Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

(1)

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi

Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

S K R I P S I

Oleh :

100200178

DERRY CHANDRA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

S K R I P S I

OLEH:

NIM : 100200178 DERRY CHANDRA

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, S. H., M. Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

RAMLI SIREGAR, SH.,M.HUM

NIP : 195303121983031002

NIP : 197501122005012002

WINDHA, SH.,M.HUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(STUDI KASUS PUTUSAN MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012

)

*Derry Chandra

**Ramli Siregar

***Windha

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya

menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah

prinsip-prinsip kepailitan khususnya prinsip kelangsungan usaha, Dalam

undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang

prospektif tetap dilangsungkan.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan

PKPU UU No. 37 tahun 2004, Bagaimanakah prinsip kelangsungan usaha dalam

PKPU dan Bagaimanakah prinsip kelangsungan dalam PKPU dalam

Putusan MA

No. 156 PK/PDT.SUS/2012.

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber

data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan


(4)

(library reaseacrh) dan Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder,

kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode

kualitatif.

Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam PKPU, terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. PKPU

dapat diajukan secara sukarela oleh debitor yang telah memperkirakan bahwa ia

tidak akan dapat membayar utang-utangnya maupun sebagai upaya hukum

terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditornya. PKPU sendiri terbagi

2 bagian yakni PKPU Sementara, dan PKPU Tetap. Prinisp ini jelas berbeda

dengan kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan

secara proporsional dari utang-utang debitor. Meskipun pada prinsipnya kepailitan

masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas

bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya

tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut.

Kata kunci

: Asuransi, kredit, perbankan

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I


(5)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan, atas kasih dan karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul skripsi ini adalah Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012).

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis dengan hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1.

Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2.

Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3.

Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4.

Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

5.

Ibu Windha, SH, MH sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang

selalu sabar menghadapi keluh kesah penulis dan selalu memberikan


(6)

saran,kritik dan masukan yang sangat berarti kepada penulis sehingga skripsi

ini dapat selesai tepat pada waktunya

6.

Bapak Ramli Siregar SH, M.Hum sebagai Sekertaris Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen

Pembimbing II yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini dan selalu memberikan bimbingan ilmu yang sangat membantu dan selalu

sabar menerima kesalahan-kesalahan skripsi penulis

7.

Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara

8.

Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi perpustakaan serta para

pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9.

Kepada Ibu penulis , terima kasih atas bimbingan nasihat yang selalu

menguatkan penulis dalam suka duka menyelesaikan skripsi ini dan selalu

memberikan dukungan yang begitu besar kepada penulis untuk dapat menjadi

orang yang berhasil kelak

10.

Kepada Abang dan Kakak penulis : Richard Chandra dan Della Chandra yang

selalu memberikan dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik dan memperoleh nilai yang baik pula

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu penulis bermakna dan berguna sampai akhir hayat


(7)

(Derry Chandra)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka... 7

F. Metode Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 Tahun 2004 A. Maksud dan Tujuan Mengajukan Permohonan PKPU, dan Jenis PKPU .... 14


(8)

B. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 20

C. Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 28

D. Perdamaian dalam PKPU ... 35

E. Upaya hukum terhadap Putusan PKPU ... 42

BAB III : PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PKPU A. Prinsip-prinsip PKPU ... 45

B. Asas-Asas Dalam PKPU ... 47

C. Dunia Usaha Dalam Kepailitan dan PKPU ... 49

D. Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU ... 54

BAB IV: PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU

DALAM PUTUSAN MA NOMOR 156 PK/PDT.SUS/2012

A.

Pertimbangan Hukum dan Analisis Putusan Mahkamah Agung Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali ... 64

B.

Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha dalam putusan Mahkamah Agung ... 74

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81


(9)

ABSTRAK

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(STUDI KASUS PUTUSAN MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012

)

*Derry Chandra

**Ramli Siregar

***Windha

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya

menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah

prinsip-prinsip kepailitan khususnya prinsip kelangsungan usaha, Dalam

undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang

prospektif tetap dilangsungkan.

Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan

PKPU UU No. 37 tahun 2004, Bagaimanakah prinsip kelangsungan usaha dalam

PKPU dan Bagaimanakah prinsip kelangsungan dalam PKPU dalam

Putusan MA

No. 156 PK/PDT.SUS/2012.

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sumber

data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan


(10)

(library reaseacrh) dan Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder,

kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode

kualitatif.

Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam PKPU, terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. PKPU

dapat diajukan secara sukarela oleh debitor yang telah memperkirakan bahwa ia

tidak akan dapat membayar utang-utangnya maupun sebagai upaya hukum

terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh kreditornya. PKPU sendiri terbagi

2 bagian yakni PKPU Sementara, dan PKPU Tetap. Prinisp ini jelas berbeda

dengan kepailitan, yang prinsip dasarnya adalah untuk memperoleh pelunasan

secara proporsional dari utang-utang debitor. Meskipun pada prinsipnya kepailitan

masih membuka pintu menuju perdamaian dalam kepailitan, namun cukup jelas

bahwa kepailitan dan PKPU adalah dua hal yang berbeda, dan oleh karenanya

tidak pada tempatnya untuk membandingkan secara kuantitatif kedua hal tersebut.

Kata kunci

: Asuransi, kredit, perbankan

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar (involensi) debitur terhadap utang-utangnya terhadap kreditor.

Penundaan pembayaran utang adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim pengadilan niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitur diberikan kesempatan untuk melakukan restrukturisasi dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari utangnya atau dengan kata lain PKPU sejenis dengan legal moratorium (rencana perdamaian).1

Namun, PKPU bukanlah satu-satunya cara untuk melepaskan si debitur dari kepailitan dan lukuditas terhadap harta bendanya. Ada dua cara untuk melepaskan si debitur dari kepailitan ini, yaitu dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang dan dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan kreditornya, setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, akan tetapi apabila

1

Derita Prapti Rahayu, Pengantar Hukum Kepailitan, (Bangka Belitung: Penerbit UBB Press, 2012), hlm 95


(12)

perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitur yang telah diputus oleh pengadilan itu menjadi berakhir.2

Urgensi antara kepailitan dengan PKPU merupakan upaya untuk menghindari dari putusan sita harta akibat gagal bayar sebagai implikasi dari putusan hakim. PKPU membuka kembali peluang untuk renegosiasi antara kreditor dan debitur. Karena jika debitur lebih memilih jalur pengadilan dan hingga ia mendapati bahwa kalah dan dinyatakan pailit oleh hakim maka ia akan berhadapan dengan akibat hukum secara garis besar adalah debitur kehilangan kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya.3

2

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Voordering, Junto Undang-Undang No,37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta : Penerbit Pustaka Utama, 2009), hlm 321

3

Andhika Prayoga, Solusi Hukum ketika Bisnis Terancan Pailit (Bangkrut), Cetakan pertama, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014), hlm 33

Di Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pailit. Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga memberikan pengaturan tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung prinsip kelangsungan usaha, dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya. Untuk melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya. Namun, Undang-undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga kepailitan harusnya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan utang-utang yang sudah tidak mampu lagi dibayar oleh debitor.


(13)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah prinsip-prinsip kepailitan khususnya prinsip kelangsungan usaha, Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Pemerintah menegaskan bahwa Pasal 242 ayat (2) UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memungkikan kelangsungan usaha debitor. Ketentuan a quo (pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan) ini memungkinkan kelangsungan usaha debitor. dengan masih berlangsungnya usaha debitur untuk melunasi utang kepada kreditur secara keseluruhan berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam PKPU untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.4

Kelangsungan usaha dari perusahaan membawa dampak positif bagi hubungan tenaga kerja. Para tenaga kerja tetap dipertahankan guna menjalankan usaha yang secara makro akan membawa kesejahteraan. Barang tentu dengan tetap eksisnya kegiatan perusahaan. Barang tentu dengan tetap eksisnya kegiatan perusahaan, tenaga

Alasan kelangsungan usaha merupakan harapan para debitur dalam permohonan PKPU. Hal itu terutama didasarkan kepada kondisi kesulitan keuangan (usaha) perusahaan dan jika debitur harus dinyatakan pailit, maka ia tidak dapat lagi meneruskan usahanya serta banyaknya tenaga kerja yang harus diputus hubungan kerjanya yang tidak mustahil akan menjadi beban (tekanan) pengangguran yang harus ditanggung negara.

4


(14)

kerja yang bekerja pada perusahaan tetap dipertahankan, jadi dapat menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).5

Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para Debitor yang beritikad baik tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi pihak Kreditor, yang mungkin lebih menguntungkan daripada apabila ditempuh dengan cara melalui gugatan Permohonan Pailit. PKPU sesungguhnya bertujuan untuk mencegah kepailitan seorang Debitor yang tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo, tetapi mungkin dapat membayar dimasa datang. Saat itu Debitor sedang mengalami kesulitan likuiditas, maka apabila diberi tambahan waktu besar harapan Debitor dapat melunasi utangnya. Pernyataan pailit dalam keadaan yang demikian dapat berakibat pengurangan nilai modal atau nilai perusahaan yang tentu saja tidak menguntungkan Kreditor. Ternyata dalam Praktiknya, penyelesaian melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak selalu berakhir dengan disahkannya Perdamaian antara Pemohon PKPU dengan para Kreditornya, namun dimungkinkan oleh Undang- Undang berdasarkan Pasal 230 ayat (1) Undang-Undang No.37 tahun 2004, yang menyatakan : “Apabila jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir, karena Kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau perpanjangannya sudah diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (6) belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian, pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada Pengadilan yang harus menyatakan Debitor Pailit

5

R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai upaya mencegah kepailitan, Cetakan pertama, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2012), hlm 70-75


(15)

paling lambat pada hari berikutnya”. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/PDT.SUS/2012 yang menyatakan Debitor dalam keadaan Pailit setelah pembahasan Rencana Perdamaian tidak memenuhi quorum.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian secara mendalam melalui sebuah penelitian (skripsi) dengan judul “PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012)”.

B.

Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah pengaturan PKPU UU No. 37 tahun 2004?

2. Bagaimanakah prinsip kelangsungan usaha dalam PKPU?

3. Bagaimanakah prinsip kelangsungan dalam PKPU dalam Putusan MA No. 156 PK/PDT.SUS/2012?

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu: 1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui asuransi sebagai lembaga lembaga pengalihan resiko. b. Untuk mengetahui keberadaan asuransi dalam pemberian kredit perbankan. c. Untuk mengetahui penyelesaian klaim asuransi dalam kredit macet.


(16)

2. Manfaat penulisan

Apabila tujuan-tujuan sebagaimana dirumuskan diatas tercapai, maka diharapkan penelitian ini memenuhi dua aspek kegunaan sekaligus, yaitu:

a. Aspek keilmuan, yakni penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi perbendaharaan konsep, metode maupun pengembangan teori dalam konteks studi ilmu hukum pada umumnya, dan di bidang Hukum Asuransi dan Hukum Perbankan pada khususnya.

b. Aspek praktis, yakni hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal, baik bagi peneliti yang hendak meneliti bidang kajian yang sama maupun bagi para perencana dan pelaksana hukum sesuai dengan profesi yang diembannya masing-masing.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Penerapan prinsip kelangsungan usaha dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (studi kasus Putusan MA NO 156 PK/PDT.SUS/2012)”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.


(17)

E.

Tinjauan Pustaka

Penundaan pembayaran diajukan oleh debitor kepada pengadilan niaga bilamana debitor dalam keadaan masih mampu membayar utang-utangnya, akan tetapi memerlukan waktu untuk membayar. Permohonan penundaan pembayaran harus diajukan kepada pengadilan niaga dengan dilampirkan surat bukti yang berkenaan dengan jumlah piutang dan utang harta pailit, yang disertai dengan identitas daripada para pihak.

Di dalam penundaan pembayaran, debitor tidak hilang haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan, namun demikian dalam mengurus harta kekayaan debitor harus dibantu oleh seorang atau lebih pengurus. Pengurus berkewajiban untuk memberi laporan kepada pengadilan niaga tentang keadaan harta kekayaan debitor setiap triwulan. Secara formal kedudukan debitor yang diberi penundaan pembayaran berbeda dengan kedudukan seseorang yang dinyatakan pailit, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu dalam lapangan harta kekayaan tanpa kerjasama, kuasa dan bantuan dari pengurus, dengan sanksi pengurus berwenang melakukan segala perbuatan yang diperlukan untuk tidak dirugikannya harta kekayaan.

Dengan adanya penundaan pembayaran yang bersifat definitif, gugurlah semua penyitaan dan penyanderaan, akan tetapi penundaan pembayaran tidak menahan jalannya diadakan perkara-perkara yang sedang bergantung dan tidak menghalangi diadakan perkara-perkara baru. Oleh karena itu, selama penundaan pembayaran debitor


(18)

tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utang yang dikenakan penundaan pembayaran.6

Penundaan kewajiban pemebayaran utang (PKPU) ini dapat diajukan terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor, dan debitor tidak dapat atau diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.7

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu istilah yang selalu dikaitkan dengan masalah kepailitan. Istilah ini juga pada umumnya sering dihubungkan dengan masalah insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih seketika. PKPU harus ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga atas permohonan dari debitur dan atau kreditornya. Ketentuan mengenai PKPU ini diatur dalam Bab III dari pasal 222 hingga 294 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.8

Debitur yang tidak dapat memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor.9

Hal yang berbeda dari peraturan kepailitan sebelumnya adalah UU No.37 Tahun 2004 sudah lebih lengkap mengatur masalah penundaan kewajiban debitor untuk

6

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Edisi revisi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 150

7

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan pertama, (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm 276

8

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit,Cetakan Pertama, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hlm 149

9

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Edisi revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm 252


(19)

membayar utang-utangnya dengan maksud debitor yang memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan seluruh atau sebagian utang-utangnya dengan cara damai.10 Keadaan yang demikian disebut “keadaan surseance”, di mana yang pailit dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan (niaga atau komersial) untuk suatu pengunduran umum dari kewajibannya untuk membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian, baik seluruh maupun sebagian utang kepada kreditur.11

Khusus mengenai PKPU, dengan logika hukum, bahwa dengan dinyatakannya debitor berada dalam PKPU debitor tidak bebas lagi untuk berbuat terhadap harta kekayaannya, sehingga dengan demikian penanggung tidak dapat menunjuk harta kekayaan debitur yang bebas, maka berarti dengan dinyatakannya debitor berada dalam PKPU, kreditur dapat langsung menggugat atau memajukan permohonan pailit terhadap debitor.12

F. Metode Penelitian

10

Abdul R. Salim, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh kasus, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), hlm 156

11

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm 124

12

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 184


(20)

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan

mengadakan analisa dan konstruksi.

13

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang

digunakan antara lain:

1.

Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum

dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum

dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa

dikaitkan dengan masyarakat.

14

2.

Data Penelitian

Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan

hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

di dalam penelitian, lazimnya jenis data dibedakan antara data primer, dan

data sekunder.

15

13

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 20.

14

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 54.

15

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan

perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain:


(21)

a.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

b.

UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.16

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reaseacrh)

yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

3. Teknik pengumpulan data

17

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan

4. Analisis data

16

Ibid, hlm 32 17


(22)

masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.18

G.

Sistematika penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa

sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang

dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 Tahun 2004

Dalam bab ini berisi tentang Maksud dan Tujuan Mengajukan Permohonan PKPU, dan Jenis PKPU, Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Perdamaian dalam PKPU dan Upaya hukum terhadap Putusan PKPU.

18


(23)

BAB III PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PKPU

Bab ini berisikan tentang Prinsip-prinsip PKPU, Asas-Asas Dalam

PKPU, Dunia Usaha Dalam Kepailitan dan PKPU, dan

Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU.

BAB IV

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU

DALAM PUTUSAN MA NOMOR 156 PK/PDT.SUS/2012

Bab ini berisi tentang Pertimbangan Hukum dan Analisis Putusan Mahkamah Agung Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali dan Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha dalam putusan Mahkamah Agung.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


(24)

BAB III PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PKPU

Bab ini berisikan tentang Prinsip-prinsip PKPU, Asas-Asas Dalam

PKPU, Dunia Usaha Dalam Kepailitan dan PKPU, dan

Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU.

BAB IV

PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU

DALAM PUTUSAN MA NOMOR 156 PK/PDT.SUS/2012

Bab ini berisi tentang Pertimbangan Hukum dan Analisis Putusan Mahkamah Agung Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali dan Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha dalam putusan Mahkamah Agung.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis.


(25)

PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Maksud dan Tujuan Mengajukan Permohonan PKPU, dan Jenis PKPU

Penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU merupakan sarana yang dapat yang dapat dipakai oleh debitur untuk menghindari diri dari kepailitan, bila mengalami keadaan likuid dan sulit untuk memperoleh kredit. Sarana yang memberikan waktu kepada debitur untuk menunda pelaksanaan pembayaran utang (utangnya) seperti ini akan membuka harapan yang besar bagi debitur untuk dapat melunasi utang-utangnya.19

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak memberikan definisi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). hal ini merupakan sesuatu yang janggal karena ketiadaan definisi tersebut dapat bertentangan dengan asas pembatasan atau asas penjelasan. PKPU dahulu disebut penundaan pembayaran (utang) atau serseance van bataling (suspension of payment).

20

isi pokok penundaan pembayaran adalah bahwa debitor menduga (mengetahui), dia tidak dapat melanjutkan untuk membayarkan utang yang dapat ditagih, sehingga dia mengajukan permohonan penundaan pembayaran kepada hakim. dengan pengajuan tersebut, dia tidak dapat dipaksa oleh kreditor untuk membayar hutangnya.21

19

Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakulas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2007), hlm 32-33

20

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988), hlm 54

21


(26)

Kalau dilakukan penelaah terhadap pasal 222 sampai dengan pasal 294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa PKPU adalah suatu keadaan yang memperlihatkan bahwa debitor mempunyai utang yang sudah tiba waktunya untuk di bayarkan kepada kreditor namun debitor meminta kepada kreditor untuk membayar utangnya kepada kemudian hari untuk menghindari pailit.22

Rencana perdamaian tersebut akan dibahas dalam rapat kreditor. Kreditor dapat menyetujui, dapat pula menolak. Bila rencana perdamaian disetujui, maka berubah menjadi perjanjian perdamaian yang mengikat bagi debitor dan kreditor. Namun, bila rencana perdamaian ditolak, maka debitor karena hukum menjadi pailit. Dalam hal rencana perdamaian diterima dan disetujui kreditor, maka debitor akan membayar utang-utangnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian perdamaian. Namun demikian, bila debitor nyata-nyata tidak mampu membayar utang-utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, maka debitor karena hukum otomatis pailit. Untuk kepailitan yang demikian, debitor tidak dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Sama halnya dengan rencana perdamaian yang ditolak kreditor. Dalam hal yang demikian, Maksud debitor memohon PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian. Rencana perdamaian yang memuat tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Pasal 222 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004: ”Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.”

22

V. Harlen Sinaga, Batas-batas Tanggungjawab Perdata Direksi atas Pailitnya Perseroan Terbatas, dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Penerbit Adinatha Mulia, 2012), hlm 97


(27)

debitor juga pailit karena hukum. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana perdamaian, debitor harus dapat menyakinkan kreditor bahwa dia benar-benar sanggup melaksanakan segala hal yang dituangkan dalam rencana perdamian. Sanggup membayar utang-utangnya. Bukan hanya untuk mengulur-ulur waktu untuk membayar. Apabila debitor dari awal sudah berniat untuk mengulur-ulur waktu, maka keinginan yang demikian tidak sesuai dengan tujuan PKPU.

Dalam membicarakan rencana perdamaian tidak selalu berjalan mulus. Alotnya pembahasan tentang rencana perdamaian bisa berakibat pada pemungutan suara (voting). Voting adalah merupakan upaya terakhir apabila musyawarah mufakat sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, tidak tercapai. Adapun tujuan memohonkan PKPU adalah menghindari pailit, memberikan kesempatan kepada debitor melanjutkan usahanya, tanpa ada desakan untuk melunasi utang-utangnya dan menyehatkan usahanya.23 Permohonan tersebut harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya.24

Prosedur permohonan PKPU diuraikan mulai dari pasal 224 yang menentukan bahwa : “Permohonan PKPU harus diajukan kepada pengadilan dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya: dalam hal pemohonan adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta bukti secukupnya. bila pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui Jurusita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang. Pada sidang tersebut, debitor mengajukan daftar yang memuat

23

Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Cetakan pertama, (Jakarta: PT Tatanusa, 2012), hlm 263-264

24


(28)

sifat, jumlah piutang dan utang debitor beserta surat permohonan dapat di lampirkan rencana perdamaian.

Prosedur permohonan penundaan pembayaran adalah :

1. debitur dan kuasanya mengajukan permohonan penundaan pembayaran kepada Pengadilan Negeri (dalam wilayah hukum tempat tinggal debitor),25

2. setelah pengadilan negeri menerima permohonan penundaan pembayaran itu, mengabulkan permohonan itu untuk sementara dengan memberikan izin sementara penundaan pembayaran. Seiring dengan pemberian izin sementara, pengadilan akan mengangkat hakim pengawas dan seorang atau lebih pengurus yang bersama-sama debitur akan mengurus kepentingan debitur dan kreditur.

26

3. hakim pengadilan negeri paling lambat 45 hari melalui paniterianya memanggil pada kreditur yang bersangkutan, debitur dan pengurus untuk diadakan sidang pada hari, jam dan tempat tertentu,27

4. Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk memutuskan apakah penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut dikabulkan atau ditolak.

28

5. dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan pembayaran definitif itu, ditetapkan pula lamanya waktu penundaan pembayaran yaitu tidak bolah melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) dari terhitung sejak putusan penundaan sementara ditetapkan (pasal 217 ayat 4).

25

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, Edisi 1, Cetakan 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm 108

26

Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan & Kepailitan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm 232

27

Zainal Asikin, Op.Cit, hlm 109

28


(29)

Di dalam hukum kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdiri atas:

1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang bersifat sementara

Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor. Bila permohonan diajukan oleh kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor. segera setelah PKPU sementara diucapkan, maka pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke 45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Apabila debitor tidak hadir dan sidang PKPU sementara berakhir maka pengadilan wajib menyatakan debitor pailit dalam sidang yang sama (pasal 225 UU No.37 Tahun 2004).29

29


(30)

Putusan hakim pengadilan niaga tentang PKPU sementara ini berlaku selama maksimal empat puluh lima hari dan setelah itu harus diputuskan apakah PKPU tersebut dapat dilanjutkan menjadi satu PKPU secara tetap.30

2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang bersifat tetap

Pada saat sidang pengadilan, hakim harus mendengar debitor, hakim pengawas, pengurus dan kreditor yang hadir, wakilnya atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang tersebut, setiap kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima penggilan untuk itu. apabila rencana perdamaian dilampirkan pada permohonan PKPU sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 267 telah dipenuhi. bila ketentuan tersebut tidak terpenuhi atau jika kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan debitor, maka kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor, pengurus dan kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya. bila PKPU tetap tidak dapat ditetapkan oleh pengadilan maka dalam jangka waktu tersebut, debitor dinyatakan pailit. Apabila PKPU tetap disetujui, PKPU tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah PKPU sementara diucapkan (pasal 228 UU No.37 Tahun 2004).

Penjelasan pasal 228 ayat (6) yang berhak menentukan apakah kepada debitor akan diberikan PKPU tetap adalah kreditor konkuren, sedangkan pengadilan

30


(31)

hanya berwenang menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditor konkuren. ketentuan pasal 228 ini secara tegas menentukan bahwa “bila dalam sidang, tidak dapat ditetapkan persetujuan PKPU tetap, maka dalam sidang tersebut debitor dinyatakan pailit dan bila PKPU tetap disetujui maka PKPU tersebut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah PKPU sementara diucapkan.31

B. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Keadaan sulit yang dapat mengakibatkan debitur tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah bisa ditagih tepat pada waktunya ialah misalnya jatuh tagih, kebakaran, kapal tenggelam, pembekuan simpanannya di bank dan lain-lain. sebab-sebab tersebut mengakibatkan si debitur kekurangan uang untuk membayar utang-utangnya. kesulitaan ini belumlah sedemikian rupa, sehingga dia berada dalam keadaan berhenti membayar yang sebenar-benarnya. jadi di belum perlu dipailitkan, karena dia masih sanggup dan mampu untuk membayar utang-utangnya secara penuh, hanya dibutuhkan waktu tambahan untuk memperbaiki keadaan ekonominya.32

Selama PKPU, Debitor tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Jika Debitor melanggar ketentuan tersebut, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut.Kewajiban debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan

31

Sunarmi, Op.Cit, hlm 205

32

C.S.T. Kansil dan Christine, Modul Hukum Dagang, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001), hlm 217


(32)

persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor.Atas dasar persetujuan yangdiberikan oleh pengurus, Debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta Debitor.Apabila dalam melakukan pinjaman perlu diberikan agunan, debitor dapat membebani hartanya dengan gadai, jaminanfidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta debitor dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta debitor yang belum dijadikan jaminan utang (Pasal 240 No. 37 Tahun 2004).

PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala harta kekayaan

debitor. Untuk itu Undang-Undang Kepailitan membedakan antara debitor yang

telah menikah dengan persatuan harta dan yang menikah tanpa persatuan

harta.Apabila debitor telah menikah dalam persatuan harta, harta debitor

mencakup semua aktiva dan passive persatuan (Pasal 241 UU No. 37 Tahun

2004).

Selama berlangsungnya PKPU, Debitor tidak dapat dipaksa membayar

utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 UU No. 37 Tahun 2004, dan semua

tindakan yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang PKPU itu

meliputi:


(33)

Tanpa diberi kewenangan oleh Pengurus selama PKPU, Debitor tidak

dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu

bagian dari hartanya, dan jika Debitor melanggar ketentuan ini, Pengurus berhak

untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta

Debitor tidak dirugikan karena tindakan tersebut.

Apabila Debitor melakukan kewajiban-kewajiban tanpa mendapat

kewenangan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, maka hal ini

hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sepanjang hal itu menguntungkan

harta Debitor.(Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004). Secara ringkas dapat

disebutkan bahwa Debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan terhadap

harta debitor tanpa izin dari Pengurus.

2.

Melakukan Pinjaman dari Pihak Ketiga

Debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga untuk meningkatkan

nilai harta Debitor apabila diberi kewenangan oleh Pengurus.Jika dalam

melakukan pinjaman tersebut perlu diberikan agunan, Debitor dapat membebani

hartanya dengan hipotek atau hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas

kebendaan lainnya, sepanjang pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan

Hakim Pengawas.Namun.Pembebanan harta pailit dengan hipotik atau hak

tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, hanya dapat

dilakukan terhadap bagian harta Debitor yang belum dijadikan jaminan utang

(Pasal 240 UU No. 37 Tahhun 2004).

Dalam hal ini berarti Debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga

atas dasar kewenangan yang diberikan oleh Pengurus.Dan apabila diperlukan


(34)

agunan dalam rangka pinjaman tersebut harus mendapat persetujuan dari Hakim

Pengawas.Harta yang dijadikan jaminan itu haruslah harta yang belum menjadi

jaminan utang (Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004).

3.

Terhadap Harta Persatuan

Apabila Debitor telah menikah dalam persatuan harta, harta Debitor

mencakup semua aktiva dan passive persatuan (Pasal 241 UU No. 37 Tahun

2004). Penjelasan Pasal 241 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘aktiva’

adalah seluruh kekayaan Debitor, sedangkan ‘passiva’ adalah seluruh utang

Debitor.

4.

Debitor Tidak Dapat Dipaksa Bayar Utang

Selama berlangsungnya PKPU, Debitor tidak dapat dipaksa untuk

membayar utang-utangnya dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna

mendapat pelunasan utang harus ditangguhkan (Pasal 242 UU No. 37 Tahun

2004).

5.

Terhadap Sitaan dan Sandera

Semua sitaan yang telah diletakkan gugur kecuali telah ditetapkan tanggal

yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan Pengurus.Dalam hal

Debitor disandera, maka Debitor harus dilepaskan segera setelah diucapkan

Putusan PKPU Tetap atau setelah Putusan Pengesahan Perdamaian memperoleh

kekuatan hukum tetap dan atas permintaan Pengurus atau Hakim Pengawas.Jika

masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas

benda yang termasuk harta Debitor.Demikian pula eksekusi dan sita yangtelah

dimulai atas benda yangtidak dibebani, dijamin dengan gadai, jaminan fidusia,


(35)

hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau dengan hak

yang harus diistimewakan berkaitan dengan kekayaan tertentu berdasarkan

Undang-Undang (Pasal 242 ayat (3).

6.

Terhadap Perkara yang Sedang Berjalan

PKPU tidak menghentikan berjalannya perkara-perkara yang sudah mulai

diperiksa oleh Pengadilan, maupun menghalangi diajukannya perkara baru (Pasal

243 ayat (1)).Namun, jika perkara tersebut mengenai gugatan pembayaran suatu

piutang yang sudah diakui Debitor, sedangkan Penggugat tidak mempunyai

kepentingan untuk memperoleh suatu putusan untuk melaksanakan hak terhadap

pihak ketiga, setelah dicatatnya pengakuan tersebut.Debitor tidak dapat menjadi

Penggugat atau Tergugat dalam perkara mengenai hak atau kewajiban

yangmenyangkut harta kekayaan tanpa persetujuan Pengurus (Pasal 243 UU No.

37 Tahun 2004).

7.

Kreditor Pemegang Jaminan dan Biaya Pemeliharaan

PKPU tidak berlaku terhadap:

a.

Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek

atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

b.

Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan yang sudah harus

dibayar dan Hakim Pengawas haus menentukan jumlah tagihan yang sudah

ada dan belum dibayar sebelum PKPU yang bukan merupakan tagihan dengan

hak untuk diistimewakan; dan


(36)

c.

Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitor maupun

terhadap seluruh harta Debitor yang tidak tercakup pada ayat (1) huruf b

(Pasal 242 UU No. 37 Tahun 2004).

Dalam PKPU pelaksanaan hak Kreditor pemegang jaminan dan Kreditor

yang diistimewakan ditangguhkan selama berlangsungnya PKPU (Pasal 246 UU

No. 37 Tahun 2004).

8.

Terhadap Pembayaran Utang

Pembayaran semua utang, selain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

244 yang sudah ada sebelumnya diberikannya PKPU, selama berlangsungnya

PKPU tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan

kepada semua Kreditor menurut perimbangan piutang masing-masing, tanpa

mengurangi berlakunya juga ketentuan Pasal 185 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004

(Pasal 245 UU No. 37 Tahun 2004).

Pembayaran yang dilakukan kepada Debitor, setelah diucapkannya

Putusan PKPU Sementara yang belum diumumkan untuk memenuhi perikatan

yang terbit sebelum Putusan PKPU Sementara, membebaskan pihak yang telah

melakukan pembayaran terhadap Debitor, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak

tersebut telah mengetahui adanya Putusan PKPU Sementara. Pembayaran yang

dilakukan sesudah pengumuman, hanya membebaskan orang yang melakukan

pembayaran dimaksud apabila ia dapat membuktikan bahwa meskipun telah

dilakukan pengumuman menurut Undang-Undang, akan tetapi ia tidak mungkin

dapat mengetahui pengumuman dimaksud di tempat kediamannya, dengan tidak


(37)

mengurangi hak Pengurus untuk membuktikan sebaliknya (Pasal 253 UU No. 37

Tahun 2004).

9.

Perjumpaan Utang

Perjumpaan utang dapat dilakukan bila baik utang maupun piutangnya

telah dilahirkan sebelum dimulainya PKPU tersebut. Piutang terhadap Debitor

tersebut akan dihitung menurut ketentuan Pasal 274 dan Pasal 275 (Pasal 247 UU

No. 37 Tahun 2004).

Orang yang mengambil alih dari pihak ketiga atas utang kepada Debitor

atau piutang terhadap Debitor dari pihak ketiga sebelum PKPU, tidak dapat

melakukan perjumpaan utang apabila dalam pengambilalihan utang piutang

tersebut ia tidak beritikad baik. Piutang diperjumpakan (Pasal 248 UU No. 37

Tahun 2004).

10.

Perjanjian Timbal Balik

Bila pada saat Putusan PKPU diucapkan terdapat perjanjian timbal balik

yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian

dengan Debitor dapat meminta kepada Pengurus untuk memberikan kepastian

tentang kelanjutan pelaksanaan dari perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang

disepakati oleh Pengurus dan pihak tersebut.Bila tidak tercapai kesepakatan

mengenai jangka waktu, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut.Bila

dalam jangka waktu tersebut, Pengurus tidak memberikan jawaban atau tidak

bersedia melaksanakan perjanjian tersebut, perjanjian berakhir dan pihak tersebut

dapat menuntut ganti rugi sebagai kreditor konkuren.Bila Pengurus menyatakan


(38)

kesanggupannya, maka Pengurus memberikan jaminan atas kesanggupannya

untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Ketentuan ini tidak berlaku terhadap perjanjian yang mewajibkan Debitor

melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan (Pasal 249 UU No. 37 Tahun

2004).

11.

Perjanjian Penyerahan Benda

Apabila telah diperjanjikan penyerahan benda yang biasa diperdagangkan

dengan suatu jangka waktu dan sebelum penyerahan dilakukan telah diucapkan

Putusan Sementara, perjanjian menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan

dirugikan karena penghapusan, ia boleh mengajukan diri sebagai kreditor

konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam hal harta dirugikan karena

penghapusan, maka pihak lawan wajib membayar kerugian tersebut (Pasal 250

UU No. 37 Tahun 2004).

12.

Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam hal Debitor telah menyewa suatu benda, maka Debitor dengan

persetujuan Pengurus, dapat menghentikan perjanjian sewa menyewa, dengan

syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian

sesuai dengan adat kebiasaan setempat.Bila dilakukan penghentian maka harus

diindahkan jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan

ketentuan bahwa jangka waktu 90 (Sembilan puluh) hari adalah cukup.Bila telah

dibayar uang sewa di muka (sebagai uang muka), maka sewa tidak dapat

dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar


(39)

uang muka.Sejak hari Putusan PKPU Sementara diucapkan maka uang sewa

merupakan utang harta Debitor (Pasal 251 UU No. 37 Tahun 2004).

13.

Pemutusan Hubungan Kerja

Segera setelah diucapkannya Putusan PKPU Sementara maka Debitor

berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya, dengan

mengindahkan ketentuan Pasal 240 dan jangka waktu menurut persetujuan atau

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengertian hubungan kerja

tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh

lima) hari sebelumnya. Sejak dimulainya PKPU Sementara maka gaji dan biaya

lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta Debitor

(Pasal 252 UU No. 37 Tahun 2004).PKPU tidak berlaku bagi keuntungan sesama

Debitor dan Penanggung (Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004).

Pengurus dalam PKPU harus mengetahui tingkatan para Kreditor dalam PKPU yaitu mana yang memiliki hak untuk didahulukan dan mana yang digolongkan sebagai Kreditor konkuren yaitu Kreditor yang tidak memegang agunan dan yang tidak mempunyai hak istimewa, dan yang tagihannya telah diakui atau yang diakui secara bersyarat.33

C. Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pengakhiran penundaan pembayaran hanya dapat dilakukan oleh pengadilan dalam suatu persidangan yang khusus membahas hal itu. Persidangan itu harus

33


(40)

dilakukan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diajukan dan putusan harus telah diberikan paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak selesainya pemeriksaan.34

a.

Debitor, selama waktu PKPU, bertindak dengan itikad buruk dalam

melakukan pengurusan terhadap hartanya;

PKPU dapat diakhiri baik atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau

lebih Kreditor atau atas prakarsa Pengadilan tersebut, dalam hal :

b.

Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan Kreditornya;

c.

Debitor melakukan pelanggaran ketentuan pasal 240 ayat (1);

d.

Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya

oleh Pengadilan pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai

melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh Pengurus demi

kepentingan harta Debitor.

e.

Selama waktu PKPU, keadaan harta Debitor ternyata tidak lagi

memungkinkan dilanjutkannya PKPU; atau

f.

Keadaan harta Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya

terhadap para Kreditor pada waktunya.

Dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan

huruf e, pengurus wajib mengajukan permohonan pengakhiran PKPU.Pemohon

Debitor dan Pengurus harus didengar pada tanggal yang telah ditetapkan oleh

Pengadilan setelah dipanggil sebagaimana mestinya. Permohonan pengakhiran

PKPU harus selesai diperiksa dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah

pengajuan permohonan dan Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam jangka

34


(41)

waktu 10 (sepuluh) hari sejak selesainya pemeriksaan.Putusan Pengadilan harus

memuat alasan yang menjadi dasar Putusan tersebut. Jika PKPU diakhiri

berdasarkan ketentuan pasal ini, Debitor harus dinyatakan pailit dalam Putusan

yang sama (Pasal 255 UU No. 37 Tahun 2004).

Ketentuan tentang upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11, Pasal

12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku mutatis mutandis terhadap Putusan pernyataan

pailit sebagai akibat Putusan pengakhiran PKPU (Pasal 256 UU No. 37 Tahun

2004). Putusan pernyataan pailit sebagai akibat Putusan pengakhiran PKPU harus

diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4) (Pasal 257 UU No. 37

tahun 2004).

Pengadilan menganggap bahwa sidang permohonan pengakhiran PKPU

tidak dapat diselesaikan sebelum tanggal Kreditor didengar, maka Pengadilan

wajib memerintahkan agar Kreditor diberitahu secara tertulis bahwa mereka tidak

dapat didengar pada tanggal tersebut. Bila perlu Pengadilan segera menetapkan

tanggal lain untuk sidang dan dalam hal demikian Kreditor akan dipanggil oleh

Pengurus (Pasal 258 UU No. 37 Tahun 2004).

Debitor setiap saat dapat memohon kepada pengadilan agar PKPU dicabut

dengan alasan bahwa harta Debitor memungkinkan dimulainya pembayaran

kembali dengan ketentuan bahwa pengurus dan Kreditor harus dipanggil dan

didengar sepatutnya sebelum Putusan diucapkan. Panggilan wajib dilakukan oleh

Jurusita dengan surat dinas tercatat, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang

Pengadilan (Pasal 259 UU No. 37 Tahun 2004).


(42)

Selama PKPU berlangsung, terhadap Debitor tidak dapat diajukan

permohonan pailit (Pasal 260 UU No. 37 Tahun 2004). Apabila Debitor

dinyatakan pailit, maka :

a.

Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 44 harus

dihitung sejak Putusan PKPU Sementara diucapkan;

b.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor setelah diberi persetujuan oleh

Pengurus untuk melakukannya harus dianggap sebagai perbuatan hukum yang

dilakukan oleh Kurator, dan utang harta Debitor yang terjadi selama

berlangsungnya PKPU merupakan utang harta pailit;

c.

Kewajiban Debitor yang timbul selama jangka waktu PKPU tanpa persetujuan

Pengurus tidak dapat dibebankanterhadap harta Debitor, kecuali hal tersebut

membawa akibat yang menguntungkan bagi harta Debitor (Pasal 262 UU No.

37 Tahun 2004).

Penjelasan Pasal 262 ayat (2) menyebutkan bahwa jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung sejak Putusan PKPU

Sementara yang pertama diucapkan.

Imbalan jasa bagi Ahli yang diangkat ditentukan oleh Hakim Pengawas dan harus dibayar dahulu dari harta Debitor (Pasal 263 UU No. 37 Tahun 2004).Ketentuan Hukum Internasional berlaku mutandis dalam PKPU (Pasal 264 UU No. 37 Tahun 2004).

Suatu penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri atau berakhir dengan berbagai cara dan dalam berbagai tahap, yakni:


(43)

Adapun yang menjadi alasan sehingga dapat diakhirinya penundaan

kewajiban pembayaran utang ditengah jalan adalah sebagai berikut :

1.

Selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang, debitor

bertindak dengan iktikad tidak baik dalam mengurus harta-hartanya.

2.

Debitor mencoba merugikan kreditor.

3.

Debitor melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1),

yakni melakukan kepengurusan harta atau mengalihkan harta tanpa

diberikan kewenangan untuk itu oleh pengurus.

4.

Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh

pengadilan niaga pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran

utang ataupun lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang

disyaratkan oleh para pengurus.

5.

Keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkan

penundaan kewajiban pembayaran utang.

6.

Karena keadaan debitor sudah sedemikian rupa sehingga tidak diharapkan

lagi untuk memenuhi kewajibannya kepada para kreditor.

b.

Dicabut karena keadaan harta debitor sudah membaik

Konsekuensi hukum dari pengakhiran penundaan kewajiban pembayaran

utang dalam kasus ini adalah bahwa kembali keadaan semula seperti sebelum

putusan penundaan kewajiban pembayaran utang dijatuhkan.

c.

Berakhir karena tercapai perdamaian

Penundaan kewajiban pembayaran utang juga berakhir apabila rencana

perdamaian disetujui oleh kreditor konkuren dan kreditor separatis serta telah


(44)

mempunyai kekuatan tetap (inkracht).Lihat Pasal 281 ayat (1)

Undang-Undang Kepailitan.Akibat hukumnya adalah bahwa perdamaian tersebut

berlaku dan masing-masing debitor konkuren mendapatkan haknya seperti dan

sebesar yang ditentukan dalam perdamaian yang bersangkutan.

d.

Berakhir karena rencana perdamaian ditolak

Sebagaimana diketahui bahwa pihak debitor harus mengajukan suatu rencana

perdamaian dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang sebab

perdamaian tersebutlah yang menjadi tujuan sentral dari seluruh proses

penundaan kewajiban pembayaran utang tersebut. Akan tetapi, hak dari pihak

kreditor konkuren pula untuk menerima atau menolak rencana perdamaian

tersebut.

e.

Berakhir karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niaga

Sebagaimana diketahui, sungguhpun pihak kreditor konkuren sudah

menyetujui suatu rencana perdamaian, rencana perdamaian tersebut harus pula

mendapatkan pengesahannya (ratifikasi) oleh pengadilan niaga dalam

sidangnya yang disebut dengan homologis.Dalam sidang homologasi ini,

apabila ada alasan-alasan untuk itu, pengadilan niaga dapat menolak

pengesahan tersebut.Dalam putusan penolakan pengesahan tersebut

dinyatakan pula bahwa debitor dalam keadaan pailit.Terhadap putusan

pengadilan niaga tentang penolakan pengesahan perdamaian tersebut tidak

dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi terhadap pengesahan

perdamaian dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 285 ayat (4)).


(45)

f.

Berakhir karena penundaan kewajiban pembayaran utang dibatalkan

Suatu perdamaian dapat saja dibatalkan.Pembatalan perdamaian dalam hal ini

disebabkan pihak debitor telah lalai dalam melaksanakan perdamaian

tersebut.Dan dalam hal berlaku asas pembuktian terbalik, yakni pihak debitor

yang harus membuktikan bahwa perdamaian tersebut telah

dipenuhinya.Dalam hal ini, pengadilan niaga leluasa untuk menentukan

apakah masih diberikan kesempatan bagi debitor untuk melaksanakan isi

perdamaian tersebut dalam waktu tidak melebihi satu bulan.

g.

Berakhir setelah masa penundaan kewajiban pembayaran utang terlampaui

Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu penundaan kewajiban pembayaran

utang berlaku maksimum selama 270 hari (sudah termasuk jangka waktu

maksimum 45 hari untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran

utang).Jangka waktu tersebut bersifat mutlak tidak dapat diperpanjang lagi.

h.

Berakhir karena tidak tercapai perdamaian

Bisa saja terjadi bahwa sampai dengan hari yang ke-270 rencana perdamaian

tidak atau belum disetujui oleh pihak kreditor.Maka dalam hal ini, pengurus

pada hari berakhirnya penundaan kewajiban pembayaran utang (maksimum

hari yang ke-270) wajib memberitahukan pengadilan niaga tentang hal

tersebut dan pengadilan niaga harus menyatakan debitor pailit.Lihat Pasal 230

ayat (1).

i.

Berakhir karena penundaan kewajiban pembayaran utang secara tetap tidak

disetujui oleh kreditor.

35

35


(46)

Proses penundaan kewajiban pembayaran utang dapat juga diakhiri jika setelah jangka waktu maksimum 45 hari, yakni jangka waktu untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran utang, para kreditor konkuran tidak menyetujui diberikannya penundaan kewajiban pembayaran utang secara tetap. Dalam hal ini, maka penundaan kewajiban pembayaran utang secara tetap tidak terjadi dan pengadilan niaga harus menyatakan pailit.Lihat Pasal 230 ayat (1).

D. Perdamaian dalam PKPU

Perdamaian merupakan salah satu upaya hukum untuk menolak

dilakukannya kepailitan terhadap debitor. Perdamaian dalam proses kepailitan ini

sering juga disebut dengan istilah “akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam Bahasa

Inggris disebut dengan istilah “Composition”. Berbicara tentang perdamaian

dalam kepailitan tidak hanya ada dalam proses kepailitan, tetapi terdapat juga

dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Perdamaian adalah salah satu cara untuk mengkhiri kepailitan. Perdamaian

dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa dilakukannya “restrukturisasi

hutang” karena diluar kepailitan. kreditur (konkuren) tidak dapat dipaksa untuk

menyetujui perdamaian. perdamaian didefinisikan sebagai “perjanjian antara

debitur dan para krediturnya dimana klaim dari kreditur disetujui untuk dibayar

sebagian atau seluruhnya”.

36

Perdamaian dalam proses kepailitan pada prinsipnya sama dengan

perdamaian dalam pengertiannya yang umum, yang intinya terdapat “kata

36

Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2012), hlm 98


(47)

sepakat”. Untuk perdamaian dalam proses kepailitan, kata sepakat tersebut

diharapkan terjadi antara pihak debitor dengan para kreditor-kreditornya terhadap

rencana perdamaian (Composition plan) yang diusulkan oleh debitor. Rencana

perdamaian yang diajukan oleh debitor adalah merupakan suatu hak dan paling

lambat diajukan 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang di Paniteraan

Pengadilan Negeri. Sebagaimana diatur dalam pasal 144 dan pasal 145.

Perdamaian yang dilakukan dalam proses kepailitan lebih formal dan dengan

mengikuti tata cara dan time frame yang ketat yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 37 tahun 2004.

37

Perdamaian menjadi elemen yang paling esensial sekaligus merupakan

tujuan dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang. Dengan demikian,

tidak ada gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para

pihak tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan perdamaian, yang dimulai oleh

debitor dengan mengajukan rencana perdamaian (composition plan). Para pihak

dalam pengertian penundaan kewajiban pembayaran utang adalah pihak debitor

bersama-sama dengan pihak kreditor, khususnya kreditor konkuren.

38

Perdamaian dalam PKPU dapat diajukan oleh Kreditor selain Debitor. Hal

ini adalah logis, karena tidak mungkin perdamaian dalam kepailitan diajukan oleh

Kreditor karena kepailitan itu sendiri telah dimohonkan sebelumnya oleh

Kreditor yang bersangkutan. Perbedaan nyata lain adalah perdamaian dalam

PKPU secara tegas memungkinkan Debitor untuk menyelesaikan sebagaian selain

37

Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Cetakan pertama, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2012), hlm 129

38

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Cetakan ke empat, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm 194


(48)

seluruh utangnya kepada Kreditor.

39

Sebelum putusan pengesahan perdamaian

dalam PKPU mempunyai kekuatan hukum tetap, rencana perdamaian tersebut

menjadi gugur apabila terdapat putusan Pengadilan yang memutuskan PKPU

berakhir. Dalam rangka menghadapi rapat Kreditor untuk membicarakan rencana

perdamaian tersebut, beberapa tindakan harus dilakukan oleh pengurus termasuk

masalah tagihan, daftar piutang dan sebagainya.

40

Dalam hal yang menyetujui

rencana perdamaian kurang dari persyaratan, dimungkinkan diadakan pemungutan

suara ulangan. Berkaitan dengan pemungutan suara ulangan atau pemungutan

suara kedua dalam PKPU ini beberapa ketentuan untuk kepailitan juga berlaku.

Demikian pula alasan pengadilan menolak pengesahan perdamaian dalam PKPU,

berlaku ketentuan penolakan pengesahan perdamaian dalam kepailitan yang diatur

dalam Pasal 159 UUK.

41

Dengan ditolaknya pengesahan perdamaian dalam

PKPU, Pengadilan wajib memutuskan Debitor dalam keadaan pailit.

42

39

Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, (Bandung: Penerbit Alumni, 2010), hlm. 238

40

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Penerbit Alumni, 2006), hlm. 219

41

Ibid, hlm. 220-221

42

Ibid, hlm. 221.

Dalam Hukum Kepailitan terdapat 2 (dua) macam perdamaian yaitu

perdamaian yang diajukan dalam proses Kepailitan dan perdamaian dalam proses

PKPU. Dalam proses Kepailitan, permohonan perdamaian diajukan pada saat

verifikasi, sedangkan perdamaian dalam PKPU diajukan sebelum Debitor

dinyatakan pailit. Bila Debitor dalam proses PKPU menawarkan perdamaian dan

ditolak oleh Kreditor, maka perdamaian tersebut tidak dapat ditawarkan lagi

dalam proses Kepailitan.


(49)

Hukum Kepailitan menentukan bahwa Debitor berhak pada waktu

mengajukan permohonan PKPU atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian

kepada Kreditor (Pasal 265 UU No. 37 Tahun 2004). Apabila rencana perdamaian

tersebut tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan, maka rencana tersebut

harus diajukan sebelum hari sidang atau pada tanggal kemudian.Salinan rencana

perdamaian harus segera disampaikan kepada Hakim Pengawas, Pengurus, dan

Ahli bila ada (Pasal 266 UU No. 37 Tahun 2004).

Bila sebelum Putusan Pengesahan Perdamaian memperoleh kekuatan

hukum tetap, ada Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU berakhir,

gugurlah rencana perdamaian tersebut (Pasal 268 UU No. 37 Tahun 2004).

Bila rencana perdamaian telah diajukan kepada Panitera, Hakim Pengawas

harus menentukan :

a.

Hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada Pengurus

b.

Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan itu akan dibicarakan

dan diputuskan dalam rapat Kreditor yang dipimpin oleh hakim Pengawas.

Tenggang waktu antara hari tersebut paling singkat 14 (empat belas) hari

(Pasal 268 UU No. 37 tahun 2004).Pengurus wajib mengumumkan tentang ‘hari

tagihan’ harus dimasukkan, tanggal dan waktu rencana perdamaian bersama-sama

dengan dimasukkannya rencana perdamaian, kecuali jika hal ini sudah

diumumkan.Pengurusjuga wajib memberitahukan hal tersebut dengan surat

tercatat atau melalui kurir kepada semua Kreditor yangdikenal, dan

pemberitahuan ini harus menyebutkan pengajuan tagihan kepada pengurus.

Kreditor dapat menghadap sendiri atau diwakili oleh seorang Kuasa berdasarkan


(50)

surat kuasa.Pengurus dapat mensyaratkan agar Debitor memberikan kepada

mereka uang muka dalam jumlah yang ditetapkan oleh Pengurus guna menutup

biaya untuk pengumuman dan pemberitahuan tersebut (Pasal 269 UU No. 37

Tahun 2004). Penjelasan Pasal 269 ayat (3) menyebutkan bahwa yang

dimaksudkan dengan ‘Kuasa’ bukanlah ‘kuasa’ sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7.

Tagihan harus diajukan kepada Pengurus dengan cara menyerahkan surat

tagihan atau bukti tertulis lainnya yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan

disertai bukti yang mendukung atau salinan bukti tersebut.Terhadap tagihan yang

diajukan kepada Pengurus, Kreditor dapat meminta tanda terima dari Pengurus

(Pasal 270 UU No. 37 tahun 2004).

Semua perhitungan yang telah dimasukkan oleh Pengurus harus

dicocokkan dengan catatan dan laporan Dari Debitor (Pasal 271 UU No. 37 tahun

2004). Pengurus harus membuat daftar piutang yang membuat nama, tempat

tinggal Kreditor, jumlah piutang masing-masing, penjelasan piutang dan apakah

piutang tersebut diakui atau dibantah oleh Pengurus (Pasal 272 UU No. 37 tahun

2004).

Piutang yang berbunga harus dimasukkan dalam daftar disertai

perhitungan bunga sampai dengan hari diucapkannya Putusan PKPU. Ketentuan

Pasal 135, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141 dan Pasal 142 ayat (1) dan ayat (2)

berlaku mutatis mutandis dalam hal PKPU (Pasal 273 UU No. 37 tahun 2004).

Suatu tagihan dengan syarat tangguh dapat dimasukkan dalam daftar untuk

nilai yang berlaku pada saat dimulainya PKPU.Jika Pengurus dan Kreditor tidak


(51)

mencapai kesepakatan tentang penetapan nilai tagihan tersebut, seluruh nilai

tagihan Kreditor harus diterima secara bersyarat (Pasal 274 UU No. 37 Tahun

2004).

Piutang yang saat penagihannya belum jelas atau yang memberikan hak

untuk memperoleh pembayaran secara berkala, wajib dimasukkan dalam daftar

untuk nilai yang berlaku pada tanggal diucapkannya Putusan PKPU

Sementara.Semua piutang yang dapat ditagih dalam jangka waktu 1 (satu) tahun

sejak Putusan PKPU diucapkan wajib diperlakukan sebagai piutang yang dapat

ditagih pada tanggal tersebut.Semua piutang yang dapat ditagih setelah lewat 1

(satu) tahun sejak Putusan PKPU diucapkan, wajib dimasukkan dalam daftar

untuk nilai yang berlaku 1 (satu) tahun setelah Putusan PKPU tersebut diucapkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 275 UU No. 37 Tahun 2004, dalam melakukan

perhitungan nilai piutang, wajib diperhatikan :

a.

Waktu dan cara pembayaran angsuran

b.

Keuntungan yang mungkin diperoleh

c.

Besarnya bunga apabila diperjanjikan.

Pengurus wajib menyediakan salinan daftar di Kepaniteraan Pengadilan

agar dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum diadakannya rapat dapat dilihat oleh

setiap orang dengan cuma-cuma demikian juga dengan penyediaan salinan (Pasal

276 Uu No. 37 Tahun 2004).

Dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu PKPU,

atas permintaan Pengurus atau karena jabatannya, Hakim Pengawas dapat

menunda pembicaraan dan pemungutan suara tentang rencana perdamaian


(52)

tersebut.Dalam hal terjadi pembicaraan dan pemungutan suara berlaku ketentuan

Pasal 269 (Pasal 277 UU No.Tahun 2004).

Dalam rapat rencana perdamaian, baik pengurus maupun ahli, apabila

telah diangkat, harus secara tertulis memberikan laporan tentang rencana

perdamaian yang ditawarkan itu. Debitor berhak memberikan keterangan

mengenai rencana perdamaian dan membelanya serta berhak mengubah rencana

perdamaian tersebut. Selama berlangsungnya perundingan dan hal ini berlaku

dalam PKPU. Piutang yang dimasukkan kepada pengurus sesudah lewat tenggang

waktu, dengan syarat dimasukkan paling lama 2 (dua) hari sebelum diadakan

rapat, harus dimuat dalam daftar piutang atas permintaan yang diajukan pada rapat

tersebut, jika pengurus maupun Kreditor yang hadir, tidak mengajukan keberatan.

Piutang yang dimasukkan sesudah tenggang waktu tidak dimasukkan dalam daftar

tersebut. Ketentuan jangka waktu tidak berlaku, apabila Kreditor berdomisili di

luar wilayah Negara Republik Indonesia yang merupakan halangan untuk

melaporkan diri lebih dahulu. Dalam hal diajukan keberatan atau dalam hal

adanya perselisihan tentang tidak adanya halangan, Hakim Pengawas akan

memberikan penetapan setelah meminta pendapat rapat (Pasal 278 UU No. 37

Tahun 2004).

Pengurus berhak dalam rapat tersebut menarik kembali setiap pengakuan

atau bantahan yang pernah dilakukan.Kreditor yang hadir dalam rapat dapat

membantah piutang yang oleh pengurus seluruhnya atau sebagian

diakuinya.Pengakuan atau bantahan yang dilakukan dalam rapat, harus dicatat

dalam daftar piutang (Pasal 279 UU No. 37 ahun 2004).


(53)

Hakim Pengawas menentukan Kreditor yang tagihannya dibantah, untuk

dapat ikut serta dalam pemungutan suara dan menentukan batasan jumlah suaru

yang dapat dikeluarkan oleh Kreditor tersebut (Pasal 280 UU No. 37 Tahun

2004).

E. Upaya hukum terhadap Putusan PKPU

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melawan putusan hakim dengan tujuna untuk mencegah dan atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan hakim tersebut akibat adanya penemuan bukti-bukti atau fakta-fakta baru.43

1. Perlawanan

Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil (keadilan). ada tiga (3) macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal kepailitan, yakni :

Dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit. dan yang harus diperhatikan bahwa, terhadap putusan pengadilan yang memutus perkara perlawanan tersebut, tidak dapat diajukan kasasi maupun peninjauan kembali. demikian pula terhadap putusan hakim pengawasan tentang pengangkatan penangguhan atau perubahan tentang pengangguhan seperti dimaksud dalam pasal 58 ayat (2) tidak dapat diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

2. Kasasi (pasal 11-13 UUK PKPU No.37 Tahun 2004)

43

Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Cetakan kedua, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2005), hlm 208


(54)

Upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. dengan demikian, terhadap keputusan pengadilan di tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi.44

3. Peninjauan kembali (pasal 14 UUK PKPU No.37 Tahun 2004).

Upaya hukum lainnya adalah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.45

(1) terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Putusan PKPU bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan PKPU ini harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan minimal dua surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim pengawas. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 235 UU Nomor 37 Tahun 2004:

(2) putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus diumumkan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 226.

Pasal 226 UU Nomor 37 Tahun 2004 :

(1) Pengurus wajib segera mengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut

44

Kasasi diatur dalam Pasal 11-13 UUK PKPU, lebih lanjut lihat ketentuan pasal tersebut.

45

Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia : Dualisme Kewenangan Pengadilan dan Lembaga Arbitrase, Edisi pertama, Cetakan ke-1, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2009), hlm 106-110


(55)

juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus.

(2) Apabila pada waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan.

Kendatipun terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum, namun berdasarkan pasal 293 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004, kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Selain itu, terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali.

Pasal 293 UU Nomor 37 Tahun 2004:

(1) Terhadap putusan pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

(2) Upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Sedangkan pasal 295 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004: “terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

BAB III


(56)

juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus.

(2) Apabila pada waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan.

Kendatipun terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum, namun berdasarkan pasal 293 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004, kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Selain itu, terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali.

Pasal 293 UU Nomor 37 Tahun 2004:

(1) Terhadap putusan pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

(2) Upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Sedangkan pasal 295 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004: “terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

BAB III


(1)

dengan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan disini sebagai bahan pertimbangan guna penyempurnaan dikemudian hari adalah:

1. Perlunya penyempurnaan terhadap aturan-aturan dalam undang-Undang No.37 tahun 2004 berkaitan dengan Pengawasan terhadap kelangsungan usaha Perdamaian dan pembayaran utang yang dilakukan oleh Debitur PKPU.

2. Setelah kekurangan-kekurangan Undang-undang No.37 Tahun 2004 diperbaiki/ disempurnakan dan ditambah pengalaman-pengalaman dalam kasus-kasus kepailitan dan PKPU yang terjadi selama ini, hendaknya nanti dapat lebih baik dalam, penerapannya ditinjau dari makna tujuan kepailitan dan PKPU itu diberikan. Untuk itu kemungkinan diperlukan studi banding dengan hukum kepailitan yang diterapkan di negara lain yang menjalankan aturan-aturan mengenai kepailitan (Bankruptcy) ini dengan baik.

3. Bagi pihak penegak hukum dan praktisi hukum, penerapan undang-undang kepailitan dan PKPU ini secara baik, mendukung hidupnya hukum kelangsungan usaha di Indonesia dan akan mengundang Investor masuk dan tentu saja akan memperbaiki iklim dan pertumbuhan ekonomi nasional yang masih lesu dan stagnant sekarang ini.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A.

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Cetakan ke-2, Jakarta: Penerbit Kencana, 2013.

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran di Indonesia, Edisi 1, Cetakan 1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Edisi revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.


(3)

Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan & Kepailitan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012.

Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Cetakan ke empat, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010.

Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia : Dualisme Kewenangan Pengadilan dan Lembaga Arbitrase, Edisi pertama, Cetakan ke-1, Jakarta: Penerbit Kencana, 2009.

Ikhsan, Edy dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009)

Kansil, C.S.T. dan Christine, Modul Hukum Dagang, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001.

Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan pertama, Yogyakarta: FH UII Press, 2006.

Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Cetakan pertama, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2012.

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2001.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Mulyadi, Lilik, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung: Penerbit Alumni, 2010.


(4)

Nasir, Muhammad, Hukum Acara Perdata, Cetakan kedua, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2005.

Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.

Prayoga, Andhika, Solusi Hukum ketika Bisnis Terancan Pailit (Bangkrut), Cetakan pertama, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014..

Rahayu, Derita Prapti, Pengantar Hukum Kepailitan, Bangka Belitung: Penerbit UBB Press, 2012.

Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (edisi Baru), Cetakan 11, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Santiago, Faisal, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2012.

Salim, Abdul R., Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh kasus, Jakarta: Penerbit Kencana, 2005.

Saliman, Abdul R., Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Penerbit Kencana, 2014.

Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Edisi revisi, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005.

Sastrawidjaja, Man S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Penerbit Alumni, 2006.


(5)

Sinaga, V. Harlen, Batas-batas Tanggungjawab Perdata Direksi atas Pailitnya Perseroan Terbatas, dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Penerbit Adinatha Mulia, 2012.

Sinaga, Syamsudin M., Hukum Kepailitan Indonesia, Cetakan pertama, Jakarta: PT Tatanusa, 2012.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Voordering, Junto Undang-Undang No,37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : Penerbit Pustaka Utama, 2009.

Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, Jakarta: PT Sofmedia, 2010.

Sulaiman, Robintan dan Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Bisnis Fakulas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2007.

Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Suyatno, R. Anton, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai upaya mencegah kepailitan, Cetakan pertama, Jakarta: Penerbit Kencana, 2012.

Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Edisi revisi), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013.


(6)

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Widjaja, Gunawan, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit,Cetakan Pertama, Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Widjaja, I. G. Rai, Hukum Perusahaan, Jakarta: Penerbit Megapoin, 2010.

B.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

C. Website

2014 pkl 13.00 Wib

Widiarso, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, http://adln.lib.unair.ac.id diakses tgl 28 Juli 2014 pkl 14.00 Wib

2014 pkl 14.20 Wib


Dokumen yang terkait

Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

13 131 117

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

TINJAUAN YURIDIS PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH PIHAK KREDITOR KEPADA DEBITOR DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

0 5 12

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH PIHAK KREDITOR KEPADA DEBITOR DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

0 3 13

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 0 12

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 1 23

Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

0 0 32

BAB I - Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

0 0 13

BAB II FILOSOFI KEWENANGAN KREDITOR DALAM PENGAJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Hakikat dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - KEWENANGAN KREDITOR DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 34

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - KEWENANGAN KREDITOR DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Repository

0 0 29