ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH

DI KABUPATEN TANGGAMUS

(Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

Oleh

HENDRI AZWANSYAH

Tindak pidana pemerasan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pemerasan sehingga membuat pelaku pemerasan diberikan hukuman yang berat. Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kuantitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.


(2)

Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh data salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus berupa Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun” Saran yang diberikan adalah dalam dasar penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan hakim harus mempertimbangan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP sehingga dalam pemberian hukuman pidana bagi pelaku tindak pemerasan akan lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pemerasan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa melihat terlebih dahulu latar belakang terdakwa, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pemerasan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(3)

(4)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah kejahatan tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga wajar bila menimbulkan keresahan. Diperkirakan bahwa di daerah perkotaan, kejahatan berkembang dengan bertambahnya penduduk, pembangunan modernisasi dan urbanisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai kualitas dan kuantitas kejahatan. Tingginya kejahatan menimbulkan ketidakamanan dan ketidaktertiban di dalam masyarakat, serta menghambat usaha-usaha pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Salah satu bentuk kejahatan adalah tindak pidana pemerasan. Tindak pidana pemerasan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pemerasan sehingga membuat pelaku pemerasan diberikan hukuman yang berat. Sehingga mereka berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum.


(5)

Tindak pidana pemerasan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi. Caranya jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pemerasan. Tugas dan wewenang Kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Bagi mereka yang tertangkap dalam kejahatan ini, hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi berupa pidana terhadap pelaku pemerasan, belum memuaskan rasa keadilan di masyarakat. Pidana maksimum dari tindak pidana pemerasan adalah sembilan tahun.

Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Buku II Bab XXIII KUHP itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut “afpersing” atau “pemerasan” dan “afdreiging” atau “pengancaman”. Tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan”.


(6)

3

Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56).

Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan.

Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut.

Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Putusan Pengadilan Tentang Pelaku Tindak pidana Pemerasan Terhadap Kepala Sekolah di Kabupaten Tanggamus (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)


(7)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus?

b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus?

2. Ruang Lingkup

Agar tidak terjadi peluasan dalam pembahasan sehingga memungkinkan penyimpangan dari fokus penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana dalam lingkungan hidup yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Kota Agung dan permasalahan yang dibahas adalah pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dan yang melatar belakangi putusan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.


(8)

5

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : 1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak kejahatan pemerasan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selanjutnya undang-undang undang-undang diluar KUHP, seperti Undang-Undang subversi, perpajakan, ekonomi, pelanggaran kesusilaan juga


(9)

merumuskan macam-macam perbuatan sebagai bentuk kejahatan, yang diancam hukuman pidana. Ringkasnya, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-Undang Pidana (Soejono, 1976: 31).

Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno yang dilarang suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi). Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum (Soejono, 1976: 31).

Kemudian rumusan yang lebih luas mengenai pengertian tindak pidana menurut Van Bemmelen, tindak pidana adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila dan merugikan, sehingga masyarakat berhak mencelanya dan mengatakan penolakannya atas kelakukan ini dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakukan tersebut (Soejono, 1976: 71).

Tindak pidana yang dilakukan dengan unsur-unsur kesengajaan seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 368 KUHP yaitu mengenai tindak pidana pemerasan. Dimana maksud dari kesengajaan disini bahwa pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana tersebut bukan karena keadaan terpaksa dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.

Pengertian kejahatan dalam arti yuridis adalah suatu perbuatan yang dipandang telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana, dan yang dengan jelas dinyatakan ketentuan itu adalah mengenai kejahatan. Sistem hukum pidana di Indonesia yang dipakai sekarang adalah pembagian atas Buku I, II, III. Pasal-pasal yang mengatur kejahatan kita jumpai pada Buku II,


(10)

7

sedang Buku III mengatur pelanggaran. Menurut sistem ini, maka hanya setiap perbuatan yang diancam dengan Buku II (termasuk pula ketentuan pidana khusus) ialah yang disebut kejahatan. Maka seseorang disebut telah melakukan kejahatan, kalau ia telah melakukan suatu perbuatan yang terancam dengan Pasal-pasal Buku II KUHP itu dan harus dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan dan harus pula telah memperoleh keputusan hakim yang mengikat. Proses sedemikian itu harus dilalui jika harus mengatakan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan (Arti yuridis).

Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56).

Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Menurut Lamintang dan Samosir (1981:163) unsur-unsur kejahatan pemerasan dalam KUHP adalah :

1. Unsur barangsiapa

2. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum

3. Unsur memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu


(11)

4. Unsur seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain.

Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003:131).

Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 KUHP yang secara tegas menetapkan, “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya memberikan barang sesuatu, yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Hukum Acara Pidana merupakan sarana hukum yang sangat penting dalam menegakan hukum pidana yang merupakan hukum publik yang mengatur tata cara dan tahapan-tahapan proses penegakan hukum pidana mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi serta tingkat peninjauan kembali.


(12)

9

Dalam KUHAP untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah berwenang melakukan penangkapan, dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 KUHAP). Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap sesorang yang diduga benar melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP), yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah minimal mempunyai dua alat bukti yang sah. Sebagaimana menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap (2000: 53), untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau tidak dengan undang-undang, menunjuk pada ketentuan Pasal 16 sampai Pasal 19 KUHAP. Putusan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan suatu upaya hukum lagi yang lingkupnya meliputi tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) yang dimintakan langsung kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri tidak dapat bersidang dengan semaunya, hal itu disebabkan karena didalam melakukan persidangan atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan harus diketahui terlebih dahulu apakah tindak pidananya dilakukan dalam daerah kewenangannya.

2. Konseptual

a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori yang ada. (www.e-psikologi.co.id, 2009).


(13)

b. Putusan pengadilan merupakan putusan-putusan yang diberikan oleh hakim tertentu merupakan salah satu sumber hukum. Putusan-putusan tersebut dapat dijadikan sebagai barometer pengembangan pandangan dan teori hukum dalam praktek penegakkan hukum sehingga harus diadakan kajian secara tersistem. Akademika hukum memperoleh justifikasi melakukan kajian terhadap putusan pengadilan justru karena putusan itu sendiri sesungguhnya merupakan karya yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah dan merupakan sumber serta tolok ukur pengembangan hukum. Dari putusan hakim memang yang sangat diharapkan adalah kekuatan mengikatnya dalam menyelesaikan suatu perkara. Namun putusan itu menjadi suatu harapan tidaklah semata-mata karena sifatnya yang mengikat, melainkan juga bahkan lebih pada kepuasan hukum dan keadilan yang ditimbulkannya. Untuk dapat mencapai putusan seperti itu haruslah terdapat suatu sistem akses terhadap setiap produk litigasi terutama putusan dan juga dakwaan (http://hukumonline.org, 2009).

c. Tindak pidana pemerasan diatur mengandung pengertian tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003: 131).

d. Bentuk-bentuk tindak pidana pemerasan dapat digolongkan menjadi dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam pemerasan dan


(14)

11

pengancaman, akan tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan” (Lamintang dan Samosir, 1981: 164).

e. Unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan hampir sama dengan unsur-unsur dari kejadian “afpersing” kecuali pada daya upaya yang dipakai orang yang melakukan pemerasan, yaitu “membuat malu secara lisan”, “membuat malu secara tertulis” dan “membuka sesuatu rahasia”

(Lamintang dan Samosir, 1981: 171).

F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian


(15)

Kejahatan dan Jenis-Jenis Kejahatan, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pemerasan, Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pemerasan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus

V. PENUTUP

Di dalam bab ini dibahas mengenai Kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan Saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(16)

13

DAFTAR PUSTAKA

B. Simandjuntak, 1981 Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1993, Rineka Cipta, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung.

Sajono, Pengantar Ilmu Kepolisian, 1964. Himpunan Kuliah Stensilan, Jakarta, Soekanto, Soejono, 1976. Pengantar Kejahatan dan Patologi Sosial, Tarsito,

Bandung


(17)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. Dalam pembuktian kasus dalam tindak pidana pemerasan adalah berupa: 2 (dua) lembar Surat Tugas masing-masing An. Faturohman dan Sibron, 2 (dua) lembar kartu Anggota LP21/ID card an. Faturohman dan Sibron dan 1 (satu) lembar pernyataan tanggal 19 Agustus 2008. Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHP sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu “pemerasan” serta diatur dalam bab yang sama.


(18)

67

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus berupa Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 365 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan di masa mendatang sebagai berikut : 1. Dalam dasar penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan hakim harus


(19)

pemberian hukuman pidana bagi pelaku tindak pemerasan akan lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pemerasan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pemerasan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(1)

11

pengancaman, akan tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan” (Lamintang dan Samosir, 1981: 164).

e. Unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan hampir sama dengan unsur-unsur dari kejadian “afpersing” kecuali pada daya upaya yang dipakai orang yang melakukan pemerasan, yaitu “membuat malu secara lisan”, “membuat malu secara tertulis” dan “membuka sesuatu rahasia” (Lamintang dan Samosir, 1981: 171).

F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian


(2)

pemerasan, Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pemerasan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus

V. PENUTUP

Di dalam bab ini dibahas mengenai Kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan Saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(3)

13

DAFTAR PUSTAKA

B. Simandjuntak, 1981 Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1993, Rineka Cipta, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung.

Sajono, Pengantar Ilmu Kepolisian, 1964. Himpunan Kuliah Stensilan, Jakarta, Soekanto, Soejono, 1976. Pengantar Kejahatan dan Patologi Sosial, Tarsito,

Bandung


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. Dalam pembuktian kasus dalam tindak pidana pemerasan adalah berupa: 2 (dua) lembar Surat Tugas masing-masing An. Faturohman dan Sibron, 2 (dua) lembar kartu Anggota LP21/ID card an. Faturohman dan Sibron dan 1 (satu) lembar pernyataan tanggal 19 Agustus 2008. Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHP sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu “pemerasan” serta diatur dalam bab yang sama.


(5)

67

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus berupa Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 365 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan di masa mendatang sebagai berikut : 1. Dalam dasar penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan hakim harus


(6)

2. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pemerasan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pemerasan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


Dokumen yang terkait

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

0 7 19

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

1 10 88

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.)

0 45 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SERTIFIKAT JUAL BELI TANAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No 659/PIDB/2011)

0 9 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

2 48 72

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )

0 8 49

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)

3 20 96