Sistem Religi Masyarakat Jawa

2. Golongan sosial Yaitu kesatuan manusia yang memiliki ciri tertentu sebagai pengikut yaitu sistem norma-norma, rasa ientitas sosial dan kesinambungan. 3. Kelompok sosial Yaitu kelompokgrouphimpunan. Termasuk kesatuan manusia yang hidup bersama dan ada hubgungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Kelompok sosial memiliki syarat, yaitu: a. Anggota kelompok merupakan bagian dari interaksi, b. Ada hubungan timbal balikinteraksi, c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama misalnya, nasib, ideologi, kepentingan, dan tujuan.

2. Sistem Religi Masyarakat Jawa

Teori Spencer mengungkapkan bahwa pangkal pendirian mengenai asal mula religi yaitu karena adanya perasaan manusia yang sadar dan takut akan adanya maut Koentjaraningrat, 1987:48. Pendapat ini juga didukung oleh teori evolusi religi dari seorang ahli kebudayaan E.B. Tylor, bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang Animisme yang merupakan personifikasi dari jiwa orang-orang yang telah meninggal. Selain itu tylor juga mengatakan bahwa asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa atau energi hidup sesudah mati. Kesadaran akan paham jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu: 1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Satu organisma pada satu saat bergerak-gerak, artinya hidup, tetapi tak lama kemudian organisme itu juga tidak bergerak lagi, artinya mati. Dari peristiwa itu, manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa. 2. Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat lain yang bukan di tempat di mana dia tidur. Dari peristiwa itu maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur dengan satu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian itulah yang disebut jiwa Koentjaraningrat, 1987: 48. Meskipun demikian antara jiwa dan jasmani masih ada hubungan. Walaupun sedang melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hubungan tersebut akan lepas ketika manusia itu sudah mati. Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan diantara pengikutnya. Ada lima komponen dalam sistem religi yang diyakini manusia, antara lain: 1. Adanya emosi keagamaan. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami manusia. Walaupun getaran emosi itu hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, dan untuk selanjutnya menghilang lagi. Dengan emosi keagamaan itulah yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang religi. 2. Sistem keyakinan. Sistem keyakinan dalam suatu religi biasanya berwujud gagasan dan pikiran manusia., yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib kosmologi, tentang terjadinya alam dan dunia kosmogini, tentang jaman akhirat, tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, dan ajaran-ajaran religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. 3. Sistem ritus dan upacara. Dalam suatu religi, sistem ritus dan upacara berwujud tindakan dan aktivitas manusia dalam melaksanakan kebaktian terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Tindakan yang dilakukan dalam ritus upacara keagamaan yaitu berdoa, bersujud, berkorban, bersaji, makan bersama, menari dan bernyanyi, berprosesi, berpuasa, bersemedi, dan tindakan lainnya. 4. Peralatan ritus dan upacara. Dalam ritus dan upacara keagamaan, saat-saat upacara keagamaan, benda-benda dan alat upacara, serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. 5. Umat yang menganut. Umat yang dimaksudkan disini merupakan satu kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan melaksanakan sistem ritus dan upacara keagamaan. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai keluarga, kelompok kekerabatan yang lebih luas, seperti keluarga luas klen, suku dan lainnya. Dan kesatuan agama itu dapat berwujud sebagai keluarga, kelompok kekerabatan yang lebih luas, seperti keluarga luas klen, suku, dan lainnya, dan kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lainnya, serta organisasi atau gerakan religi Koentjaraningrat 2000: 378. Sehubungan dengan sistem religi tersebut R. Octo menyatakan bahwa penyebab religi adalah sikap takut dan terpesona atau tertarik untuk bersatu dengan hal yang gaib makhluk halus dan keramat yang tidak dapat dijelaskan dengan akal manusia. Orang Jawa menganggap bahwa makhluk halus dapat dibedakan dalam dua hal yaitu berasal dari roh leluhur dan roh pelindung yaitu baureksa dan danyang. Agar makhluk halus tersebut berkenan maka pada waktu- waktu tertentu disediakan sesaji dan dilaksanakan suatu ritual tertentu Koentjaraningrat, 1987: 26. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sistem religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan Tuhan, roh-roh nenek moyang, dewa-dewa dan lain sebagainya yang mengatur dan yang menempati alam.

3. Kebudayaan Jawa