Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

VI. KETERKAITAN JEJARING SOSIAL DAN KONFLIK

Masyarakat pedesaan Saparua melakukan pemasaran komoditas pertanian khususnya sagu sebagai makanan pokok melalui berbagai cara. Salah satu cara pemasaran yang memanfaatkan ikatan kekerabatan dikenal dengan istilah papalele. Papalele berkembang melalui ikatan kekerabatan satu negeri di aras Saparua, kemudian bergeser ke kota Ambon hingga ke luar Maluku. Ikatan antar papalele membentuk jejaring ekonomi dan budaya di masyarakat pedesaan Saparua. Sejak awal ikatan papalele tidak memandang perbedaan agama, sehingga aktivitas titip menitip komoditas berlangsung antar warga yang berbeda agama. Proses ke luar Saparua dilakukan secara bersama oleh pelaku papalele berbeda agama. Sejak konflik menyebar ke Saparua, pelaku papalele berbeda agama tidak dapat melakukan aktivitasnya secara bersama. Secara perlahan hubungan antara papalele berbeda agama tidak berjalan seperti sebelumnya. Kondisi keamanan yang tidak terjamin menghambat aktvitas papalele. Seiring eskalasi konflik yang semakin menguat, membentuk pula ikatan komunitas seagama sebagai upaya mempertahankan keamanan komunitas masing- masing. Ikatan tersebut berkembang menjadi jejaring sosial yang melintasi negeri, bahkan ke luar Saparua. Jejaring tersebut tergambar melalui pengerahan bantuan tenaga untuk membantu menjaga kemanan satu komunitas di Saparua, juga ke luar Saparua jika dibutuhkan. Bab ini menggambarkan terbentuknya jejaring ekonomi dan budaya, serta jejaring yang terbentuk saat konflik menyebar ke pedesaan Saparua.

6.1. Jejaring Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

Sejak masa penjajahan Belanda perekonomian masyarakat Saparua berbasis pada pertanian, dengan tanaman perkebunan sebagai komoditas utama. Tanaman yang banyak diusahakan, antara lain kelapa, cengkih, pala dan cokelat. Komoditas lain didominasi oleh tanaman pangan seperti jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan Tanaman sayuran mulai diusahakan secara meluas setelah konflik, karena masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh sayuran. Jenis sayuran yang diusahakan seperti, bayam, kubis, kacang panjang, terong, ketimun, kangkung. Selain mengandalkan pertanian, usaha-usaha perikanan juga menjadi andalan masyarakat karena semua negeri di Saparua berkedudukan di pesisir pantai. Sagu sebagai makanan pokok masyarakat menjadi tanaman keseharian yang secara mudah ditemui di hampir seluruh Saparua. Sagu biasanya diolah menjadi sagu mentah untuk diolah lagi menjadi berbagai jenis produk turunan, seperti bagea, sagu lempeng, sarut dan sagu gula. Perdagangan hasil pertanian semakin berkembang setelah uang dikenal sebagai alat pertukaran. Masyarakat petani semula berfungsi juga sebagai pedagang yang langsung memasarkan hasil pertaniannya ke pusat pasar yang berada di ibukota kecamatan dengan cara berjalan kaki. Perkembangan selanjutnya, tumbuh kelembagaan titip-menitip hasil pertanian yang akan dijual ke pasar tersebut. Proses ini pada akhirnya menjadi jejaring sosial yang menjadi landasan perekonomian masyarakat Saparua. Dalam konteks ini, yang menarik adalah menjelaskan aktivitas jual beli baik dalam skala besar maupun kecil yang disebut masyarakat sebagai papalele. Papalele sebagaimana disebutkan sebelumnya tentang perdagangan hasil-hasil pertanian masyarakat dapat ditempuh dengan cara menjual secara langsung hasil kebun atau produk sendiri, baik masyarakat sebagai petani maupun nelayan yang sekaligus berperan sebagai pedagang. Aktivitasnya papalele berkembang sama dengan pedagang pengumpul desa yaitu, membeli produk dari petani atau nelayan, kemudian menjualnya kembali secara eceran. Sebagian besar papalele adalah perempuan karena laki-laki setelah melakukan aktivitas usahanya kemudian beristirahat. Aktivitas penjualan yang dilakukan isteri cukup menyita waktu, karena selain menjual di pasar desa ada juga yang melakukan dengan berjalan keliling desa bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Hal itu dilakukan terutama jika barang yang dijajakan berjumlah banyak dan sering terjadi pada komoditas perikanan. Penjualan di pasar tidak terbatas dalam pasar desa sendiri, khususnya saat hari pasar dimana aktivitas penjualan dilakukan juga di pusat kecamatan Saparua hari Rabu dan Sabtu. Pihak laki-laki ada yang menjadi papalele, khususnya mereka yang tidak beraktivitas sebagai petani atau nelayan. Setelah itu muncul pula pedagang pengecer yang langsung berhubungan dengan petani atau nelayan untuk membeli produk mereka, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar. Perkembangan ini membuka jalan makin munculnya papalele. Petani atau nelayan dengan hasil pertaniantangkapannya, serta pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer merupakan bentuk papalele awal. Keberadaan papalele yang khusus menjual produknya sendiri semakin nyata. Selain membeli produk dari sesama petani atau nelayan untuk dijual, serta orang luar desa yang memang bertujuan membeli produk di satu negeri kemudian menjualnya ke konsumen di tempat lain. Aktivitas perdagangan papalele ini sampai ke Ambon, bahkan ke Papua menggunakan kapal penumpang Pelni. Proses berjualan diawali sejak berada di kapal. Biasanya produk olahan sagu, seperti sagu lempeng dijual ke penumpang saat sarapan pagi atau minum teh di sore hari. Sagu lempeng ini merupakan produk olahan sagu untuk dikonsumsi dengan cara dicelup colo sagu dalam kopi atau teh. Sedangkan produk olahan sagu yang lain seperti sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut dibungkus untuk dijual sebagai buah tangan. Produk ini menjadi produk andalan bagi papalele yang berdagang ke Papua karena kesamaan makanan pokok orang Papua dan Maluku. Namun, sagu lempeng, sagu mentah, bagea, sagu tumbuk dan sarut belum diproduksi oleh petani di Papua sehingga cukup diminati. Banyak orang Maluku yang tinggal di Papua dan sudah lama meninggalkan Maluku, sehingga mengkonsumsi produk sagu seperti mengenang kembali kehidupan mereka di waktu lampau saat masih di daerah asalnya Maluku. Papalele yang melintasi batas propinsi biasanya memiliki ikatan di tempat tujuannya. Ikatan tersebut untuk mempercepat penjualan sehingga memudahkan menyelesaikan kegiatan sebelum kembali ke Ambon. Jika ada komoditas yang belum habis terjual maka penjualan dipercayakan pada kerabatnya serta hasil penjualannya akan diambil setelah datang kembali. Kondisi ini menunjukkan adanya kekuatan jaringan kekerabatan yang oleh Granovetter 1985 dijelaskan sebagai konsep keterlekatan yaitu fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan sosial. Konsep keterlekatan merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung antara para aktor. Tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah “terlekat” karena diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil pelembagaan sosial. Swedberg 1990 mencontohkan apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Kehidupan papalele sangat keras dan penuh tantangan. Orang papalele harus memiliki tubuh yang sehat karena harus tahan duduk berjam-jam di pasar dan tahan berjalan keliling negeri sampai jualannya habis. Orang papalele juga harus rajin mencari informasi harga serta keberdaan produk di berbagai tempat, sehingga sering melakukan perjalanan dari satu desa ke negeri lain. Papalele biasanya memiliki langganan dengan harga yang disepakati bersama, sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan produk dalam jumlah besar. Oleh karena itu, setiap perubahan harga diberitahukan pada produsen mengingat kuatnya persaingan antara sesama papalele. Perubahan harga biasanya terjadi saat bahan pokok sagu sulit ditemui. Misalnya, kebutuhan pohon sagu di Saparua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akibat musim kemarau yang panjang, maka petani akan menyewa hutan sagu dari kenalannya di Pulau Seram untuk diolah menjadi sagu mentah dan produk turunannya. Jika demikian maka harga sagu mentah naik, begitu juga produk olahannya. Atau saat musim timur ombak, dimana sulit melakukan perjalanan ke luar pulau ke Ambon misanya untuk menjual hasil. Kalau dilakukan maka harga sagu mentah dan produk olahannya lebih mahal, karena resiko papalele saat membawa dagangannya. Sesama papalele memiliki ikatan yang kuat. Sikap saling tolong menolong akan terlihat saat saling membantu untuk menaikkan dan menurunkan produk yang akan dijual ke dalam mobil pengangkut. Bila akan menjual produknya ke Ambon maka mereka akan berangkat bersama-sama dan ketika di dalam angkutan motor laut mereka duduk bersama-sama walau harus berdesak-desakan, sambil bersenda gurau untuk menghilangkan waktu dan makan bersama-sama bekal yang dibawa dari rumah. Bahkan setelah berjualan, mereka pulang bersama-sama. Apabila barang dagangannya belum habis terjual, mereka saling membantu menjual sehingga dapat pulang bersama ke Saparua. Penjelasan tersebut memberikan gambaran adanya ikatan senasib dan keberadaan dari negeri yang sama, sehingga selalu berusaha membantu satu dan lainnya dengan penuh kepercayaan dan toleransi jika antara papalele yang berbeda agama. Ikatan-ikatan tersebut juga mengarah pada keseragaman harga produk yang dijual, sehingga menguatkan posisi papalele terhadap konsumen dan terutama pedagang pengumpul kecamatan yang ada di Saparua maupun di Kota Ambon. Bahkan tolong menolong ini nampak dalam kehidupan sehari-hari di negerinya. Bilamana ada salah seorang di antara papalele yang menikahkan anak, maka rekan-rekan papalele yang lain akan turut membantu. Misalnya mencari kayu bakar, memasak sampai terlibat langsung dalam menyelenggarakan pesta tersebut. Apalagi bila ada yang berduka, maka papalele yang lain akan datang berkunjung untuk turut berbelasungkawa dengan membawa bantuan uang atau turut membantu mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara penguburan dan pengucapan syukur keluarga. Kenyataan-kenyataan demikian memperjelas adanya kekuatan ikatan antara papalele, yang telah menembus batas aktivitas pekerjaan. Kenyataan ini yang oleh Geertz 1978 disebut sebagai resiprositas sosial, yang seharusnya ada dalam proses klientisasi ikatan antara papalele dan produsen. Kenyataan-kenyataan tersebut juga berkaitan erat dengan adanya sistem kekerabatan yang berlangsung dalam masyarakat Maluku. Di Maluku dikenal istilah mata ruma sebagai sekumpulan keluarga dengan nama marga yang sama di negerinya yang sama, dan diyakini berasal dari satu keturunan yang sama, sehingga merasa adanya ikatan darah antara mereka. Dengan demikian, secara adat istiadat hal-hal demikian haruslah dilakukan. Kenyataan demikian sesuai dengan konsep resiprositas umum yang dijelaskan Swartz dan Jordan 1976 yang dikutip oleh Granovetter dan Swedberg 1992 bahwa, sistem resiprositas umum biasanya berlaku di kalangan orang- orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Ikatan dibangun papalele dengan pemilik produk di berbagai tempat. Pemilik produk selain berada dalam negeri juga yang berasal dari negeri sekitar. Hubungan yang dibangun dengan pemilik produk menunjukkan bahwa, papalele telah membangun jaringan sehingga memudahkan dalam memperoleh produk yang diinginkan. Di sisi lain, pemilik produk juga tidak perlu menjual ke pasar baik pasar desa maupun pasar kecamatan. Kenyataan demikian menunjukkan adanya proses kllientisasi yang menurut Geertz 1978 terjadi pada pembeli dan penjual yang telah melakukan jual beli berulang- ulang, sehingga hubungan tidak lagi hanya sebagai hubungan penjual dan pembeli tetapi terjalin sedemikian rupa dengan hubungan-hubungan sosial lainnya. Dalam hal ini maka, klientisasi haruslah diikuti dengan resiprositas sosial, karena kalau tidak demikian maka jaringan yang sudah dibangun akan mudah putus. Jejaring ini didasarkan pula pada kepercayaan yang dibangun oleh kedua pihak saat memulai hubungan, serta berlangsung sepanjang hubungan berjalan. Hal ini menguatkan pendapat Dalton 1968 bahwa usaha mendapatkan keuntungan yang diperoleh melalui tawar menawar, merupakan motif yang mendasari struktur pasaran. Walaupun dalam masyarakat yang masih berbasis tradisi menurut Polanyi 1968 yang terjadi adalah resiprositas dan redistribusi, yaitu orang tidak hanya mendapatkan barang tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima. Keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang terlibat titip-menitip barang didasarkan atas saling-percaya, karena harga jual diketahui ketika terjadi transaksi di pasar. Jadi ada kepercayaan yang dibangun antara mereka yang menitipkan dengan mereka yang dititipkan. Hal ini tetap dijaga karena, status penitip dan yang dititipkan boleh berganti orang, pada waktu yang berbeda mungkin saja seseorang yang dititip akan menjadi petani yang menitip. Demikian pula sebaliknya, orang pada satu saat dahulu yang menitip akan berstatus sebagai yang dititipi. Hal ini dimungkinkan terus terjadi oleh karena proses ini berhimpit dengan keeratan hubungan ikatan darah. Mengingat umumnya negeri-negeri di Maluku Tengah terbentuk berdasarkan ikatan darah, sehingga walaupun masyarakat tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang berhubungan dekat tetapi dalam masyarakat ada “rasa satu keturunan”. Komersialisasi yang semakin meluas di Saparua memunculkan pedagang pengumpul tingkat negeri yang memiliki cukup modal, sehingga lebih dipercaya. Perkembangan demikian memperkuat posisi pedagang pengumpul. Masyarakat sering tidak mengetahui dengan pasti harga yang terjadi di pasar, sehingga pedagang- pedagang pengumpul berpeluang mendapat keuntungan lebih besar. Pedagang pengumpul kemudian memanfaatkan peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat dengan membuka peluang usaha baru di aras negeri. Selain bermodal cukup besar, pedanga pengumpul biasanya memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau menempati posisi penting secara adat setempat. Hal yang menarik dicatat dalam hal ini, berkenaan dengan perdagangan cengkeh yang pernah menghadapi harga beli yang jatuh secara drastis antara tahun 1989-1997. Ketika itu masyarakat Saparua umumnya tidak melakukan pemanenan sama sekali karena harga begitu rendah. Namun, ada juga kelompok masyarakat yang melibatkan diri dengan kelembagaan ijon istilahnya menggadaikan pohon cengkeh kepada pedagang pengumpul tingkat negeri. Sistem ini terus berkembang karena sedikit membantu masyarakat mendapat tambahan pendapatan. Pada akhirnya cara ini melibatkan juga pedagang pengumpul tingkat kecamatan karena semakin banyak masyarakat memerlukan tambahan pendapatan yang lebih cepat dan keuntungan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin besar. Hal tersebut terutama dalam kaitan kebutuhan keluarga untuk membiaya pendidikan anak- anak. Pedagang pengumpul kecamatan sendiri biasanya berasal dari orang luar Saparua, seperti dari Etnis Bugis dan Jawa. Hal ini terjadi karena mereka memiliki ikatan dengan pedagang besar di Kota Ambon, sehingga modal yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengumpul negeri. Kelebihan seperti itu, menyebabkan pedagang pengumpul kecamatan mampu membantu masyarakat di negeri-negeri Saparua yang memerlukan uang dengan cepat dan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Posisi pedagang yang menerima gadaian sebenarnya menyerupai kedudukan tengkulak. Namun, masyarakat menyukai yang demikian karena transaksi keuangan tidak rumit sebagaimana lewat lembaga keuangan resmi. Kondisi ini mendorong terbentuknya jejaring sosial yang proses-prosesnya lebih didasarkan pada struktur pasar. Bahkan, jejaring ini berkembang menjadi saluran dari aliran orang dari masyarakat pedesaan Saparua yang mengadu nasib keluar dari daerah tinggalnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komersialisasi menjadikan jejaring sosial tersebut makin mengenal pertimbangan keuntungan uang. Mereka yang menjadi pedagang cenderung menentukan harga dan harga barang-barang yang dibeli dan dijualnya jauh di bawah harga pasar. Lebih lagi, informasi pasar tentang harga-harga barang sangat terbatas diketahui oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat kebanyakan makin bergantung kepada kebutuhan akan uang lebih besar untuk memenuhi konsumsi. Oleh karenanya masyarakat kebanyakan makin berada dalam posisi tawar yang lemah.

6.2. Jejaring Sosial dan Konflik di Pedesaan Saparua