Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

dalam konflik Saparua sebenarnya tidak sekuat berkembangnya isu-isu kelompok penghancur dari masing-masing pihak. Faktanya hasil wawancara dengan responden di negeri-negeri Jazirah Hatawano Saparua berikut ini : Diawali dengan adanya informasi bahwa, di Iha sudah masuk Jihad yang dipimpin oleh Jihad dari luar negeri Geser, Sepa, Tamilou dan Hatuhaha yang dipimpin kapitan Negeri Geser “Mukadar”. Hari jumat tanggal 6 Oktober 2000, mulailah Iha melakukan penyerangan ke Noloth dan membakar 12 rumah pendudukan serta satu negeri muhabeth, sementara akibat bunyi tembakan seorang tua kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu juga Raja Noloth sempat berdialog dengan Kapolda Firman Gani, dan meyakinkan bahwa masyarakat Negeri Noloth dapat mempertahankan kondisi keamanan, karena masyarakat Noloth sendiri tidak mempersiapkan apapun juga selain berjaga- jaga. Justru masyarakat negeri Iha melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap beberapa rumah milik negeri Noloth akibat hasutan orang dari luar, sehingga konflik pecah di jazirah Hatawano. Masyarakat mulai dikumpulkan untuk berupaya mempertahankan negerinya. Saat itu Noloth diserang dengan senjata otomatis didukung oleh tembakan dari kapal perang. Oleh karena itu, Raja Noloth berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat TNI dalam berbagai bentuk, karena mungkin saja secara tidak langsung tetapi dengan meminjamkan senjata dan amunisi bagi mereka. Namun dengan bersusah payah akhirnya masyarakat Noloth mampu mempertahankan keberadaan negerinya dengan bantuan dari negeri-negeri sekitar Itawaka, Ihamahu, Mahu dan Tuhaha.

5.4. Pergeseran Budaya Masyarakat di Pedesaan Saparua

Berbagai temuan menyebutkan bahwa Selama 30 tahun masa orde baru pranata-pranata lokal ini telah mengalami marjinalisasi, modifikasi, dan disorganisasi dalam konteks pengintegrasian pranata lokal ke dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan UU No 51974. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali berbagai permasalahan yang terjadi sebagai acuan untuk menghindari berulangnya kesalahan, mengangkat kembali potensi yang ada, serta mengulas bagaimana dan sejauhmana pendinamisan dan pemberdayaan kembali pranata-pranata lokal itu dapat dilaksanakan untuk menunjang otonomi daerah. Isu-isu yang relevan perlu dikaji secara cermat untuk kepentingan-kepentingan penelitian, penetapan kebijakan dan pendampingan, agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi mengabaikan pranata-pranata dan budaya lokal. Selanjutnya, diharapkan dapat diwujudkan pemerintah daerah yang demokratis, bernafaskan kerakyatan, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dalam mencapai masyarakat lokal yang tangguh. Penerapan UU No. 51974 di Maluku, telah merengut kemerdekaan dan kemampuan pemerintahan adat sebagai pelaksana sistem pemerintahan desa yang selalu diwariskan secara turun temurun. Pewarisan sistem pemerintahan adat bukanlah suatu hegemoni buta, tetapi lebih didasarkan pada kekuatannya untuk mempertahankan kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat. Struktur pemerintahan adat di Maluku memberlakukan tiga fungsi negara secara umum yaitu, pertama, Raja kepala desa beserta pembantu-pembantunya yang berfungsi menjalankan pemerintahan; kedua, Saniri Negeri yaitu kepala-kepala soa kumpulan mata rumah – keluarga yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan; ketiga, Kewang polisi yang berfungsi mengawasi jalannya peraturan dalam masyarakat, termasuk pelanggaran kearifan lokal yaitu sistem pemilikan dusung dan pelanggaran usaha pelestarian lingkungan sasi. Dengan demikian dalam sistem pemerintahan adat di Maluku, telah dibedakan antara fungsi pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Maluku cukup beragam. Namun keragaman tersebut menjadi tidak berarti, karena tanpa keberadaan pemerintahan adat tidak mungkin dapat dijalankan secara baik. Beberapa gambaran yang khas dari sistem pemerintahan adat antara lain, adanya sistem pemilikan komunal yang tidak memungkinkan pemilikan pribadi dengan sertifikasi. Hal ini bukanlah pelanggaran hak pribadi, tetapi lebih didasarkan pada usaha pewarisan milik tersebut secara tetap dan kontinu bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu hak milik yang dikatakan pribadi, tidak dapat dijual secara bebas. Modernisasi pertanian sebagai model pembangunan yang berdasarkan pendekatan top-down ternyata memerlukan biaya yang tinggi. Model seperti ini juga semakin lama, menurunkan kualitas lingkungan sekaligus merusakkan lingkungan. Hal ini dilihat pula dengan perpanjangan tangan pemerintah pusat, yang turut dirasakan oleh masyarakat pedesaan di Maluku melalui kepala desa pemimpin desa. Kedudukan kepala desa sebagai pemimpin negeri di Maluku, selama ini menjadi perdebatan sengit. Namun “hegemoni” UU No 51974, ternyata sulit dihadapi dan berakhir dengan terkooptasinya masyarakat ke dalam pelaksanaan UU tersebut yang dikatakan penuh nuansa demokrasi. Padahal dalam penerapannya sudah kelihatan “ketidak demokrasiannya”, karena rakyat tidak pernah ditanyakan pendapatnya seperti rakyat di Maluku yang masih menjalankan sistem pemerintahan adat. Melalui UU No 51974, mulailah diterapkan kebebasan dalam memilih secara demokratis pemimpin desa beserta aparat pembantunya walaupun sebenarnya sering sudah diatur oleh pemimpin di atasnya demi kepentingan politiknya. Penerapan UU tesebut menyebabkan posisi kepala desa bisa diduduki oleh siapa saja termasuk oleh orang yang berasal dari luar desa tanpa memperhitungkan keturunan seperti halnya dalam pemerintahan adat. Oleh karena itu pengetahuan lokal pemimpin desa seringkali tidak ada sama sekali. Kemudian dibentuk LKMD menggantikan Badan Saniri Negeri, yang biasanya diisi oleh pegawai negeri sipil yang kebetulan bertugas dalam desa tersebut mantri, bidan, guru sehingga pemahaman tentang masyarakat setempat belum memadai. Selain itu, tidak diakomodasikan lembaga kewang yudikatif dalam sistem pemerintahan desa yang baru semakin memperuncing potensi konflik antara elit lokal formal dengan informal. Elit lokal formal yang memegang kekuasaan saat ini, ingin mempertahankan kekuasaan yang sudah dipegangnya selama ini. Pada sisi lain, elit lokal informal masih menganggap dirinya sebagai pemegang kekuasaan karena secara adat masih melekat pada dirinya. Potensi konflik yang sudah lama terpendam ini, memungkinkan diarahkan menjadi konflik terbuka antara elit lokal formal dan informal beserta pengikutnya masing-masing. Oleh karena itu, sering terjadi dalam pelaksanaan pembangunan di suatu desa yang dipimpin kepala desa bukan dari elit lokal informal, biasanya tidak mendapat dukungan dari elit lokal informal beserta kelompoknya. Masing-masing elit baik elit lokal formal maupun informal dapat mempengaruhi pengikutnya untuk mengikuti harapan masing-masing elit. Oleh karena itu, kedudukan elit lokal sangat penting dalam mewarnai konflik yang terjadi. Kekuatan dan potensi berkembangnya konflik, sangat tergantung pada masing-masing elit lokal yang berkonflik. Masing-masing elit lokal dapat mempengaruhi pengikutnya untuk melanggengkan konflik atau untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara mereka. Pola pembangunan di Indonesia yang lebih berorientasi pada kota dan mengabaikan desa, mengakibatkan hajat hidup masyarakat desa yang lebih banyak disisihkan dibandingkan dengan masyarakat kota. Perhatian pembangunan kota dibandingkan dengan desa tersebut, merupakan akibat awal terciptanya kota sebagai primadona serta memiliki daya tarik pull factors yang kuat bagi masyarakat desa dibandingkan dengan daya dorong push factors masyarakat desa pergi ke kota. Gemerlap kota tanpa memperhatikan keseimbangannya dengan pembangunan di desa, menyebabkan masyarakat desa berbondong-bondong menuju ke kota. Sebaliknya, desa yang pada dasarnya memiliki sumberdaya alam untuk dieksploitasi namun tidak sebanding dengan daya dukung sumberdaya manusia yang tersisa serta kurangnya perhatian pemerintah turut mendukung terciptanya desa dengan embel-embel kehidupan yang kurang gizi. Bahkan, desa-desa yang miskin ini dibiarkan begitu saja, sehingga desa itu sendiri harus lenyap akibat intervensi ekonomi perkotaan. Maluku merupakan konflik SARA paling awal, paling lama dan paling berdarah sepanjang sejarah kolonial di Indonesia. Tapi banyak pakar menunjuk Orde Baru sebagai biang keladi timbulnya kerusuhan sosial di kawasan itu. Orde Baru memang represif, yang meminggirkan mekanisme adat sebagai instrument problem solving bagi komunitas setempat. Bisa jadi juga, provokator dengan motif politik tertentu ikut bermain pula. Namun satu hal yang pasti ada yaitu, adanya ketegangan SARA yang sebenarnya belum hilang sebagai bentuk pewarisan masa kolonial dan secara tidak langsung masih tersimpan sebagai pengalaman pahit yang harus selalu dikenang dan diwariskan pada generasi selanjutnya. Kenyataan demikian menimbulkan pemahaman dan pengetahuan yang negatif antaretnik dan kemudian antaragama, sehingga bermunculan anggapan-anggapan yang saling menyudutkan bahkan menjelekkan antara satu dan lainnya ibarat cap yang dipatri dan sulit dihilangkan. Masa Portugis. Perselisihan antarkomunitas di Maluku memang sudah berlangsung lama, terutama antara empat kerajaan Salam Moluku Kie Raha – yakni ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo – yang sering melibatkan Kimalaha vazal mereka di bagian selatan : Pulau Ambon Leihitu di Utara dan Leitimor di Selatan, Haruku, Seram, Saparua, Manipa, Nusalaut, Buano, Tual, Buru dan sebagainya. Namun, skala perang, intensitas dan nuansanya berubah setelah peng-Sarani-an orang Maluku oleh Padri Portugis, dan tentunya monopoli rempah-rempah. Apalagi ditunjang dengan kehadiran Spanyol yang mendukung Tidore, sebagai lawan dari Ternate yang terlebih dahulu bersekutu dengan Portugis. Nanulaitta 1966 menyebutkan, dengan menguasai jalur perdagangan Salam di mana saja ditemukan, diikuti dengan menyiarkan agama Katolik maka Portugis telah memindahkan cita-cita Perang Salib ke Asia. Memang ketika itu Perang Salib masih berlangsung di Eropa. Demi kelancaran usaha, Portugis mengikat perjanjian dengan Sultan Khairun dari Ternate. Salah satu isi perjanjian yaitu, kampanye misi penginjilan yang di luar dugaan memperoleh banyak pengikut yang sebagian besar masih kafir di Halmahera dan Leitimur. Akibatnya fatal, orang Salam Ternate dan Tidore memerangi penduduk Sarani sekaligus memulai insiden saling membunuh pertama antara Salam dan Sarani Hanna dan Des Alwi dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain Ed., 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa, peristiwa ini menjadi pemicu semangat dakwah portugis, dengan melakukan Saranisasi secara luas dan intens di kepualauan selatan hingga jumlahnya pengikutnya menjadi ribuan orang. Fenomena ini mungkin merupakan ekspresi permusuhan antara rakyat Leitimur kawasan di mana kota Ambon sekarang berkedudukan terhadap penguasa Salam di belahan utara. Suksesnya Sarani memicu golongan Salam melakukan tekanan, karena perpindahan agama ketika itu dipandang sebagai pergeseran loyalitas politik. Seiring dengan gencarnya pengabaran Injil yang diikuti dengan monopoli rempah-rempah, permusuhan Salam dan Sarani makin menjadi-menjadi. Tahun 1564, rakyat Salam mengepung dan membakar negeri-negeri kampungdesa Sarani. Negeri Nusaniwe, kampung di Leitimur dihancurkan rata dengan tanah. Sedangkan pusat Sarani di Hatiwe jatuh ke tangan pasukan Salam. Seratus orang Sarani dibunuh dan sisanya lari ke gunung-gunung di sekitar kota Ambon, bahkan ada yang melarikan diri sampai Saparua. Padahal di Saparua sendiri, perang sedang berkecamuk. Kaum Salam di negeri Sirisori Salam menyerang negeri Ulat yang Sarani kondisi demikian sering terjadi dengan “tanah” sebagai permasalahan pokok, sampai pecahnya konflik Ambon – Maluku 1999. Adanya dukungan pasukan Portugis menyebabkan rakyat Salam dapat dikalahkan. Tahun 1570, akibat penghianatan dan pembunuhan terhadap Sultan Hairun, seluruh Maluku bergolak. Sultan Baabulah mengirim pasukan ke selatan. Dukungan dan bantuan rakyat Hitu Salam lokal, Jawa, Makasar dikerahkan, sampai akhirnya berhasil menggusur dan menghancurkan kedudukan Portugis di Hitu sehingga harus bergeser ke Leitimor daerah kota Ambon sekarang ini. Permusuhan terus berlangsung di seluruh kawasan dan tidak mungkin membahas seluruh pertempuran tersebut yang melibat vis a vis umat Salam dan Sarani. Hal itu dianggap sebagai lembaran terhitam dalam sejarah perkembangan agama Salam dan Sarani di Maluku. Dengan demikian, Nanulaitta 1966 menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Pela dan Gandong aliansi persaudaraan tanpa memandang ikatan agama dan darah yang dikenal sekarang ini merupakan bentuk kesadaran akan masa gelap tersebut. Masa Belanda. Sementara peperangan agama yang begitu hebat sedang berkecamuk, muncullah Belanda yang memadukan kekuasaan politik dan perdagangan. Belanda kemudian membentuk serikat perdagangan VOC Vereniging Oost-Indische Company guna memperkuat monopoli-nya atas perdagangan cengkeh termasuk juga pada di Kepulauan Belanda. Kerajaan-kerajaan setempat akhirnya hanya menjadi boneka dan kaki tangan VOC dalam menjalankan kebijakan politik perdagangannya. Nanere 2002 mencatat, kebijakan yang paling tragis bagi rakyat di kawasan pantai barat Hamahera yaitu pemusnahan tanaman cengkeh, demi mengontrol kuota perdagangan cengkeh. Sentra produksi cengkehpun akhirnya berpindah ke pulau-pulau Lease Ambon dan sekitarnya. Kendati Belanda melakukan kontrol yang ketat namun, orang Salam masih sering melanggar perjanjian monopoli hongi tochten = pembatasan penanaman dan penjualan produk cengkeh dan hanya boleh menjual kepada VOCBelanda dengan melego hasil cengkehnya ke pedagang-pedagang Makasr, Melayu dan Jawa. Bahkan, masih menanam cengkeh di wilayah terlarang. Maka mulailah VOC melakukan usaha menghentikan semua kegiatan illega, dengan menaklukkan penduduk Salam di berbagai tempat seperti Hoamoal, Manipa, Buru dan Banda. Mereka menghancurkan benteng pertahanan yang tak terlalu kuat diikuti dengan pembakaran negeri-negeri, hewan ternak, pepohonan cengkeh, pohon kelapa, pohon pisang dan hamper semua yang hidup dan bergerak. Bahkan menggiring penduduk yang telah menyerah dan memaksa sekitar 5000 orang untuk bunuh diri, diperbudak dan dikirim ke pulau lain sedangkan yang tertangkap dibuang ke Ambon Sejarah Indonesia Modern, 1991. Tempat pembuangan pejuang Salam di Ambon sekarang ini menjadi perkampungan Salam Batu Merah, sekaligus menjadi titik awal dimulainya konflik Ambon-Maluku Januari 1999. Kampung Mardika sebagai kampung Sarani yang bertetangga dengan Kampung Batu Merah sebagai kampung Salam, menurut Luhulima 1971 dibentuk oleh Portugis untuk menampung orang Portugis hitam bekas budak India yang telah dibebaskan dimerdekakan. Dengan demikian dapatlah dilihat, bahwa penduduk Hoamoal yang dipindahkan de Vlaming ke Ambon merupakan cikal bakal dari penduduk Salam yang sekarang ini mendiami kampong Batu Merah asli. Sehingga nampaklah adanya kesengajaan dari pihak Belanda untuk melestarikan permusuhan Salam dan Sarani ke Ambon guna memudahkan pengontrolah. Mungkin pula, pengetahuan ini yang dipakai oleh “aktor intelektual” di belakang konflik Ambon – Maluku jika dugaan kita ada yang merancang konflik dengan memulai dari perbatasan Mardika – Baru Merah. Seperti diketahui, perseturuan antara Mardika dan Batu Merah terus berlangsung setiap tahunnya merupakan fenomena yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat kota Ambon. Oleh karena itu, pecahnya konflik Januari 1999 yang diawali dengan pertikaian antara kelompok pemuda di perbatasan Batu Merah – Mardika, juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja dan umumnya masyarakat tidak menyangka bahwa kemudian akan berkembang bahkan sampai saat ini belum pulih sepenuhnya. Mungkin saat itu, hanya “aktor intelektual” beserta kelompoknya yang mengetahui dengan pasti ke mana konflik Januari 1999 akan dibawa dan dimuarakan. Paling tidak hanya merekalah yang mampu menjawab dengan pasti perihal, kepentingan apa sebenarnya yang ingin dicapai dan diharapkan dari konflik dimaksud. Perjalanan konflik selanjutnya menunjukkan bahwa, kelompok sipil maupun militerlah yang kemudian diuntungkan akibat keberadaan konflik tersebut. Misalnya, mangalirnya bantuan kemanusiaan bagi korban konflik yang kemudian ditangani oleh Pemerintah namun sampai saat ini permasalahan pengungsi saja belum terselesaikan. Padahal, sudah begitu banyak dana yang dikucurkan untuk menangani masalah tersebut. Sementara itu, keuntungan yang diperoleh kelompok militer terlihat dalam bentuk “pengawalan” keamanan bagi masyarakat yang harus bepergian dengan melalui wilayah komunitas berbeda dengan imbalan uang dalam jumlah tertentu. Khususnya untuk perjalanan lewat darat, biasanya pengawalan dilakukan oleh pihak TNI-AD dan sebagian juga Kepolisian. Sementara, untuk jalur laut biasanya dikawali oleh pihak TNI-AL Marinir juga dengan imbalan tertentu. Pihak TNI-AU juga memperoleh manfaat dengan digunakannya pesawat Hercules milik TNI AU sebagai sarana pengangkut penumpang umum dengan bayaran tertentu bayaran dalam situasi konflik yang berbeda dengan situasi normal, karena pada awal konflik sampai beberapa waktu kemudian maskapai penerbangan sipil tidak berani melakukan aktivitasnya di Ambon. Namun tidaklah cukup kuat untuk menarik satu kesimpulan, bahwa kelompok- kelompok tersebutlah yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya konflik sampai implikasinya fisik, mental dan materi yang harus ditanggung oleh masyarakat yang berkonflik. Sehingga diperlukan analisis yang lebih tajam dan terperinci, sehingga upaya menggali akar konflik sampai pada berkembangnya konflik secara meluas mampu membuka selubung keterlibatan berbagai kelompok sebagai pengawalan berkembangnya konflik sampai tingkat tertentu dengan keuntungan tertentu pula. Namun ada benang merah yang dapat ditarik untuk saat ini bahwa, begitu kompleksnya akar penyebab konflik Ambon – Maluku sehingga sangatlah sulit menguraikan benang kusut penyebabnya sekaligus mencari solusi penyelesaian yang paling tepat. Dibandingkan dengan wilayah lain, usaha Portugis dan Belanda menggarap Ambon di bidang sosial budaya jauh lebih serius. Hal ini dapat dilihat pada tingkat melek huruf dan mental orang Sarani Ambon. Ketika Indonesia merdeka, jumlah penduduk Ambon yang mengecap pendidikan formal sebesar 37 persen, jauh di atas Jawa yang hanya mencapai 0.2 persen Ricklefs dikutip oleh TAPAK dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain Ed., 2001. Tak heran, kemudian masyarakat Maluku bagian Selatan mendirikan Republik Maluku Selatan RMS melalui Proklamasi Kemerdekaan tanggal 25 April 1950. RMS ternyata didukung oleh masyarakat Maluku baik Salam maupun Sarani, namun kemudian berhasil dipatahkan Tentara Pusat dengan dukungan penduduk Salam Batu Merah dan Hitu Smith Alhadar dikutip oleh TAPAK dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain Ed., 2001. Faktor lokal dapat ditelusuri sebagai berikut. Saat para penjajah menginjak kakinya di pasir putih Maluku mulai dari Portugis dan kemudian Belanda, di Maluku Utara sendiri telah berdiri dengan kukuh empat Kerajaan Salam Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Kerajaan Ternate pernah menguasai hampir seluruh daerah pantai di Maluku Utara, sebagian pula Seram Maluku Selatan, daerah Gorontalo Sulawesi Utara, dan Filipina Selatan Mindanao yang semua di-salam-kannya. Bangsa penjajah tak punya pilihan selain berusaha menanamkan pengaruhnya di luar wilayah Kerajaan Ternate yaitu, di pedalaman Halmahera dan Maluku Selatan. Misi Sarani diijinkan berkiprah di daerah-daerah tersebut. Jadilah Maluku terbagi dua dengan mayoritas Salam di bagian utara dan bagian selatan dengan mayoritas Sarani. Sejalan dengan kebijakan memecah belah, Belanda secara diskriminatif mendorong pembangunan di Maluku bagian selatan yang Sarani. Sejak saat itu terbentuklah suatu segregasi wilayah yang berbasis agama di Maluku. Warga Sarani di Maluku bagian selatan yang berpendidikan, banyak terserap ke dalam birokrasi Belanda. Sedangkan yang tidak berpendidikan memilih bergabung ke dalam tentara kolonial KNIL. Wujud segregasi sosial berbasis agama bahkan terus berlanjut ke tingkat satuan wilayah yang lebih kecil. Di tingkat desa atau kelurahan negeri, dapat ditemukan dengan mudah apa yang disebut negeri Salam dan negeri Sarani. Pola pemukiman yang disebut juga dengan segregated pluralism sebagai lawan dari integrated pluralism, yaitu warga cenderung bermukim dengan sesame umatnya sendiri. Pada masa-masa awal kemerdekaan, segregasi tempat tinggal ini diperkuat lebih lanjut oleh perbedaan pendidikan dan jenis pekerjaan. Perbedaan tersebut bermuara pada, perbedaan tingkat kesejahteraan antara warga negeri Salam dan warga negeri Sarani. Negeri Sarani biasanya ada di pusat kota, warganya berpendidikan, bekerja di perkantoranpemerintah, rumahnya berlistrik dan berair PAM. Sebaliknya, negeri Salam ada di pinggiran kota, warganya mayoritas kurang berpendidikan, bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang ikan dan sayuran di pasar tradisional, dengan rumah berlampu petromaks dan air dari sumur galian. Untungnya warga Maluku bagian selatan, terutama di Ambon dan Lease memiliki sistem peredam ketegangan sosial yang dikenal dengan istilah pela gandong. Sistem ini memungkinkan warga berbeda agama atau pun suku mengangkat sumpah melalui suatu upacara khusus, berjanji untuk saling setia serta saling membantu dan membela dalam suka dan duka seperti layaknya terhadap saudara kandung sendiri dalam semua urusan secara tulus dan sepenuh hati. Sistem sosial ini melahirkan cross cutting affiliation and loyality di antara pihak-pihak yang berbeda latar belakangnya. Seperti diketahui, walaupun orang Ambon dikenal temperamental seperti orang Aceh dan Madura, namun sekali mereka berjanji maka janji itu akan dipegang seteguh-teguhnya apa pun akibatnya Botti dikutip oleh Nuria Soeharto dalam Salampessy, Zairin dan Thamrin, Husain Ed., 2001. Bagi orang yang pernah tahu tentang Saparua, dikenal memiliki tradisi budaya pela dan gandong yaitu suatu tradisi yang menjalin persaudaraan antara komunitas yang berbeda agama. Apabila komunitas Sarani memiliki hajat seperti membangun Gereja, membangun rumah adat baeleo, maka komunitas Salam secara otomatis akan turut membantu. Demikian pula sebaliknya, jika komunitas Salam yang memiliki hajat seperti membangun Mesjid maka komunitas Sarani secara otomatis turut membantu pula. Fakta menunjukkan bahwa, pembangunan Mesjid Iha di Pulau Saparua di akhir tahun 1990-an turut dilakukan oleh gandong-nya Ihamahu yang Sarani di Pulau Saparua serta pela-nya Amahai di Pulau Seram yang juga Sarani. Bahkan sampai melibatkan keturunan pela dan gandong yang berada di luar Maluku. Kenyataan tersebut menunjukkan betapa kuatnya jejaring kekerabatan pela dan gandong sebagai ikatan adat yang melampaui ikatan agama. Namun saat jejaring kekerabatan tersebut tidak mampu menghindari terjadinya konflik di Saparua. Bahkan Mesjid Iha yang merupakan simbol kekuatan jejaring kekerabatan pela dan gandong turut dihancurkan saat penyerangan komunitas Sarani ke negeri Iha Desember 2000. Bahkan negeri Ihamahu sebagai gandongnya sekaligus tetangga Iha tidak mampu menahan upaya penyerangan dan penghancuran negeri Iha termasuk Mesjid yang turut dibangun secara bersama- sama. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pela dan gandong saat konflik pecah di Saparua tidak mampu lagi memerankan fungsinya untuk mempertahankan persaudaraan tanpa memandang agama. Penyebaran konflik sampai ke Saparua justru didukung oleh informasi-informasi yang disampaikan aliran pengungsi korban konflik di Ambon dan sekitarnya. Anak negeri yang mengungsi ke Saparua membawa cerita menyedihkan, berupa hilangnya harta benda bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Fakta-fakta tersebut mendominasi pergeseran pemikiran masyarakat dan melemahkan jejaring kekerabatan antar agama melalui adat pela dan gandong diikuti dengan menguatnya jejering kekerabatan sesama agama. Budaya pela dan gandong memiliki hal positif yaitu rakyat Saparua yang terdiri dari komunitas Salam dan Sarani berasal dari keturunan yang sama. Oleh karena itu harus saling tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan dilarang untuk menyakiti apalagi saling membunuh. Ikatan pela-gandong umumnya terjalin antara negeri Salam dan negeri Sarani karena di Maluku setiap negeri umumnya dihuni satu pemeluk agama saja Salam atau Sarani. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu budaya mudah mengalami infiltrasi dan akulturasi. Pengaruh-pengaruh luar turut melunturkan nilai budaya pela dan gandong. Bahkan gerakan-gerakan politik yang membuat dikotomi warga setempat atas nama agama turut merusak budaya pela dan gandong. Misalnya ada istilah Republik Maluku Sarani RMS sebagai metamorfosis dari kelompok Front Kedaulatan Maluku FKM. Masuknya kelompok Laskaf Jihad LJ saat konflik berkembang turut mengambil bagian baik dengan keterlibatan langsung maupun melalui informasi menggunakan berbagai media cetak dan elektronik. Selain itu kelompok “preman Coker” yang kemudian diketahui turut mengobarkan konflik ternyata dijaga oleh pihak Kopassus TNI-AD. Proses penangkapan kelompok Coker menyebabkan terjadinya bentrokan antara aparat keamanan dari Brimob Polri dengan Kopassus TNI-AD. Kenyataan tersebut memberikan memperkuat indikasi bahwa, pihak yang mengendalikan konflik Ambon Maluku turut menyusup di dalam kedua komunitas baik Salam maupun Sarani. Warga yang disusupi kemudian menjadi pemicu konflik pada masing-masing komunitas yang berkembang menjadi konflik berkepanjangan antara kedua komunitas. Hasil diskusi kelompok terfokus pasca konflik Saparua dapat disimpulkan, bahwa pela dan gandong sudah tidak dikenal oleh generasi yang baru lahir di alam kemerdekaan. Desakralisasi kebudayaan tersebut sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Merujuk pada keberadaan pela dan gandong ternyata rakyat setempat mau diadu dengan pendatang yang Salam. Kondisi demikian menyebabkan solidaritas penduduk lokal yang Salam lebih kuat kepada pendatang yang juga Salam. Sehingga pranata-pranata adat di wilayah Saparua terlupakan begitu saja dan tidak mampu mempertahankan kerukunan antar masyarakat berbeda agama. Selain itu kehidupan bersama antara Negeri Salam dan Sarani untuk hidup berdampingan secara damai tidak dapat dipertahankan. Fakta-fakta tersebut merupakan titik balik dari kehidupan beragama masyarakat pedesaan Saparua, yang selama ini selalu dibentengi oleh budaya pela dan gandong. Ternyata pula, ikatan agama telah berhasil melemahkan ikatan adat sehingga muncul sebagai kekuatan baru dalam masyarakat Saparua. Pelemahan budaya pela dan gandong, menjadi bukti lemahnya kekuatan ikatan adat untuk menghindari terjadinya konflik yang mengarah pada konflik bernuansa agama. Sehingga tidak ada pilihan selain menguatkan ikatan antara masyarakat sesama agama, bukan lagi menguatkan ikatan budaya pela dan gandong untuk meredam terjadi dan meluasnya konflik. Berbeda dengan kenyataan konflik yang terjadi di salah satu wilayah Maluku yaitu Maluku Tenggara. Seperti diketahui, Maluku Tenggara merupakan fenomena heterogenitas agama yang sangat kental namun memiliki kekuatan budaya yang masih dijunjung tinggi. Keberadaan tingkatan budaya kasta di Masyarakat Maluku Tenggara Kei, merupakan kekuatan yang mampu mengendalikan konflik bernuansa agama sehingga tidak berkepanjangan. Keberadaan marga dalam masyarakat Maluku Tenggara tidak menunjukkan bahwa, marga yang sama memeluk agama yang sama pula. Dalam hal ini, ikatan kekerabatan yang dikembangkan bukan berdasarkan ikatan agama itu sendiri. Sehingga sangat mudah ditemui dalam masyarakat adanya satu marga tertentu yang memeluk agama Katolik, Protestan dan Muslim. Kenyataan demikian menjadi dasar pijakan bahwasannya kekuatan budaya adat-istiadat di Maluku Tenggara mampu melampaui agama. Tentu saja perlu kajian yang lebih mendalam, namun kasus Maluku Tenggara dapat menjadi dasar dugaan bahwasannya ikatan budaya masih mampu melampaui ikatan agama dalam konteks resolusi konflik yang sesungguhnya. Inilah yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak terutama pemerintah, sehingga tidak menyebabkan sebuah konflik menjalar kemana- mana tetapi dapat diramu sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan untuk mempererat kebersamaan masyarakat melalui ikatan budaya. Nuansa otonomi daerah kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah Maluku Tengah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Negeri yang juga berlaku dan diterapkan di Pulau Saparua. Perda ini kemudian, memanifestasikan kekuatan adat dalam arti jaringan kekerabatan kemudian dapat diterapkan dengan lebih baik, mengingat pemegang mandat di aras negeri merupakan Raja yang diwariskan secara turun temurun melalui sistem patrilineal pada garis keturunan marga Raja di masing-masing negeri. Hasil pertemuan dalam Seminar Manajemen Konflik di Pulau Saparua yang diikuti seluruh Latupati Pulau Saparua dan Pemerintah Kecamatan Saparua, disimpulkan bahwa upaya menyelesaikan konflik sehingga tidak terulang kembali yaitu jangan berpikir hal-hal yang telah lewat dan harus menghentikan pembicaraan tentang akibat-akibat negatif dari konflik yang pernah terjadi. Perlu dilakukan pendekatan adat karena telah ditunjukkan oleh keberadaan Sirisori Salam dan Kulor, saat terlibat dalam Panitia Pembangunan Gedung Gereja Sirisori Sarani dan Pia yang hancur saat konflik. Warga Sirisori Sarani yang mengungsi walaupun masih sulit menerima kehidupan bersama karena dendam yang belum berakhir serta kekecewaan yang belum hilang, telah memulai kerjasama dengan Sirisori Salam dalam membangun kembali Gereja Sirisori Sarani yang hancur saat konflik. Upaya meredam konflik perlu dilakukan melalui perdamaian adat yang melibatkan Badan Pemerintahan, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama sebagaimana yang terjadi antara Negeri Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Perdamaian yang dilakukan tidak melibatkan pihak luar baik pemerintah sipil maupun pihak militer yang bertugas. Melalui upaya perdamaian disepakati untuk tidak mengulangi lagi apa yang sudah terjadi dan diharapkan melupakannya, sehingga semua warga masyarakat kedua negeri secara bersama-sama membangun negeri terlebih lagi ditekankan bagi generasi muda sebagai generasi penerus. Sekretaris negeri Sirisori Salam bersama Tokoh Adat Negeri Sirisori Sarani secara bersama sepakat bahwa adat harus tetap dipertahankan sebagai ikatan pengikat dalam jaringan sosial masyarakat di pedesaan Saparua. Kesepakatan tersebut digambarkan berikut ini : Upaya yang dilakukan kami untuk meeredam konflik, dengan cara adat yang mana melibatkan Badan Pemerintahan, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat serta Tokoh Agama. Upaya perdamaian juga dilakukan saat bertepatan dengan acara pelantikan Raja Sirisori Sarani, dimana saat itu masyarakat Sirisori Salam-lah yang membuat tempat acaranya sabuah. Demikian pula dalam pekerjaan pembangunan Gereja Sirisori Sarani yang terbakar saat penyerangan oleh Sirisori Amapati, justru masyarakat Sirisori Salam yang menjadi sebagian besar anggota Panitia Pembangunan Gereja bahkan turut terlibat dalam pekerjaan pembangunan seperti pengecoran tiang. Sebaliknya juga yang terjadi saat pelantikan Bapa Raja Sirisori Salam, maka masyarakat Sirisori Sarani yang membangunan tempat acara sabuah. Sehingga dapat dikatakan bahwa, upaya penyelesaian konflik tidak dipaksakan dan diatur tetapi menjadi kesepakatan bersama kedua warga segandong Sirisori Sarani dan Sirisori Salam. Alasan yang dikemukakan pula oleh Kepala Soa Negeri Kulor, Kepala Dusun Pia, Kepala Soa Sirisori Salam serta Tokoh Adat Sirisori Sarani bahwa konflik terjadi karena hancurnya ikatan budaya yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka. Jelasnya terlihat pada penjelasan berikut ini : Ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan ikatan yang dibangun oleh datuk-datuk sejak jaman dahulu bagi Sirisori Salam dan Sarani. Hal itu sebenarnya merupakan penerapan Bhineka Tunggal Ika yang sangat nyata. Jadi sebenarnya tidak menjadi satu kesalahan jika kemudian kami bersepakat untuk menguatkan kembali ikatan yang dibangun para datuk-datuk leluhur kami. Oleh karena itu, saat ini kami membangun kesepakatan untuk saling toipang menopang, bahu-membahu dalam menghadapi berbagai masalah. Kalau pun konflik terjadi kembali, maka kami tetap berpegang pada adat istiadat untuk tidak terlibat dalam konflik bahkan kami harus saling menjaga dengan menghalau setiap serangan yang diarahkan pada salah satu dari kami tanpa memandang kelompok agama apa yang membangun serangan. Semua Latupati di Saparua sepakat bahwasannya rekonsiliasi di Saparua tidak ada artinya dengan kehadiran para elit, baik di Ambon maupun Jakarta seperti berikut : Jadi proses rekonsiliasi antara negeri berbeda agama, tidak diatur oleh pemerintah, tetapi muncul dari keinginan dasar masing-masing anak negeri. Kerinduan itu muncul, melihat adanya kondisi yang tidak mengenakkan saat konflik kerena seharusnya kami saling bertegur sapa, saling tolong menolong, saling bantu membantu, tetapi konflik menghancurkan segalanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kondisi Sirisori Salam dan Sarani seperti semula. Upayakan pertemuan antara kami dimulai oleh Bapak AS Sirisori Salam dengan bapak MS Sirisori Sarani berupa pertemuan informal, seperti saat bertemu di laut mencari ikan bersam-sama maka kami saling memberikan ikan sebagai umpan jika salah satu kehabisan. Kemudian saling memberikan ikan kepada yang lain, jika tidak mendapat ikan saat melaut. Hal demikian muncul karena ada perasaan saudara dan saling memiliki sebagai saudara segandong. Pertemuan secara resmi terjadi sejak Desember tahun 2004, setelah terpisah kurang lebih empat tahun. Ada kepercayaan bahwa siapa yang melakukan kejahatan atau berhati kotor, dipastikan ia akan menerima balasan saat konflik terjadi seperti, tertembak hingga cacat sampai meninggal.

5.5. Penguatan Nilai Budaya Melalui Gerakan Baku Bae