TINJAUAN PUSTAKA Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Retribusi Pasar Di Kabupaten Klaten Didik Sudiarto

commit to user 13

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi pihak-pihak terkait antara lain sebagai berikut : 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi mengenai upaya pengoptimalan penerimaan retribusi pasar dalam rangka peningkatan penerimaan retribusi daerah sebagai salah satu komponen sumber Pendapatan Asli Daerah; 2. Bagi Pemerintah Kabupaten Klaten dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan penetapan target dan pengelolaan retribusi pasar, hal ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan PAD guna menunjang pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan, dalam banyak hal tidak dapat dildepaskan dari proses pertumbuhan suatu Negara. Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa. Penjajah telah commit to user 14 menerapkan desentralisasi yang bersifat sentralistis, birokratis dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Penjajah Belanda menyusun suatu hierarki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jendral. Decentralisatie Wet pada tahun 1903 yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewes identik dengan provinsi, regentschap Kabupaten, dan Staatsgemeente Kotamadya. Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan system pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang Kuncoro; 2002 :2. Tahun 1966 pemerintah orde baru orba telah membangun suatu pemerintah nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik sebagai panglima telah diganti dengan ekonomi sebagai panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam konstelasi politik yang baru ini militer telah menempati posisi yang paling atas dalam hirarki kekuasaan. Kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah yang mendasari terbentuknya Undang-undang nomor 5 tahun 1974 yang mengatur Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip : Pertama, commit to user 15 desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan atau daerah tingkat atasnya kepada daerah kedua, Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga,tugas perbantuan medebewind yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif Kuncoro; 2002 :4. Titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah KabupatenKota dengan dasar pertimbangan : Pertama, dimensi politik, Daerah KabupatenKota dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Daerah KabupatenKota adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Daerah KabupatenKota yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul kepermukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasa warsa 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat commit to user 16 dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang komplek dan penuh ketidak pastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Pemikiran birokratik diawali oleh Niskanen 1968:7, dalam pandangannya, posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan keputusan publik. Birokrat berperilaku memaksimisasi anggaran sebagai proksi kekuasaannya, kuantitas barang publik disediakan pada posisi biaya rata-rata sama dengan harganya. Biaya marginal lebih tinggi daripada harganya, kuantitas barang publik menjadi tersedia terlalu banyak, sehingga transfer akan menurunkan harga barang publik dengan demikian memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran. Niskanen 1968 : 6 juga berpendapat bahwa penerimaan transfer tak bersyarat bukan menjadi substitut bagi upaya pengumpulan penerimaan dari daerah sendiri. Otonomi daerah otda dicanangkan oleh pemerintah pusat tanggal1 Januari 2001, banyak yang mempertanyakan apakah otomatis akan terjadi perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. ”Lagu” yang berkumandang di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia adalah sentralisasi baca : kontrol dari pusat yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia Kuncoro, 1995. Satu nusa, satu bangsa diterjemahkan dalam satu perencanaan dan satu komando pembangunan, keseragaman. Birokrat di daerah sudah terlanjur biasa commit to user 17 menunggu “petunjuk” dari pusat dan tuntunan dari atas. Sentralisasi birokrasi maupun konsentrasi geografis aktifitas bisnis kearah pusat kekuasaan dan modal menjadi keniscayaan, sehingga pembangunan pun bisa kekawasan barat Indonesia, khususnya Jawa dan daerah Metropolitan Kuncoro, 2002 : 19. 1. Pemerintah Daerah Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18-A dan 18-B disana disebutkan dan dijelaskan bahwa : Negara Indonesia terbagi dalam daerah Propinsi dan daerah propinsi terbagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil. Daerah yang bersifat otonom atau administratif, semuanya diatur dalam undang-undang.Otonomi merupakan perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memperdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional, selain itu otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Tujuan otonomi daerah dapat dibedakan dari dua sisi kepentingan yaitu kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kepentingan pemerintah pusat tujuan utamanya adalah pendidikan, politik, pelatihan kepemimpinan menciptakan stabilitas, politik dan menciptakan commit to user 18 demokratisasi system pemerintahan di daerah. Kepentingan daerah ada tiga tujuan yaitu Smith, 1985 dalam Abdul Hakim, 2004: 23 : 1 mewujudkan political equality peran serta masyarakat dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal atau daerah; 2 menciptakan local accountability kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat; 3 mewujudkan local responsiveness mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi daerah.Pemberian otonomi daerah secara utuh kepada kabupaten dan kota, menuntut daerah bisa memenuhi unsur-unsur mutlak yang harus ada untuk dapat dikatakan sebagai daerah otonom. Unsur tersebut adalah Joseph Riwo Kaho, 1996: 92 : 1 mempunyai urusan rumah tangganya sendiri, yaitu urusan-urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk diatur dan diurusnya;2 urusan-urusan tersebut diatur sesuai dengan kebijaksanaannya dan diurus sesuai pula dengan inisiatif atau prakarsa sendiri;3 urusan-urusan rumah tangga daerah tersebut diselenggarakan oleh perangkat itu sendiri. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 2 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan commit to user 19 DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem perekonomian baik pada sistem kapitalisme maupun sosialisme, pemerintah selalu memainkan peran yang sangat penting. Konseptor kapitalisme murni Smith 1776, dalam A. Tony Prasentiantono; 1994:3 berteori, bahwa pada dasarnya pemerintah sebuah negara mempunyai tiga fungsi pokok sebagai berikut : 1 memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan; 2 menyelenggarakan keadilan; 3 menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, misalnya prasarana jalan, bendungan. Smith 1776, dalam A. Tony Prasentiantono; 1994 : 4 berpendapat, bahwa dalam perekonomian kapitalisme, seseorang akan melakukan hal-hal yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri, artinya bahwa lingkup aktivitas pemerintah sangat terbatas, yaitu hanya pada beberapa kegiatan yang tidak dapat dilakukan oleh pihak swasta. Pemerintah mempunyai peranan dan wewenang untuk mengatur, memperbaiki, atau mengarahkan aktivitas sektor swasta, oleh karena pihak swasta pun juga tidak dapat mengatasi masalah perekonomian secara global.Sistem perekonomian modern, peran pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori berikut : 1 peran alokasi, 2 peran commit to user 20 distribusi, 3 peran stabilisator. Pemerintah berkewajiban menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat dihasilkan oleh pihak swasta. Pokok permasalahannya adalah seberapa besar pemerintah harus menyediakan barang publik, karena keterbatasan kemampuan anggaran pemerintah. Penyediaan barang publik dalam jumlah yang besar akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumber-sumber ekonomi, sebaliknya penyediaan barang dan jasa publik yang terlalu sedikit akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. A.C. Pigou berpendapat, bahwa penyediaan barang publik akan memberi manfaat utility bagi masyarakat, sebaliknya pajak yang dikenakan akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat disutility. Barang dan jasa publik yang disediakan oleh pemerintah semakin banyak, maka tambahan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat akan semakin menurun. 2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang Nomor12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa, Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan atas Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, keuangan Negara dapat dijelaskan : 1 commit to user 21 untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara propinsi dan kabupaten dan kodya yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah; 2 dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan menjadi wewenang daerah. Pentingnya posisi keuangan daerah, Pamudji menegaskan seperti yang dikutip olehKaho 1995: 124: Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan. Pembangunan dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang. Daerah tidak mungkin dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dan pembangunan yang telah direncanakan tanpa adanya uang atau dana yang cukup. 2.2. Kebijakan Peningkatan Pendapatan Daerah Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, Provinsi commit to user 22 dan KabupatenKota juga diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Perubahannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 di dalamnya memuat 16 jenis Pajak Daerah, yaitu 5 jenis pajak Provinsi dan 11 jenis pajak KabupatenKota. Jenis pajak Provinsi ditetapkan secara limitatif, sedangkan pajak KabupatenKota selain yang ditetapkan dalam undang-undang dapat ditambah oleh daerah sesuai dengan potensi yang ada dan harus sesuai dengan kriteria pajak yang ditetapkan dalam undang-undang. Penetapan tarif definitif untuk pajak Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tarif definitif untuk pajak KabupatenKota diserahkan sepenuhnya kepada tiap-tiap daerah, dengan mengacu kepada tarif tertinggi untuk masing-masing jenis pajak, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pengaturan lebih lanjut mengenai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Bab II Bagian Kesatu Pasal 2 tentang Jenis Pajak terbagi atas : 1 jenis Pajak Provinsi terdiri atas a pajak kendaraan bermotor, b bea balik nama kendaraan bermotor, c pajak bahan bakar kendaraan bermotor, d pajak air permukaan, dan e pajak rokok, 2 Jenis Pajak KabupatenKota terdiri atas a pajak hotel, b pajak restoran, c pajak hiburan, d pajak reklame, e commit to user 23 pajak penerangan jalan, f pajak mineral bukan logam dan batuan,g pajak parkir, h pajak air tanah, i pajak sarang burung walet, j pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan k bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 BAB IV mengatur tentang Retribusi. Objek dan Golongan Retribusi terdiri dari 30 jenis retribusi daerah, yaitu 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha, dan 5 jenis retribusi perizinan tertentu. Pemungutan retribusi untuk golongan jasa umum dan perizinan tertentu dilakukan berdasarkan kewenangan tiap-tiap daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota.Golongan jasa umum adalah pelayanan yang wajib disediakan oleh Pemerintah Daerah. Golongan jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah karena pelayanan sejenis belum memadai disediakan oleh swasta atau dalam rangka optimalisasi pemanfaatan aset Daerah, sementara golongan perizinan tertentu adalah pelayanan pemberian izin tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Pemungutan retribusi oleh Daerah dapat dilakukan sesuai dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan atas pemberian izin tertentu. Jenis jasa dan perizinan tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak yang dapat dikenakan retribusi. commit to user 24 1. Pendapatan Asli Daerah PAD Sumber pendapatan asli daerah meliputi : 1 hasil pajak daerah, 2 hasil retribusi daerah, 3 hasil perusahaan milik daerah,4 lain-lain usaha daerah yang sah. Sumber pendapatan tersebut diharapkan menjadi sumber-sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat. Sektor pajak dan reiribusi daerah merupakan sektor pendapatan asli daerah yang diterima secara rutin. Besarnya penerimaan dari sektor pajak dan retribusi daerah untuk tiaptiap daerah berbeda-beda, tergantung pada pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Mengenai pengenaan pajak daerah, dan retribusi daerah atas penyediaan jasa, pemerintah daerah telah menyederhanakan berbagai jenis retribusi berdasarkan penggolongan jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 menyebutkanJenis Pajak KabupatenKota terdiri atas 1 pajak hotel, 2 pajak restoran, 3 pajak hiburan, 4 pajak reklame, 5 pajak penerangan jalan,6 pajak mineral bukan logam dan batuan, 7 pajak parkir, 8 pajak air tanah, 9 pajak sarang burung walet, 10 pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan 11 bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Retribusi diatur dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Objek dan Golongan Retribusi terdiri dari 30 jenis retribusi daerah, commit to user 25 yaitu 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha, dan5 jenis retribusi perizinan tertentu. Pemungutan retribusi untuk golongan jasa umum dan perizinan tertentu dilakukan berdasarkan kewenangan tiap-tiap daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota. Pemungutan jenis retribusi yang termasuk dalam golongan jasa usaha dilakukan sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh daerah. Daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis retribusi baru sesuai dengan kriteria retribusi yang ditetapkan dalam undang-undang. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah yang mampu memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah, oleh karena itupajak daerah dan retribusi daerah harus dipungut dan dikelola secara lebih professional. Pelaksanaan pembangunan kegiatan penyediaan jasa oleh pemerintah daerah untuk kepentingan umum yang semakin meningkat makaakan dapat menunjang usaha peningkatan perekonomian daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah yang sangat potensial bagi keuangan daerah. Sektor pajak daerah dan retribusi daerah merupakan penunjang bagi keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pamerintahan dan biaya pembangunan daerah. commit to user 26 2. Retribusi Daerah Pengertian Retribusi Daerah Kaho 1996: 119 Retribusi Daerah adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara atau merupakan iuran, kepada Pemerintah yang dapat dipaksakan, dan jasa balik yang secara langsung dapat ditunjuk paksakan disini bersifat ekonomis, karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran tersebut. Ciri-ciri pokok retribusi daerah menurut Kaho 1996 :119 adalah sebagai berikut : 1 retribusi dipungut oleh daerah; 2 dalam pemungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah secara langsung dapat ditunjuk; 3 retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan atau mengenyam jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah. 3. Retribusi Pasar. Pengertian Pasar Santoso, 1995 : 3 adalah suatu lahan atau tempat dimana tempat terjadi jual beli barang dan jasa yang di dalamnya terdapat dua belah pihak, yang satu pembeli dan yang satu sebagai penjual. Mereka saling memuaskan kebutuhannya dimana suatu barang dan jasa ditawarkan kemudian terjadilah perpindahan hak milik atas barang atau jasa dari penjual ke pembeli. commit to user 27 Retribusi Pelayanan Pasar yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa umum yang meliputi pelayanan dan penyediaan fasilitas pasar yang berupa tempat dasaran, los dan atau kios yang dikelola Pemerintah Daerah Perda Nomor 3 Tahun 2005. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2005 pasal 1 berbunyi: 1. Pasar adalah tempat yang diberi batas tertentu terdiri atas halamanpelataran, bangunan berbentuk los dan atau kios dan bentuk lainnya, yang khusus disediakan untuk pedagang barang dan jasa yang dikelola oleh Pemerintah Daerah; 2. Pasar Daerah adalah pasar yang diselenggarakan di atas tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah; 3. Pasar Desa adalah pasar yang diselenggarakan di atas tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Desa; 4. Los adalah bangunan tetap di dalam lingkungan pasar yang berbentuk bangunan beratap memanjang tanpa dinding, yang pemakaiannya terbagi dalam petak-petak tempat dasaran; 5. Kios adalah bangunan tetap di pasar yang berbentuk bangunan beratap dan dipisahkan dengan dinding pemisah mulai dari lantai sampai dengan langit-langit serta dilengkapi dengan pintu; commit to user 28 6. Halaman Pasar adalah bagian lahan pasar yang bersifat terbuka tanpa atap dan dapat dipergunakan untuk memperjual belikan barang atau jasa secara insidentil atau adegan; 7. Tempat Titipan Kendaraan adalah bagian bangunan di lingkungan Pasar yang dipergunakan untuk menempatkan danatau menitipkan kendaraan; 8. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi; 9. Kas Daerah adalah Kas Pemerintah Kabupaten Klaten; Pasal 9 ayat 1 berbunyi : 1. Struktur tarif digolongkan berdasarkan pelayanan dan jenis fasilitas yang terdiri atas halamanpelataran, los dan atau kios, jenis dagangan, letak, kelas pasar dan jangka waktu pemakaian; 2. Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Pasal ini berupa perijinan, pengadaan Kartu Tanda Pedagang, dan penyediaan fasilitas pasar. Tabel 2.1Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi Pasar di Kabupaten Klaten Tahun 2005 No. Tempat UsahaFasilitas TARIF PER M2 PER HARI Rp Ruko Toko Kios Los Daging Los Umum Ruangan Halaman 1 2 3 4 5 6 7 I. II. PASAR : 1. Lantai I 2. Lantai II 3. Lantai III PERTOKOAN - 150 - 150 150 150 50 100 300 300 150 - 100 100 50 - 200 - 100 - commit to user 29 Sumber : Perda Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2005. Tabel 2.2Retribusi Dasaran Pasar yang dibangun Pemerintah Kabupaten KELAS PASAR JENIS DAGANGAN TARIF PER M2 PER HARI Rp KIOS LOS HALAMAN I.AB II.AB III.AB a. Daging b. Non Daging a. Daging b. Non Daging a. Daging b. Non Daging 200 100 200 50 100 50 500 250 500 200 400 200 400 200 400 200 350 200 Sumber : Perda Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2005. 3. Retribusi dasaran adegan di luar pasar dikenakan 2 dua kali lipat dari tarip adegan dalam, dengan ketentuan apabila daya tampung pedagang di dalam pasar sudah maksimalpenuh. 4. Retribusi BongkarMuat : - Pick-up dan kendaraan roda empat yang sejenis, sebesar Rp.1.000,- sekali bongkarmuat - Truck atau kendaraan muat roda 6 atau lebih sebesar Rp.2.000,- sekali bongkar. 5. Retribusi Kamar Mandi WC : - Hajat Kecil, sebesar : Rp. 200,- sekali pemakaian - Hajat Besar, sebesar : Rp. 400,- sekali pemakaian - Mandi, sebesar : Rp. 500,- sekali pemakaian 6. Retribusi Kartu Tanda Pedagang tidak termasuk past photo pedagang sebesar Rp. 3.000,-pedagang 7. Retribusi Ijin Tempat Dasaran : commit to user 30 - Los, sebesar : Rp.10.000,-Ijin - Halaman Pasar, sebesar : Rp. 5.000,-Ijin 8. Bea Balik Nama Tempat Dasaran : - Los, sebesar : Rp.100.000,-Ijin - Halaman Pasar, sebesar : Rp. 50.000,-Ijin 9. Retribusi Ijin Merubah, Menambah Bangunan sebesar 10 dari Nilai Konstruksi Bangunan. 2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi pasar di Kabupaten Klaten. Dalam penelitian ini meliputi 4 variabel yang mempengaruhinya dengan asumsi variabel di luar penelian ini dianggap konstan,adapun variabel yang diteliti adalah sebagai berikut : 1. JumlahPedagang Adegan adalah totalitas jumlahorang yang mempunyaiaktivitas di pasarsebagaipenjualbarangjasa yang menempatihalamanpasar, yang diukur dengan angka dalam satuan orang setiap pasar. 2. Jumlah Pedagang Kios adalah totalitas jumlahorang yang mempunyaiaktivitas di pasarsebagaipenjualbarangjasa yang menempatikios, yang diukur dengan angka dalam satuan orang setiap pasar. commit to user 31 3. Jumlah Pedagang Los adalah totalitas jumlah orang yang mempunyaiaktivitas di pasarsebagaipenjualbarangjasa yang menempati los, yang diukur dengan angka dalam satuan orang setiap pasar. 4. Hari aktifitas adalah jumlah hari aktifitas pasar untuk melakukan transaksi jual-beli dan hari hidup tergantung masing-masing pasar, ada harian dan pasaran jawa : paing, pon, wage, kliwon dan legi. Adapun hari aktifitas pasar yaituaktifitas harian sejumlah 365 hari tahun; 2.4. Penelitian terdahulu. 1. Hasil penelitian oleh Bambang Suwandana 2001 berjudul “ Analisis Faktor Penentu Penerimaan Retribusi Pengelolaan Pasar Kota Surakarta Tahun 2001” sebagai berikut : Variabel jumlah pedagang pasar dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah penerimaan retribusi pengelolaan pasar. Variabel jumlah petugas penarik retribusi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penerimaan retribusi pengelolaan pasar. Variabel jumlah penduduk tidak signifikan terhadap jumlah perimaan retribusi pengelolaan pasar. Variabel yang paling dominan berpengaruh adalah jumlah pedagang pasar. 2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Subekti 2002 berjudul “ Analisis Variabel-Variabel yang mempengaruhi Pendapatan Retribusi Pasar Pada Dinas Pasar di Kabupaten Ngawi” adalah sebagai berikut : commit to user 32 Variabel jumlah pedagang berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi pasar. Variabel luas lahan juga berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi pasar. 3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulia Indah Cintami 2006 berjudul “ Analisis Sumbangan Retribusi Pasar Terhadap PAD Kabupaten Boyolali adalah sebagi berikut : Variabel luas pasar berpengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar.Variabel jumlah los tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. Variabel luas pasar dan jumlah los secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu No Peneliti, tahun Variabel Metode Hasil 1. Bambang Suwandana, 2001 - Jumlah pedagang - PDRB - Jumlah petugas penarik retribusi - Jml penduduk Regresi linier berganda • Variabel jumlah pedagang pasar dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah penerimaan retribusi pengelolaan pasar. • Variabel jumlah petugas penarik retribusi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penerimaan retribusi pengelolaan pasar. • Variabel jumlah penduduk tidak signifikan terhadap pene-rimaan retribusipengelolaan pasar. • Variabel yang paling dominan berpengaruh adalah jumlah pedagang pasar. Lanjutan tabel 2.2 ……………… No Peneliti, tahun Variabel Metode Hasil 2. Subekti, 2002 - Jumlah pedagang - Luas lahan Regresi Linier berganda • Variabel jumlah pedagang ber-pengaruh positif terhadap penerimaan commit to user 33 retribusi pasar. • Variabel luas lahan berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi pasar, 3. Yulia Indah Cintami, 2006 - Luas Pasar - Jumlah Los Regresi Linier berganda • Variabel luas pasar ber- pengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. • Variabel jumlah los tidak berpengaruh signifikan ter- hadap penerimaan retribusi pasar. • Variabel luas pasar dan jumlah los secara bersama- sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. Sumber : Penelitian terdahulu, Bambang Suwandana, 2001; Subekti, 2002; Yulia Indah Cintami, 2006. 2.5. Kerangka pemikiran. Penerimaan Retribusi Pasar dapat diukur dengan melihat dari jumlah pedagang adegan, jumlah pedagangkios, jumlah pedaganglos dan hari aktifitas.Jumlah pedagang adegan, jumlah pedagangkios, jumlah pedaganglos dan hari aktifitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar.Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam penelitian ini dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut : Gambar 2.1. Diagram Skematis Kerangka Pemikiran. 2.6. Hipotesis Hipotesisdalampenelitianiniadalah : JUMLAH PEDAGANG ADEGAN, JUMLAH PEDAGANG KIOS, JUMLAH PEDAGANG LOS, HARI AKTIFITAS PENERIMAAN RETRIBUSI PASAR commit to user 34 1. Diduga secara bersama-sama bahwa jumlah pedagang adegan, jumlah pedagang kios, jumlah pedagang los dan hari aktifitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. Secara parsialpengaruh masing-masing variabel sebagai berikut : 1. Diduga jumlah pedagang adegan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. 2. Diduga jumlah pedagang kios berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. 3. Diduga jumlah pedagang los berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar. 4. Diduga hari aktifitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar.

BAB III METODE PENELITIAN