44 Tabel 10 Masa inkubasi dan diameter gejala antraknosa pada lima genotipe
pepaya dengan perlakuan inokulasi dilukai dan tidak dilukai Masa inkubasi
hsi Diameter gejala
cm Genotipe
Dilukai Tidak dilukai
Dilukai Tidak
dilukai IPB1
4.67 ab 5.00 b
0.47 c 0.38 b
IPB10 3.67 bc
4.67 b 1.40 b
0.63 b STR64
2.00 c 3.00 c
3.63 a 2.83 a
IPB5 3.00 bc
3.67 bc 3.73 a
2.27 a PB000174
5.67 a 6.67 a
0.25 c 0.17 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT
Simpulan
Dari hasil
penapisan ketahanan pepaya terhadap antraknosa dengan infeksi alami dari lapangan dapat disimpulkan bahwa genotipe yang agak tahan
terhadap antraknosa adalah PB000174 dan IPB6, agak rentan IPB1 dan genotipe yang rentan adalah IPB10, STR64 dan IPB5.
Berdasarkan penapisan genotipe pepaya dengan infeksi buatan di Laboratorium pada peubah masa inkubasi dan diameter gejala genotipe IPB 1
dapat dikategorikan agak tahan karena memiliki masa inkubasi yang sama dengan PB000174 dan diameter gejalanya kecil. Kedua genotipe dapat dijadikan tetua
tahan dalam pembentukan persilangan diallel.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1 BPPS Dikti Depdiknas RI,
2 Pusat Kajian Buah Tropika PKBT melalui Tim Program Penelitian Riset
Unggulan Strategis Nasional RUSNAS; 3 Maneger PT. Agrorekatama Gunung Geulis Bogor; 4 Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur Bogor dan ; 5 Kepala
Laboratorium Mikologi HPT IPB Bogor.
Daftar Pustaka
[PKBT] Pusat Kajian Buah Tropika. 2003. Laporan Akhir Riset Unggulan Strategis Nasional: Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia
2003. Kerjasama Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Bogor.
Sujiprihati S, Sulistyo A. 2004. Karakterisasi 15 genotipe pepaya Carica papaya
L. hasil eksplorasi PKBT. Di dalam Dukungan Pemuliaan
45 terhadap Industri perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif. Prosiding
Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII; Malang 16 Oktober 2003. Malang:PERIPI dan Balitkabi. Hlm 155-163.
Galingging RY. 2005. Analisis keragaman 20 genotipe pepaya berdasarkan penanda morfologi dan RAPD [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Academic Pr. San Diego California
[AVRDC] 1998. Effect of fruit maturity on anthracnose development. Di dalam: AVRDC, editor. Progress report in tomato and pepper production in the
tropics; Shanhua, Taiwan. Hlm 69-71. Steel RGD, Torrie JH, editor. 1980. Principles and Procedure Statistic. A
biomatrical approach. Ed ke 2. Book co.London.
UJI KORELASI DAN SIDIK LINTAS BEBERAPA KARAKTER PEPAYA TERHADAP KETAHANAN ANTRAKNOSA
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi pengaruh langsung maupun tidak langsung antara karakter agronomi dan ketahanan pepaya terhadap penyakit
antraknosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang buah, ketebalan buah dan persentase gejala berkorelasi negatif nyata terhadap ketahanan pepaya terhadap
antraknosa. Korelasi positif yang mengindikasikan ketahanan diperoleh pada persen padatan total terlarut PTT dan kekerasan buah. Aplikasi path analysis
menunjukkan bahwa persentase gejala berpengaruh langsung terhadap keparahan penyakit. Pangaruh tidak langsung terhadap ketahanan adalah persen PTT dan
kekerasan buah melalui persen gejala. Karakter padatan total dapat dijadikan kriteria seleksi ketahanan terhadap antraknosa karena menunjukkan korelasi yang tinggi,
pengaruh langsung tinggi dan heritabilitas tinggi. Seleksi juga dapat secara langsung dilakukan pada peubah persentase gejala karena menunjukkan heritabilitas yang
tinggi. Kata kunci: Koefisien korelasi, antraknosa, path analysis
Abstract
The aims of this research were to estimate the correlation coefficient among agronomic traits on antrachnose disease resistance of papaya and to evaluate the
direct and indirect effects of those traits on antrachnose disease resistance of papaya. The result showed that fruit length, flesh thickness, percent symptom had
negative correlations to resistance and percent TSS, flesh firmness had positive correlations to resistance. Path analysis applied on agronomic and resistance
character on anthracnose disease resistance indicated that anthracnose disease resistance was directly affected by percent symptom. The largest compound path
coefficient of agronomic traits on anthracnose disease resistance that percent TSS and flesh thickness via percent symptom.
.
Keyword :
Correlation coefficient, antrachnose, path analysis
Pendahuluan
Peran multiguna pepaya sebagai buah segar, olahan, sayur, bahan baku idustri obat, kosmetik dan pestisida, menjadikan pepaya sebagai salah satu komoditas yang
strategis untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Selain buahnya, papain yang dihasilkan buah muda dan daun merupakan bahan baku
industri, salah satu enzim yang tekandung dalam papain adalah cysteine proteinase El Moussaoui et al. 2001. Pepaya, umumnya dibudidayakan secara tradisional,
47 sehingga walaupun produksi tinggi namun tidak bisa diekspor karena tidak
memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sebagai contoh, Produksi pepaya di Indonesia bias mencapai 744.000 ton namun yang diekspor hanya sekitar 4 ton
Setyobudi dan Purnomo, 1999. Salah satu kriteria buah yang layak ekspor adalah kondisi kulit buah mulus
tanpa ada cacat, baik itu karena pelukaan fisik maupun karena adanya potogen. Kerusakan buah pasca panen salah satunya disebabkan oleh cendawan. Cendawan
Colletotrichum gloesporioides merupakan patogen utama penyebab kerusakan buah pepaya Kader 2000. Meskipun kerugian terutama terjadi pada buah, khususnya
buah dalam pengangkutan dan penyimpanan, namun penyakit ini juga dapat timbul pada daun-daun tua, buah muda dan tangkai buah. Penyakit antraknosa dapat
menurunkan produksi pepaya sekitar 40 di Kabupaten Malang Mahfud 1985. Penyebab antraknosa pada buah pepaya di Indonesia adalah C. gloeosporioides
Penz Sacc atau pada stadium sempurnanya dikenal dengan nama Glomerella cingulata Sulusi et al 1991.
Hubungan antar karakter ketahanan terhadap antraknosa dengan karakter lainnya dapat diketahui melalui analisis korelasi dan analisis sidik lintas. Hasil
penelitian Tenaya et al. 2001 menunjukkan bahwa dengan analisis korelasi dan sidik lintas diperoleh informasi adanya korelasi antara persentase buah cabai
terserang antraknosa di lapang dan di laboratorium dengan kandungan kapsaisin dan fruktosa
pada buah.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui nilai ragam genetik dan fenotifik serta nilai heritabilitas; mengetahui korelasi antara karakter ketahanan dengan beberapa
karakter vegetatif dan generatif serta untuk mengetahui karakter yang berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah Tropika PKBT di Tajur 250 meter dpl, dan PT. Agrorekatama Gunung Geulis Gadog 550
meter dpl, Laboratorium Mikologi Departemen Hama dan Penyakit IPB Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 2005 sampai Pebruari 2006.
48 Materi genetik yang digunakan adalah 5 genotipe pepaya tetua yaitu IPB1,
IPB 10, PB000174, STR 64 dan IPB5. Genotipe yang digunakan telah diselfing satu kali dan dari informasi yang diperoleh bahwa kelima genotipe tersebut
menunjukkan jarak genetik yang jauh serta memiliki beberapa keunggulan Galingging 2005; Sulistyo 2006. Inokulum cendawan C. gloeosporioides yang
digunakan biakan murni isolat TJR1 merupakan hasil percobaan Studi Patogen Antrakosa pada Pepaya. Kultur cendawan yang berumur 2 minggu digunakan
sebagai sumber inokulasi dengan konsentrasi 10
6
konidiaml. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK faktor tunggal
dengan 5 genotipe pepaya sebagai perlakuan dan tiga kelompok sebagai ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 5 tanaman pepaya, sehingga setiap perlakuan terdapat 15
tanaman pepaya. Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah;
1. Karakter vegetatif tinggi tanaman cm; tinggi buah pertama cm; diameter batang cm; panjang petiole cm; panjang daun dan lebar daun cm.
Pengamatan karakter vegetatif dilakukan pada saat bunga pertama muncul, atau pada saat memasuki fase generatif.
2. Karakter generatif jumlah buah; berat buah kg; panjang buah; diameter buah cm; ketebalan daging buah cm; kekerasan buah kgcm
2
; kandungan padatan total terlarut
o
brix dan karakter ketahanan masa inkubasi hari; 3. Karakter ketahanan; luas gejala dipermukaan buah pepaya , keparahan
penyakit , diameter gejala cm dan Persen warna kuning pada buah pepaya saat gejala pertama muncul . Ketahanan 100 - Keparahan Penyakit.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan prosedur anova seperti ditunjukkan pada Tabel 11 Annicchiarico 2002.
Tabel 11 Analisis Ragam Model Acak Disertai Harapan Kuadrat Tengah
Sumber Keragaman SK
Derajat Bebas DB
Varians MS
EKT Fhit Lokasi
Ulangan lokasi Genotipe
GxL Galat
l-1 lr-1
g-1 g-1l-1
1g-1r-1 M2
M3 M1
M4 M5
σ
2
e + g σ
2
rl + gr σ
2
l σ
2
e +g σ
2
rl σ
2
e+r σ
2
gl +rl σ
2
g σ
2
e+r σ
2
gl σ
2
e M2M4
- M1M4
M4M5 -
49 Ragam galat x lokasi
σ
2 gl
= M4 – M5r, ragam galat σ
2
e = M5; sehingga ragam genetik menjadi :
rl M
M g
4
1 2
− =
σ
ragam fenotipe menjadi
r gl
rl e
g p
2 2
2 2
σ σ
σ σ
+ +
= sehingga perhitungan
heritabilitas menjadi r
gl rl
e g
g p
g
2 2
2 2
2 2
σ δ
δ δ
σ σ
+ +
= Besarnya koefisien korelasi antara peubah x dan y dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Keeratan hubungan antar karakter dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson dilanjutkan dengan analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan sebagai
berikut Singh dan Chaubdhary 1979:
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎣ ⎡
= ⎥
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎢
⎣ ⎡
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎢ ⎢
⎣ ⎡
py y
Y
P pp
p p
p p
r r
r
C C
C
r r
r r
r r
r r
r
L L
L L
L L
L L
L L
L L
L
2 1
2 1
2 1
2 22
21 1
12 11
Rx C
Ry Berdasarkan persamaan diatas, nilai C dapat dihitung menggunakan rumus:
C= Rx
-1
Ry di mana : Rx = matriks korelasi antar peubah bebas; Rx
-1
= Invers matriks Rx; C = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung
setiap peubah bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas;
Ry = vektor koefisien korelasi antara peubah bebas Xi i = 1,2,…..p dengan peubah tak bebas Y
Hasil dan Pembahasan Korelasi antar Karakter pada Tetua
Korelasi antar karakter tanaman yang biasanya diukur dengan koefisien korelasi penting dalam pemuliaan tanaman karena koefisien ini mengukur derajat
hubungan antar dua karakter atau lebih. Korelasi antar karakter sangat bermanfaat,
∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
∑
− −
− =
2 1
2 2
2
y y
n x
x n
y x
y x
n r
i i
i j
i j
i xy
50 selain untuk memprediksi respon ikutan correlated respon dalam penerapan seleksi
tak langsung indirect selection. Karakter yang berkorelasi nyata dengan ketahanan di Tajur adalah panjang
buah r = -0.89, berat buah r = -0.67, diameter gejala r = -0.67, persentase gejala r = -0.92, persentase warna kuning buah saat gejala muncul r = 0.65,
dan padatan total terlarut r = 0.59 Tabel 12. Selanjutnya hasil analisis korelasi antar karakter yang menunjukkan pengaruh nyata pada percobaan di Gunung Geulis
adalah panjang buah r = -0.84, tebal buah r = -0.52, persentase gejala r = -0.99, persentase warna kuning buah saat gejala muncul r = 0.79,
padatan total terlarut r = 0.79, dan kekerasan buah r = 0.71 Tabel 13. Karakter antar sifat yang bernilai positif terhadap ketahanan terhadap antraknosa
mengindikasikan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter-karakter tersebut maka, ketahanan akan meningkat pula, yang berarti tanaman akan lebih
tahan terhadap antraknosa. Sebaliknya, karakter yang berkorelasi negatif nyata terhadap ketahanan mengindikasikan kerentanan terhadap penyakit.
Karakter yang berkorelasi nyata dengan ketahanan antraknosa di dua lokasi percobaan dapat digabung apabila dari uji kehomogenan ragam tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Hasi uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada dua lokasi Tajur dan Gunung Geulis menununjukkan bahwa ragam populasi lima genotipe
pepaya di Tajur dan Gunung Geulis homogen untuk karakter panjang buah, padatan total terlarut, kekerasan buah, persentase gejala dan ketahanan Tabel 14. Oleh
karena itu analisis selanjutnya data populasi di Tajur dan Gunung Geulis dapat digabungkan.
Data dari kedua lokasi percobaan yang menunjukkan korelasi nyata antar karakter di gabung sebagai data gabungan, yang selanjutnya dilakukan uji korelasi
kembali. Karakter yang menunjukkan korelasi yang nyata terhadap keparahan penyakit pada data gabungan dari dua lokasi adalah panjang buah r = - 0.844,
persentase gejala -0.889 padatan total terlarut r = 0.749, kekerasan buah r = 0.615 Tabel 15.
51
52
53
54 Hasil penelitian Tenaya et al. 2001 menunjukkan bahwa peningkatan
ketahanan tanaman cabai terhadap antraknosa dapat dilakukan dengan menyeleksi karakter yang berkorelasi negatif dengan tingkat keparahan penyakit. Jadi upaya
untuk meningkatkan ketahanan tanaman pepaya terhadap antraknosa dapat dilakukan dengan cara menyeleksi tanaman yang memiliki buah yang berukuran kecil, padatan
total terlarut yang tinggi dan buah yang keras. Tabel 15 Nilai koefisien kolerasi antar karakter terhadap keparahan penyakit
antraknosa pada pepaya data gabungan Karakter
Pjg buah PTT Kekerasan
buah GJL Ketahanan
Pjg buah 1.000
-0.857 -0.375
tn
0.886 -0.844
PTT 1.000
0.064
tn
-0.672 0.749
Kekerasan buah
1.000 -0.552
0.615 GJL
1.000 -0.899
Ketahanan 1.000
Keterangan; Pjg buah= panjang buahPTT = padatan total terlarut, GJL= persentase gejala pada akhir pengamatan
Korelasi yang tinggi hanya menunjukkan keeratan hubungan antar sifat, tetapi tidak dapat menunjukkan adanya hubungan sebab akibat. Sidik lintas dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui hubungan sebab akibat dan dapat memilahnya menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung Roy 2000.
Sidik Lintas
Kontribusi setiap karakter ketahanan terhadap antraknosa, baik langsung maupun tidak langsung dianalisis melalui sidik lintas. Karakter yang dilibatkan
dalam analisis ini adalah karakter yang memiliki korelasi nyata dengan keparahan penyakit dan dibangun berdasarkan hubungan sebab akibat.
Panjang buah menunjukkan pengaruh langsung 0.358, namun korelasi terhadap keparahan penyakit positif -0.844, hal ini mengindikasikan adanya
pengaruh tidak langsung secara simultan yang mempengaruhi karakter panjang buah. Karakter ini tidak dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan pepaya terhadap
antraknosa. Sehingga seleksi harus dilakukan secara langsung pada karakter ketahanan terhadap antraknosa dengan menggunakan peubah persentase gejala dan
ketahanan. Karakter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah yang mempunyai pola yang sama antara korelasi genotifik dan pengaruh langsung.
55 Tabel 16 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi dengan
ketahanan terhadap persentase keparahan penyakit antraknosa pada pepaya
Karakter Pengaruh langsung
Pengaruh tidak langsung Pengaruh
total Panjang
buah PTT Kekerasan
buah GJL
Panjang buah
0.358 0.307
0.134 -0.317
-0.844 PTT 0.658 0.564
-0.042 0.442 0.749
Kekeras an buah
0.411 0.154 -0.026
0.227 0.615
GJL -0.571 0.506 -0.383
-0.315 -0.899
Keterangan; PTT = padatan total terlarut, , GJL= persentase gejala pada akhir pengamatan
Berdasarkan asumsi hubungan sebab akibat, persentase gejala akan memberikan kontribusi langsung yang besar -0.571 terhadap ketahanan, dengan
peningkatan persentase gejala terjadi penurunan ketahanan pepaya terhadap antraknosa sebesar 57.1 atau genotipe pepaya menunjukkan kerentanan. Pengaruh
langsung yang memberikan kontribusi ketahanan adalah yang bernilai positif yaitu padatan total terlarut 0.658 dan kekerasan buah 0.411 Tabel 16. Peningkatan
padatan total terlarut akan memberi peningkatan ketahanan sebesar 65.8 dan peningkatan kekerasan buah akan memberikan peningkatan ketahanan sebesar
41.1. Roy 2000 menyatakan bahwa suatu karakter dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi, apabila antara nilai korelasi dan pengaruh langsung bernilai dan
bertanda sama. Pengaruh langsung dan korelasi antar sifat juga tercermin padaa Gambar 6.
Diagram lintas dapat menjelaskan beberapa karakter terhadap ketahanan pepaya terhadap antraknosa Y dan korelasi antar karakter. Karakter yang memberikan
nilai pengaruh langsung terhadap ketahanan pepaya terhadap antraknosa terbesar adalah persentase gejala X4, padatan total terlarut X2 dan kekerasan buah X3
dengan nilai berturut turut; -0.571, 0.658, dan 0.411. Nilai koefisien korelasi persentase gejala -0.889, padatan total terlarut r = 0.749, kekerasan buah
r = 0.615. Ketiga karakter tersebut dapat digunakan untuk menyeleksi ketahanan terhadap antraknosa pada pepaya.
Padatan total terlarut merupakan karakter yang dapat digunakan untuk menentukan rasa manis pada buah pepaya. Dari hubungan antara rasa manis dengan
56 ketahanan antraknosa pada pepaya mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya
rasa manis pada buah pepaya maka ketahanan terhadap antraknosa juga meningkat. Padatan total terlarut merupakan fotosintat hasil fotosintesis tanaman yang terdiri
dari sejumlah polisakarida yang berantai ganda yang akan sulit dimanfaatkan oleh cendawan sebelum dirombak menjadi gugus gula yang lebih sederhana.
Y
X1 X2
X3
0,358 0.658
0.411 -0.571
-0.857
0.064
tn
-0.671 -0.552
-
0.374
tn
0.374
X4
0.866
Keterangan: X1 = Panjang buah cm, X2 = Padatan total terlarut , X3 = Kekerasan buah, X4 = Persentase luas gejala
Gambar 6 Diagram lintas beberapa karakter dengan keparahan penyakit pada lima genotipe pepaya data gabungan
Karakter kekerasan buah berkorelasi nyata dan menunjukkan pengaruh langsung yang besar terhadap ketahanan pepaya terhadap antraknosa. Hal ini diduga
bahwa genotipe pepaya yang memiliki buah yang lebih keras akan sulit diinfeksi oleh C. gloeosporioides, sehingga infeksi akan kecil pada buah pepaya yang keras.
Meningkatnya ketahanan pepaya terhadap antraknosa ditunjukkan dengan meningkatnya padatan total terlarut dan kekerasan buah. Terlihat ada dua mekanisme
ketahanan yang ditunjukkan yaitu ketahanan struktural pada peubah kekerasan buah dan biokimia pada peubah pedatan total terlarut.
Keempat karakter yaitu panjang buah, padatan total terlarut, kekerasan buah, dan persentase gejala telah mampu menggambarkan sekitar 62.6 ketahanan
terhadap antraknosa pada pepaya Gambar 6. Pemilihan karakter yang digunakan
57 untuk menseleksi ketahanan antraknosa terhadap pepaya adalah yang memiliki
korelasi yang nyata, memiliki pengaruh langsung terhadap karakter ketahanan serta memiliki nilai heritabilitas yang tinggi.
Heritabilitas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh genotipe yang sangat nyata terhadap penampilan panjang buah, tebal daging buah, persen padatan
total terlarut, kekerasan buah, warna kuning buah saat gejala pertama muncul, persen gejala dan keparahan penyakit antraknosa pada pepaya Tabel 17. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat keragaman fenotifik dan genotifik pada populasi yang pepaya yang diamati.
Tabel 17 Analisis ragam panjang buah, tebal buah, padatan total terlarut, kekerasan buah, persentase warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala
dan keparahan penyakit
Sumber keragaman
Db Panjang buah
PTT Kekerasan buah
Persen gejala Keparahan
penyakit Kuadrat Tengah
Lokasi 1 5.28
105.99 0.013
9876.14 3861.04
Ulg L 4
14.43 0.22
0.001 170.17
54.37 Genotipe 4 318.19
16.97 0.03 3188.05 3671.01
G x L 4
34.06 2.11
0.02 432.12
525.19 Galat 18
6.80 2.733 0.001 97.09 121.97
KK 13.07 16.37 6.43
21.23 20.52
Keterangan; PTT = padatan total terlarut, G= genotipe, L= loakasi.
Pendugaan komponen ragam dan heritabilitas dilakukan untuk mengetahui proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Keragaman genetik panjang buah, warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala dan keparahan penyakit relative tinggi, sedangkan padatan total terlarut dan
kekerasan buah relative rendah. Heritabilitas panjang buah, padatan total terlarut warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala dan keparahan penyakit
termasuk tinggi, sedangkan kekerasan buah termasuk sedang Tabel 18. Menurut klasifikasi Mangoendidjojo 2003, H 50 termasuk tinggi, H 20 termasuk
sedang, dan H20 termasuk rendah. Karakter yang digunakan sebagai kriteria seleksi untuk ketahanan terhadap
antraknosa selain berkorelasi tinggi, juga harus memiliki nilai heritabilitas yang
58 tinggi sehingga akan diwariskan pada generasi berikutnya. Dengan demikian perlu
dipilih karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Tabel 18 Ragam genetik, ragam fenotipe dan nilai heritabilitas arti luas dari panjang
buah, tebal buah, padatan total terlarut PTT, kekerasan buah, persentase warna kuning buah saat gejala muncul, persentase gejala dan
keparahan penyakit Karakter Ragam
genetik Ragam
fenotipe Heritabilitas
arti luas Kriteria
Panjang buah
47.35 63.98
0.74 Tinggi
PTT
2.48 4.81
0.51 Tinggi
Kekerasan buah
0.002 0.008
0.28 Sedang
Persen gejala
459.32 664.49
0.69
Tinggi Berdasarkan nilai korelasi, koefisien lintas dan heritabilitas maka karakter
yang dapat digunakan untuk menseleksi ketahanan pepaya terhadap antraknosa adalah persen padatan total dan persentase gejala. Seleksi ketahanan terhadap
antraknosa pada pepaya dapat dilakukan melalui karakter padatan total terlarut atau secara langsung pada peubah persentase gejala dan keparahan penyakit.
Pemilihan karakter dalam proses seleksi ketahanan genotipe pepaya terhadap penyakit antraknosa dapat dilihat dari pola korelasi yang sama dan bernilai tinggi
antara korelasi genotifik dan pengaruh langsung, serta memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Dua dari keempat karakter di atas yaitu padatan total terlarut dan
persentase gejala menunjukkan pola yang sama antara korelasi genotifik 0.749 dan -0.899 dengan pengaruh langsung 0.658 dan -0.571 serta nilai heritabilitas yang
tinggi 0.51 dan 0.69. Sehingga kedua karakter tersebut dapat digunakan dalam proses seleksi dalam pembentukan genotipe pepaya tahan antraknosa.
Seleksi ketahanan terhadap antraknosa pada karakter padatan total terlarut akan lebih muda dilakukan karena seleksi dapat dilakukan tanpa melakukan
inokulasi terlebih dahulu, hanya merasakan daging buah pepaya yang manis kita bisa menentukan genotipe pepaya yang tahan.
Simpulan
Berdasarkan uji korelasi antar karakter pada pengujian di dua lokasi yaitu Tajur dan Gunung Geulis menunjukkan bahwa karakter yang berkorelasi yang nyata
terhadap keparahan penyakit adalah panjang buah r = -0.844, persentase gejala 0.889 padatan total terlarut r = 0.749, kekerasan buah r = 0.615.
59 Karakter panjang buah, padatan total terlarut, kekerasan buah, persentase
gejala telah mencerminkan tingkat ketahanan pepaya terhadap antraknosa sebesar 62.6. Karakter yang dianjurkan untuk seleksi ketahanan terhadap antraknosa
adalah padatan total terlarut, karakter tersebut dipilih karena memiliki nilai korelasi yang tinggi yaitu 0.749, pengaruh langsung 0.658 dan nilai heritabilitas 0.51.
Seleksi juga dapat dilakukan secara langsung pada peubah persentase gejala.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1 BPPS Dikti Depdiknas RI, 2
Pusat Kajian Buah Tropika PKBT melalui Tim Program Penelitian Riset Unggulan Strategis Nasional RUSNAS; 3 Maneger PT. Agrorekatama Gunung
Geulis Bogor; 4 Kepala Kebun Percobaan PKBT Tajur Bogor dan; 5 Kepala
Laboratorium Mikologi HPT IPB Bogor
Daftar Pustaka
Annicchiarico P. 2002. Genotype x environment interaction – chalellenges and opportunities for plant breeding and cultivar recommendations. Rome: Food
and Agriculture Organization of the United Nations. 115 hal. El Moussaoui AM, Nijs M, Paul C, Wintjens R, Vincentelli J, Azarkan M, Looze Y.
2001. Revisiting the enzymes stored in the laticifers of Carica papaya in the context of their possible participation in the plant defence mechanism. Cell
molec life Sci 58:556-570. Kader AA. 2002. Papaya Recommendations for maintaining postharvest quality
Postharvest Technology Research Information Center Department of Plant Sciencea. University of California.
Mahfud MC. 1985. Penyakit antraknosa pada pepaya. Hort 15:501-503. Mangoeondidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta:
Kanisius. Moeljopawiro S. 2002. Optimizing seledtion for yield using selection index. Zuriat
131:35-43. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New delhi:
Narosa Publishing House. 701 hal.
60 Setyobudi L, Purnomo S. 1999. Papaya research and development in Indonesia.
Didalam Hautea RA, Chan YK, Attathom S, Krattiger AF editor. The Papaya Biotechnology Network of Southeast Asia: Biosafety Considerations and
Papaya Background Information. ISAAA Brief No.11. International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications, Ithaca, New York.
Soh AC, Chow CS, Iyama S, Yamada Y. 1994. Candidate traits for index selection in choice of oil palm ortets for clonal propagation. Euphytica 79:23-32.
Sulusi P, Sjaifullah, Amiarsi D. 1991. Cendawan penyebab kerusakan buah pepaya selama penyimpanan dan pemasaran serta pengendaliannya. Hort 13:47-53.
51
Lampiran 12 Koefisien korelasi genotifik antar karakter agronomi dan ketahanan terhadap antraknosa pada lima genotipe pepaya di Tajur X1
X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11
X12 X13 X14 X15 X16
X17 X1
1.00 0.64 -0.36tn 0.09tn 0.81 0.87 -0.79 -0.48
tn
-0.32
tn
-0.04
tn
0.15
tn
0.09
tn
-0.19
tn
0.05
tn
-0.09
tn
-0.17
tn
-0.89
X2
1.00 0.40
0.65 0.40
tn
0.41
tn
-0.26
tn
-0.72 0.28
tn
-0.30
tn
0.09
tn
-0.01
tn
0.14
tn
0.22
tn
-0.02
tn
-0.25
tn
-0.67
X3
1.00 0.50
tn
-0.34
tn
-0.60 0.52 -0.24
tn
0.65 -0.12
tn
0.01
tn
-0.09
tn
0.43
tn
0.15
tn
0.10
tn
0.05
tn
0.33
tn
X4
1.00 -0.10
tn
-0.03
tn
0.38
tn
-0.41
tn
0.69 -0.74 -0.32
tn
-0.34
tn
-0.03
tn
0.12
tn
-0.06
tn
-0.23
tn
-0.23
tn
X5
1.00 0.66
-0.72 -0.19
tn
-0.52 -0.01
tn
0.23
tn
0.19
tn
-0.06
tn
-0.01
tn
-0.01
tn
-0.34
tn
-0.67
X6
1.00 -0.80
-0.30
tn
-0.49
tn
0.11
tn
0.05
tn
0.19
tn
-0.17
tn
0.16
tn
-0.01
tn
-0.00
tn
-0.92
X7
1.00 0.08
tn
0.67 -0.42
tn
-0.33
tn
-0.07
tn
0.08
tn
0.14
tn
0.21
tn
0.04
tn
0.65
X8
1.00 -0.29
tn
0.25
tn
-0.01
tn
-0.14
tn
-0.02
tn
-0.36
tn
-0.07
tn
0.29
tn
0.59
X9
1.00 -0.49
tn
-0.49
tn
-0.22
tn
0.23
tn
0.27
tn
0.21
tn
-0.05
tn
0.26
tn
X10
1.00 0.36
tn
0.34
tn
0.40
tn
0.08
tn
0.12
tn
0.46
tn
0.11
tn
X11
1.00 -0.16
tn
-0.21
tn
-0.46
tn
-0.51
tn
0.04
tn
-0.03
tn
X12
1 00 .
0.53 0.78
0.85 0.20
tn
-0.19
tn
X13
1.00 0.59
0.63 0.15
tn
0.11
tn
X14
1.00 0.91
0.18
tn
-0.28
tn
X15
1.00 0.29
tn
-0.03
tn
X16
1.00 0.20
tn
X17
1.00
Keterangan: X1 = Panjang buah cm, X2 = Berat buah kg, X3 = Diamater buah cm, X4 = Tebal buah cm, X5 = Diameter gejala cm, X6 = Persentase gejala ,X7 = Persentase kematangan buah saat gejala mncul , X8 = Padatan total terlarut
Brix, X9 = Kekerasan buah cmkg, X10 = Tinggi tanaman cm, X11 = Tinggi buah pertama cm, X12 = Diamater batang cm, X13 = Panjang petiole cm, X14 = Panjang daun cm, X15 = Lebar daun cm, X16 = Jumlah buah, X17 =
Ketahanan , tn= tidak nyata, dan = Berkorelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 dan 99.
52
Tabel 13 Koefisien korelasi genotifik antar karakter agronomi dan ketahanan terhadap antraknosa pada lima genotipe pepaya di Gunung Geulis X1
X2 X3 X4 X5
X6 X7 X8 X9 X10
X11 X12 X13 X14
X15 X16
X17 X1
1.00 0.59 0.52 0.84 0.39
tn
0.84 -0.76 -0.76 -0.55 -0.16
tn
-0.20
tn
0.08
tn
-0.52 -0.20
tn
-0.40tn 0.23
tn
-0.84
X2
1.00 0.55
0.73 0.11
tn
0.40
tn
-0.16
tn
-0.41
tn
-0.24
tn
-0.19
tn
-0.29
tn
-0.12
tn
-0.18tn -0.24tn -0.51tn -0.14
tn
-0.36
tn
X3
1.00 0.77
0.20
tn
0.13
tn
-0.19
tn
-0.19
tn
0.24
tn
-0.05
tn
-0.00
tn
-0.10
tn
-0.24
tn
-0.28
tn
-0.32
tn
-0.18
tn
-0.11
tn
X4
1.00 0.42
tn
0.54 -0.42
tn
-0.62 -0.15
tn
-0.17
tn
-0.15
tn
-0.02
tn
-0.32
tn
-0.17
tn
-0.36
tn
-0.00
tn
-0.52
X5
1.00 0.33
tn
-0.09
tn
-0.55 0.20
tn
0.55 0.33
tn
-0.24
tn
-0.18
tn
-0.19
tn
-0.26
tn
0.59 -0.34
tn
X6
1.00 -0.76 -0.78 -0.70 -0.12
tn
-0.27
tn
-0.08
tn
-0.38
tn
-0.10
tn
-0.30
tn
0.28
tn
-0.99
X7
1.00 0.56
0.61 0.20
tn
0.15
tn
-0.37
tn
0.38
tn
-0.11
tn
-0.04
tn
-0.32
tn
0.79
X8
1.00 0.35
tn
-0.03
tn
0.29
tn
-0.11
tn
0.07
tn
-0.16
tn
0.13
tn
-0.49
tn
0.79
X9
1.00 0.44
tn
0.41tn -0.19
tn
0.42
tn
0.10
tn
0.24
tn
-0.02
tn
0.71
X10
1.00 0.77
-0.09
tn
-0.05
tn
0.28
tn
-0.17
tn
0.67 0.08
tn
X11
1.00 -0.03
tn
-0.27
tn
-0.39
tn
-0.16
tn
0.41
tn
0.24
tn
X12
1.00 0.13
tn
0.49
tn
0.47
tn
0.36
tn
-0.03
tn
X13
1.00 0.80
0.75 -0.02
tn
0.41
tn
X14
1.00 0.92
0.14
tn
0.09
tn
X15
1.00 0.09
tn
0.28
tn
X16
1.00 -0.35
tn
X17
1.00
Keterangan: X1 = Panjang buah cm, X2 = Berat buah kg, X3 = Diamater buah cm, X4 = Tebal buah cm, X5 = Diameter gejala cm, X6 = Persentase gejala ,X7 = Persentase kematangan buah saat gejala mncul , X8 = Padatan total terlarut
Brix, X9 = Kekerasan buah cmkg, X10 = Tinggi tanaman cm, X11 = Tinggi buah pertama cm, X12 = Diamater batang cm, X13 = Panjang petiole cm, X14 = Panjang daun cm, X15 = Lebar daun cm, X16 = Jumlah buah, X17 =
Ketahanan , tn= tidak nyata, dan = Berkorelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 dan 99.
53
Tabel 14 Uji kehomogenan ragam beberapa karakter agronomi, persentase gejala penyakit dan keparahan penyakit antraknosa pada pepaya di Tajur dan Gunung Geulis Bogor
Populasi Peubah Panjang buah
Padatan total terlarut
Kekerasan buah Warna kuning
buah Persentase gejala
Keparahan penyakit Tajur
3.00 ± 1.46 20.37 ± 8.83
2.17 ± 0.33 8.21 ± 1.70
66.00 ± 27.35 1.37 ± 0.61
Gunung Geulis 3.00 ± 1.46
19.53 ± 5.87 2.08 ± 0.26
11.98 ± 2.39 78.54 ± 28.01
1.79 ± 3.19 Prob
│t│ 1.00
tn
0.76
tn
0.44
tn
0.0001 0.22
tn
0.000 Prob
│F│ 1.00
tn
0.14
tn
0.33
tn
0.21
tn
0.92
tn
0.61
tn
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK UNTUK KARAKTER KETAHANAN PEPAYA TERHADAP ANTRAKNOSA
Abstrak
Dalam rangka mendapatkan informasi tentang parameter pemuliaan tanaman dalam pembentukan ketahanan pepaya terhadap antraknosa yang disebabkab oleh
C. gloeosporioides maka perlu dilakukan penelitian tentang pendugaan parameter genetic untuk karakter ketahanan pepaya terhadap antraknosa. Kegiatan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan daya gabung antar tetua yang digunakan baik itu daya gabung umum DGU maupun daya gabung khusus
DGK serta efek heterosis pada karakter ketahanan terhadap antraknosa. Bahan genetik yang digunakan adalah lima tetua yang disilangkan dengan metode half
diallel. Hasil analisis daya gabung menunjukkan bahwa gen yang berperan dalam mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa adalah gen aditif dan non aditif.
Hasil persilangan antara genotipe tahan dengan genotipe rentan menunjukkan bahwa ketahanan antraknosa pada pepaya diduga dikendalikan oleh tiga kelompok
gen poligenik. Persilangan antara genotipe IPB5 x PB000174 menunjukkan nilai heterosis tertinggi diantara persilangan lainnya yaitu 51.51 di tajur dan
48.71 di Gunung Geulis.
Kata kunci : Colletotrichum, half diallel, heterosis, DGU, DGK
Abstract
Unfortunately there is no available information about resistance of papaya to C. gloeosporioides. This study was conducted to determine the relative
importance of general GCA and specific SCA combining ability and heterosis effects on resistance to C. gloeosporioides in selected papaya genotypes. A half
diallel mating scheme of five genotypes of papaya were evaluated in the field. The combining ability analysis revealed that both the additive and nonadditive gene
effects were present. Crosses between the resistance and susceptible genotypes showed intermediate disease reaction to PAD suggesting a polygenic resistance to
the disease. Highly resistance heterosis of 51.51 at Tajur and 48.71 at Gunung Geulis were expressed in crosses between IPB5 x PB000174.
Keyword :
Colletotrichum,half diallel, heterosis, GCA, SCA
PENDAHULUAN Latar Belakang
Produktivitas pepaya di Indonesia pada tahun 2004 bisa mencapai 73.26 tonha tetapi menurun menjadi 64.67 tonha pada tahun 2005 FAO 2005. Salah
satu penyebab penurunan produksi tersebut adalah adanya gangguan hama dan penyakit. Penyakit antraknosa pada buah pepaya merupakan penyakit utama
62 pasca panen yang dapat menurunkan kualitas buah dan dapat menurunkan hasil
panen. Meskipun kerugian terutama terjadi pada buah, khususnya buah dalam pengangkutan dan penyimpanan, namun penyakit ini juga dapat timbul pada daun-
daun tua, buah muda dan tangkai buah. Penyakit antraknosa dapat menurunkan produksi pepaya sekitar 40 di Kabupaten Malang Mahfud 1985. Penyebab
antraknosa pada buah pepaya di Indonesia adalah C. gloeosporioides Penz Sacc atau pada stadium sempurnanya dikenal dengan nama Glomerella cingulata
Sulusi et al 1991. Selanjutnya Kader 2000 juga menyatakan bahwa antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides merupakan penyebab utama kehilangan
hasil pasca panen pada buah pepaya di California. Salah satu karakter dari idiotipe pepaya yang diinginkan dari program pemuliaan adalah kulit buah halus
tanpa cacat baik itu karena gangguan fisiologis maupun serangan patogen pada buah.
Teknik pengendalian antraknosa yang paling efisien, aman dan murah adalah menanam varietas yang tahan. Ketersediaan tanaman unggul yang
berpotensi tinggi serta tahan terhadap penyakit antraknosa masih menjadi kendala utama dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman pepaya. Upaya
mendapatkan tanaman unggul tersebut menjadi sasaran utama dalam program pemuliaan tanaman pepaya.
Persilangan merupakan metode yang lazim digunakan dalam proses mendapatkan tanaman unggul dengan metode pemuliaan konvensional. Hal yang
penting diketahui dalam pembentukan varietas tahan antraknosa melalui program persilangan adalah kemampuan tetua menghasilkan turunan yang unggul dengan
suatu uji keturunan, seperti persilangan dialel. Persilangan dialel adalah persilangan yang dilakukan di antara semua pasangan tetua sehingga diketahui
potensi daya gabung, baik daya gabung umum DGU maupun daya gabung khusus DGK serta dapat menduga besarnya ragam genetik dari suatu karakter.
Menurut Darlina et al. 1992 daya gabung sangat diperlukan untuk mengidentifikasi kombinasi tetua yang akan menghasilkan keturunan yang
berpotensi hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit. Selanjutnya Baker 1978 menyatakan bahwa persilangan antar tetua yang memiliki efek daya gabung tinggi
berpotensi menghasilkan keturunan dengan penampilan yang baik, sedangkan
63 pengaruh interaksi antar tetua dapat terjadi bila efek daya gabung khususnya
nyata. Hasil penelitian Sulistyo 2006 menunjukkan bahwa pepaya IPB 10 merupakan tetua dengan daya gabung umum DGU yang baik untuk karakter-
karakter generatif. Daya gabung juga telah banyak digunakan untuk seleksi ketahanan terhadap penyakit. Owolade et al. 2006 menggunakan nilai daya
gabung umum dan daya gabung khusus dalam menseleksi tanaman singkong yang tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeoporioedes f.sp
manihotis. Untuk perbaikan karakter terutama ketahanan terhadap hama dan penyakit
dapat dilakukan dengan memanfaatkan efek heterosis dari persilangan pada tanaman pepaya. Hasil penelitian Chan 1995 menunjukkan bahwa gejala
heterosis ditemukan pada empat peubah vegetatif tanaman pepaya yang diamati yaitu diameter batang, tinggi tanaman, panjang petiole dan lebar lamina.
Penelitian bertujuan untuk mengembangkan konsep pemuliaan pepaya dalam upaya mendapatkan genotipe tahan terhadap penyakit antraknosa yang
berdaya hasil tinggi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi dalam perbaikan genetik tanaman pepaya, terutama
hubungannya dengan karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Sebagai tahap awal untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut; 1. Mengetahui adanya tanaman yang tahan dan rentan pada genotipe pepaya
baik tetua maupun hasil persilangan berdasarkan persentase keparahan penyakit.
2. Menghitung besarnya daya gabung umum dan khusus dari tetua-tetuanya untuk karakter-karakter ketahanan yang diamati, sehingga diharapkan
diperoleh keterangan tentang potensi hibrida. 3. Mengetahui kemungkinan terdapatnya efek heterosis pada persilangan
tanaman pepaya tahan terhadap penyakit antraknosa.
64
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Percobaan yang dilakukan mencakup percobaan lapang dan laboratorium. Pembentukan populasi pepaya dilakukan di kebun percobaan PKBT Tajur.
Penanaman populasi dialel dilaksanakan di dua lokasi yaitu di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah Tropika PKBT di Tajur 250 meter dpl, dan PT.
Agrorekatama Gunung Geulis Gadog 550 meter dpl. Kegiatan perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan dan kegiatan penapisan ketahanan pepaya
terhadap C. gloeosporioides dilakukan di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman IPB. Penelitian berlangsung sejak bulan Januari 2005 sampai
bulan Agustus 2006.
Isolat cendawan yang digunakan adalah biakan murni isolat TJR1 yang merupakan hasil percobaan Studi Patogen Antraknosa pada Pepaya. Kultur
cendawan dibiakkan pada media PDA. Kultur cendawan yang berumur 2 minggu digunakan sebagai sumber inokulasi dengan konsentrasi 10
6
konidiaml. Bahan tanaman yang digunakan adalah lima genotipe pepaya yaitu IPB1, IPB10,
STR64, IPB5, PB000174.
Pembentukan Populasi Dialel
Lima tetua pepaya yang terpilih ditanam masing-masing sebanyak lima tanaman tanpa rancangan percobaan. Penanaman menggunakan prosedur
budidaya standar. Jumlah persilangan yang dibuat adalah [nn-12] = [55-12] = 10 F
1
. Sehingga total jumlah genotipe yang akan diuji adalah 15 genotipe, terdiri dari 5 tetua, 10 F
1
Tabel 19. Lima tetua yang digunakan di selfing satu kali, kemudian dilakukan persilangan dengan metode half diallel. Masing-masing
genotipe dijadikan tetua jantan dan betina untuk disilangkan dengan genotipe lainnya.
Genotipe IPB1, IPB10, STR64 dan IPB5 yang digunakan sebagai sumber jantan dan betina dalam persilangan serta selfing dilakukan pada tanaman
hermaprodit. Sedangkan genotipe PB000174, selfing dan persilangan berasal dari tanaman jantan dan betina. Hal ini dilakukan karena genotipe PB000174 adalah
tanaman dioucious, yang hanya memiliki tanaman jantan dan betina, tanpa ada tanaman hermaprodit.
65 Tabel 19 Persilangan setengah dialel menggunakan lima tetua
♂ IPB1 IPB10 STR64 IPB5
PB000174 ♀
IPB1 8
¯ ¯
¯ ¯
IPB 10 8
¯ ¯
¯ STR64
8 ¯
¯ IPB5
8 ¯
PB000174 8
Keterangan : 8 selfing; ¯ persilangan
Pengujian Populasi Dialel
Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal 15 genotipe pepaya dengan 3 ulangan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas
15 tanaman. Populasi F1 yang terbentuk masih dalam kondisi heterozigot, untuk memenuhi asumsi homozigot maka sampel yang diamati harus dari 15 tanaman
pepaya dari setiap genotipe. Percobaan inokulasi dilakukan di laboratorium Pemanenan buah dilakukan pada kondisi buah matang 25. Setelah dipanen,
buah dibersihkan dengan air mengalir kemudian direndam dalam larutan sodium hypochlorite 0.5 selama 5 menit lalu dikeringkan. Inokulasi dilakukan dengan
cara semprot menggunakan sprayer dengan suspensi konidia C. gloeoesporioides 10
6
konidiaml Dickman et al., 1983. Kemudian buah pepaya yang telah diinokulasi diletakkan kedalam bak plastik yang beralaskan kertas basah,
selanjutnya ditutup dengan plastik transparan. Gejala diamati setiap hari setelah inokulasi. Pengukuran diameter gejala dan persentase luas gejala pada permukaan
buah pepaya dilakukan pada 7 hari setelah inokulasi. Peubah yang diamati adalah:
1. Penghitungan Keparahan Penyakit , dihitung berdasarkan rumus:
100
1
x NxZ
xv n
KP
i i
∑
=
=
KP : keparahan penyakit ni : jumlah buah tiap kelas luas gejala
Vi : nilai skor tiap kelas luas gejala N : jumlah buah yang diamati
Z : nilai skor kelas luas gejala tertinggi
66 Skor luas persen gejala pada permukaan buah Suryaningsih 1991 yaitu;
0 = tidak ada gejala 1 = gejala awal sampai 19
2 = 20 – 39 gejala 3 = 40 – 59 gejala
4 = 60 – 79 gejala 5 = 80 – 100 gejala
Tingkat ketahanan tanaman dikelompokkan dalam lima empat kelas ketahanan mengikuti kriteria Suryaningsih 1991 yang di modifikasi dengan menggunakan
rumus 100 - Keparahan Penyakit KP. Tabel 20 Kelas ketahanan pepaya terhadap antraknosa berdasarkan 100-KP
Kelas Nilai kelas
100 - Keparahan penyakit 1
Tahan x
≥ 80 2 Agak
Tahan 61 ≤ x ≤ 79
3 Agak Rentan
40 ≤ x ≤ 60
4 Rentan
≤ x ≤ 39 2. Padatan Total Terlarut PTT, pengamatan PTT dilakukan pada saat kondisi
buah matang penuh 100 dengan menggunaan hand refraktometer. 3. Kekerasan buah, pengamatan kekerasan buah dilakukan pada saat kondisi buah
matang penuh 100 dengan menggunakan hand phenetrometer. 4. Persentase warna kuning buah saat gejala pertama muncul, pengamatan
dilakukan setiap hari setelah inokulasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu
Hayman dan Griffing. Selain itu juga dilakukan pendugaan nilai heterosis berdasarkan nilai tengah kedua tetua dan nilai tengah tetua terbaik.
1. Pendugaan parameter genetik Untuk
menduga parameter
genetik ketahanan
pepaya terhadap
C. gloeosporioides dilakukan analisis dialel menggunakan pendekatan Hayman sebagai berikut Singh dan Chaudhary 1979:
a. Analisis ragam Populasi dialel penuh dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok
dengan dua ulangan menggunakan model statistik : Y = m + T
ijkl ij
+ b
k
+ bT
ijk
+ e
ijkl
67 Keterangan :
Y :
nilai pengamatan pada genotipe i x j dalam k ulangan
ijkl
m : nilai
tengah umum
T :
pengaruh genotipe i × j
ij
b
k
: pengaruh ulangan ke-k
bT : pengaruh
interaksi
ijk
e
ijkl
: pengaruh
galat Komponen analisis ragam disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21 Komponen analisis ragam analisis silang dialel
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Sumber Keragaman KT Harapan
Ulangan b-1 KT
b
σ
2 e
+ n
σ
2 b
Genotipe n-1 KT
g
σ
2 e
+ b
σ
2 g
Galat n-1b-1 KT
σ
2 e
e
Total bn-1
Analisis dapat dilanjutkan bila nilai kuadrat tengah genotipe berbeda nyata.
b. Pendugaan ragam dan peragam Untuk menduga nilai ragam dan peragam, data dirata-ratakan berdasarkan
ulangan membentuk tabel setengah dialel Tabel 22. Tabel 22 Setengah dialel ketahanan pepaya terhadap C. gloeosporioides
Rata-rata Tetua IPB
1 IPB
10 STR
IPB 5
PB000 X
i.
64 174
X X
X X
X X
X IPB 1
11 12
13 14
15 1.
1.
5 - X
X X
X X
X IPB 10
22 23
24 25
2. 2.
5 - - X
X X
X X
STR64
33 34
35 3.
3.
5 - - - X
X X
X IPB 5
44 45
4. 4.
5 X
X PB000174
- - - - X
55 5.
5.
5
Rata-rata tetua M =
n X
j i
ij
∑
=
L0
Ragam tetua V
0L0
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
j i
j i
ij ij
n X
X n
2 2
1 1
68
Ragam array V
ri
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
n j
n j
ij ij
n X
X n
1 2
1 2
1 1
∑
= n
i ri
V n
1
1 Rata–rata ragam array V
=
1L1
Ragam rata–rata array V =
⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎝ ⎛
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
n i
n i
i i
n X
X n
1 2
1 2
1 1
0L1
Peragam antara tetua dan keturunan W
ri
=
⎟⎟ ⎟
⎟ ⎟
⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎜
⎜ ⎜
⎜
⎝ ⎛
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− −
∑ ∑
= =
= =
2 1
; 1
1 ;
1
. .
1 1
n X
X X
X n
j i
n i
j ij
n i
j j
i ij
Rata-rata peragam tetua dan array W
0L0
=
∑
= n
i ri
W n
1
1
Perbedaan rata-rata tetua dan rata-rata semua keturunan M
2 1
; 1
1 1
⎥ ⎥
⎦ ⎤
⎢ ⎢
⎣ ⎡
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
− ⎪⎭
⎪ ⎬
⎫ ⎪⎩
⎪ ⎨
⎧ ⎟⎟
⎠ ⎞
⎜⎜ ⎝
⎛
∑ ∑
= =
= j
i ij
n j
i ij
X X
n n
2
– M
L1 L0
= c. Uji
hipotesis Kesahihan hipotesis diuji dengan menghitung regresi peragam pada ragam
b. b = Cov Wr, VrVar Vr
12
SE b = [VarWr – b CovWr,VrVarVr n-1] Uji hipotesis :
H0 : b = 1 H1 : b
≠ 1 Jika b = 1, maka tidak terdapat interaksi gen non alelik.
d. Grafik W
r
-V
r
Parabola diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan : W
ri
= V
ri
x V
12 0L0
Regresi diperoleh dengan menghubungkan titik-titik dari persamaan :
69 W
rei
= W – bV + bV
r r
ri
Intersep regresi diperoleh dari : a = W
r
– bV
r
Semakin dekat letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y, kandungan gen dominannya secara relatif semakin tinggi, sebaliknya
semakin jauh letak tetua dengan pangkal persilangan sumbu x-y semakin kecil kandungan gen dominannya.
e. Pendugaan komponen ragam Pendugaan komponen ragam yang dilakukan adalah :
D = V
– E
0L0
F = 2V
– 4W – 2n – 2En
0L0 0L0
H = V – 4W
+ 4V – 3n – 2En
1 0L0
0L1 1L1
H = 4V – 4V
– 2E
2 1L1
0L1
h
2
= 4M
L1
- M 2 – 4n-1En
2 L0
S
2
= ½ [Var Wr – Vr]
5
SE D = [ n + n
4 5
n ] S
2 5
4
SE F = [ 4n + 20n – 16n
3
+ 16n
2 5
n ] S
2 5
SE H
1
= [ n + 41n
4
– 12n
3
+ 4n
2 5
n ] S
2 4
5
SE H
2
= [ 36n n ] S
2 2
4 2
5
SE h = [ 16n + 16n – 32n + 16n ] S
2 4
5
SE E = [ n n ] S
2
Keterangan: D
: komponen ragam karena pengaruh aditif
F : nilai tengah
F
r
untuk semua array; F
r
adalah
peragam
pengaruh aditif dan non aditif pada array ke-r.
H :
komponen ragam karena pengaruh dominasi
1
H :
perhitungan untuk menduga proporsi gen negatif dan positif pada tetua
2
h
2
: pengaruh dominansi sebagai jumlah aljabar dari semua persilangan saat heterozigous.
E :
komponen ragam karena pengaruh lingkungan. Jika intersep bernilai positif atau D H
1
interaksi yang terjadi adalah dominan sebagian, jika bernilai negatif atau D H berarti overdominan.
1
70 Dominan lengkap jika D = H
1
, serta tidak terdapat dominan jika garis regresi menyentuh batas parabola.
f. Pendugaan parameter lain Parameter lain yang diduga adalah :
Rata–rata tingkat dominansi = H D
12
.
1
Proporsi gen–gen dengan pengaruh positif dan negatif dalam tetua = H 4H
2 1.
Proporsi gen–gen dominan dan resesif dalam tetua = 4DH
1 12
+F]4DH
12
-F.
1
Jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan menimbulkan dominansi = h
2
H
2
. Heritabilitas arti luas h
2 BS
= ½D+½H –¼H –½F½D+½H –¼H –½F+E.
1 2
1 2
Heritabilitas arti sempit h
2 NS
=½D+½H –½H –½F½D+½H –½H –½F+E.
1 2
1 2
Jika korelasi negatif, nilai W + V
ri ri
-nya paling rendah, berarti mengandung gen dominan paling banyak.
g. Pendugaan tetua paling dominan dan paling resesif V
D
=
2 1
x V
L
V
R
=
2 2
x V
L
W
D
=
1
x V
L
W
R
=
2
x V
L
x
1
dan x diperoleh dari akar persamaan :
2 2
V x – V
x + W
0L0 0L0
0L0
– V .
1L1
] [
1 1
L L
D D
r
V W
V W
b Y
+ −
+ +
Nilai tetua dominan penuh Y
D
= ]
[
1 1
L L
R R
r
V W
V W
b Y
+ −
+ +
Nilai tetua resesif penuh Y =
R
2. Pendugaan daya gabung Untuk menduga nilai daya gabung umum DGU dan daya gabung khusus
DGK genotipe-genotipe yang diuji, dilakukan analisis dialel menggunakan metode 2 Griffing Singh and Chaudhary 1979. Model statistika yang
digunakan adalah :
71 Y
ij
= m + g + g + s
i j
ij
+ 1bc ΣΣ
eijkl
Keterangan : Y
ij
: nilai tengah genotipe i × j m :
nilai tengah
umum g
: daya gabung umum DGU tetua ke-i
i
g : daya gabung umum DGU tetua ke-j
j
s
ij
: pengaruh daya gabung khusus DGK 1bc
ΣΣ
eijkl
: nilai tengah pengaruh galat
Analisis daya gabung dilakukan menggunakan data dari dua lokasi yaitu Tajur dan Gunung Geulis. Analisis half diallel tetua dan F1 tanpa reciprocal
pada dua lokasi dilakukan secara terpisah menggunakan metode Griffing 1956 Metode 2 Model 1 mengabaikan galur murni. Owolade et al 2006
menggunakan metode Griffing untuk menghitung daya gabung pada tanaman singkong yang bukan galur murni untuk sifat ketahanan penyakit antraknosa.
Sidik ragam untuk analisis daya gabung Metode 2 dapat dilihat pada Tabel 23 berikut:
Tabel 23 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode 2 Griffing 1956
Sk Db Jk Kt
Ekt
2 2
DGU p-1
JK KT
DGK Galat
pp-12 r-1[p-1+pp-
12]
dgu
JK
dgk
JK
galat dgu
KT
dgk
KT
galat
σ
e
+ σ
dgk
+ p+2 σ
2 dgu
2 2
σ
e
+ σ
dgk 2
σ
e
Pengaruh daya gabung umum g
i
= ½nY
i
+Y –1n
2
Y
.j ..
Keterangan : g
: nilai daya gabung umum
i
Y . :
jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i
i
Y : jumlah
nilai tengah
selfing genotipe ke-j
.j
Y :
total nilai tengah genotipe
..
Pengaruh daya gabung khusus s
ij
=½Y
i
+Y
ji
–½n Y
i.
+Y
.j
+Y
j.
+Y +1n
2
Y
.j ..
Keterangan : s
: nilai daya gabung khusus
ij
Y
ij
: nilai tengah genotipe i × j
72 Y
ji
: nilai tengah genotipe j × i
Y . :
jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-i
i
Y : jumlah nilai
tengah selfing genotipe ke-j
.j
Y :
jumlah nilai tengah persilangan genotipe ke-j
j.
Y :
total nilai tengah genotipe
..
3. Pendugaan heterosis
N ilai heterosis diduga berdasarkan nilai tengah kedua tetua mid parent dan
nilai tengah tetua terbaik best parent atau heterobeltiosis.
Heterosis =
1
100 ×
−
MP MP
F
μ μ
μ
1
100 ×
−
BP BP
F
μ μ
μ Heterobeltiosis =
Keterangan:
1 F
μ : nilai tengah turunan
2 1
2 1
P P
+
MP
μ : nilai tengah kedua tetua =
BP
μ : nilai tengah tetua terbaik
Hasil dan Pembahasan Tingkat Keparahan Penyakit di Dua Lokasi
Pengujian tingkat ketahanan pepaya pada dua lokasi Tabel 24 menunjukkan tingkat ketahanan yang berbeda pada genotipe yang sama. Hasil
percobaan di Tajur menunjukkan adanya beberapa genotipe pepaya yang tahan terhadap antraknosa, diantaranya PB000174, IPB1 dan beberapa hasil
persilangannya. Sementara di Gunung Geulis tidak diperoleh genotipe yang tahan terhadap antraknosa. Genotipe IPB1 dan PB000174 menunjukkan respon agak
rentan terhadap antraknosa, demikian juga dengan hasil persilangannya. Hal ini mungkin disebabkan dalam pengamatan gejala antraknosa pada
buah pepaya bukan saja infeksi buatan yang dilakukan namun ikut teramati infeksi alami dari lapangan. Hasil penelitian studi patogen pada percobaan pertama ada
perbedaan tingkat virulensi antara isolat antraknosa dari pepaya di Tajur dan Gunung Geulis. Namun tidak menutup kemungkinan karena adanya perbedaan
ketinggian, suhu dan kelembaban yang mempengaruhi tingkat ketahanan pepaya.
73 Tabel 24 Ketahanan 100 - KP dan kelas ketahanan genotipe pepaya terhadap
penyakit antraknosa pada dua lokasi percobaan Tajur Gunung
Geulis Genotipe
Ketahanan Kelas
ketahanan Ketahanan Kelas
ketahanan
IPB1 80.67 Tahan
51.67 Agak