ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang beragama Islam ini dilahirkan di Kota Agung, pada tanggal 23 Februari 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Muhammad Kholil, Am.Pd dengan Ibu Azmawati Am.Pd.

Penulis mengenyam jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Kota Agung, dan dilanjutkan Sekolah Dasar Negeri 3 Kota Agung yang diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kota Agung diselesaikan pada tahun 2002, Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kota Agung yang diselesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana dengan minat Praktisi Hukum.


(2)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH

DI KABUPATEN TANGGAMUS

(Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

Oleh

HENDRI AZWANSYAH

Tindak pidana pemerasan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pemerasan sehingga membuat pelaku pemerasan diberikan hukuman yang berat. Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kuantitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.


(3)

pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus berupa Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun” Saran yang diberikan adalah dalam dasar penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan hakim harus mempertimbangan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP sehingga dalam pemberian hukuman pidana bagi pelaku tindak pemerasan akan lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pemerasan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa melihat terlebih dahulu latar belakang terdakwa, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pemerasan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(4)

(5)

DI KABUPATEN TANGGAMUS

(Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

SKRIPSI

Oleh

HENDRI AZWANSYAH 0542011139

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(6)

2010

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH

DI KABUPATEN TANGGAMUS

(Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

Oleh

HENDRI AZWANSYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

42011139

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 5

F. Sistematika Penulisan ... 11

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pengertian Tindak Pidana ... 14

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 20

D. Kejahatan... 25

E. Kejahatan Pemerasan ... 29

F. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan ... 36

G. Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemerasan... 37

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Jenis dan Sumber Data ... 44


(8)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46 E. Analisis Data ... 47 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 49 B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Pelaku

Tindak pidana Pemerasan Terhadap Kepala

Sekolah di Kabupaten Tanggamus ... 50 C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan

Tindak Pidana Pemerasan Terhadap Kepala Sekolah

Di Kabupaten Tanggamus ... 55

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 67 B. Saran ... 68


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izin dan limpahan karuniaNya, akhirnya skripsi dengan judul “ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung) ” sampai juga ketepian. Diawal perjalanan tak terperikan banyak aral yang melintang, jika menengok sejenak kebelakang betapa banyak tonggak dan duri yang menghadang, rasa-rasanya skripsi ini tak sanggup penulis selesaikan. Ternyata Yang Maha Kuasa berkehendak lain dan alhamdulillah, baru sebatas inilah yang sanggup penulis berikan melalui akal pikiran dan hati nurani sembari merenung atas ketidaksempurnaan, Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada:

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku pembahas I, yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dan memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.


(10)

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H. selaku pembimbing I, yang telah memberikan masukan dan arahan serta petunjuk kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku pembimbing II, yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan kepada penulis demi sempurnanya skripsi ini dan memberi semangat dan motifasi disaat penulis.

5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.Hum. selaku pembahas I, yang telah memberikan kritikan-kritikan membangun demi sempurnanya skripsi ini. 6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas II, yang telah memberikan

kritikan-kritikan membangun demi sempurnanya skripsi ini.

7. Bapak Elman Eddy Patra, S.H., M.Hum. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini 8. Mbak Sri selaku staff administrasi, terimakasih atas bantuannya.

9. Teman-teman terbaikku Ary, Ferry, Yogi, Heru, Yassin, Eko, Denny, Septriadi, Heni, Suci, Nia, Reza Cobain, Dayat cs poker, Hadi dan Tiara Dwi Lestari yang telah memberikan masukan dalam skripsi ini terima kasih sahabat ku.

10. Untuk pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 11. Almamater yang tercinta

Hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan ridho dan rahmatnya bagi kita semua. Amien.

Bandar Lampung, Penulis


(11)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Hj. Firganefi, S.H., M.H. ………

Sekretaris/ Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ………

Penguji

Bukan Pembimbing : Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003


(12)

Motto

“ Bila kau ingin dicintai , belajarlah mencintai dan bersikap dapat dicintai” .

(Benjamin Franklin )

“ Tawa menyembuhkan berbagai kepedihan”.

(Madeleine L’Engle )

“ Tidak mempunyai kontrol atas perasaan adalah seperti berlayar dengan

kapal tanpa kemudi, yang akan pecah berkeping-keping ketika terbentur

batu karang yang pertama”.


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah kejahatan tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga wajar bila menimbulkan keresahan. Diperkirakan bahwa di daerah perkotaan, kejahatan berkembang dengan bertambahnya penduduk, pembangunan modernisasi dan urbanisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai kualitas dan kuantitas kejahatan. Tingginya kejahatan menimbulkan ketidakamanan dan ketidaktertiban di dalam masyarakat, serta menghambat usaha-usaha pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Salah satu bentuk kejahatan adalah tindak pidana pemerasan. Tindak pidana pemerasan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pemerasan sehingga membuat pelaku pemerasan diberikan hukuman yang berat. Sehingga mereka berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum.


(14)

2

Tindak pidana pemerasan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi. Caranya jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pemerasan. Tugas dan wewenang Kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Bagi mereka yang tertangkap dalam kejahatan ini, hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi berupa pidana terhadap pelaku pemerasan, belum memuaskan rasa keadilan di masyarakat. Pidana maksimum dari tindak pidana pemerasan adalah sembilan tahun.

Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Buku II Bab XXIII KUHP itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut “afpersing” atau “pemerasan” dan “afdreiging” atau “pengancaman”. Tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan”.


(15)

Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56).

Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut.

Berdasarkan tersebut di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Putusan Pengadilan Tentang Pelaku Tindak pidana Pemerasan Terhadap Kepala Sekolah di Kabupaten Tanggamus (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)


(16)

4

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus?

b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus?

2. Ruang Lingkup

Agar tidak terjadi peluasan dalam pembahasan sehingga memungkinkan penyimpangan dari fokus penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana dalam lingkungan hidup yang meliputi: sebagai tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Kota Agung dan permasalahan yang dibahas adalah pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dan yang melatar belakangi putusan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.


(17)

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : 1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai putusan pengadilan tentang pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak kejahatan pemerasan.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selanjutnya undang-undang undang-undang diluar KUHP, seperti Undang-Undang subversi, perpajakan, ekonomi, pelanggaran kesusilaan juga


(18)

6

merumuskan macam-macam perbuatan sebagai bentuk kejahatan, yang diancam hukuman pidana. Ringkasnya, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggar Undang-Undang Pidana (Soejono, 1976: 31).

Pengertian tindak pidana menurut Moeljatno yang dilarang suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi). Selanjutnya dinyatakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum (Soejono, 1976: 31).

Kemudian rumusan yang lebih luas mengenai pengertian tindak pidana menurut Van Bemmelen, tindak pidana adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila dan merugikan, sehingga masyarakat berhak mencelanya dan mengatakan penolakannya atas kelakukan ini dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakukan tersebut (Soejono, 1976: 71).

Tindak pidana yang dilakukan dengan unsur-unsur kesengajaan seperti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 368 KUHP yaitu mengenai tindak pidana pemerasan. Dimana maksud dari kesengajaan disini bahwa pelaku tindak pidana melakukan tindak pidana tersebut bukan karena keadaan terpaksa dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.

Pengertian kejahatan dalam arti yuridis adalah suatu perbuatan yang dipandang telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana, dan yang dengan jelas dinyatakan ketentuan itu adalah mengenai kejahatan. Sistem hukum pidana di Indonesia yang dipakai sekarang adalah pembagian atas Buku I, II, III. Pasal-pasal yang mengatur kejahatan kita jumpai pada Buku II,


(19)

sedang Buku III mengatur pelanggaran. Menurut sistem ini, maka hanya setiap perbuatan yang diancam dengan Buku II (termasuk pula ketentuan pidana khusus) ialah yang disebut kejahatan. Maka seseorang disebut telah melakukan kejahatan, kalau ia telah melakukan suatu perbuatan yang terancam dengan Pasal-pasal Buku II KUHP itu dan harus dapat dibuktikan di depan sidang pengadilan dan harus pula telah memperoleh keputusan hakim yang mengikat. Proses sedemikian itu harus dilalui jika harus mengatakan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan (Arti yuridis).

Pemerasan adalah perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau perbuatan dimana untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara langsung, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal 368 KUHP (Moeljatno, 1993: 56).

Tindak pidana pemerasan itu sendiri dapat digolongkan menjadi suatu tindak pidana dimana perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Menurut Lamintang dan Samosir (1981:163) unsur-unsur kejahatan pemerasan dalam KUHP adalah :

1. Unsur barangsiapa

2. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum

3. Unsur memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu


(20)

8

4. Unsur seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain.

Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003:131).

Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 KUHP yang secara tegas menetapkan, “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya memberikan barang sesuatu, yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Hukum Acara Pidana merupakan sarana hukum yang sangat penting dalam menegakan hukum pidana yang merupakan hukum publik yang mengatur tata cara dan tahapan-tahapan proses penegakan hukum pidana mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan, mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi serta tingkat peninjauan kembali.


(21)

Dalam KUHAP untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah berwenang melakukan penangkapan, dan untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 KUHAP). Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap sesorang yang diduga benar melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP), yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah minimal mempunyai dua alat bukti yang sah. Sebagaimana menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap (2000: 53), untuk menguji apakah suatu penangkapan bertentangan atau tidak dengan undang-undang, menunjuk pada ketentuan Pasal 16 sampai Pasal 19 KUHAP. Putusan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan suatu upaya hukum lagi yang lingkupnya meliputi tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) yang dimintakan langsung kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri tidak dapat bersidang dengan semaunya, hal itu disebabkan karena didalam melakukan persidangan atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan harus diketahui terlebih dahulu apakah tindak pidananya dilakukan dalam daerah kewenangannya.

2. Konseptual

a. Analisis merupakan kajian ilmiah terhadap suatu masalah yang muncul yang memerlukan penyelesaian berdasarkan fakta dan dasar-dasar teori yang ada. (www.e-psikologi.co.id, 2009).


(22)

10

b. Putusan pengadilan merupakan putusan-putusan yang diberikan oleh hakim tertentu merupakan salah satu sumber hukum. Putusan-putusan tersebut dapat dijadikan sebagai barometer pengembangan pandangan dan teori hukum dalam praktek penegakkan hukum sehingga harus diadakan kajian secara tersistem. Akademika hukum memperoleh justifikasi melakukan kajian terhadap putusan pengadilan justru karena putusan itu sendiri sesungguhnya merupakan karya yang dihasilkan dari kegiatan ilmiah dan merupakan sumber serta tolok ukur pengembangan hukum. Dari putusan hakim memang yang sangat diharapkan adalah kekuatan mengikatnya dalam menyelesaikan suatu perkara. Namun putusan itu menjadi suatu harapan tidaklah semata-mata karena sifatnya yang mengikat, melainkan juga bahkan lebih pada kepuasan hukum dan keadilan yang ditimbulkannya. Untuk dapat mencapai putusan seperti itu haruslah terdapat suatu sistem akses terhadap setiap produk litigasi terutama putusan dan juga dakwaan (http://hukumonline.org, 2009). c. Tindak pidana pemerasan diatur mengandung pengertian tindakan yang

dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Moeljatno, 2003: 131).

d. Bentuk-bentuk tindak pidana pemerasan dapat digolongkan menjadi dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam pemerasan dan


(23)

pengancaman, akan tetapi karena kedua macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan” (Lamintang dan Samosir, 1981: 164).

e. Unsur-unsur dari tindak pidana pemerasan hampir sama dengan unsur-unsur dari kejadian “afpersing” kecuali pada daya upaya yang dipakai orang yang melakukan pemerasan, yaitu “membuat malu secara lisan”, “membuat malu secara tertulis” dan “membuka sesuatu rahasia”

(Lamintang dan Samosir, 1981: 171).

F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian


(24)

12

Kejahatan dan Jenis-Jenis Kejahatan, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pemerasan, Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pemerasan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus dan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus

V. PENUTUP

Di dalam bab ini dibahas mengenai Kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan Saran-saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

B. Simandjuntak, 1981 Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 1993, Rineka Cipta, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung.

Sajono, Pengantar Ilmu Kepolisian, 1964. Himpunan Kuliah Stensilan, Jakarta, Soekanto, Soejono, 1976. Pengantar Kejahatan dan Patologi Sosial, Tarsito,

Bandung


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban berasal dari kata Tanggung jawab dimana menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998: 591).

Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan ,pidan berdasarkan KUHP.


(27)

B. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief, 1996:152-153).

Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of sosial engineering). Roscoe Pound (1992: 43) menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.

Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.


(28)

15 Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983: 15).

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983:15), dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung


(29)

proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo (1983: 23-24), membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan Ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank (1991: 121), juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Sedangkan Lawrence M. Friedman (1977, 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.


(30)

17 Friedman (1977, 16) menambahkan pula komponen yang Keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda (Roger Cotterrell, 1984:25).

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of sosial engineering dari Roscoe Pound (1989: 51), atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja (1986:11) disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk


(31)

dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat (Max Weber, 1988: 483 ).

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Sunaryati Hartono, 1991 53).

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Saleh, Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur


(32)

19 serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang (Roeslan Saleh, 1979: 12).

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaan in concreto). Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan


(33)

menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981:193).

Menurut Lamintang (1981:193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan 3. Macam-macam maksud atau oogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad 5. Perasaan takut atau vress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Sedangkan menurut Marpaung (1998: 25-26) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur pokok, yakni :

Unsur pokok subjektif : 1. Sengaja (dolus) 2. Kealpaan (culpa)


(34)

21 Unsur pokok objektif :

1. Perbuatan manusia

2. Akibat (result) perbuatan manusia 3. Keadaan-keadaan

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum (Abdul Hakim, 1994: 295). Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni :

1. Kesengajaan (Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij

Zekerheids-Bewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 1996:. 65-72.).

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.


(35)

Dalam Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.


(36)

23 Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.


(37)

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan, dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya. D. Kejahatan

1. Pengertian Kejahatan

Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang Pidana (Bawengan, 1997: 39).

Di dalam perumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum :

“Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP.

Sedangkan kejahatan dalam artian kriminologis adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak susila dan merugikan yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut (Roeslan Saleh, 1981: 18).


(38)

25 Selanjutnya semua tingkah laku yang dilarang oleh undang-undang harus disingkirkan. Barangsiapa yang melanggarnya, dikenai pidana. Maka larangan-larangan dam kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara itu tercantum dalam undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah, baik yang di pusat maupun yang di daerah. Sumber hukum lainnya yang harus ditaati oleh setiap warga negara adalah keputusan-keputusan praktek pengadilan (yurisprudensi). Sebab, di dalamnya tercantum ketentuan-ketentuan undang-undang dan kesatuan-kesatuan pemikiran dasar oleh pengadilan, untuk melaksanakan undang-undang (B. Simandjuntak, 1981: 182).

Maka dalam prakteknya, pengadilan juga bisa dipandang sebagai badan pembentuk hukum, yang turut menentukan tindakan-tindakan mana yang dapat digolongkan sebagai kejahatan dan dapat dijatuhi pidana.

Menurut Sue Titus dalam Soejono Soekanto (1981: 44), hal-hal yang perlu diperhatikan bagi perumusan kejahatan adalah :

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja, dalam hal ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada sesuatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak;

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

Perihal tindakan kejahatan ini, JE. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro (1987:12) menyebutkan : kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara.

Perbuatan tersebut diberi hukuman pidana karena melanggar norma-norma sosial masyarakat, yaitu harapan masyarakat mengenai tingkah laku yang patut dari seseorang warga negara.


(39)

Menurut JE. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro (1987:11) tindakan kejahatan itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek sosial, ialah jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri, atau perbuatan menyimpang dengan sadar atau tidak sadar dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan.

2. Aspek yuridis, ialah jika seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Dalam hal ini jika seseorang belum dijatuhi hukuman berarti orang tersebut belum dianggap sebagai penjahat. 3. Aspek ekonomi, ialah jika seseorang atau lebih dianggap merugikan

orang lain dengan membebankan kepentingan ekonominya kepada masyarakat di sekelilingnya sehingga ia dianggap menghambat atas kebahagiaan orang lain.

Kekuatan-kekuatan ekspresif yang mencakup faktor-faktor psikologis dan biologis dengan kekuatan-kekuatan normatif, jika tidak terjadi ketidakserasian yang kemudian menimbulkan ketidakseimbangan negatif, maka akan menyebabkan timbulnya tindakan kejahatan.

Perkembangan tindakan kejahatan tentunya dapat menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat. Pendapat tentang pendorong timbulnya tindakan kejahatan sangat banyak dikemukakan oleh para ahli, pendapat yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Walaupun demikian, terdapat unsur-unsur yang secara prinsipal menunjukkan persamaan-persamaan.


(40)

27 2. Jenis-jenis Kejahatan

a. Jenis-jenis Kejahatan Menurut Penggunaan Istilah

Penggunaan istilah kejahatan, dapat dibedakan atas tiga jenis sesuai dengan penggunaannya (Bawengan, 1997: 5):

1) Kejahatan dalam arti praktis

Banyak kita jumpai dalam percakapan sehari-hari. Kalimat-kalimat seperti “teman yang jahat” atau “orang yang jahat” ialah penggunaan kata dalam arti praktis itu.

2) Kejahatan dalam arti religis

Suatu pengertian yang mengidentikkan “jahat” dengan “dosa”. Jahat dan dosa dalam arti yang religis itu merupakan sinonim. Berbuat dosa adalah kejahatan dan sebaliknya berbuat jahat adalah dosa, selalu dikaitkan pula dengan kepercayaan akan adanya penghukuman di akhirat nanti.

3) Kejahatan dalam arti yuridis

Harus benar-benar dibedakan dari Pertama jenis pengertian di atas. Setiap perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan, harus tercantum di dalam undang-undang.

Perbuatan mencuri digolongkan sebagai kejahatan, oleh karena itu tercantum dalam Pasal 368 KUHP. Kita melihat bahwa perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan dalam arti yuridis itu, adalah perbuatan yang diancam dengan pasal-pasal dalam Buku Pertama KUHP atau perbuatan lain yang dianca oleh pidana khusus, misalnya Hukum Pidana Ekonomi atau militer dan sebagainya.

b. Jenis-jenis Kejahatan Menurut Golongan “Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik”

Menurut Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jenis-jenis kejahatan yang termasuk ke dalam golongan “kejahatan yang ditujukan terhadap hak milik dan lain-lain hal yang timbul dari hak milik” atau apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut “Misdrijven tegen de eigendom en de daaruit voortvloeiende zakelijke rechten” adalah kejahatan-kejahatan (Lamintang dan Samosir, 1981: 7):

1. Pencurian atau diefstal 2. Pemerasan atau afpersing 3. Penggelapan atau verduistering


(41)

4. Penipuan atau bedrog, dan 5. Pengrusakan atau vernieling.

Di dalam ilmu pengetahuan atau doctrine ada pendapat lain, yaitu pendapat dari D. Simons (1984: 54), yang menghendaki agar juga kejahatan “pemudahan” atau “begunstiging” dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ini, dengan alasan bahwa di dalam kejahatan “pemudahan” tersebut terdapat perbuatan “penadahan” atau “heling”.

Menurut D. Simons (1984: 55), perbuatan “penadahan” itu sangat erat hubungannya dengan kejahatan-kejahatan seperti pencurian, penggelapan atau penipuan. Dan justru karena adanya orang yang melakukan “penadahan” itulah, orang seolah-olah dipermudah maksudnya untuk melakukan pencurian, penggelapan dan penipuan.

E. Kejahatan Pemerasan

1. Pengertian Kejahatan Pemerasan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XXII mengatur tentang pemerasan dan pengancaman. Kejahatan pemerasan diatur dalam Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain (Lamintang dan Samosir, 1981: 8).


(42)

29 Adapun unsur-unsur kejahatan pemerasan dalam KUHP adalah (Lamintang dan Samosir, 1981: 163):

1. Unsur barangsiapa

2. Unsur dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum

3. Unsur memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu

4. Unsur seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain. 2. Bentuk-bentuk Kejahatan Pemerasan

Bentuk-bentuk kejahatan pemerasan yang diatur dalam Buku II Bab XXIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut “afpersing” atau “pemerasan” dan “afdreiging” atau “pengancaman”. Akan tetapi karena Pertama macam perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, tentu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka Pertama kejahatan tersebut biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan”.

Bentuk kejahatan yang disebut “afpersing” yang diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut :

(1) “Hij die, met het bogmerk om zich of een ander wederrechtelijk de voordelen, door geweld of bedreiging mer geweld itmand dwingt, zij tot de afgifte ve eening doed dat geheel of ten deele aan od aan een derde toebehoort, hetzij tot het aangaan van eene of het tenietdoen van eene inschult, werdt, ais schulding aan affersing, gestraft mer gevangenisstraf van ten hoogste negen garen”

(2) “De bepalingen van het tweede, derde en vierde lid van artikel zijn op dit misdrijf zan toepassing


(43)

Atau yang di dalam Bahasa Indonesia berbunyi (Lamintang dan Samosir, 1981: 164):

(1) “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa orang lain, baik untuk menyerahkan sesuatu benda yang keseluruhan atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dari pada orang yang dipaksa, ataupun untuk membuat suatu pinjaman atau meniadakan piutang, maka ia karena salah telah melakukan pemerasan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

(2) “Ketentuan-ketentuan tersebut di dalam ayat dua, tiga, empat Padal 365 berlaku untuk kejahatan ini”.

Sedangkan bentuk kejahatan yang disebut “afaneiging” diatur di dalam Pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut :

(1) “Hij die, met hel bogmerk om zich of een ander wederrechtelijk voordelen, door bedreiging met smaad, smaadschift of penbarich een geheim, iemand dwingt, het zij tot de ofgifte van eening ooed dot geheel pf ten deele aan dezen of aan een derde toebehoort, net zij tot het aangaan van eene schuld of het tenietdoen van eene inschuld. Wordt als schulding aan afdreiging. Gestraft met gevenenisstraft van

ten hoogste vier jare”.

(2) “Dit misdirijf worat niet vervolgd don op klachtte van hem tegen het

geplegd is”.

Atau yang di dalam bahasa Indonesia berbunyi (Lamintang dan Samosir, 1981: 168):

(1) “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, dengan mengancam untuk membuat malu baik dengan lisan maupun secara tertulis ataupun untuk membuka sesuatu rahasia, memaksa orang lain, baik untuk menyerahkan suatu benda yang seluruhnya atau sebahagian adalah kepunyaan orang lain dari pada orang yang dipaksa, ataupun untuk membuat suatu pinjaman atau meniadakan piutang, maka karena salah telah melakukan pengancaman, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

(2) Kejahatan ini tidak dapat dituntut kecuali atas pengaduan oleh orang yang dirugikan”.


(44)

31 Pasal 368 Ayat (2) KUHP menentukan, bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Ayat (2), (3) dan (4) Pasal 365 KUHP juga berlaku bagi kejahatan pemerasan ini. Ini berarti bahwa (Lamintang dan Samosir, 1981: 167) :

1) Jika kejahatan pemerasan dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah tempa kediaman atau dilakukan di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya bediri sebuah tempat kediaman atau jika kejahatan tersebut dilakukan di jalan umum atau di atas kereta api atau trem yang sedang bergerak;

2) Jika kejahatan pemerasan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;

3) Jika kejahatan pemerasan itu untuk dapat masuk ke tempat kejahatan dilakukan dengan perbuatan-perbuatan membongkar, merusak, memanjat, memakai kunci-kunci palsu, dengan perintah palsu atau memakai seragam palsu;

4) Jika kejahatan pemerasan itu menyebabkan terjadinya luka berat pada seseorang;

5) Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun;

6) Selanjutnya kejahatan pemerasan itu, apabila sampai menyebabkan matinya orang lain, maka pelakunya diancam dengn hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Unsur-unsur dari kejahatan “afdreiging” di atas, hampir sama dengan unsur-unsur dari kejadian “afpersing” yang telah dibicarakan terlebih dahulu, kecuali pada daya upaya yang dipakai orang yang melakukan pemerasan, yaitu “membuat malu secara lisan”, “membuat malu secara tertulis” dan “membuka sesuatu rahasia”. Perbuatan memeras orang lain dengan mempergunakan ancaman berupa “akan membuka rahasia” itu disebut juga “chantage”. Sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 369 Ayat (2), kejahatan afdreiging ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang diperas.


(45)

Selanjutnya Pasal 370 KUHP menentukan, bahwa terhadap kejahatan afpersing dan afdreiging ini diberlakukan juga ketentuan yang terdapat pada Pasal 367 KUHP, yang berarti bahwa (Lamintang dan Samosir, 1981: 171):

1) Apabila seorang suami melakukan sendiri pemerasan atau membantu orang lain yang melakukan pemerasan terhadap isterinya ataupun bilamana seorang isteri melakukan sendri pemerasan atau membantu orang lain yang melakukan pemerasan terhadap suaminya, sedangkan hubungan suami isteri itu tidak ada “pemisahan harta kekayaan” di antara mereka maka tidak dapat dituntut;

2) Apabila pemerasan itu diakukan oleh seorang suami terhadap bekas isteri nya ataupun dilakukanoleh seorang isteri terhadap bekas suaminya, dimana hubungan suami isteri tersebut telah diputuskan oleh suatu perceraian atau di antara mereka telah terjadi “pemisahan harta kekayaan”, atau apabila pemerasan itu dilakukan oleh anggota keluarga baik dalam garis lurus ke bawah maupun dalam garis miring lurus ke bawah maupun dalam garis miring ke samping sampai tingkat Pertama, maka terhadap mereka itu hanya dapat dilakukan penuntutan, apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Jadi perbedaan antara kejahatan afpersing atau pemerasan dengn afdreiging atau pemaksaan adalah bahwa (Lamintang dan Samosir, 1981: 169-170):

1. Pada Kejahatan afpersing atau pemerasan :

a. Daya upaya yang digunakan hanyalah kekerasan atau ancaman kekerasan; b. Ancaman hukumannya adalah sembilan tahun hukuman penjara dengan

kemungkinan dapat diperberat;

c. Kejahatan ini dapat dituntut tanpa perlu adanya pengaduan. 2. Pada kejahatan afdreiging atau pemaksaan :

a. Daya upaya yang digunakan adalah ancaman untuk membuat malu secara lisan ataupun secara tertulis atau dengan ancaman akan membuka rahasia; b. Ancaman hukumannya hanyalah empat tahun hukuman penjara, tanpa ada

kemungkinan untuk dapat diperberat;

c. Kejahatan ini hanya dapat dituntut atas pengaduan.

Adapun kesamaannya adalah sseperti telah dikatakan di atas, bahwa Pertama-duanya merupakan kejahatan pemerasan.


(46)

33 3. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan

Cavan mengemukakan pendapat Alexander dan Staub (1981: 36) yang membagi sebab-sebab terjadinya kejahatan atas empat golongan, ialah :

1) The nerotic criminal, ialah mereka yang melakukan kejahatan sebagai akibat konflik-konflik kejiwaan;

2) Normal criminal, ialah mereka yang sempurna akal atau berkeadaan sehat, tetapi menentukan jalan hidupnya sebagai penjahat;

3) The defective criminal, ialah mereka yang melakukan kejahatan sebagai akibat gangguan jasmani dan jiwani;

4) The acute criminal, ialah mereka yang melakukan kejahatan karena terpaksa atau akibat keadaan khusus.

Alexander (1981: 37-38) dengan landasan prinsip-prinsip psychoanalisa untuk mempelajari penyebab-penyebab kejahatan mengemukakan pula perbedaan antara criminal dan non-criminal bahwa mereka yang tidak melakukan kejahatan adalah manusia-manusia yang mampu untuk mengendalikan desakan-desakan kriminal (criminal drives) dan memperoleh jalan keluar dengan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum. Kemampuan untuk mengendalikan nasfsu-nafsu primitif itu adalah hasil yang diperoleh melalui jalan pendidikan. Dengan kata lain, menurut Alexander :

Criminality, generally speaking, is not congenital defect but defect in the bringing up”.

Kejahatan, pada umumnya bukanlah suatu cacat pembawaan, melainkan cacat yang terjadi dalam pertumbuhan. Baik seorang neurotic maupun seorang penjahat, Alexander (1981: 37-38), masing-masing merasakan sebagai korban ketidakmampuannya untuk memperoleh penyelesaian dalam konflik-konflik yang mereka hadapi. Masalah pokok yang menyebabkan meningkatnya kejahatan


(47)

adalah disebabkan oleh ketidakseimbangan psychologis antara peraturan-peraturan di dalam masyarakat pada satu pihak dan kepuasan-kepuasan yang dapat dinikmati oleh anggota-anggota masyarakat di lain pihak”.

Selain itu pula, sebab-sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dari : a. Lingkungan Keluarga

Kata-kata yang sering kita kemukakan adalah bahwa segala sesuatu akan tergantung pada kondisi dan situasi. Istilah kondisi dan situasi itu lebih tepat daripada menggunakan istilah “tergantung pada keadaan”.

Berbicara tentang kondisi dan situasi, adalah dua kata yang memiliki arti luas dan dalam. Lingkungn keluarga sebagai faktor yang akan menentukan ke arah mana pertumbuhan pribadi.

Ada tiga alasan yang mengarahkan pada persoalan lingkungan keluarga (Saheroji, 1980: 12):

1. Bahwa lingkungan keluarga adalah suatu kelompok masyarakat yang Pertama-tama dihadapi oleh setiap anak-anak, oleh karena itu maka lingkungan tersebut memegang peranan utama sebagai permulaan pengalaman untuk menghadapi masyarakat lebih luas nanti.

2. Bahwa lingkungan keluarga merupakan kelompok Pertama yang dihadapi oleh anak dan karena itu ia menerima pengaruh-pengaruh emosional dari lingkungan itu. Kepuasan atau kekecewaan, rasa cinta dan benci akan mempengaruhi watak anak lingkungan keluarga adalah suatu kelompok masyarakat yang Pertama-tama dihadapi oleh setiap anak-anak, oleh karena itu maka lingkungan tersebut memegang peranan utama sebagai permulaan pengalaman untuk menghadapi masyarakat lebih luas nanti. 3. Bahwa lingkungan keluarga merupakan kelompok Pertama yang dihadapi

oleh anak dan karena itu ia menerima pengaruh-pengaruh emosional dari lingkungan itu. Kepuasan, mulai dibina dalam lingkungan itu dan akan bersifat menentukan untuk masa-masa mendatang.


(48)

35 b. Lingkungan Sosial

Sesudah lingkungan keluarga, maka terdapat pula lembaga-lembaga sosial yang demikian penting fungsinya sehubungan dengan tingkah laku anggota masyarakat itu, misalnya sekolah.

Sekolah memegang peran yang sangat besar dalam kehidupan anak-anak jika hendak dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Sekolah telah dipandang sebagai lembaga yang mempunyai andil besar dalam rangka pembentukan watak manusia. Di sanalah anak-anak diseleksi dan dikembangkan bakat-bakatnya, di sana pula dipersiapkan manusia-manusia yang kelak akan memangku jabatan-jabatan tertentu.

Berhubungan setiap hari dengan anak didik, membuat guru mampu untuk melihat sikap anak-anak yang bertendensi delinkuensi dan adalah kewajiban guru untuk meluruskan watak yang demikian itu untuk diarahkan pada sikap-sikap positif.

Murid-murid berdatangan dari berbagai golongan masyarakata yang terdiri bukan saja dari perbedaan kelas, misalnya kelas buruh, tani, kaya, miskin dan sebagainya-tetapi juga datang dari lingkungan dan tipe keluarga yang berbeda-beda : misalnya keluarga brokenhome, anak pungut, anak tiri, anak kandung dan sebagainya (Saheroji, 1980: 24).

c. Ekonomi

Latar belakang ekonomi, pengaruhnya lebih terarah terhadap kejahatan-kejahatan yang menyangkut harta benda, kekayaan dan perniagaan atau hal-hal lain sejenisnya.

Terlebih dahulu kita perlu membedakan antara pengertian-pengertian “kejahatan terhadap harta benda” dan “kejahatan ekonomi”. Kejahatan terhadap harta benda dalam hukum pidana Inggris biasanya disebut crime


(49)

against poverty and possesion untuk dibedakan dengan crime against person, dan crime against public order and the safety of the state (Saheroji, 1980: 24).

Di dalam KUHP, kita menjumpai kejahatan harta benda itu, misalnya pencurian, penipuan, pemerasan yang kita kemukakan di atas tadi banyak menerima pengaruh ekonomi. Hal ini kita bedakan dengan kejahatan ekonomi, oleh karena itu di Indonesia kita mengenal adanya tindak pidana ekonomi yang diikuti dengan pembentukan badan-badan peradilan ekonomi. Walaupun perkara-perkara pencurian, penipuan dan pemerasan banyak berlatar belakangkan keadaan ekonomi, tetapi delik-delik itu merupakan bagian daripada KUHP dan oleh karena itu bukanlah delik ekonomi.

F. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemerasan

Kejahatan pemerasan perbuatannya sangat merugikan. Oleh karena itu, hendaknya harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi. Caranya jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanakan tugas sekaligus mengantisipasi peningkatan kejahatan pemerasan ini. Di samping itu juga bagi mereka yang tertangkap dalam kejahatan ini hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi yang berupa pidana terhadap pelaku pemerasan belum dapat memuaskan rasa keadilan di masyarakat, karena rendahnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku pemerasan. Pidana maksimum dari tindak pidana pemerasan adalah 9 (sembilan) tahun.


(50)

37 Buku II KUHP, dasar hukum pemberantasan kejahatan pemerasan itu sendiri yaitu (Moeljatno, 1981: 84):

Pasal 368 KUHP

(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Ketentuan Pasal 365 ayat Pertama, Ketiga dan Keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Pasal 369 KUHP

(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran nama baik dengan lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi utang menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Kejahatan itu tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.

Pasal 370 KUHP

Ketentuan Pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini.

Pasal 371 KUHP

Dalam pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dapat dinyatakan pencabutan hak-hak tersebut pada pasal 35 nomor 1-4.

G. Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemerasan

Berdasarkan Pasal 12-49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum bahwa dalam Pengadilan Negeri terdapat susunan anggota majelis hakim atau hakim anggota yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Jurusita dan Sekretaris.


(51)

Masing-masing dari mereka memiliki tugas dan peranan yang berbeda. Hal tersebut dilakukan guna memudahkan pemantauan atas perilaku dan perbuatan yang dilakukan oleh para anggota hakim.

Dalam Paragraf Pertama Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum mangatur mengenai susunan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim yang diterjemahkan dalam Pasal 12 yang menyatakan bahwa :

"Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman".

Mengenai pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Pembinaan dan pengawasan terhadap hakim tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Hakim Pengadilan Negeri dalam menjalankan tugasnya tidak diperbolehkan merangkap menjadi pelaksana putusan pengadilan, wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya. Hakim Pengadilan Negeri juga tidak diperbolehkan merangkap sebagai penasehat hukum kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.

Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat diberhcntikan dcngan hormat dari jabatannya karena atas permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri, tidak cakap dalam menjalankan tugasnya dan yang terakhir karena telah meninggal dunia.


(52)

39 Tetapi ada alasan lain seorang hakim pengadilan negeri dapat diberhentikan dari jabatanya secara tidak terhormat. faktor penyebabnya adalah telah melakukan perbuatan tercela atau dipidana karena telah melakukan suatu kejahatan, melaikan kewajibannya sebagai seorang hakim dan melanggar sumpah jabatan.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 28 Ayat (1) menyatakan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya dalam melakukan proses pemberian bentuk rasa keadilan bagi rakyat pencari keadilan para hakim dituntut mempunyai pengetahuan dan mampu memahami nilai-nilai hukum yang berlaku sesuai dengan perkembangan tindak kejahatan yang terjadi di lapangan.

Hakim juga wajib mempunyai Penafsiran, Integritas dan pengetahuan tinggi guna menjaga kemungkinan dari adanya suatu tindak pidana yang tidak diatur dalani undang-undang khususnya KUHP, jadi tidak terjadi alasan tidak ada aturan hukum dalam melakukan proses pengadilan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 77 menyatakan bahwa : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan yang melaksanakan kewenangan untuk memeriksa dan memutus terhadap Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh pengadilan negeri adalah kewenangan Praperadilan.


(53)

Terhadap Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak Ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak Ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Kewenangan Hakim Pengadilan Negeri dalam menangani suatu tindak pidana diatur oleh KUHAP dalam Pasal 84 ayat lyang menyatakan bahwa :

"Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya".

Artinya jelas bahwa Pengadilan Negeri berdasarkan tugas dan kewenangannya berhak melakukan suatu proses peradilan bagi rakyat pencari keadilan pada tahap Pertama berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal tersebut dinyatakan karena terhadap putusan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri masih dapat dilakukan suatu upaya hukum lagi yang lingkupnya meliputi tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) yang dimintakan langsung kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri tidak dapat bersidang dengan semaunya, hal itu disebabkan karena didalam melakukan


(54)

41 persidangan atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan harus diketahui terlebih dahulu apakah tindak pidananya dilakukan dalam daerah kewenangannya.

Kewenangan mengadili yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri diatur juga di dalam KUHAP Pasal 84 ayat 2 yang menyatakan :

"Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya hanya berwenang mengadili perkara yang perkaranya terjadi Pengadilan Negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negtri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya tindak pidananya dilakukan".

Apabila seseorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. Terhadap beberapa perkara pidana yang salu sama lain ada sangkut pautnya dilakukan oleh seseorang dalam dacrah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka dapat diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman atau menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain dari pada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.

Artinya terhadap penyelesaian perkara tersebut dapat diselesaikan oleh pengadilan negeri lain yang tidak memiliki kewenangan dalam mengadili perkara tersebut demi menjamin adanya kepastian hukum guna mendapatkan putusan yang adil


(55)

dan tidak diskrimintif. Atas suatu tindak pidana yang dilakukan diluar negeri, maka terhadap penyelesaiannya dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia dan yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 86 KUHAP.

Hal tersebut diatur sebagai konsekwensi dari adanya Hukum Internasional yang disepakati sebagai suatu bentuk perjanjian Internasional baik Bilateral maupun Multilateral. Kewenangan hakim Pengadilan Negeri diatur juga dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa :

"Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat Pertama".

Pengadilan Negeri bukanlah suatu bentuk pengadilan yang dapat melakukan proses persidangan secara umum, dengan pengertian lain bahwa Pengadilan Negeri juga tidak bersifat privat atau khusus. Proses persidangan dalam Pengadilan Negeri bersifat tcrbuka untuk umum, kecuali terhadap bentuk kasus yang bersifat privat dapat dilakukan persidangan secara tertutup berdasarkan ketentuan undang-undang. Dari ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri terselenggara sebagai suatu bentuk Pengadilan yang tercipta sebagai bentuk peradilan tingkat Pertama yang berfungsi mengadili terhadap perkara pidana dan perkara perdata.


(56)

43

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996

B. Simandjuntak, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung, 1981 _____________, Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung. 1981

Bawengan, G.B. 1997. Masalah Kejahatan dengan Sebab Akibat, Pradnya Paramita, Jakarta

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. hlm. 53.

Cotterrell, Roger. The Sociology of Law an Introduction, London: Butterworths, 1984.

Friedman, Lawrence M, Law and Society an Introduction, New Jersey: PrenticeHall Inc, 1977.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta.

______________________, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978.

Lawrence M. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, 1984

Moeljatno, 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito,

Bandung


(57)

_____________ , Pengantar Filsafat Hukum, Jakar-ta: Bhratara, 1989.

Rahardjo, Satjipto , Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983. Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1978.

__________, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.

Saheroji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980. _______, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980

Saleh, Roeslan,. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta. 1998.

_______________, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-Undangan, Jakarta: Bina Aksara, 1979.

_____________, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1981.

Soejono, Soekanto, Kriminologi, Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1981

_______________, Kriminologi, Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, 1981, Jakarta.

_______________, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983

_______________, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:Rajawali, 1983.

Syani, Abdul , Sosiologi Kriminalitas, Remadja Karya, Bandung.1987. ___________, Sosiologi Kriminalitas, Remadja Karya, Bandung, 1987

Weber, Max dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1988.


(58)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normative terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-Undang tindak pidana pemerasan dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan pidana pemerasan. 2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian hukum yang dapat


(1)

67 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus berupa Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan,

sedangkan menurut Pasal 365 KUHP disebutkan bahwa “Jika kejahatan

pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Salah satu tindak pidana pemerasan adalah terhadap kepala sekolah oleh oknum wartawan yang ditangani Pengadilan Negeri Kota Agung, yaitu dengan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA dengan terdakwa Faturohman Bin Suhairi dan Sibron Bin Usman Hasan dengan tuduhan pemerasan dengan kekerasan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 368 Ayat (1) KUHP terdakwa dipidana kurungan (penjara) masing-masing selama 4 (empat) bulan. Putusan yang diberikan oleh Hakim terdakwa hanya dipidana penjara selama 4 bulan, sedangkan menurut Pasal 368 KUHP disebutkan

bahwa “Jika kejahatan pemerasan tersebut diperberat ancaman hukumannya

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”, inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian antara putusan hakim dan tuntutan Jaksa dalam penanganan kasus pemerasan tersebut.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan di masa mendatang sebagai berikut : 1. Dalam dasar penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan hakim harus


(2)

68 pemberian hukuman pidana bagi pelaku tindak pemerasan akan lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pemerasan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pemerasan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(3)

PANDUAN WAWANCARA

Identitias Informan Nama : Umur : Jabatan :

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang melatarbelakangi kejahatan tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus? Jawab:

………. ………. ………. ………. 2. Apa yang menjadi dasar dalam memutus perkara kejahatan tindak

pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus? Jawab:

………. ………. ………. ………. 3. Menurut Bapak/Ibu apakah putusan yang diberikan pada pelaku tindak

pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus telah sesuai dengan KUHP?

Jawab:

………. ………. ………. ………. 4. Apakah dengan pemberian putusan tersebut akan membuat jera pelaku

tindak pidana pemerasan terhadap kepala sekolah di Kabupaten Tanggamus? Jawab: ………. ………. ………. ……….


(4)

Judul Skripsi : Analisis Putusan Pengadilan Tentang Pelaku Kejahatan Tindak Pidana Pemerasan Terhadap Kepala Sekolah di Kabupaten Tanggamus (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

Nama Mahasiswa : Hendri Azwansyah No. Pokok Mahasiswa : 0542011139

Program Studi : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Hj. Firganefi, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP. 19631217 198803 2 003 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana


(5)

(6)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kupersembahkan kehadirat Allah SWT

Dzat yang tiada bandingnya yang telah menjadikan

segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah,

Dengan segala kerendahan hati

Kupersembahkan karya kecilku ini kepada:

Bak & Mak tercinta.. yang telah membesarkan dan mendidikku

dengan penuh kesabaran dan kasih saya

ng, yang selalu berdo’a

disetiap waktu demi kesuksesanku,

Anakmu tersayang.

Ayukku: Fitri A.Md, Nana, SP, & Adiiku Yeni yang tersayang yang

telah membuatku menjadi lebih dewasa, tegar, dan lebih bijaksana


Dokumen yang terkait

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

0 7 19

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TENTANG PELAKU KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN TERHADAP KEPALA SEKOLAH DI KABUPATEN TANGGAMUS (Studi Kasus Putusan Nomor: 06/Pid.B/2009/PN.KTA Pada Pengadilan Negeri Kota Agung)

1 10 88

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.)

0 45 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SERTIFIKAT JUAL BELI TANAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No 659/PIDB/2011)

0 9 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 313/Pid.B/2011/PN.GS jo 96/Pid/2012/PT.TK)

2 48 72

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN TANAH PLTU (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.22/PID.TPK/2012/PN.TK )

0 8 49

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)

3 20 96