11
2.2. Konsep Adaptasi
Konsep hubungan antara lingkungan dan kebudayaan banyak dijelaskan oleh para ahli sebagai bentuk adaptasi manusia dengan
lingkungannya Steward 1955; Geertz 1983; Bennett 1996. Pendekatan ekologi budaya diperkenalkan oleh Steward 1955 dengan teori cultural
ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan geografi tertentu. Dalam
analisisnya pada studi peradaban di Peru dan Meso Amerika ternyata menunjukkan adanya sejumlah persamaan, sehingga perlunya dikaji
keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya; antara lain dengan menganalisis pola hubungan tata
kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan. Analisis ini diharapkan akan menjawab bagaimana adaptasi dilakukan oleh
sekelompok masyarakat agar mereka mampu bertahan hidup. Menurut Steward ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap
adaptasi. Karenanya berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari
suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, harus menimbulkan suatu upaya
pengaturan kembali yang berpengaruh pada struktur sosial mereka. Dalam konteks ini Steward berpendapat bahwa: pertama, ada hubungan antara
teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu; kedua, pola-pola kelakuan dalam mengeksploitasi suatu daerah, erat
kaitannya dengan bentuk teknologi yang diciptakan; dan ketiga, pola-pola kelakuan tersebut akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari
kebudayaan. Dijelaskan pula bahwa lingkungan dimana manusia hidup tidaklah seragam sehingga pola adaptasinya berbeda. Namun tidak berarti
bahwa dengan kondisi alam yang sama juga akan menimbulkan adaptasi yang sama karena lingkungan dan kebudayaan lokal akan selalu mengikuti
pola-pola yang khas berdasarkan karakteristik dan bercorak setempat Muchtar 1994.
Geertz 1983 menyatakan adaptasi sebagai hubungan timbal balik kebudayaan berdasarkan dalam sistem budaya sistem gagasan dan
12
teknologi. Adaptasi sosial kultural karena perubahan lingkungan oleh Geertz dilihat pada tiga hal, yaitu: kenaikan jumlah penduduk, pengelolaan pertanian
yang tidak ramah lingkungan dan motivasi ekonomi dengan melakukan perluasan lahan dengan membakar kawasan hutan. Geertz melihat bahwa
perubahan sejarah masyarakat banyak terkait dengan intervensi politik penjajah yang membentuk perilaku kolektif masyarakat.
Kuntowijoyo 2002 melihat hubungan variabel ekologi dan manusia pada konteks adaptasi ekonomi dimana hubungan antara tanah dan
penduduk berpengaruh pada teknologi pertanian yang pada gilirannya mempengaruhi jalannya sejarah. Indikator ekologi antara lain demografi,
geografi dan sistem pertanian. Indikator ekonomi menekankan pada potensi dan peranan serta pengaruh pelaku ekonomi terhadap permintaan dan
persediaan barang atau jasa. Indikator sosial budaya menekankan pada organisasi sosial dan dinamika politik lokal. Sementara Fox 1996 melihat
bahwa keterbatasan ekologi dengan tekanan penduduk menyebabkan perubahan ekologis sistem perladangan menjadi tidak ramah lingkungan. Fox
mengamati bahwa adaptasi ekologis dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya lontar dapat meningkatkan keterjaminan ekonomi masyarakat
di pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Bennett 1976 memberikan pengertian adaptasi yang lebih luas yang
bukan hanya mencangkup manusia akan tetapi juga lingkungannya. Bennett menamakannya dengan kriteria adaptasi normatif sebagai suatu kelestarian
sumberdaya yaitu suatu keadaan yang memungkinkan kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya. Bennett mengemukakan kriteria yang digunakan
untuk menilai tindakan manusia sebagai suatu yang adaptif atau mal-adaptif, yaitu 1 kondisi lingkungan alam dan sosialnya sebelum dan sesudah
tindakan manusia yang mencangkup kelestarian atau perhitungan untung rugi akibat tindakan tersebut, 2 menyangkut kondisi biologis dan kelompok
manusia yang berhubungan dengan tekanan penduduk dan penyebarannya yang dinamakan dengan kepadatan penduduk dan 3 bagaimana kondisi
kesejahteraan masyarakat yang dikehendaki sebagai persyaratan kontinuitas sosial dan batiniah. Dalam hal ini dilihat dalam hal dimana kesejahteraan
manusia akan mendukung kelestarian sumberdaya, kesehatan dan sebagainya atau malah merusaknya.
13
Rappaport 1971 dalam Kartasubrata 2003 mengartikan adaptasi sebagai proses dimana organisme atau kelompok-kelompok organisme,
melalui perubahan-perubahan
responsif di
dalam strukturnya
mempertahankan homeostatis di dalam peribadinya dan antar organisme dalam perubahan-perubahan lingkungan jangka pendek dan jangka panjang,
dalam kerangka
struktur lingkungan-lingkungannya.
Daeng 2000
mendefinisikan adaptasi sebagai hubungan penyesuaian antara organisme dengan lingkungan sebagai keseluruhan yang di dalam organisme itu
menjadi bagiannya. Adaptasi juga sebagai upaya bersatu dengan lingkungan dimana dalam beradaptasi seseorang membawa serta norma-norma yang
mengendalikan tingkah laku dan peran yang dimainkannya. Poerwanto 2005 memahami adaptasi sebagai proses interaksi antara perubahan yang
ditimbulkan oleh suatu organisme pada suatu lingkungan dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme.
Adaptasi manusia sesungguhnya merupakan adaptasi sosial budaya karena kebudayaan merupakan milik sekelompok
masyarakat yang melakukan adaptasi karena adaptasi tidak terlepas dari kebudayaan itu
sendiri Suparlan 2005. Kebudayaan dalam konteks ini didefinisikan oleh Suparlan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai
mahluk sosial yang isinya perangkat-perangkat modal pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi
lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan tindakan yang diperlukan.
Adaptasi merupakan bagian dari perubahan sosial dipandang sebagai proses dimana masyarakat mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang
dihadapinya untuk mencapai kesimbangan antara unsur lama dan unsur baru. Menurut Barret 1984 dalam Dyah 1997 bahwa adaptasi terjadi
karena terdapat tingkat kesesuaian dengan unsur baru dalam suatu masyarakat dengan adat istiadat, sikap dan nilai yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Namun hal tersebut tidaklah kaku, karena didalamnya terdapat dinamika masyarakat dan perubahan merupakan bagian dari suatu
sistem sosial Sztompka 2004. Helmi dan Ancok 1996 mengemukakan tujuan adaptasi adalah
mengurangi disonansi dalam suatu sistem yaitu meningkatkan harmoni
14
serangkaian variabel yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia dan lingkungan, disonansi dalam suatu sistem diartikan ada
ketidakseimbangan antara lingkungan dan manusia, dimana salah satu ketidakseimbangan tersebut adalah tuntutan lingkungan yang melebihi
kapasitas manusia untuk mengatasinya. Tidaklah mungkin manusia dapat hidup dengan baik jika lingkungannya rusak demikian pula sebaliknya,
sehingga diperlukan suatu keharmonisan antara manusia dan lingkungan. Adaptasi berkaitan dengan bagaimana hubungan-hubungan sosial
dibangun untuk
secara bersama-sama
mencari solusi
terhadap permasalahan lingkungan. Suharjito 2002 mengemukakan strategi adaptasi
masyarakat Desa Buniwangi yang mempunyai kemampuan menangani masalah yang dihadapinya dengan pengaturan tenaga kerja keluargarumah
tangga, pengembangan sumber mata pencahariaan alternatif, alokasi sumberdaya keluarga, dan pengembangan sistem kebun-talun. Olsson et al.
2004; Abel et al. 2006; Lebel et al. 2006 menekankan pada pengembangan pengetahuan kapasitas dengan menciptakan umpan balik
fungsional, membangun jaringan sosial dan proses kolaboratif yang diaktifkan oleh aktor kunci dalam membangun daya lentur sistem sosial-ekologi untuk
menciptakan stabilitas baru dan menyesuaikan dengan perubahan yang tiba- tiba serta menghadapi kondisi ketidakpastian. Kemampuan beradaptasi
diperlukan untuk memperkuat dan mendukung daya tahan terhadap perubahan dimasa depan dan peristiwa yang tak dapat diramalkan. Adaptasi
karena perubahan iklim menyebabkan daya lentur sosial-ekologi adalah studi kasus lokal yang dilakukan oleh Berkes and Jolly 2001.
Adaptasi bukan hanya berdimensi kerjasama, tetapi sebaliknya dalam bentuk perlawanan akibat kondisi lingkungan yang semakin rusak.
Perambahan tepian hutan oleh Orang Kaili untuk memecahkan masalah ketidak terjaminan sosial ekonomi Sitorus 2003. Masyarakat Kubu
Sumatera melakukan perlawanan atas eksploitasi sumberdaya alam Orang Waris dalam bentuk penyelundupan kayu dan penjualan kayu bagi
kelangsungan hidupnya atas rusaknya sumberdaya alam di sekitarnya Amilda dan Laksono, 2004. Adaptasi masyarakat Marunda karena
keterbatasan pengetahuan Swasono, 1989. Sikap destruktif nelayan di Pulau Kodingareng atas respon kerusakan lingkungan Bachtiar et al. 2003.
15
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat