Jejaring Sosial Dan Konflik Masyarakat Pedesaan (Kasus Di Pulau Saparua Propinsi Maluku)

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Konflik Ambon berlangsung selama empat tahun sejak 1999 sampai 2002. Akhir tahun 2002 kondisi Ambon mulai pulih. Sering terjadi ledakan bom atau rentetan senjata dengan korban jiwa, tetapi tidak berlangsung secara kontinu. Sisa-sisa kerusuhan masih ada, walaupun berbagai graffiti yang mencela kelompok agama lain sudah dihapus. Angkutan kota tetap menarik penumpang dengan agama yang sama, meski berbagai jalan pembatas yang memisahkan antara warga Islam (Salam) dan Kristen (Sarani)1 di Ambon sudah disingkirkan. Kehidupan warga masih terpisah antara wilayah Salam dan Sarani, namun orang sudah tidak takut bepergian ke pasar di wilayah komunitas berbeda (Eriyanto, 2003).

Tahun 2003 kondisi Ambon lebih membaik dan menuju pemulihan. Pos-pos TNI-POLRI tidak kelihatan lagi, saling mengunjungi antara komunitas berbeda agama telah berlangsung, walaupun belum normal seperti sebelumnya. Angkutan kota sudah menarik penumpang dengan agama berbeda, ditunjang pula dengan pulihnya sebagian besar aktivitas perkantoran. Kenyataan tersebut diandilkan oleh Konferensi Malino II sebagai bentuk perhatian pemerintah yang diikuti kedua pihak (baik tokoh pemuda, tokoh agama dan tokoh adat mewakili “grass root”) dan bersepakat untuk memulai kembali hidup damai.

Gambaran singkat tersebut kontras dengan kondisi antara kurun waktu 1999 sampai akhir 2002. Saat itu struktur masyarakat Maluku mengalami “pembelahan” sosial maupun politik atas dasar suku (pada awalnya) yang bergeser menjadi agama. Warga kota Ambon saat situasi berlangsung sulit untuk menghindari keterlibatan dalam konflik. Konflik yang mulanya terpumpun pada masalah antar etnis kemudian bergeser ke agama tidak memandang ikatan selain agama, termasuk ikatan darah (kekerabatan) dan ikatan pela – gandong (budaya). Pilihan paling memungkinkan hanyalah ke luar dari lokasi konflik, mengingat konflik mengarahkan terjadinya kekerasan kolektif berdasarkan sentimen dan simbol-simbol agama (Laporan Lintas Kerusuhan Maluku oleh Crisis Centre Keuskupan Amboina Ambon, index tahun 1999 – 2003).

Penjelasan tersebut merupakan kilas balik awal konflik hingga akhir tahun 2002. Tahun 2003 sampai awal tahun 2004 kota Ambon mengarah pada kondisi yang normal seperti sebelumnya. Masih tersisa puing-puing akibat konflik dan yang terpenting yaitu,

1


(2)

adanya sejumlah pengungsi yang kebutuhannya perlu ditangani secara cepat dan tepat sehingga tidak menjadi pemicu konflik baru.

Memasuki pertengahan tahun 2004 (25 April) kondisi yang sudah membaik berubah drastis. Konflik terjadi kembali dan merusakkan kebersamaan hidup yang mulai terbangun antara komunitas Salam dan Sarani. Konflik saat itu tidak berlangsung lama, namun meningkatkan jumlah arus pengungsi pada kedua komunitas. Arus pengungsian d merupakan pengulangan untuk kedua kalinya sejak awal kerusuhan (Januari 1999).

Berbeda dengan konflik sebelumnya, konflik yang terjadi tersebut tidak menyebar ke luar pusat kota Ambon. Konflik sebelumnya menunjukkan cepatnya penyebaran konflik ke seluruh Pulau Ambon, Pulau-Pulau Lease (Saparua, Haruku dan Nusa Laut), Pulau Seram, Pulau Buru kemudian tersebar ke seluruh wilayah Maluku yang lain (sampai Maluku Utara). Penyebaran konflik demikian membentuk suatu jaringan yang mampu melewati batas wilayah administrasi, bahkan melintasi laut.

Konflik yang muncul kembali sebagaimana dijelaskan di atas ternyata penyebarannya tidak secepat dan seluas konflik sebelumnya. Konflik hanya terbatas pada beberapa daerah perbatasan Salam dan Sarani di pusat kota Ambon. Sehingga ada indikasi jaringan penyebaran konflik tidak berfungsi seperti sebelumnya. Indikasi lainnya yaitu, sasaran terjadinya konflik hanya diarahkan di kota Ambon. Namun pastinya implikasi konflik berupa gelombang pengungsi kembali meningkat akibat konflik tersebut.

Tidak menyebarnya konflik seperti sebelumnya, menunjukkan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk tidak lagi memperpanjang konflik serta berupaya untuk kembali hidup dalam keadaan yang aman dan damai. Pada saat yang sama, banyak upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk mempertemukan elit-elit kelompok yang bertikai seperti gerakan “bakubae”. Gerakan dimaksud telah digagas sejak awal konflik (tahun 1999), namun memerlukan perjalanan panjang untuk sampai pada komitmen dan kesadaran bersama. Gerakan bakubae diikuti elit yang tergabung dalam Musyawarah Raja dan Latupati (Kepala Desa) Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease sebagai upaya menggunakan pendekatan adat (budaya) sebagai kekuatan pengikat dan peredam konflik berkepanjangan (Leatemia, 2003).

Kenyataan tersebut mengarahkan upaya membangun kembali ikatan adat/budaya. Selain itu menunjukkan peluang ikatan adat/budaya untuk membentuk kembali kesadaran dan komitmen masyarakat. Ikatan tersebut diawali oleh elit informal


(3)

dan formal dan diharapkan tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pertemuan elit melalui kegiatan bakubae membuka kembali hubungan-hubungan elit Salam dan Sarani melalui ikatan adat atau budaya, sehingga diharpkan menguatkan kembali hubungan-hubungan antar desa (negeri)2 yang berbeda agama. Terpilihnya Raja dan Latupati sebagai elit di aras Negeri, menunjukkan kuatnya peran elit dalam kehidupan masyarakat Maluku.

Penyebaran konflik dapat dilakukan dengan memanfaatkan Raja dan Latupati sebagai elit negeri dengan menggerakkan warga masyarakatnya untuk terlibat dalam konflik. Elit negeri juga dapat menahan warga masyarakatnya sehingga tidak terlibat dalam konflik berkepanjangan. Oleh karena itu, campur tangan elit menyebabkan terjadinya konflik berkepanjangan atau konflik dapat segera diakhiri.

1.2. Fokus Penelitian

Sejak zaman kolonial, Maluku sebagai sumber rempah-rempah sudah menjadi ajang pertarungan negara-negara Barat (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda). Pada saat itu pula, konflik dimulai antara Negara-negara Barat (kolonial), maupun antara kaum kolonial yang mencari rempah-rempah dengan pemilik rempah-rempah. Dalam upaya menguasai rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama inilah, bangsa kolonial membelah masyarakat Maluku berdasarkan dua agama besar yaitu Salam dan Sarani (Protestan dan Katolik). Kenyataan tersebut dapat ditemui dalam berbagai dokumen baik yang berbahasa Belanda, maupun yang di-Indonesiakan pada berbagai perpustakaan serta Daftar Inventaris Arsip Ambon (Arsip Nasional).

Orang Belanda tiba di Ambon pada saat sedang terjadi permusuhan hebat antara rakyat Maluku dengan orang-orang Portugis; antara rakyat yang beragama Sarani dengan rakyat yang beragama Salam. Usaha-usaha orang Portugis untuk menguasai gudang rempah-rempah tidak berhasil. Permusuhan dengan Kerajaan Ternate (yang saat itu menguasai hampir seluruh wilayah Maluku), disebabkan oleh tindakan-tindakan gubernur dan serdadu-serdadu Portugis yang tidak bijaksana. Monopoli yang dijalankan Poprtugis, menimbulkan permusuhan dengan pedagang-pedagang Ternate, Tidore, Jawa, Makasar dan Melayu. Saat itu yang dimaksud dengan Maluku ialah daerah geografis Propinsi Maluku termasuk Maluku Utara (sebelum pemekaran). Daerah asli Maluku hanya meliputi Halmahera Barat (Jailolo) dan

2


(4)

pulau sekitarnya, Ternate, Tidore dan Bacan. Dalam bahasa Ternate disebut Muloko (Naidah dalam B.K.I 2de deel 4de volgreeks, hal. 382 dikutip Leirissa, dkk, 1982).

Cita-cita perang salib yang dipindahkan dari Eropa ke Asia, menimbulkan permusuhan dengan raja-raja Salam, pedagang-pedagang Salam dan rakyat yang beragama Salam. Dualisme timbul dalam politik mereka, yaitu melaksanakan tugas memerangi orang-orang Salam di mana saja dan menyebarkan agama Sarani (Katolik), dihadapkan pada keharusan berdagang dengan pedagang-pedagang Salam dan bersekutu dengan sultan-sultan Salam. Politik mencari untung dicampurbaurkan dengan politik penyebaran agama. Dualisme ini akhirnya melemahkan dan melenyapkan kedudukan mereka dari Ternate dan menimbulkan peperangan dengan Hitu (Manusama, 1977 : 15).

Setahun kemudian Negeri Hitu dibantu dengan orang-orang Jawa menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir mereka dari Jazirah Leihitu. Orang-orang Portugis menuju ke Leitimur (jazirah tempat kedudukan pusat kota Ambon saat ini). Di sini mereka diterima dengan baik oleh kepala-kepala negeri (desa sekarang ini) dan rakyat, karena Leitimur mendapat kawan untuk menyerang dan melawan musuh-musuh lama mereka dari Hitu. Penerimaan yang baik, menimbulkan hal-hal yang baik pula bagi rakyat Leitimur; mereka berkenalan dengan agama Sarani yang membawa perubahan batin dan keyakinan. Tetapi justru penerimaan ini menimbulkan juga hal-hal yang buruk, yaitu pertumpahan darah yang berlarut-larut karena perang agama Salam dan Sarani.

Lembaran sejarah yang digambarkan tersebut, termasuk lembaran sejarah terhitam dalam perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku. Tidak kalah kejamnya dengan kekejaman yang dilakukan di daerah-daerah lain, misalnya sekitar antara Islam dan Kristen di Laut Tengah semasa Perang Salib. Mungkin sekali keadaan yang buruk itu lambat laun menyadarkan rakyat di berbagai negeri. Kepala-kepala adat, orang-orang kaya, raja-raja mencari jalan untuk berdamai. Kemungkinan besar persekutuan pela (saudara) yang dikenal sampai sekarang ini, timbul sebagai hasil kesadaran akan masa yang gelap itu.

Pela mula-mula timbul dalam Patasiwa, yang kemudian bercampur dan tersebar ke seluruh Maluku tengah. Persekutuan Pela itu adalah suatu jalan untuk mengakhiri permusuhan antara Salam dan Sarani, suatu jalan yang sangat efektif untuk menghentikan pertikaian. Walau pun ternyata saat pecah konflik (Januari 1999), adanya ikatan pela tidak mampu meredamnya. Bahkan desa-desa Salam dan Sarani yang memiliki ikatan pela, justru tidak mampu menahan keinginan sesama agamanya untuk


(5)

menyerang dan menghancurkan desa lain yang berbeda agama tetapi masih memiliki ikatan pela.

Penjelasan tersebut di atas merupakan benang merah dari beberapa studi oleh peneliti asing (terutama Belanda) yang sudah berupaya mengakomodir kondisi konflik masa lampau (pada zaman penjajahan), walau pun lebih terarah pada aras meso dan makro. Di antaranya Jansen (1929), Fraassen (1972), Bartels (1977), Van Klinken (1999) dan Bartels (2000). Walau pun pada aras mikro sulit ditemui, namun disertasi Hikayat Tanah Hitu (Manusama, 1977) sampai saat ini cukup mewakali ajang konflik di aras mikro.

Setelah konflik bernuansa Agama mulai terjadi (sejak Januari 1999), muncul berbagai tulisan dari masing-masing pihak yang berkonflik (berupa pembelaan diri maupun saling menyalahkan – bahkan sampai melibatkan lembaga resmi dari kedua kelompok agama yang bertikai), sehingga upaya memahami konflik dari para pelaku atau aktor sulit ditelusuri karena sudah terkooptasi dengan suasana konflik. Selain itu, ada pula tulisan dari berbagai penulis lain yang lebih terfokus pada upaya menggali akar konflik (kronologis kejadian sejak 19 Januari 1999) serta mengaitkannya dengan aras meso (pertikaian elit politik daerah antara elit – pejabat/birokrat yang Salam dan Sarani dalam memperebutkan kedudukan tertentu dalam pemerintahan). Tulisan-tulisan tersebut antara lain melalui studi Kastor (2000), Nanere (2000), serta laporan evaluasi jalannya konflik Ambon-Maluku oleh Tim Pengacara Muslim dan Tim Pengacara Gereja.

Selain itu, ada juga yang mengaitkan dengan aras makro (konflik Indonesia saat jatuhnya pemerintah Orde Baru – Soeharto), kemudian berusaha menyusun berbagai strategi pemecahan konflik. Ternyata, berbagai tulisan tersebut tidak sampai menelusuri fenomena masa lalu (sejarah) secara rinci sampai pada aras mikro, walaupun ada juga yang menelusuri sejarah konflik pada aras meso dan makro. Seperti studi Ecip (1999) yang juga mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan mengupayakan pemecahan sekaligus sebagai dasar pada upaya manajemen konflik yang marak di berbagai daerah di Indonesia. Studi Salampessy, dkk (2001) sebagai kumpulan tulisan bernuansa sosiologi yang mengkaji akar permasalahan pada aras meso dan menghubungkan dengan aras makro. Akhirnya, studi Eriyanto (2003) tentang konflik media yang dijalankan masing-masing komunitas. Perlu diingat, bahwa studi-studi tersebut lebih netral dan tidak mengandung unsur keberpihakan pada salah satu komunitas.


(6)

Di luar ajang konflik Ambon – Maluku pada aras mikro, meso dan makro terdapat beberapa tulisan yang juga memusatkan pada penelusuran akar permasalahan ajang konflik di berbagai daerah yang terpumpun pada kekuatan sosiologis. Beberapa tulisan tersebut antara lain, Sihbudi dan Nurhasim (2001) yang memfokuskan pada kasus Kupang, Mataram dan Sambas sebagai keterkaitan kasus konflik yang dipicu oleh suatu jaringan yang terorganisir dengan baik. Studi Surata dan Taufiq (2001) yang memfokuskan pada menggali akar permasalahan konflik etnis di Sambas dan Sampit serta Kalimantan (pada aras meso) yang menunjukkan keterpinggiran etnis lokal akibat kemampuan yang ditunjukkan etnis pendatang yang akhirnya menguasai hampir seluruh kekuatan ekonomi informal, diikuti dengan cara mengatasinya. Studi Soemardjan dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (2001) yang juga menggali dan mengidentifikasi akar permasalahan konflik yang marak di Indonesia (aras makro) berdasarkan kasus pada aras meso yang kelihatannya dapat menjadi kesimpulan dari berbagai studi sebelumnya, serta menyusun upaya penyelesaiannya.

Demikian pula studi Simanjuntak (2002) yang mefokuskan pada konflik status dan kekuasaan masyarakat Batak Toba, sebagai studi sosiologis yang paling serius dengan ajang konflik yang terstruktur secara tegas dan mantap dimulai dari aras mikro (pedesaan), kemudian menunjukkan keterkaitannya dengan aras meso (kabupaten dan propinsi), serta keterkaitannya dengan aras makro (peran elit etnis Batak Toba yang berada di Jakarta). Studi ini pula secara tidak langsung, menggambarkan jaringan sosial yang dibangun dari mikro sampai makro atau pun sebaliknya, walau pun untuk tataran teoritik tidak memberikan sumbangan yang signifikan karena lebih menunjukkan tataran praktis.

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil studi bernuansa konflik yaitu, akar konflik di Maluku bersumber pada lebih mampunya penduduk pendatang (migran) memasuki dan menguasai sektor informal yang selama ini tidak digarap oleh penduduk lokal kemudian mulai menyebar ke sektor formal yang memunculkan persaingan dengan penduduk lokal; pertarungan elit politik lokal salam dan sarani dalam menduduki kekuasaan di bidang pemerintahan (birokrat) sekaligus mengarahkan persaingan ke aspek agama; kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah terutama dengan penetrasi kebijakan yang diikuti peraturan yang turut menghancurkan pengetahuan lokal (seperti UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menggeser kedudukan Pemerintahan Adat, sekaligus menggusur kedudukan elit adat), serta secara tidak langsung menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat


(7)

(misalnya sistem pela dan gandong). Dengan demikian akar konflik dimaksud dapat disimpulkan merupakan masalah penguasaan yang tidak seimbang pada aspek ekonomi dan politik dilihat dari segi perbedaan agama dan budaya. Selain itu dapat dikatakan pula bahwasannya, studi-studi tersebut belum secara jelas menggambarkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik sebagai bagian penting untuk memahami fenomena konflik yang muncul di masyarakat.

Studi tentang jaringan sosial di Indonesia, ditemui pada studi Saefuddin (1992) yang berhasil mengidentifikasi hubungan sosial yang kontinu di antara anggota rumahtangga miskin; atau antara mereka dan pihak lain yang memiliki tingkat sosial ekonomi lebih tinggi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat yang bersangkutan. Kemampuan penduduk miskin melakukan seleksi atas potensi sosial budaya untuk menghadapi lingkungan hidup di perkotaan, mendorong mereka untuk kreatif guna menciptakan dan memelihara penggunaan jaringan sosial baik untuk kelompok pemilik status ekonomi setara maupun berbeda. Sarana terpenting untuk hal tersebut adalah jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan kesamaan tempat asal-usul. Selain itu ditemukan adanya bentuk pola jaringan vertikal dan horizontal rumahtangga miskin di perkotaan. Dalam membentuk jaringan sosial tersebut (khususnya jaringan horizontal) faktor kekerabatan merupakan salah satu unsur pengikat yang penting. Dalam hal ini jaringan merupakan sarana untuk memenuhi atau mengatasi tekanan kehidupan sosial-ekonomi di perkotaan.

Agusyanto (1996 : 18 -19) menjelaskan, bahwa jaringan kepentingan terbentuk oleh hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus sehingga bila tujuan telah tercapai maka pelaku hubungan kepentingan tidak dilanjutkan lagi. Oleh karena itu, sturuktur sosial yang muncul dalam jaringan sosial seperti ini bersifat sementara dan terus berubah-ubah. Ruang bagi tindakan dan interaksi pun lebih didasarkan pada tujuan relasional. Sebaiknya, jika tujuan tersebut tidak konkret dan spesifik, atau hampir berulang setiap saat, struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Diikuti dengan studi Kusnadi (2000 : 206-207) yang menyimpulkan bahwa, jaringan sosial (ikatan kerabat dan tetangga) merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang paling utama dan efektif bagi rumahtangga pandhiga di Pesisir untuk mengatasi kesulitan ekonomi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika strategi ini tidak berhasil, maka mereka yang memiliki barang-barang berharga akan menggadaikan barang-barang tersebut. Namun bagi yang tidak memiliki barang berharga, jaringan sosial merupakan satu-satunya strategi.


(8)

Beberapa studi jaringan sosial tersebut menghasilkan kesimpulan yaitu, jejaring sosial merupakan satu-satunya strategi adaptasi yang tepat untuk mengatasi masalah keterpurukkan ekonomi sebagai dampak rendahnya penguasaan terhadap sumberdaya. Jejaring sosial ini lebih kuat dengan adanya ikatan budaya (kekerabatan), walau pun dapat terputus kapan saja jika tujuan tercapai. Studi-studi terrsebut juga lebih menunjukkan pada pentingnya jejaring dalam mempertahankan kehidupan untuk tetap eksis, sehingga lebih mengarah pada kerjasama antara individu ataupun antara kelompok masyarakat. Analisis fenomena kerjasama tersebut hanya berujung pada putusnya hubungan jika tujuan tercapai, tanpa melihat peluang konflik akibat putusnya hubungan tersebut.

Selain itu terdapat studi yang terfokus pada penanganan pengungsi seperti studi Noveria dan Romdiati (2002), Noveria, dkk (2002) khusus untuk penanganan pengungsi Maluku Utara yang mengungsi ke Sulawesi Utara. Kemudian studi Purawana dan Bambang Hendarta Suta (2003) yang membahas kebijaksanaan penanganan pengungsi akibat konflik antar etnis di Sambas (Kalimantan Barat). Studi Susetyo (2003) yang membahas dampak kebijakan relokasi terhadap pengungsi internal Sambas. Keempat studi ini menghasilkan serangkaian kesimpulan yaitu, terdapat tiga model pengungsian yang dilakukan pengungsi di kedua lokasi penelitian (kembali ke desa asal, ke luar daerah dan mengungsi ke tempat yang aman di kota yang sama). Sementara itu, terdapat dua pola penanganan pengungsi yaitu, dengan melakukan relokasi dan pemulangan ke daerah asal. Kebijakan dalam penanganan pengungsi harus diikuti dengan proses pemberdayaan menuju kehidupan mandiri di tempatnya berada (tempat sebelum konflik maupun tempat baru). Studi-studi tersebut lebih terarah pada kritik atas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, sekaligus memberikan masukan guna penangan pengungsi yang lebih baik. Studi-studi ini juga sebenarnya menunjukkan berperannya jejaring sosial dalam penanganan pengungsi, walau pun tidak disebutkan secara tegas. Peran jejaring tersebut terlihat pada pemilihan model pengungsian serta pola penanganan, mengingat adanya ikatan antara pengungsi dengan tempat tujuan pengungsian menjadi unsur penting dalam pemilihan tersebut. Sehingga, secara tidak langsung ada jejaring yang terbangun dalam fenomena pengungsian tersebut.

Berdasarkan pada gambaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa isu agama di Maluku bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara


(9)

dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon (Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua3 pada aras mikro ini merupakan dasar yang penting untuk menggali akar konflik yang sebenarnya, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi manajemen konflik. Fokus penelitian ditentukan demikian mengingat, berdasarkan penelusuran studi-studi tersebut di atas khususnya untuk Maluku belum ada satu studi pun yang menjelaskan jejaring sosial dalam konflik sampai pada resolusi konflik sebagai bagian yang saling melengkapi karena kalau tidak ada konflik maka tidak ada implikasinya demikian pula akar konflik harus diselesaikan agar konflik yang sama tidak terulang lagi. Dengan demikian struktur sosial masyarakat studi dari aspek konflik sampai pada implikasinya dapat ditelusuri dengan tepat.

Berdasarkan uraian sebelumnya, isu agama sebagai sumber konflik di Maluku khususnya kota Ambon bukanlah masalah baru. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber konflik di Maluku sejak masa penjajahan Belanda, ditunjang dengan lemahnya peran Negara dalam mengantisipasi kebebasan yang muncul setelah jatuhnya Orde Baru sehingga agama kembali digunakan untuk menyulut konflik Ambon tahun 1999. Namun, belum ada kajian khusus tentang isu agama sebagai sumber konflik di pedesaan Maluku. Dengan demikian penelusuran sejarah untuk memahami ajang konflik bernuansa agama di Ambon (Maluku) pada aras meso, serta di pedesaan Pulau Saparua4 pada aras mikro menjadi langkah, sekaligus menelusuri keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sebagai jalan untuk menentukan strategi resolusi konflik.

Implikasi konflik yang perlu ditangani seperti penanganan pengungsi yang tidak kunjung selesai berpotensi menjadi sumber konflik baru. Padahal penanganan pengungsi sudah dilakukan sejak konflik pertama meletus (tahun 1999).

Berdasarkan pada latar belakang dan penelusuran studi-studi yang dilakukan sebelumnya seperti telah dikemukakan maka, dikembangkan tiga asumsi dasar yaitu : a. Konflik yang dimulai di Ambon sejak Januari 1999 berakar pada masalah ekonomi,

politik, agama dan budaya ternyata dalam hitungan hari begitu cepat menyebar ke seluruh pulau Ambon, bahkan kemudian beberapa bulan kemudian menyebar ke wilayah administrasi atau Kabupaten lain (Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan

3 3


(10)

akhirnya Maluku Utara – saat itu belum menjadi Propinsi sendiri), sehingga dapat dikatakan bahwa akar konflik (ekonomi, politik, agama dan budaya) menjadi ikatan penting dalam jejaring sosial yang terbentuk antar wilayah, mengingat penyebaran konflik dengan melintasi wilayah laut secara logis bukanlah sesuatu hal yang mudah dilaksanakan.

b. Jejaring sosial yang diasumsikan menggerakkan akar konflik pada dasarnya pula bergantung pada elit yang berada di dalamnya mengingat elit-lah yang memiliki basis masa (setiap anggota masyarakat pasti memiliki ikatan dengan elit-nya sehingga lebih mudah menggunakan elit sebagai motor dalam menggerakkan jejaring dibandingkan non-elit), sehingga dengan kekuatan yang dimilikinya elit dapat menggerakkan jejaring sosial ke arah konflik atau ke arah kerjasama. Asumsi ini mengarahkan pula pada peluang elit untuk menggunakan paling tidak dua jejaring sosial yaitu, jejaring sosial yang mengarah pada proses disosiatif (konflik) dan mengarah pada proses asosiatif (kerjasama).

c. Jika jejaring sosial ini mampu digunakan untuk memunculkan dan menyebarkan konflik (jejaring sosial konflik), maka bukan tidak mungkin kalau dengan menggunakan jejaring sosial pula konflik dapat diredam dan diselesaikan dengan tepat. Dalam upaya meredam dan menyelesaikan konflik ini, jejaring sosial mengarah pada kerjasama (jejaring sosial kerjasama). Dalam hal ini konflik dan kerjasama dillihat sebagai dua sisi mata uang, sehingga suatu saat yang muncul adalah konflik dan saat yang lain yang muncul adalah kerjasama. Dengan demikian, peluang munculnya konflik dan kerjasama pada saat yang sama menjadi mungkin mengingat elit mampu memanfaatkan lebih dari satu jejaring sosial.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latarbelakang dan fokus penelitian yang telah dijelaskan ada beberapa persoalan penelitian yang akan diuji, yaitu :

(1) Merujuk pada berbagai hasil studi sebelumnya maka dipertanyakan adakah factor lain yang mendorong konflik di masyarakat Saparua selain ekonomi, politik, agama dan budaya sekaligus untuk menjawab :

(1.1) Mengapa dan bagaimana konflik dapat berkembang ?

(1.2) Benarkah penyebaran konflik dimulai dari lapisan elit dan berbasis dari persoalan sosial ekonomi ?


(11)

(2) Bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro (pedesaan), dan meso (regional), lebih lanjut masalah ini dapat diurai menjadi :

(2.1) Adakah konflik berkaitan dengan jejaring sosial yang berkembang di masyarakat Pulau Saparua ?

(2.2) Apabila ada, bagaimana terbentuknya kaitan serta dari mana jejaring sosial tersebut ada ?

(2.3) Bilamana jejaring sosial bergerak ke arah konflik dan bilamana bergerak ke arah kerjasama?

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengkaji “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua Propinsi Maluku. Kajian tersebut mencakup pula beberapa hal yaitu :

b. Mengungkapkan faktor lain di luar ekonomi, politik, agama dan budaya yang mendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua.

b. Mengungkapkan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antara aras mikro dan meso.

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada :

a. Tataran teoritis yaitu, untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengembangan teori konflik dengan memanfaatkan jejaring sosial dalam konflik (penyebaran konflik, resolusi konflik sampai pada penanganan implikasi konflik) atau pun sebagai suatu upaya untuk menghasilkan teori yang menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik.

b. Tataran praktis yaitu, sebagai wujud kritik terhadap penyelesaian konflik yang kelihatannya instan dan diprogramkan oleh pemerintah sehingga tidak memperhatikan kehendak dari masyarakat yang berkonflik, ditambah lagi dengan penanganan implikasi konflik yang bersifat instrumental semata.

1.5. Novelity

Penelitian ini memberikan sumbangan teori dalam memahami konflik masyarakat di pedesaan. Teori disumbangkan melalui pendekatan jejaring sosial untuk memahami konflik di pedesaan Saparua. Faktor ekonomi, politik, budaya dan agama yang


(12)

diidentifikasi sebagai sumber konflik di kota Ambon diketahui bukan merupakan faktor pendorong terjadinya konflik di pedesaan Saparua. Pemicu konflik di pedesaan Saparua digerakkan oleh simpul-simpul penyebaran informasi yang berisi akibat buruk yang diterima oleh korban konflik asal Saparua yang menetap di pulau Ambon dan sekitarnya. Penyebaran informasi membentuk jejaring yang mampu menimbulkan dan menyebarkan konflik ke pedesaan Saparua. Penyebaran informasi ditunjang pula dengan keberadaan dakwah elit agama, yang mengarah pada kebenaran satu agama terhadap agama yang lain.

Pembentukan jejaring diawali dengan arus balik masyarakat Saparua sebagai pengungsi, akibat konflik yang terjadi di Ambon dan sekitarnya. Pengungsi asal Saparua kemudian menjadi sumber informasi bagi kerabat dan tetangganya, terutama menceritakan kembali proses terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diterima sampai kemudian harus melakukan pengungsian. Informasi yang berawal dari pengungsi, kemudian tersebar ke negeri-negeri lain melalui kerabat dan tetangga. Penyebaran informasi selanjutnya membentuk kesamaan persepsi bahwa komunitas lain yang berbeda agama sebagai penyebab penderitaan sehingga harus mengungsi. Penyebaran informasi pada masing-masing komunitas berbeda agama, selanjutnya membentuk dua komunitas yaitu Salam dan Sarani.

Penyebaran informasi yang tidak terkontrol karena berawal dari individu yang mengungsi kemudian tersebar menjadi persepsi komunitas menjadi bias, ketika komunitas lain yang berbeda agama dituduh sebagai penyebab penderitaan. Perbedaan agama sebagai salah satu sumber konflik di Ambon kemudian menyebar melalui ikatan se-agama sampai ke Saparua. Biasnya informasi ditunjang penyebaran isu dan selebaran yang tidak jelas kebenarannya, semakin memperkeruh hubungan antara komunitas berbeda agama di pedesaan Saparua. Keberadaan Latupati sebagai pengikat kekerabatan lintas agama di Saparua tidak mampu menahan penyebaran informasi, sehingga ikatan adat Pela dan Gandong seperti tidak memiliki kekuatan saat perbedaan agama dipersepsikan oleh komunitas Salam dan Sarani sebagai pemicu penderitaan anggota komunitasnya masing-masing. Selain bahwa tidak ada upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya penyebaran konflik, bahkan cenderung terjadi pembiaran oleh pihak keamanan yang bertugas di Saparua. Terjadinya konflik terbuka antara komunitas Salam dan Sarani didorong penyebaran informasi yang mempersepsikan komunitas berbeda agama sebagai penyebab penderitaan.


(13)

Resolusi konflik di pedesaan Saparua memerlukan dua langkah yang berjalan sekaligus, yaitu penggunaan penyelesaian berasaskan penguatan budaya lokal dan diikuti penguatan kembali hubungan-hubungan agraris dalam konteks reforma agraria. Dengan langkah awal melakukan analisis keberadaan hak-hak atas sumberdaya alam dan lahan dari negeri dan batas-batasnya melalui pembicaraan adat.

Sebagaimana layaknya penelitian ilmiah, maka penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penelitian ini yaitu :

a. Peneliti yang berasal dari komunitas Sarani mengalami kesulitan saat melaksanakan pengumpulan data terutama di Negeri Sirisori Salam, namun melalui beberapa strategi yang dijelaskan pada lampiran Disertasi (sumbangan ilmiah dari aspek metodologi penelitian) data-data yang diperlukan dapat diperoleh sehingga mampu menjelaskan lebih jauh bagaimana keterkaitan jejaring sosial dan konflik di Saparua.

b. Asal usul peneliti yang berasal dari Saparua sangat membantu dalam pengumpulan data, terutama data yang sulit diungkapkan karena menyangkut proses terjadinya penyerangan serta bantuan-bantuan (senjata standart, senjata rakitan, dan amunisi) yang digunakan masing-masing komunitas saat konflik terjadi.

Kelemahan penelitian ini :

a. Sulitnya untuk memperoleh fakta sumber-sumber penyebaran isu yang tidak terbukti kebenarannya, baik dalam lingkungan komunitas Salam maupun Sarani. b. Penelitian ini tidak mampu mengungkapkan keterlibatan institusi resmi Negara

(Sipil dan Militer) secara jelas dalam konflik, karena terbatasnya data yang relevan untuk menjelaskan keterlibatan tersebut.

Kesulitan tersebut di atas menyebabkan penelitian ini tidak dapat mengungkapkan secara tegas keterkaitan jejaring sosial penyebaran konflik antar aras mikro sampai makro.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Jejaring sosial dapat menjadi sebab dan akibat konflik, maupun upaya resolusi konflik di pedesaan. Dalam kerangka inilah dijelaskan bagaimana secara teori, konflik dalam kaitannya dengan jejaring sosial yang di dalamnya ada proses komunikasi. Sebelumnya perlu ditelusuri hasil-hasil studi bernuansa konflik melalui studi-studi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) sampai tahun 2004. Hasil-hasil studi tersebut merupakan bagian dari proses pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia.

2.1. Memahami Konflik di Masyarakat Pedesaan 2.1.1. Pemetaan Konflik Masyarakat di Pedesaan

Pemetaan konflik masyarakat pedesaan di Indonesia dilakukan dengan menelusuri hasil studi bernuansa konflik di Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penelusuran tersebut menghasilkan beberapa konsep dan teori yang sering digunakan. Konsep-konsep yang digunakan pada “panggung konflik agraria” yaitu :

a. Konsep kelas Marxian, yang membagi masyarakat berdasarkan kepemilikannya yaitu penguasaan lahan dan akhirnya tingkat pendapatan, sehingga dikenal ada golongan atas yang menguasai tanah luas dan golongan petani sempit atau antara nalayan pemilik dan non-pemilik (Machfuddin, 1981; Girsang, 1996; Sjamsuddin, 1984; Sitorus, 1997; Hanggar, 2001), bahkan ditambah dengan kelas “bawah” atau golongan ketiga sebagai petani tak bertanah (Hamid, 1981), juga ditambah pula dengan golongan “sedang” (Kliwon, 1985)

b. Konsep kelas Weberian, yang membagi masyarakat berdasarkan multi-dimensi bukan hanya kepemilikan saja dan menghasilkan elit lokal ekonomi, elit lokal politik dan elit lokal sosial (Satria, 2000) yang sebenarnya merupakan akibat dari tindakan “rasional” individu.

c. Konsep “patron-client”, sebagai akibat ketakutan petani menanggung resiko “kegagalan” (Sutisna, 2001)

d. Konsep konflik sebagai suatu peselisihan atau perbentrokan antara dua pihak karena memperebutkan “tanah pusaka” (Harun, 1998), juga sebagai konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, serta konflik antara penduduk asli dan pendatang akibat salah satu kelompok yang termarjinalisasi (Syahyuti, 2002);


(15)

makna protes pemilik tanah (Saleh, 1997); sengketa tanah adat (Tantri, 2002); konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan (Petrus, 2000); perlawanan nelayan sebagai strategi adaptasi (Dede, 2001)

e. Konsep monetesi pedesaan, yang berakibat pada hilangnya atau menyempitnya atau pun berubahnya fungsi lahan pertanian (Sahab, 2002)

Konsep-konsep yang digunakan pada panggung “konflik peluang berusaha dan bekerja” yaitu :

a. Konsep persaingan di bidang usaha dagang, yang menghasilkan dominasi yang satu (etnis cina) terhadap yang lain (etnis melayu), atau dikatakan yang tertindas menjadi tersubordinasi (Arbi, 2001); konsep konflik kepentingan antar pedagang, (Meiyani, 1998);

b. Konsep status yang terbentuk sebagai hasil keberadaan kekuatan ekonomi atau pendapatan rumahtangga, sehingga menghasilkan status rumahtangga kuat, kurang kuat dan pekerja (Susilowati, 1986)

c. Konsep kelas sosial yang diadaptasi dari Marx dan Weber, dan menghasilkan pengertian kelas yang merupakan golongan dari sejumlah orang yang memiliki hubungan produksi yang sama dalam bidang ekonomi (Murdiyanto, 2001) juga pembagian kelas ala Marx yang menghasilkan lapisan masyarakat bawah (lower-level) sebagai nelayan dan produsen ikan/nelayan tradisional yang berstatus sebagai buruh dan melakukan usaha tanpa motor serta masyarakat atas (upper-level) sebagai pemilik modal dan penguasa/nelayan non tradisional sebagai nelayan pemilik dan melakukan usaha menggunakan perahu bermotor (Pranadji, 1995; Boer, 1984)

d. Konsep rasionalitas petani yang dijadikan alasan yang paling memungkinkan sebagai faktor pemicu sehingga petani melakukan tindakan-tindakan sosial yang dianggapnya logis (Mukhtar, 1994)

Panggung “konflik nilai sosial budaya” sendiri mengungkapkan beberapa konsep penting yaitu :

a. Konsep elit informal yang berperan dalam proses pembuatan keputusan pembangunan desa disebabkan oleh penggerak yang bersifat laten yang didasarkan pada hubungan sosial dan struktur sosial dari masyarakat (Iberamsjah, 1988)


(16)

b. Konsep integrasi yang tidak lagi diartikan sebagai pembauran berbagai kelompok etnis dengan mengorbankan nilai atau norma yang mereka anut, tetapi lebih cenderung ke arah sosialisasinya Coser, yang memungkinkan seseorang tidak memaksakan apa yang dianggap baik oleh suatu kelompok padahal berbeda menurut pandangan etnis lain, sehingga integrasi dianggap sebagai sikap dan pandangan serta pola hubungan yang harmonis dari dan antar para pelaku-pelakunya sehingga tercipta homogenitas pada pola nilai-nilai dan norma di antara kelompok dan struktur yang ada (Saad, 1984), juga menghasilkan perubahan secara sadar terhadap aspek kesejahteraan yang disebabkan proses interaksi antar individu dan antar kelompok masyarakat yang berinteraksi dan akhirnya menghasilkan “sesuatu yang baru” serta penciptaan keadaan yang lebih baik (Yosep, 1996); konsep integrasi pada unit pemukiman transmigrasi (Soumokil 1992); konsep keserasian hubungan antar etnik di perkotaan (Hartoyo, 1996); konsep integrasi masyarakat terasing ke dalam sistem nasional (Tasman, 1995); konsep tingkat integrasi transmigrasi dan penduduk asli (Torro, 1998); konsep interaksi antara masyarakat pendatang dan lokal (Ikhawan, 2000); konsep konflik dan integrasi dalam Komunitas Islam di Bali (Budi, 1992).

c. Konsep status, yang dikembangkan sebagai hasil dari penggunaan sumberdaya manusia dan pengelolaan sumberdaya alam yang tercermin dalam pola usaha, dan menentukan pula produksi sekaligus pendapatan, atau dengan kata lain dasar ekonomi menjadi penentu status seseorang dalam masyarakatnya (Singarasa, 1988)

d. Konsep kelas berdasarkan kedudukan dalam kekerabatan, sehingga lebih cocok dengan kelas Weberian yang lebih multidimensi dibandingkan dengan Marxian yang hanya terfokus pada dasar kepemilikan yang mengarah ke ekonomi, walaupun dalam aplikasinya ternyata terdapat tiga kelas dalam masyarakat yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah (Siagian, 2000); konsep konflik sebagai pertentangan kelas sosial dan ekonomi (Warsilah 2003)

e. Konsep gerakan sosial (Keron, 2001); konsep solidaritas internal dan integrasi kelompok (Ngabalin, 2001); konsep konflik etnis yang menjurus pada konsep kerusuhan sosial (Syahrul, 2001; Konita, 2003); konsep pengakuan yang diperoleh dengan strategi oleh etnis lokal (Satrio, 2002); konsep resolusi konflik antara migran dengan penduduk asli (Zainuddin, 2002); konsep konflik etnis dan ras (Lan, 2003); konsep konflik agama (Basyar, 2003)


(17)

Berbagai konsep yang dicetuskan melalui studi pada masing-masing panggung, menunjukkan adanya kemiripan walaupun pada kedudukan panggung yang berbeda. Hal ini menjadi satu keraguan untuk menyatakan ada “pembaharuan” dalam penggunaan konsep-konsep pada studi yang bernuansa konflik. Hal ini terlihat dengan jelas, apabila konsep-konsep tersebut disandingkan dengan konsep-konsep yang asli.

Studi konflik yang dilakukan di UI cukup memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian pada batas “pedesaan”. Selain itu, kekuatan teori yang dibangun lebih nyata karena studi-studi yang dilakukan lebih terfokus pada tataran teoritik dibandingkan tataran praktis (empirik) seperti di IPB. Hasil kajian menunjukkan keberadaan konsep-konsep yang ternyata semuanya berada di bawah payung “teori konflik” sehingga menawarkan “disharmonisasi” seperti konsep pemetaan konflik, manajemen konflik, komunal, separatis yang dipadu dengan konsep-konsep konflik horizontal, konflik vertikal, elit-massa, antar elit, struktur konflik, penggerak konflik, konflik tanah, hukum negara dan hukum adat. Selain itu pandangan Coser menjadi acuan bahwa konflik antar kelompok menyebabkan menguatnya solidaritas internal dan memperkuat integrasi kelompok, sebagai hasil proses komunikasi desas-desus.

Hasil lacakan terhadap hasil studi bernuansa “konflik” di LIPI, ternyata penggunaan konsep-konsep Marxian dalam menganalisis fenomena konflik sudah “mendominasi” setelah melewati tumbangnya ORBA (tahun 1998), sehingga keinginan peneliti untuk menelusuri “sesuatu” yang bertentangan dengan kebiasaan (mainstream) juga bermunculan seiring dengan munculnya era “reformasi”. Studi konflik di LIPI akhirnya lebih mampu memberikan sumbangan konsep-konsep dan teori-teori demi perkembangan studi konflik di Indonesia. Hal ini disumbangkan oleh kajian studi konflik yang lebih beragam, serta tidak adanya pembatasan kajian. Selain itu, ditunjang pula oleh kemampuan mengelola tataran teoritik dan praktis (empirik) secara bersamaan dalam pelaksanaan studi. Walau pun dalam hal perkembangan teori ternyata sama seperti di UI yaitu, nuansa konflik lebih cepat bergerak setelah munculnya “reformasi” (tahun 1998). Perkembangan teori sekaligus ditentukan oleh keberanian menentukan fokus kajian studi, karena semakin terfokus pada disharmonisasi maka penggunaan teori konflik akan lebih mampu memaparkan fenomena-fenomena yang ada. Oleh karena itu, studi-studi terbaru yang dilakukan LIPI (setelah 2000 – seiring dengan maraknya konflik sosial di Indonesia) mengangkat fenomena konflik dari sisi

“disharmonisasi” dengan menggunakan teori konflik sehingga mampu menjelaskan fenomena konflik dengan lebih tajam, lengkap dan sesuai fenomena yang ada.

Sehingga dapat dikatakan bahwa, studi-studi konflik (baik di IPB dan di luar IPB termasuk UI dan LIPI) mengarah pada pengungkapan runtut kejadian (berlangsungnya konflik), mencari akar permasalahan (akar konflik), menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan konflik serta menguraikan cara menanggulangi konflik. Akar


(18)

ekonomi dan aspek nilai (budaya atau agama). Kedua aspek ini memunculkan aspek lainnya seperti politik. Hasil kajian menunjukkan belum ada studi yang menjelaskan adanya keterkaitan konflik dan jejaring sosial baik dari penyebab konflik maupun cara penanggulangan konflik.

Berkaitan dengan konflik pedesaan yang disajikan dalam disertasi ini, dapat dikatakan bahwa kemunculan konflik di kalangan masyarakat pedesaan khususnya Pulau Saparua merupakan imbas dari konflik yang berkepanjangan di kota Ambon. Sehingga pilihan jejaring sosial sebagai aspek penting dalam konflik pedesaan Pulau Saparua menjadi jelas. Bahwasannya konflik di Saparua muncul karena diperluasnya konflik Ambon ke berbagai wilayah lain secarra sengaja oleh “pihak-pihak yang berkepentingan”, atau pun secara tidak sengaja oleh masyarakat pedesaan melalui proses komunikasi antar individu yang berkerabat dan atau bertetangga yang berisi terjadinya konflik serta akibat-akibat yang diderita. Proses penyebaran konflik dari Ambon ke berbagai wilayah lain paling terjadi karena ada jejaring sosial yang menghubungkan antara wilayah Ambon dengan wilayah sasaran penyebaran konflik termasuk Saparua.

2.1.2. Konflik Masyarakat di Pedesaan

Masyarakat manusia di manapun berada senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik atau pertentangan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Suatu sistem, pranata, atau institusi yang acapkali mengalami konflik dinilai tidak lebih harmonis daripada sistem, atau institusi lain yang relatif jarang mempunyai konflik. Pemahaman seperti ini lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan dari kebanyakan orang untuk memilih “strategi hidup” yang akomodatif, daripada harus memakai jalan yang sering menempatkan orang dalam posisi yang saling kontradiktif.

Dalam analisis studi konflik, paling tidak ada tiga pandangan klasik yang dapat dipakai sebagai dasar. Ketiga pandangan tersebut masing-masing diungkapkan oleh Marx, Coser dan Dahrendorf seperti dijelaskan berikut ini.

1. Pandangan Karl Marx (1967)

Dalam teori Marx terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun, antara lain adalah penegakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang yang berada dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas


(19)

ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadarannya; serta berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial.

Marx memberi tekanan pada dasar ekonomi untuk kelas sosial, khususnya pemilikan alat produksi. Ia juga mempunyai ide yang kontroversial mengenai sistem dua-kelas yang digunakan dalam analisisnya, khususnya tentang ramalannya mengenai pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar. Marx mengajukan ramalan mengenai revolusi proletariat di waktu yang akan datang, dimana menurutnya tidak akan terjadi perubahan struktur sosial yang utama, kecuali dengan revolusi.

Filosofi Marx banyak ditemukan dalam analisa sosiologi maupun ekonomi. Intinya Marx menghubungkan antara komitmen ideologi dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Pemikiran filosofi Marx berpusat pada usahanya untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat; pola kepercayaan; dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Marx lebih memberi tekanan pada pentingnya kondisi materiil dalam struktur masyarakat, dan membatasi pengaruh budaya yang bebas terhadap kesadaran individu serta perilakunya.

Marx (1967) membagi kesadaran manusia menjadi “kesadaran palsu” dan “kesadaran benar”. Misalnya, ia meyakini bahwa kepatuhan dari para buruh dalam pekerjaannya merupakan kesadaran palsu, sebab sesungguhnya dalam diri mereka terdapat bentuk kebutuhan lain yang ingin diperjuangkannya. Marx menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya.

Dengan demikian jelaslah, bahwa Marx memberikan gambaran tentang model konflik klas revolusioner dan perubahan sosial. Marx mengajukan asumsi yang sangat simpel, yaitu organisasi ekonomi, khususnya kepemilikan tanah (the ownership of property) akan menentukan organisasi yang ada dalam masyarakat. Struktur kelas dan susunan institusional seperti nilai budaya, kepercayaan, dogma agama/religi, dan sistem ide lain merupakan refleksi dasar-dasar ekonomi masyarakatnya (Marx, 1967). Oleh karena itu, semakin segmen sub ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber langka sebagai gejala berikut ini :


(20)

1. Semakin perubahan sosial dibuat oleh segmen dominan untuk merusak keberadaan hubungan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

2. Semakin segmen dominan menciptakan keterasingan di antara segmen subordinat, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

3. Semakin para anggota segmen subordinat dapat mengkomunikasikan keluhan-keluhan di antara satu dengan yang lain, semakin cenderung mereka menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya.

4. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan ideologi yang mempersatukan (unifying ideologies), semakin cenderung mereka menjadi sadar akan kepentingan kolektifnya.

2. Pandangan Ralf Dahrendorf (1959)

Menurut Dahrendorf (1959), terdapat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan terciptanya perubahan sosial. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan efektif.

Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat memiliki dua muka, yaitu konsensus dan konflik. Teorinya tentang konflik dialektik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx. Menurutnya setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita :

• Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang berkesinambungan,

• Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tak terhindarkan,

• Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan distribusi kekuasaan di antara kelompok dominan dan kelompok lapisan bawah,

• Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua kelompok yang berkonflik.

• Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik berikutnya.

• Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan aneka tipe pola institusional.

Konflik berhubungan dengan tumbuhnya kesadaran kelompok subordinat tentang kepentingan obyektifnya. Peningkatan kesadaran tersebut sejalan dengan bekembangnya kondisi teknik (kader kepemimpinan dan kodifikasi dalam sistem ide), berkembangnya kondisi politik (diperbolehkannya kelompok oposisi mengorganisir diri);


(21)

serta bekembangnya kondisi sosial (adanya peluang kelompok laten untuk berkomunikasi dengan yang lain, dan meningkatnya rekruitmen oleh struktur yang ada). Oleh karena itu, jika suatu kelompok terbentuk secara kebetulan (byhance) sangat mungkin akan terhindar dari konflik. Sebaliknya apabila kelompok semu yang pembentukannya ditentukan secara struktur, maka akan memungkinkan untuk terbentuk menjadi suatu kelompok kepentingan yang menjadi sumber konflik atau pertentangan.

Analisa Dahrendorf menunjukkan adanya posisi yang dilematis dari kelompok superordinat. Bahwa peningkatan atau perkembangan kondisi teknik, politik, dan sosial akan meningkatkan kesadaran kelompok semu/laten tentang kepentingan obyektifnya. Hal ini dapat membuka peluang tumbuhnya konflik. Di sisi lain, jika ketiga kondisi di dalam organisasi tersebut dirasa kurang, konflik pun akan berlangsung brutal atau keras. Walaupun demikian, di akhir proposisinya dikatakan bahwa semakin keras suatu politik, maka akan semakin besar angka perubahan struktural dan reorganisasi. Artinya, bahwa konflik yang terjadi di dalam masyarakat mempunyai fungsi bagi terjadinya perubahan-perubahan sistem dalam skala tertentu (Dahrendorf, 1959).

Berdasarkan pemikiran Dahrendorf tersebut, dapat dimaknai bahwa tindakan-tindakan “improvement” yang dilakukan oleh kelompok superordinat akan menghasilkan dua konsekuensi sekaligus. Pertama, terberdayakannya kelompok subordinat sehingga kesadaran tumbuh, dan ini juga berarti ancaman bagi keberadaan kelompok superordinat. Kedua, semakin terjauhkannya kelompok subordinat dengan akses-akses strategis yang ada dalam sistem, dan ini dapat menumbuhkan kekecewaan yang muaranya juga konflik antar segmen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, dapat diduga bahwa konflik memang merupakan keniscayaan kehidupan yang tidak terhindarkan.

3. Pandangan Lewis Coser (1956)

Menurut Coser, konflik disebabkan oleh adanya kelompok lapisan bawah yang semakin mempertanyakan legitimasi dari keberadaan distribusi sumber-sumber langka. Pertanyaan tentang legitimasi tersebut diakibatkan oleh kecilnya saluran untuk menyampaikan keluhan-keluhan yang ada, dan perubahan deprivasi absolut ke relatif (Coser, 1956).

Coser (1956) menyampaikan proposisi tentang kekerasan konflik (the violence of conflict) sebagai berikut :


(22)

1. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang realistik atau tujuan yang dapat dicapai (obtainable goals), semakin cenderung mereka melihat kompromi sebagai alat untuk merealisasikan kepentingannya, oleh karenanya, kekerasan konflik akan semakin berkurang.

2. Semakin suatu kelompok berada pada konflik yang terjadi karena isu-isu yang tidak realistik atau tujuan yang tidak dapat dicapai (unobtainable goals), semakin besar tingkat emosional akan dapat membangunkan dan terlibat dalam konflik, dan oleh karenanya konflik akan semakin keras.

• Semakin konflik terjadi karena nilai-nilai pokok, semakin cenderung mengarah pada isu-isu yang nonrealistik.

• Semakin konflik yang realistik berlangsung lama, semakin cenderung akan munculnya atau meningkatnya isu-isu yang nonrealistik.

3. Semakin kurang fungsi hubungan interdependensi di antara unit-unit sosial di dalam sistem, semakin kurang tersedianya alat-alat institusi untuk menahan konflik dan ketegangan, semakin keras suatu konflik.

• Semakin besar perbedaan kekuasaan di antara super dan subordinat di dalam sistem, semakin kurang fungsi interdependensi.

• Semakin besar tingkat isolasi subpopulasi di dalam sistem, semakin kurang interdependensi.

Pandangan Coser, bahwa konflik sosial dipandang memiliki fungsi secara sosial menjadi penting artinya untuk memahami konflik masyarakat di pedesaan Saparua. Konflik sebagai proses sosial lebih banyak dilihat dari segi fungsi positif, maka teori konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme Konflik Sosial. Sebuah pandangan tentang konflik sosial yang menekankan langkah pada mengenal dan mengkaji sebab dan bentuk konflik yang wujud didalam masyarakat serta potensi akibatnya dengan perubahan sosial. Langkah ini menunjukkan agar konflik dikelola untuk tidak dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan. Ada harapan, bahwa konflik yang dikelola dapat diarahkan pada perubahan sosial yang diharapkan. Pemahaman ini paling memungkinkan dalam menjelaskan fenomena konfflik di Saparua, sehingga konflik dapat dikelola menjadi kekuatan masyarakat untuk bergerak lebih maju. Berdasarkan pemikiran tersebut, secara teoritik dapat diduga bahwa kekerasan yang terjadi disebabkan oleh adanya isu-isu yang nonrealistik di dalamnya. Isu yang tidak realistik adalah isu yang tujuan-tujuannya tidak dapat direalisir. Misalnya isu tentang agama, etnis, dan suku merupakan sesuatu yang tidak realistik. Konflik yang terjadi karena isu tersebut dikonsepsikan akan berlangsung secara keras, seperti di Saparua. Namun, konflik yang terjadi kemudian dapat dikelola sehingga mengarah pada perubahan sosial yang diharapkan. Dalam pemahaman kami, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu luas-sempitnya tujuan konflik, pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-simbol kemenangan dan kekalahan dalam konflik, serta peran


(23)

pemimpin dalam memahami biaya konflik dan dalam mempersuasi pengikutnya. Pemikiran semacam ini menunjukkan kejelasan, bahwa peran pemimpin begitu besar.

2.2. Keterkaitan Jejaring Sosial dan Konflik

Keterkaitan konflik dan jejaring sosial dapat dipahami dalam jejaring komunikasi. Jejaring komunikasi menunjukkan bagaimana hubungan antar individu terbangun dalam proses komunikasi melalui pola-pola tertentu.

Jejaring komunikasi (communication network) adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan informasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Sependapat dengan Lewis (1987) yang mengatakan bahwa jejaring komunikasi adalah sistem yang merupakan garis komunikasi yang menghubungrkan pengirim pesan dengan penerima pesan. Selanjutnya, DeVito (1992) mendefinisikan jejaring komunikasi sebagai saluran atau jalan tertentu yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Rogers (1983) mengemukakan bahwa jejaring komunikasi adalah suatu jejaring yang terdiri dari individu-individu yang saling berhubungan oleh arus komunikasi yang terpola. Pernyataan ini diperkuat oleh Berger dan Chaffe yang diacu dalam Purnomo (2002) menyatakan bahwa jejaring komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontak-kontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya.

Robins yang diacu dalam Mislini (2006) berpendapat bahwa jejaring komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan dalam bermacam-macam pola. Jejaring komunikasi dibagi dalam lima macam jejaring, yaitu; jejaring rantai, jaringan Y, roda, lingkaran dan jejaring semua saluran, seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini :


(24)

Gambar 1 Jejaring Komunikasi Umum (Robbins, 1984)

Berdasarkan kriteria tersebut bahwa tidak ada satupun jejaring yang akan menjadi terbaik untuk semua kejadian. Apabila kecepatan yang penting, maka jejaring roda dan semua saluran yang lebih disukai. Jejaring rantai, jejaring Y dan jejaring roda mendapat nilai tinggi untuk kecermatannya. Susunan jejaring semua saluran adalah yang terbaik apabila tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan yang tinggi bagi penerima pesan. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengukur efektifitas jejaring komunikasi maka dapat menggunakan empat kriteria.

Tabel 1 Jejaring Komunikasi dan Kriteria Evaluasi

Jenis Jejaring Komunikasi Kriteria

Rantai Y Roda Lingkaran Semua Saluran

Kecepatan Sedang Sedang Cepat Lamban Cepat

Kecermatan Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang

Timbulnya

Pemimpin Sedang Sedang Tinggi Tidak ada Tidak ada

Ada Moril Sedang Sedang Rendah Tinggi Tinggi

Sumber: Robins, SP (1984)

Berkaitan dengan perspektif jejaring, terdapat beberapa konsep yang perlu dipahami, sehingga dapat mempertajam analisis terhadap jejaring komunikasi, yaitu konsep jejaring sentralisasi versus desentralisasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan jejaring komunikasi model Y, bintang, all channel, rantai, konsep independen di mana anggota bebas dari pemilihan terhadap posisinya untuk menjadi apa kemudian informasi (berkomunikasi) lebih dapat terpuaskan (Beebe dan Masterson yang diacu dalam Mislini, 2006).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian jejaring komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu, sehingga membentuk pola-pola atau model-model jejaring komunikasi tertentu. Model jejaring komunikasi tersebut, menjadi jalan bagi penyebaran informasi antar individu sehingga terbentuk sekelompok individu dengan persepsi yang sama. Berkaitan dengan konflik maka, penyebaran informasi berupa pandangan negatif terhadap komunitas lain menyebabkan terbentuknya sekelompok individu yang berpandangan negatif. Hal yang sama terjadi juga pada komunitas yang menjadi lawan, maka terbentuk pula persepsi negatif dalam komunitas yang menjadi lawan. Pertemuan persepsi negatif berujung pada konflik antar kedua komunitas,


(25)

Rogers dan Kincaid (1981), menegaskan bahwa analisis jejaring komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, di mana data hubungan mengenai arus komunikasi dianalisis dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara efek komunikasi dengan jejaring komunikasi.

Tabel 2 Perbedaan Efek Komunikasi dengan Jaringan Komunikasi

Keterangan Pendekatan

Efek Komunikasi

Analisa Jaringan Komunikasi Model yang

digunakan pada pendekatan ini

Model linier Model konvergen

Unit analisis Individual Beberapa tipe hubungan interpersonal Tujuan

variabel-variabel independen

Karakteristik individu

Indeks dari struktur komunikasi (contoh: indek keterkaitan dan indek integrasi)

Tujuan variabel-variabel

dependen

Efek dari komunikasi (pengetahuan, sikap, dan atau perilaku yang nyata)

1. Siapa berkomunikasi dengan siapa 2. Persetujuan dan pengertian individu

dalam jaringan Sumber: Rogers (1986)

Inti dari perbedaan di atas adalah bahwa komunikasi konvergen sebagai proses pertukaran informasi dengan satu atau lebih individu lainnya, sementara komunikasi linier adalah sebagai proses komunikasi satu arah. Analisis jaringan komunikasi menggambarkan jaringan hubungan interpersonal yang dihasilkan lewat pertukaran informasi dalam struktur komunikasi interpersonal. Rogers (1986) mendefinisikan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari saling keterkaitan antara individu-individu yang dihubungkan oleh arus atau alur komunikasi yang terpola. Dikaitkan dengan kemunculan konflik maka, struktur komunikasi turut menentukan cepat tidaknya konflik terjadi. Semakin kuat keterikatan antar individu, maka arus komunikasi bergerak semakin lancar. Proses komunikasi linier memperbesar peluang konflik, karena tidak ada pertukaran informasi yang terjadi, sehingga arus informasi mengalir searah tanpa ada konflirmasi kebenaran informasi.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jejaring komunikasi, yaitu: (1) mengidentifikasi klik dalam suatu sistim; (2) mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan, misalnya; sebagai liaisons, bridges dan isolated; dan (3) mengukur


(26)

berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi seperti keterhubungan klik, keterbukaan klik, keintegrasian klik dan lain sebagainya. Klik adalah bagian dari sistem (sub sistem) di mana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers dan Kincaid,1981).

Identifikasi klik membantu menentukan kedudukan aktor dalam penyebaran informasi. Berkaitan dengan konflik yang terjadi, maka kedudukan dan kemampuan aktor menjalankan fungsi penyebaran informasi semakin memperbesar peluang pecahnya konflik. Persepsi negatif tentang kelompok lain yang semakin menguat, memudahkan terbentuknya perilaku yang mendukung persepsi tersebut. Keinginan menghancurkan kelompok lain merupakan wujud perilaku, akibat persepsi negatif terhadap kelompok lain. Pembentukan persepsi merupakan gambaran proses terbentuknya jejaring sebagai rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu tersebut. Pertukaran informasi membentuk pola-pola atau model-model jaringan komunikasi tertentu. Dengan demikian model jejaring dalam konflik merupakan model jaringan komunikasi antara anggota masing-masing komunitas yang terbentuk karena terjadinya komunikasi (pertukaran informasi) di antara anggota komunitas dalam membicarakan akibat konflik yang sedang terjadi.

Pendekatan komunikasi menjadi penting untuk memahami fenomena jejaring sosial dalam konflik karena, membangun jejaring tidak lepas dari peran komunikasi dalam arti sempit yaitu interaksi antara orang. Tanpa interaksi maka jejaring tidak mungkin terbentuk. Namun, pendekatan komunikasi di sini lebih ditekankan pada pandangan terhadap jejaring sosial sebagai suatu hubungan antara orang yang akhirnya membentuk rangkaian hubungan dengan tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan inilah yang sebenarnya menjadi penting, karena kesamaan tujuan pada dasarnya merupakan prinsip utama dibangunnya interaksi. Dalam hal ini, tujuan diarahkan pada penyebaran konflik atau penghentian konflik. Walaupun semakin sesuai tujuan antara individu yang berinteraksi maka semakin mudah tujuan tercapai, namun peran pemimpin dalam masyarakat sebenarnya menempati posisi yang penting dan dominan untuk menentukan tujuan apa yang ingin dicapai. Proses interaksi tersebut menggambarkan kekuatan ikatan antar individu dari berbagai aspek, termasuk pula ikatan se-agama. Ikatan demikian menunjukkan adanya modal sosial yang berkembang dalam masyarakat yang tergambarkan melalui jejaring antar individu.


(27)

Bagi sosiolog studi tentang jejaring sosial telah dikenal sejak tahun 1960-an, yang dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna bagi kehidupan sosial (Powell dan Smith-Doerr, 1994). Mitchell (1969) menegaskan, pada tingkatan antar individu, jejaring sosial dapat didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di antara sejumlah orang dengan sifat tambahan, yang ciri-ciri dari hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat. Sedangkan pada tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola atau struktur hubungan sosial meningkatkan dan/atau menghambat perilaku orang untuk terlibat dalam bermacam arena dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tingkatan ini memberikan suatu dasar untuk memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial.

Studi yang membahas keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial masih jarang dilakukan. Jejaring sosial merupakan ekspresi modal sosial, sehingga studi jejaring sosial dan konflik dapat ditelusuri dari studi modal sosial dan konflik.

Uphoff dalam Dasgupta dan Ismail Seregeldin [ed] (2000 : 215 – 243) mengatakan bahwa, modal sosial sangat membantu jika dipahami dalam dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Kategori pertama diasosiasikan dengan berbagai bentuk organisasi sosial, khususnya peran (roles), aturan (rules), preseden (precedents), prosedur (procedure) dan networks yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama (cooperative behavior), serta terutama sekali terhadap tindakan kolektif yang memberi manfaat timbal-balik, “mutually benefit collective action” (MBCA). Sedangkan kategori yang kedua berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan ideologi, khususnya norma-norma (norms), nilai-nilai (values), sikap perilaku (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua kategori tersebut tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain.

Dalam pandangan Uphoff, modal sosial dapat ditelusuri bentuknya, dari yang paling minimum, elementer, substansial hingga maksimum. Hal ini karena karakteristik modal sosial itu sendiri mengandung makna “some degree of mutuality, some degree of common identity, some degree of cooperation for mutual, not just personal, benefit (Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed) (2000 : 222). Modal sosial dapat dianalisa melalui fenomena-fenomena perilaku sebagaimana digambarkan dalam tabel 3.


(28)

Mengacu pada konsep-konsep di Tabel 3., yang dimaksud dengan modal sosial yaitu, pertama, institusi-institusi, relasi-relasi, nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk perilaku kerjasama (cooperative behavior) dan koordinasi tindakan-tindakan bersama (collective action) untuk suatu tujuan yang manfaatnya dapat dirasakan secara bersama-sama (mutual benefit); kedua, kapablitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat.

Tabel 3. Kategori komplementer Modal Sosial

Aspek Struktural Kognitif

Sumber dan Manifestasi

Roles and Rules, Networks dan relasi personal lainnya,

Prosedur dan Preseden

Norma-norma, nilai-nilai, sikap/tingkah laku, kelayakan

Domain Organisasi Sosial Civil Culture

Faktor Dinamis Linkage horizintal Linkage Vertikal

Trust, solidaritas, kerjasama, derma (generosity) Common

Elements

Ekspektasi-ekspetasi yang melahirkan peilaku kerjasama yang kemudianmenghasilkan manfaat timba-balik (mutual benefit) Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan IsmailSeregeldin [ed], (2000 : 215 – 243)

Dalam kasus konflik, modal sosial merupakan dasar utama dalam jejaring sosial yang dapat diamati pada dua tingkat : vertikal dan horizontal. Pada tingkat vertikal, dilihat bagaimana masyarakat membangun hubungan dengan pemerintah setempat, policy maker, dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan sinergi. Pada tingkat horizontal akan dilihat, pertama, bagaimana kerekatan dan keterikatan orang-orang satu sama lain dalam kelompok yang sama (solidaritas kelompok) yang melahirkan tindakan bersama dan perilaku kerjasama; dan kedua, bagaimana hubungan antara anggota satu kelompok dengan anggota kelompok yang lain (solidaritas sosial) yang kemudian melahirkan kepercayaan sosial (social trust). Dalam hal ini, melalui modal sosial dapat dianalisa jaringan sosial sebagai tindakan bersama dalam konflik sebagaimana digambarkan dalam Tabel 4.


(29)

Tabel 4. Kontinum Modal Sosial Minimum Modal Sosial Elementer Modal Sosial Substansial Modal Sosial Maksimum Modal Sosial Tidak da kerjasama,

sangat

mementingkan diri sendiri (seek self-interested)

Ada kerjasama, tetapi hanya terjadi jika kerjasama itu sangat

menguntungkan untuk dirinya sendiri

Kerjasama terjadi atas dasar komitmen pada usaha bersama dan diharapkan bermanfaat juga untuk orang lain

Komit pada

kesejahteraan orang lain, kerjasama tidak dibatasi pada pencarian

keuntungan utuk diri sendiri, konsen pada public good.

Nilai-nilai : hanya menghargai diri sendiri (self-aggrandizement) Isu-isu : selfishness, bagaimana menjaga selfishness dari destruksi sosial ?

Efisiensi kerjasama Transaction cost, bagaimana biaya transaksi dikurangi untuk meningkatkan jaringan keuntungan masing-masing ? Efektivitas kerjasama Collective action, bagaimana kerjasama disukseskan dan dipertahankan ? Altruisme, dipandang sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri Self-sacrifie,

berkorban atas dasar patriotisme atau fanatisme agama ?

Strategy Otonom Kerjasama taktis Kerjasama strategis Meleburkan kepentingan-kepentingan

individual (merger of individual interest) Mutual benefit,

tidak dihitung

Isntrumental Intitutionalizad Transenden Sumber : Uphoff dikutip oleh Dasgupta dan Ismail Seregeldin (ed), (2000 : 215-243)

Beberapa studi yang terfokus pada konflik sumberdaya alam telah berusaha menunjukkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik sosial melalui modal sosial (social capital). Seperti halnya studi Allen (1998) pada komunitas Nebraska yang terfokus pada interaksi dalam membangun modal sosial dengan kesimpulan bahwa, pembentukan modal sosial merupakan unsur penting yang menjadi dasar penyelesaian konflik lokal karena jejaring, norma dan kepercayaan dibangun sebagai dasar tindakan kolektif komunitas. Sehingga modal sosial dianggap relevan sebagai strategi dasar dalam resolusi konflik. Demikian pula studi Keong (2000) yang terfokus pada modal sosial dan masyarakat sipil di Singapura, menyimpulkan bahwa modal sosial dibangun dengan mengembangkan tiga strategi penting yaitu, membangun jembatan penghubung (inisiatif dan proses pelembagaan melalui kerjasama dan pemecahan masalah secara bersama-sama); memperluas batas-batas (menyusun kembali batas-batas politik untuk


(30)

diskusi dan pengambilan keputusan bersama); dan menghancurkan penghalang (mereformasi wewenang dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik dan implementasi kebijakan). Ditunjang oleh studi Graham (2004) yang terfokus pada pemerintahan, konflik sosial dan pilihan aktivitas kerja di Philipina yang menyimpulkan bahwa, adanya peran jejaring sosial termasuk hubungan antara kekuatan ekonomi dan nelayan tradisional dimana tradisi pemerintah selama ini ternyata hanya menghasilkan modal sosial negatif sehingga diperlukan pemerintah yang bersih.

2.3. Ikhtisar

Teori konflik secara fungsional yang dikemukakan Coser dapat menjadi saluran memahami konflik dalam tataran mikro, dengan individu, dan struktur jaringan sosial yang biasanya menjadi unit kajian konflik melalui pendekatan teori perilaku. Dalam upaya pengembangan teori konflik yang fungsional dan didekati melalui pendekatan teori perilaku disebutkan, bahwa konflik terjadi akibat bias persepsi di kalangan anggota kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya muncul sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group), berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Proses ini menumbuhkan jejaring sosial baru dan secara struktural terjadi perubahan akibat kelahiran kepemimpinan yang bersifat agresif. Akhirnya kondisi ini akan melahirkan konflik. Apabila konflik yang terjadi akan diselesaikan, maka masyarakat yang menghadapi konflik harus mampu mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama. Secara teori, konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerjasama apabila kepada mereka dikenalkan sebuah tujuan yang asasnya secara meyakinkan dapat membuat mereka yang sedang bertikai melihat sesuatu yang jauh lebih penting dari persoalan yang menjadi sumber konflik, sehingga mereka berusaha bekerjasama (Sherif, 1998 dikutip oleh Santosa, 2004).

Pemahaman konflik dengan menggunakan kerangka Teori Konflik Fungsional dan Teori Perilaku dapat menjadi dasar dalam memberi kerangka penyelesaian konflik. Mengikuti pandangan Burton (1991), penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam tiga bentuk berbeda. Pertama, melalui manajemen untuk menemukan alternatif jalan keluar sebuah perselisihan (by alternative dispute resolution) agar dapat menampung atau membatasi konflik. Kedua, adalah penyelesaian konflik (settlement) dengan menggunakan proses yang bersandar pada wewenang dan hukum yang dapat


(31)

dipaksakan oleh kelompok elit. Sedangkan, penyelesaian yang ketiga adalah melakukan resolusi konflik. Bentuk penyelesaian yang berbeda dengan sekedar penyelesaian konflik melalui pendekatan manajemen konflik atau penyelesaian konflik yang bersandar pada kewenangan hukum. Resolusi konflik lebih menjadi sebuah proses analisis dan penyelesaian masalah yang menjadi sumber konflik dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, juga perubahan-perubahan kelembagaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Keterkaitan jejaring sosial dan konflik dilihat berdasarkan berpindahnya informasi dari satu pihak ke pihak lainnya. Berpindahnya informasi membentuk persamaan persepsi terhadap “sesuatu” yang diinformasikan. Akibat konflik yang dirasakan oleh satu pihak, diinformasikan ke pihak lain (kerabat, teman atau tetangga) di tempat pengungsian menimbulkan persepsi yang sama dalam arti kerabat, teman atau tetangga turut merasakan kesulitan yang dihadapi pemberi informasi akibat konflik yang berkepanjangan. Kemasan informasi kemudian menyebar dan membentuk kelompok yang memiliki persepsi yang sama terhadap informasi tersebut. Persepsi selanjutnya berubah menjadi perilaku emosional yaitu, keinginan untuk membalaskan dendam kepada siapa saja yang dianggap menyebabkan pemberi informasi mengalami kesulitan saat konflik. Penjelasan tersebut mengarah pada Teori Pembelajaran Sosial yang dikembangkan Bandura (1971) yang dikutip oleh Hjelle dan Ziegler(1992). Bandura menjelaskan teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Teori Pembelajaran Sosial terutama bagaimana cara pandang dan cara pikir terhadap informasi yang diterima, mengarahkan terbentuknya perilaku konflik akibat cara pandang dan cara pikir bahwa kesulitan akibat konflik yang diterima kerabat, teman dan atau tetangga merupakan akibat dari perbuatan pihak atau kelompok lain. Sehingga satu-satunya cara penyelesaiannya hanya membalaskan dendam kepada kelompok yang sama walaupun bukan pelaku yang sebenarnya.

Konteks konflik di pedesaan Saparua menunjukkan bagaimana kesulitan atau akibat yang diterima pihak Salam dan Sarani asal Saparua yang tinggal di luar Saparua menjadi informasi yang menyebar bagi kerabat, teman dan tetangga saat kembali ke


(32)

Saparua sebagai pengungsi. Penyebaran informasi memebentuk dua kelompok korban konflik, kemudian bermuara pada dua komunitas Salam dan Sarani. Padahal akibat yang diterima bukan perbuatan salah satu anggota kelompok di Saparua, tetapi di luar Saparua. Namun informasi telah membentuk persepsi, yang berkembang menjadi perilaku membalaskan dendam pada komunitas yang dianggap sebagai penyebab.

Sumber-sumber utama konflik seperti ekonomi, politik, agama dan budaya secara tidak langsung dialihkan oleh adanya penyebaran informasi yang membentuk kelompok dan kemudian komunitas berdasarkan ikatan agama yang sama pada suatu jejaring sosial. Sehingga jejaring sosial yang lain dengan dasar ikatan budaya yang sebenarnya melampaui ikatan agama, menjadi tidak berfungsi. Konflik kemudian berkembang menjadi berkepanjangan, ketika perilaku yang terbentuk dari informasi yang bergerak dalam jejaring sosial dengan ikatan agama merupakan perilaku saling membalaskan dendam.

Kajian jejaring sosial dan konflik di masyarakat pedesaan ini lebih merujuk pada upaya manajemen bukan penyelesaian konflik dengan pengaturan konflik berdasarkan kewenangan yang umumnya didasarkan pada aktivitas mediasi dan negosiasi. Oleh karena dua pendekatan yang disebut terakhir hanya akan berjalan jika pihak-pihak yang berkonflik setuju untuk bernegosiasi dan mempunyai posisi tawar yang sama. Padahal, hal tersebut sering tidak dipunyai masyarakat, khususnya mereka yang ada di pedesaan. Dengan demikian, hal yang penting dilakukan dalam penyelesaian konflik di masyarakat pedesaan adalah melacak konflik untuk menemukan proses perubahan berencana sebagai bentuk manajemen konflik yang mengarahkan penyelesaian konflik sebenarnya. Merujuk pada penyebaran informasi yang membentuk kelompok dengan ikatan agama dalam satu jejaring sosial, upaya penyelesaian konflik secara sederhana dapat dilakukan dengan mengubah isi informasi. Informasi akibat konflik diganti dengan informasi penguatan adat/budaya, sehingga ikatan adat/budaya kembali dikuatkan dan diharapkan kembali melampaui ikatan agama seperti sebelum konflik. Jika strategi ini mampu dijalankan, diharapkan menjadi satu strategi manajemen konflik melalui penguatan kelembagaan adat/budaya yang tidak memandang agama atau aspek lain baik politik dan ekonomi sebagai faktor pembatas.

Penelitian ini dilakukan untuk mempertanyakan apakah selain faktor-faktor penyebab yang diungkapkan berbagai penelitian sebelumnya, adakah faktor lain yang mendorong terjadinya konflik di Saparua. Merujuk pada kenyataan tersebut maka aspek ekonomi, politik, budaya dan agama diterima sebagai akar konflik sebagaimana telah


(33)

diungkapkan oleh berbagai studi sebelumnya, namun selain ke empat faktor tersebut jejaring sosial terindikasi sebagai faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan penting dalam mengungkapkan keterkaitan antara jejaring sosial dan konflik, sehingga ada sumbangan teori yang belum pernah diungkapkan oleh berbagai studi konflik selama ini.


(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Dasar Pemikiran : Hipotesis Pengarah

Konflik menyebabkan keterpurukan dan cenderung mengarahkan masyarakat korban konflik kembali ke negeri asal sebagai bentuk jaminan keamanan diri dan keamanan subsistennya. Kembalinya masyarakat korban konflik ke negeri asal membawa pula informasi kondisi keterpurukan akibat konflik. Informasi tersebut membentuk persepsi tersendiri bagi komunitas di negeri asal. Proses penyebaran informasi kemudian berlanjut ke negeri-negeri sekitar yang komunitasnya seagama sekaligus membentuk jejaring sosial berdasarkan ikatan agama. Penyebaran isu-isu yang tidak terbukti kebenarannya semakin memperkuat jejaring dengan ikatan agama. Elit agama kemudian turut terlibat secara tidak langsung melalui dakwah yang cenderung menjelekan agama lain. Dukungan elit adat seagama menyebabkan adat dan budaya lokal tidak berfungsi meredam terjadinya konflik. Elit adat seharusnya memperkuat ikatan adat dan budaya yang sebelumnya mampu memelihara keberagaman melalui ikatan pela dan gandong.

Pecahnya konflik di Ambon Maluku sebagaimana berbagai hasil studi disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, agama dan budaya. Selain itu didorong adanya perbedaan yang telah tertanam dalam diri masyarakat Maluku sejak masa kolonial. Perbedaan ini dibawa ke aspek pemerintahan (birokrasi) dan memperlihatkan tajamnya persaingan antara kedua komunitas. Akumulasi akhir dari persaingan yang demikian menuju pada konflik terbuka, jika tidak ada alternatif pemecahannya. Kenyataan tersebut semakin diperparah oleh keterlibatan berbagai kelompok setelah konflik berlangsung. Beberapa kelompok penting seperti Front Kedaulatan Maluku (FKM) yang bermetamorfosis sebagai RMS versi baru, dianggap sebagai keterwakilan komunitas Sarani. Sementara dari komunitas Salam, muncul Laskar Jihad (LJ) yang mengorganisir anggotanya dari berbagai daerah. Keterlibatan kelompok “Preman Coker” dalam berbagai aktivitas konflik, semakin memperkeruh situasi.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka kerangka dasar pemikiran tersebut dapat digambarkan berikut ini :


(35)

Gambar 2. Kerangka Pikir Praktek Beragama

yang ekslusif Salam & Sarani - benturan budaya

ketidakadilan dan dominasi

– Tersimpan

lama

Persaingan antar kelompok elit tradisional dan

masa kini

PEMICU DAN PEMATANGAN PRA KONDISI

KONFLIK UNTUK BERMETAMORFOSIS MENJADI KONFLIK – DUKUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

Provokasi, Isu, Ancaman dan Hasutan

Hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah

dan TNI-POLRI

Tidak Adanya Penanganan Konflik yang

tepat Dampak-Dampak

Konflik Aksi Kekerasan

KEMBALINYA MASYARAKAT KORBAN KONFLIK DE DAERAH ASAL DIIKUTI DENGAN PENYEBARAN INFORMASI ANTAR SESAMA KERABAT, TETANGGA DAN KOMUNITAS SEAGAMA DAN AKHIRNYA MEMBENTUK

JEJARING ANTAR KOMUNITAS YANG MELINTASI BATAS NEGERI Keterlibatan kelompok

pada masing-masing komunitas


(36)

Hipotesis pengarah menunjukkan pada pedoman yang memberikan arah dalam kerja penelitian, sejak tahap kerja lapangan sampai pada penulisan laporan (Thomas yang dikutip oleh Creswel, 1994 : 70). Merujuk pada pendapat tersebut jelaslah, bahwa rumusan masalah penelitian dapat berubah sesuai dengan perubahan perkembangan studi, sehingga bentuk akhir laporan baru dapat ditemukan pada tahap analisis data dan penulisan laporan.

Upaya merumuskan hipotesis pengarah dilakukan peneliti dengan menghubungkan teori-teori yang bersesuaian dengan pengetahuan lapangan yang dimiliki. Upaya ini bermuara pada munculnya sejumlah pertanyaan khusus yang berkaitan dengan jejaring sosial dan konflik di Pulau Saparua, sekaligus menjadi pengarah prosedur kerja penelitian yang akan dilakukan. Intisari hipotesis pengarah dalam penelitian ini sebenarnya tertuju pada “mengapa dan bagaimana” jejaring sosial dan konflik di pedesaan Saparua. Hipotesis-hipotesis pengarah tersebut dirumuskan pada penjelasan berikut ini :

1) Berkaitan dengan faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya konflik maka : a. Tidak tertanganinya konflik, menyebabkan korban konflik kembali ke negeri

asal sekaligus membawa informasi yang berisi penderitaan yang diterimanya akibat konflik.

b. Korban konflik sebagai pengungsi secara tidak langsung menyebarkan informasi melalui komunikasi antar individu dengan tetangga dan kerabat se-negeri, dilanjutkan oleh tetangga dan kerabat ke negeri-negeri lain yang seagama sehingga membentuk persepsi yang sama antar komunitas seagama lintas negeri dan akhirnya menjadi jejaring komunikasi antar negeri yang komunitasnya seagama.

2) Berkaitan dengan keterkaitan jejaring sosial dan konflik antar aras maka :

a. Kembalinya korban konflik ke negeri asal menunjukkan kuatnya jejaring sosial yang terbentuk sejak pertama kali ke luar dari negeri asal.

b. Aliran bantuan terjadi antar negeri dengan komunitas seagama di pedesaan Saparua maupun di luar Saparua.

3.2. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini memungkinkan bagi peneliti untuk memilih strategi utama yaitu, studi kasus, sebagaimana diungkapkan Yin (1996). Pemilihan strategi studi kasus lebih didasarkan pada ketidaksamaan kondisi konflik pada berbagai lokasi di Maluku, baik dari segi waktu kemunculannya kembali, ekskalasinya maupun implikasi yang terjadi. Selain itu


(1)

Bagian Keempat. Bagian ini berkaitan dengan jangkauan solidaritas yang terjadi baik sebelum konflik, saat konflik dan kemungkinan ke depannya seperti : Adakah masalah loyalitas dalam konteks homogen dan heterogen ?; Adakah tingkat kesenjangan hubungan sosial yang dirasakan melintasi garis-garis kelas, agama, dan etnis ?; Bagaimana pola perilaku pribadi yang terbentuk ?. Tujuannya adalah untuk mendeteksi pola-pola yang mencirikan proses-proses asosiatif dan disosiatif, yang berhubungan dengan berbagai tingkat konflik dan perubahan masyarakat pedesaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan :

a) Untuk mengetahui tentang elit dan konflik terutama pola hubungannya, maka pendekatan yang perlu dilakukan dalam penelitian ini merupakan pendekatan integral. Artinya, sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian, perlu juga memahami persepsi responden dan masyarakat tentang permasalahan keseluruhan dari penelitian yang hendak dilakukan, demi mendapat respons yang lebih positif dari responden.

b) Tidak semua responden memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mereka sulit dalam menyatakan diferensiasi yang memadai atas persepsi-persepsi mengenai elit berkenan dengan konflik yang terjadi.

c) Istilah elit perlu didefinisikan secara jelas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yang dengannya mudah untuk diarahkan demi mencapai apa yang diinginkan. Kita diharapkan tidak berupaya untuk menyodorkan konsep kita pada informan dalam kesadaran kita tentang adanya perbedaan perspektif kita dan informan baik tentang elilt, jejaring sosial maupun konflik, sebab hal ini akan menyulitkan kita untuk mengukurnya. Dengan lain kata, berilah informan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya terlebih dulu tentang hal-hal yang menjadi tujuan penelitian, kemudian dibuat pertanyaan sektoral sekitar tanggapan-tanggapan mereka.


(2)

PEDOMAN WAWANCARA ELIT DAN NON ELIT

IDENTITAS PRIBADI :

1. Nama :

2. Tempat / Tgl Lahir : 3. Pendidikan : 4. Nama istri : 5. Jumlah Anak :

6. Pekerjaan :

7. Alamat :

8. Kedudukan dlm negeri : SEKITAR KONFLIK :

9. Bagaimana kehidupan dengan pihak lain sebelum konflik : 10. Kronologis konflik :

11. Mengapa konflik terjadi : 12. Peran dalam konflik :

13. Adakah bantuan yang masuk dari negeri lain : 14. Apa saja bentuk bantuan tersebut : 15. Apa maksud pemberian bantuan tersebut :

16. Adakah keterlibatan pihak militer dari masing-masing pihak yang berkonflik : 17. Adakah keterlibatan pihak lain pada masing-masing pihak yang berkonflik :

18. Adakah keterlibatan tokoh-tokoh negeri yang berada di luar (di Ambon atau Jakarta) :

19. Bagaimana bentuk keterlibatan mereka :

20. Adakah keterlibatan pemerintah kecamatan/kabupaten/propinsi :

21. Setelah konflik pecah dan meminta korban dari kelompok anda, adakah upaya untuk membalaskan akibat tersebut :

22. Bagaimana cara pembalasan dilakukan :

23. Adakah keterlibatan orang di luar negeri (baik di Saparua-Haruku-Nusalaut-Seram, Ambon dan Jakarta) dalam pembalasan tersebut :

24. Bagaimana bentuk keterlibatan mereka : SEKITAR AKIBAT KONFLIK :

24. Adakah upaya yang dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi : 25. Siapa saja yang terlibat dalam upaya tersebut :

26. Bagaimana tanggapan anda terhadap upaya tersebut : 27. Apa saja akibat konflik yang dapat dirasakan sampai saat ini : 28. Bagaimana cara menangani akibat konflik tersebut :

29. Adakah keterlibatan pihak lain dalam menangani dampak tersebut : 30. Bagaimana bentuk keterlibatan pihak-pihak tersebut :


(3)

INSTANSI PEMERINTAH / APARAT MENANGANI KONFLIK

1. Dasar hukum penanganan konflik Maluku baik di tingkat Pusat maupun daerah. 2. Mengenai peristilahan, mengapa konflik Maluku 1999 disebut sebagai “konflik

agama”, bukan “konflik etnis”, “konflik internal” dan sebagainya.

3. Bagaimana kronologis terjadinya konflik di Saparua ? Negeri-negeri (Desa-desa) mana saja yang dominan terlibat dalam konflik ? Bagaimana bentuk keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Adakah individu yang dominan dalam menggerakkan keterlibatan negeri-negeri tersebut ? Bagaimana kedudukan individu dalam negeri -nya maupun di Saparua secara umum ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan negeri-negeri lain di sekitar Saparua (Haruku, Nusalaut, Seram) ? Adakah hubungan yang dibangun oleh individu tersebut dengan kelompok atau komunitas di Ambon dan Jakarta ?

4. Proses penanganan konflik Saparua dan Maluku secara umum : a. tahap-tahap penanganan konflik secara umum

b. apa saja yang dilakukan dalam proses penanganan konflik di Saparua

c. adakah perbedaan antara penanganan konflik di Saparua dengan di tempat lain di Maluku

5. Proses Implementasi Kebijakan Penanganan Konflik di Saparua :

a. Apa saja yang dilakukan dalam proses implementasi kebijakan konflik b. Apa saja pilihan-pilihan dalam kebijakan yang dilaksanakan

c. Siapa lembaga atau instansi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan d. Bagaimana kesesuaian antara rencana dengan implementasi penanganan

konflik

e. Bagaimana teknis penanganan implementasi sejak perencanaan hingga realisasi.

6. Adakah individu yang berperan dalam penanganan konflik selain lembaga atau instansi ?

a. Mengapa individu tersebut terlibat secara pribadi ? b. Apa saja yang dilakukannya dalam penanganankonflik ?

b. Bagaimana tingkat keberhasilannya dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan instansi atau lembaga ?

7. Masalah koordinasi dalam penanganan konflik :

a. Bagaimana koordinasi antara negeri dengan Saparua ? b. Bagaimana koordinasi antara Saparua dengan Kabupaten ? c. Bagaimana koordinasi antara Kabupaten dengan Propinsi ? d. Bagaimana koordinasi antara Propinsi dan Pusat ?

e. Adakah peran instansi lain dalam pelaksanaan fungsi koordinasi tersebut ? f. Adakah peran LSM dalam proses penanganan konflik baik di tingkat Saparua,


(4)

(5)

(6)

ABSTRACT

PATTISELANNO AUGUST ERNST. Social Network and Rural Community Conflict (Case of Saparua Island, Maluku Province). Under direction of LALA M. KOLOPAKING, DJUARA P. LUBIS and HENDRIK B. TETELEPTA.

The Ambon conflict in January 1999 lasted for almost six years, added by the spreading of the conflict was analyzed using social network to understand the conflict happen in the community. The research aimed to see the relevance between social network and conflict in various borders and is there any other factor besides economics, politics, religions and culture which cause the conflict.

Through qualitative technique, it is known that there is relevance between social network and conflict spreading which was initially happen in Ambon Island to rural communities in Saparua Island.

The result of this research showed that Saparua conflict is a part of Ambon conflict, and it actually would not have arisen if there was an effort to press or to prevent conflict spreading. The handling of refugees also became the source of new conflict in Saparua, since the refugees coming to Ambon were not handled and they had to come back to Saparua. They were the ones who continue information which gave understandings and directed the behavior on a form of willingness to take revenge to other communities in Saparua that happened to have different religion. Thus the conflict in Saparua exploded. Therefore, in the case of Saparua conflict, economic, politic, religious and cultural aspect were not the basis of conflict explosion as it was Ambon. Hence, there are basic differences between the cause of conflict in Saparua and Ambon. Behind the religious conflict in Saparua, it turns out that relatives or customary relationship hold an important role. At last custom or tradition still becomes an important boundary on religious conflict in Saparua. Therefore, it is undeniable if custom then becomes the basis of reconciliation among the conflict groups, and therefore the role of local customary elites through Latupati institution becomes important and could be used in the process of conflict resolution.