satu isolat C. capsici mencapai pertumbuhan maksimum pada suhu 32 o C Gambar 5 dan Lampiran 1 20 24 28 32 Suhu o C K e c e pa ta n pe rt um buha n cm h a ri TJR1 TJR2 TJR3 TJR4 GG1 GG2 BGR11 GGc Gambar 5 Suhu optimum pertumbuhan C. gleosporioides TJR1, TJR2, TJR3, TJR4, GG1, GG2 dan BGr11 dan C. capsici GGc. Evaluasi Efektivitas Metode Inokulasi Metode inokulasi dengan cara menempelkan biakan cendawan telah dilakukan untuk uji inokulasi antraknosa di laboratorium pada buah alpokat, mangga dan pepaya oleh Swart 1999. Metode inokulasi dengan cara menyemprotkan konidia telah dilakukan oleh Dickman et al. 1983 dalam pengujian infeksi laten C. gloeosporioides pada buah pepaya di lapang dan oleh Sulusi et al. 1991 untuk uji patogenisitas C. gloeosporioides pada buah pepaya di laboratorium. Peneliti-peneliti tersebut menyimpulkan bahwa metode-metode 34 yang dipakai inokulasi tersebut dapat disarankan sebagai metode baku untuk inokulasi Colletotrichum pada buah. Ketiga metode inokulasi yang dievaluasi tidak berbeda nyata untuk peubah masa inkubasi dan diameter bercak, tetapi berbeda nyata untuk peubah kejadian penyakit. Kejadian penyakit tertinggi diperoleh melalui metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan TP 86.67 dan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan SL. Oleh karena itu kedua metode inokulasi tersebut dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan penapisan genotipe pepaya. Kelebihan metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan TP adalah dalam mengamati diameter bercak, sementara kelebihan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan SL akan dirasakan bila kegiatan penapisan genotipe melibatkan jumlah aksesi yang besar. Tabel 6 Masa inkubasi, diameter gejala dan persentase gejala pada perlakuan tiga metode inokulasi C. gloeosporioides Perlakuan Masa inkubasi hari Diameter gejala cm Kejadian Penyakit TP 5.30 1.56 86.67 a TL 5.57 1.62 48.07 b SL 5.33 1.25 80.57 a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT Keterangan : TP = Metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan, TL= Metode inokulasi penempelan biakan tanpa pelukaan jaringan, SL= Metode inokulasi penemprotan koloni tanpa pelukaan jaringan Simpulan Berdasarkan pengamatan morfologi konidia, tubuh buah, dan koloni dapat disimpulkan bahwa penyebab antraknosa pada pepaya yang dikoleksi dari Tajur dan Gunung Geulis adalah C. gloeosporioides. Semua isolat C. gloeosporioides mengalami pertumbuhan optimum pada suhu 28 o C. Hal tersebut sangat berbeda bila di bandingkan dengan C. capsici yang mencapai pertumbuhan optimum pada suhu 32 o C. Isolat C. gloeosporioides asal pepaya mampu menginfeksi buah cabai, demikian pula sebaliknya isolat C. gloeosporioides dan C. capsici asal cabai mampu menginfeksi buah pepaya. Metode inokulasi yang dapat dianjurkan untuk kegiatan penapisan genotipe pepaya tahan antraknosa adalah metode inokulasi 35 penempelan biakan dan pelukaan jaringan TP dan metode inokulasi penyemprotan konidia tanpa pelukaan jaringan SL. Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1 BPPS Dikti Depdiknas RI, 2 Pusat Kajian Buah Tropika PKBT melalui Tim Program Penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional RUSNAS; 3 Maneger PT. Agrorekatama Gunung Geulis Bogor; 4 Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur Bogor dan ; 5 Kepala Laboratorium Mikologi HPT IPB Bogor. Daftar Pustaka Adaskaveg JE, Hartin RJ. 1997. Characterization of Colletotrichum acutatum isolate causing anthracnose of almond and peach in California. Phytopathology 879: 979-987. Alvarez AM, Nishijima WT. 1987. Post harvest disease of papaya. Plant Disease 71:681-686. [AVRDC] 1998. Effect of fruit maturity on anthracnose development. Di dalam: AVRDC, editor. Progress report in tomato and pepper production in the tropics; Shanhua, Taiwan. Hlm 69-71. Bailey JA, Jeger MJ. 1992. Colletotrichum: biology, pathology and control. CAB Intl. Wallingford, UK. Barnet HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. New York. Dickman MB, Alvarez AM. 1983. Latent infection of papaya caused by Colletotrichum gloeosporioides . Plant Diseases 677:748-750. Freeman S. 2000. Genetic diversity and host specifitcity of Collethotrichum species on various fruits. Di dalam Collethotrichum: Host specificity, pathology and host pathogen interaction. Am Phytopathol Soc Pr, St Paul, MN, USA. Joseli ST, Liberato JR, Zamolim L, Happines J, Coast H. 2002. Control and climatic conditions favorable to the antracnose of the mamoeiro papaya. Fitopatol Bras 272: 1-12. Lim TK, Tang SC. 1984. Anthracnose and some local fruit trees. Seminar Nasional buah-buahan Malaysia. UPM. Malaysia. Mahfud MC. 1986. Uji tanaman inang penyakit antraknosa pada pepaya. Penel. Hort. 11:46-52. 36 Prabawati S, Sjaifullah, Amiarsi D. 1991. Cendawan penyebab kerusakan buah pepaya selama penyimpanan dan pemasaran serta pengendaliannya. J Hort 13:47-53. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada Univ Pr. Sepiah MA, Subki, Lam PF. 1991. Fungicides for postharvest control of Colletotrichum sp. in Eksotika papaya. ASEAN Food J. 6:14-18. Sepiah MA. 1992. Penyakit lepas tuai betik dan ciku Postharvest diseases of papaya and sapota. Bengkel Penyelidikan Sistem Pengendalian Lepastuai Betik dan Ciku, Melaka, Malaysia. Hlm. 85-90. Sinaga MS. 2003. Dasar-dasar Ilmu Penyakit tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya. Skipp RA, Beever RE, Sharrock KR, Rikkerink EHA, Templeton MD. 1995. Colletotrichum. Di dalam Kahmoto K, Singh U, Singh RP, editor. Pathogenesis and host-specificity in plant disease. Histopathological, biochemical, genetic and molecular bases. Oxford: Pergamon. Hlm 119- 143. Snowdown AL. 1990. A colour atlas of postharvest diseases and disorders of fruit and vegetables. Vol.1. Wolfe Scientific. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedure of Statistics. A biometrical approach. Ed ke 2. Book co. London. Sutton BC. 1992. The genus Glomerella and its anamorph Colletotrichum. Editor Colletotrichum: biology, pathology and control. CAB Intl. Wallingford, UK. Swart GM. 1999. Comparative study of Colletotrichum gloeosporioides from Avocado and Mango [Disertasi] Departement of Microbiology and Plant Pathology University of Pretoria PENAPISAN GENOTIPE PEPAYA UNTUK KARAKTER KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA Abstrak Penapisan genotipe pepaya terhadap ketahanan penyakit antraknosa perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang sumber ketahanan dalam usaha pemuliaan pepaya terhadap penyakit antraknosa. Penapisan dilakukan dengan dua cara yaitu infeksi alami di lapang dan infeksi buatan di laboratorium. Penapisan pertama dengan infeksi alami di lapang dilakukan pada tujuh genotipe pepaya IPB1, IPB10, STR64, IPB5,IPB6, PB2001 dan PB000174. Penapisan kedua dengan infeksi buatan di laboratorium dilakukan pada lima genotipe pepaya IPB1, IPB10, STR64, IPB5 dan PB000174. Hasil penapisan ketahanan pepaya terhadap antraknosa dengan infeksi alami dari lapangan menunjukkan bahwa PB000174 dan IPB6 agak tahan, IPB1 agak rentan dan IPB10, STR64, dan IPB5 rentan. Berdasarkan peubah masa inkubasi dan diameter gejala, menunjukkan antara genotipe PB000174 dan IPB1 tidak menunjukkan perbedaan nyata. Kata kunci : Penapisan, genotipe Abstract Screening papaya genotype for resistance to Papaya Anthracnose Disease PAD is importance for breeding resistance. To identify source of resistance of PAD, seven genotype of papaya IPB1, IPB10, STR64, IPB5,IPB6, PB2001and PB000174 were screened from field and five genotype of papaya IPB1, IPB10, IPB5, STR64 and PB000174 were screened in laboratory. The result showed that there were no immune genotype. There was only moderatly resistance genotype PB000174 and IPB6 from field and laboratory screening. Susceptible genotype were IPB10, STR64, IPB5 Keyword : Screenig, genotype Pendahuluan Koleksi plasmah nutfah Pusat Kajian Buah Tropika PKBT cukup banyak untuk dijadikan materi genetik dalam usaha perbaikan sifat pada tanaman pepaya. Sebagian besar dari plasmah nutfah tersebut telah dikarakterisasi dan diseleksi berdasarkan sifat-sifat yang diinginkan. Hasil karakterisasi PKBT 2003 melaporkan bahwa dari hasil karakterisasi 11 genotipe pepaya lokal dan introduksi, diperoleh informasi bahwa 38 IPB 1 memiliki kadar vitamin C tertinggi dan rasa termanis. Selanjutnya, Sujiprihati dan Sulistyo 2004 melaporkan hasil karakterisasi 15 genotipe pepaya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan bahwa genotipe yang memiliki potensi berperawakan pendek adalah Batang Ungu Watulimo, Mojosongo, Turen I dan Turen Talang. Hasil karakterisasi Galingging 2005 menunjukkan bahwa dengan menggunakan penanda morfologi dan RAPD, terdapat keragaman genetik dari 20 genotipe pepaya koleksi PKBT IPB. Pepaya koleksi PKBT telah dilakukan karakterisasi terhadap karakter morfologi, fisiologi, potensi hasil dan produksi. Namun untuk karakter ketahanan belum dilakukan, oleh karena itu dalam kegiatan ini akan dilakukan seleksi terhadap karakter ketahanan. Salah satu karakter ketahanan dalam pembentukan varietas yang tahan adalah ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Penapisan plasmah nutfah pepaya merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang genotipe pepaya tahan, yang akan dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman sebagai tetua dalam persilangan untuk mendapatkan genotipe pepaya yang tahan terhadap antraknosa dan berdaya hasil tinggi. Agrios 1997 menyatakan bahwa penggunaan kultivar tahan merupakan cara mudah, murah, aman dan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit pada tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe pepaya yang tahan terhadap penyakit antrknosa, yang akan dijadikan sebagai tetua tahan dalam rangka pembentukan varietas hibrida yang tahan terhadap antraknosa Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penapisan terhadap aksesi pepaya berlangsung antara April sampai Desember 2004. Evaluasi dilakukan pada kebun percobaan PKBT di Tajur. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan dan hasil karakterisasi morfologi dan RAPD pada 20 genotipe pepaya maka evaluasi ketahanan antraknosa dilakukan pada 7 tetua yang terpilih yaitu: IPB1, IPB 10, PB000174, PB000201, STR 64, IPB5 dan IPB6. 39 Dari kegiatan karakterisasi yang telah dilakukan dan diperoleh informasi bahwa tujuh genotipe pepaya diantara plasma nutfah yang ada memiliki sifat- sifat yang diinginkan diantaranya produktivitas tinggi IPB 10, STR64 dan IPB6, berumur genjah dan berperawakan pendek IPB 10, STR-64, kandungan PTT diatas 12 o Brix IPB 1, PB000201 dan IPB6, ukuran buah kecil IPB 1 dan PB000201 dan ukuran buah besar untuk pasar dalam negri IPB 10 dan IPB6, kulit buah halus Str 64, warna daging buah merah IPB 1, Taiwan dan IPB5 serta shel-life buah yang lama PB000174. Penapisan dengan Infeksi Alami dari Lapangan Genotipe pepaya yang digunakan dalam penapisan dengan infeksi alami dari lapang dilakukan pada buah dari tujuh genotipe yaitu; IPB1, IPB 10, STR64, IPB5, IPB6, PB000201 dan PB000174. Pengujian dilakukan di kebun percobaan PKBT Tajur yang telah sering ditanami pepaya dan secara alami buah pepaya telah terinfeksi oleh C. gloeosporioides . Salah satu pengujian ketahanan adalah mengamati kondisi di lapang atau mengamati infeksi laten alami AVRDC 1998. Kegiatan penapisan dilakukan pada buah pepaya. Buah pepaya yang sudah menunjukkan matang semburat atau 25 warna kulit buah pepaya telah berwarna kuning di panen. Buah yang telah dipanen dibersihkan dengan air steril tanpa di cuci dengan alkohol ataupun desinfektan, kemudian dikeringkan. Selanjutnya buah diletakkan dalam bak plastik dan ditutup dengan plastik transfaran, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar. Jumlah buah masing-masing genotipe yang digunakan dalam kegiatan ini sebanyak lima buah setiap ulangan. Jumlah ulangan tiga sehingga jumlah buah yang diperlukan dalam percobaan ini terdiri dari lima belas buah per genotipe. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap RAL dengan delapan tujuh genotipe pepaya yaitu isolat Colletotrichum sebagai perlakuan. Masing – masing isolat di ulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah : 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah buah dipanen sampai munculnya gejala 40 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah panen. 3. Rata-rata persentase gejala ; persentase gejala merupakan luasnya gejala pada permukaan buah, diukur pada hari ketujuh. 4. Keparahan Penyakit ; Penghitungan Keparahan Penyakit , dihitung berdasarkan rumus: 100 1 x NxZ xv n KP i i ∑ = = KP : keparahan penyakit ni : jumlah buah tiap kelas luas gejala Vi : nilai skor tiap kelas luas gejala N : jumlah buah yang diamati Z : nilai skor kelas luas gejala tertinggi Skor luas persen gejala pada permukaan buah Suryaningsih 1991 yaitu; 0 = tidak ada gejala 1 = gejala awal sampai 19 2 = 20 – 39 gejala 3 = 40 – 59 gejala 4 = 60 – 79 gejala 5 = 80 – 100 gejala Tingkat ketahanan tanaman dikelompokkan dalam lima empat kelas ketahanan mengikuti kriteria Suryaningsih 1991: Tabel 7 Pengelompokan kelas ketahanan pepaya terhadap antraknosa berdasarkan tingkat keparahan penyakit Kelas Nilai kelas Keparahan penyakit 1 Tahan ≤ x ≥ 20 2 Agak Tahan 21 ≤ x ≥ 40 3 Agak Rentan 41 ≤ x ≥ 60 4 Rentan x ≥ 61 Penapisan dengan Infeksi Buatan di Laboratorium Genotipe pepaya yang digunakan dalam penapisan dengan infeksi buatan di Laboratorium dilakulan pada lima genotipe pepaya yaitu; IPB1, IPB 10, STR64, IPB5 dan PB000174. Genotipe IPB6 dan PB000201 tidak digunakan dalam penapisan di laboratorium karena genotipe IPB6 buahnya sedikit sehingga 41 tidak diperoleh sampel buah yang akan digunakan, sedangkan PB00201 termasuk genotipe rentan, warna buah kuning dan ukurun buah pada satu tanaman tidak seragam. Penapisan di laboratorium terdiri atas pengujian karakter ketahanan dengan melakukan inokulasi buatan. Metode inokulasi yang dilakukan adalah 1 Metode inokulasi penempelan biakan dan pelukaan jaringan TP. Buah pepaya yang akan diinokulasi dilukai dengan menggunakan jarum suntik steril pada empat titik pada permukaan buah. Potongan biakan cendawan berukuran diameter 0.4 cm. Kemudian ditempelkan pada permukaan buah tersebut. 2 Metode inokulasi penempelan biakan tanpa pelukaan jaringan TL. Kedua metode ini dipilih karena pengamatan yang akan dilakukan adalah masa inkubasi dan diameter gejala. Pengukuran diameter gejala lebih mudah apabila kita menggunakan kedua metode tersebut. Pengambilan buah-buah pepaya dilakukan sebanyak 4 kali. Setiap aksesi terdiri dari 5-10 tanaman. Paling sedikit diambil tiga buah dari setiap tanaman. Buah diinokulasi pada 4 tempat dengan cara dilukai dan tanpa dilukai kemudian ditempel dengan inokulum yang berdiameter 0.4 cm 10 6 sporaml. Peubah yang diamati adalah: 1. Rata-rata masa inkubasi: yaitu rata-rata periode hari setelah buah inokulasi sampai munculnya gejala. 2. Rata-rata diameter gejala: diameter gejala diukur pada tujuh hari setelah inokulasi. Analisis Data Model linier aditif, analisis ragam dan harapan kuadrat tengah untuk tiap karakter yang diamati pada semua percobaan disusun mengikuti Steel dan Torrie 1980. Model linier aditif untuk percobaan I ini adalah sebagai berikut: ij j i ij G u Y ε μ + + + = …………………………………………………1 Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-j µ = nilai tengah umum Ui = Pengaruh ulangan ke-i Gj = Pengaruh genotipe ke-j 42 ij ε = Pengaruh acak pada genotipe ke-j ulangan ke-i Berdasarkan model linier aditif di atas, pada Tabel 8 disajikan bentuk analisis ragam disertai harapan kuadrat tengahnya, dengan anggapan genotipe berpengaruh acak. Tabel 8 Analisis ragam model acak disertai harapan kuadrat tengah untuk percobaan tahap II Sumber Keragaman Db KT EKT F hitung Ulangan Genotipe Galat r-1 g-1 r-1g-1 - S T - 2 2 G E r σ σ + 2 E σ - ST - Db : derajat bebas g : jumlah genotipe KT : kuadrat tengah r : jumlah ulangan EKT : harapan kuadrat tengah Terhadap data semua karakter yang diamati pada percobaan tahap I, baik yang menyebar normal maupun tidak, dilakukan analisis perbedaan nilai tengah antar kelompok skor menggunakan Duncan Multiple Range Test DMRT tiap dua nilai tengah, dengan memperhatikan kesamaan ragamnya Steel dan Torrie, 1980. Hasil dan Pembahasan Penapisan dengan Infeksi Alami dari Lapangan Hasil evaluasi ketahanan di lapangan menunjukkan bahwa ketujuh genotipe menunjukkan perbedaan yang nyata pada peubah masa inkubasi, diameter gejala, pesentase gejala dan keparahan penyakit. Pada Tabel 9 terlihat bahwa semua geotipe pepaya terinfeksi patogen antraknosa secara alami dari lapangan. Gejala antraknosa pada buah pepaya muncul antara 4.33 sampai 8.93 hari setelah panen. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat di lapang sebenarnya buah telah terinfeksi, dan dengan adanya gejala yang bersifat laten maka, setelah di panen dan buah masak, gejala baru muncul. Ketahanan pepaya terhadap antraknosa dapat dikelompokkan berdasarkan peubah masa inkubasi, persentase gejala dan tingkat keparahan penyakit. Tabel 9 menunjukkan bahwa diperoleh dua genotipe yang agak tahan yaitu PB000174 dan IPB6, satu genotipe agak 43 rentan yaitu IPB1 serta empat genotipe rentan yaitu IPB 5, IPB10, STR64 dan PB000201. Tabel 9 Penapisan ketahanan tujuh genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa dengan infeksi alami dari lapangan Genotipe Masa inkubasi hari Diameter gejala cm Persentas gejala Keparahan penyakit Kelas Ketahanan IPB 1 7.92 ab 0.15 c 17.40 b

53.33 c Agak Rentan