ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI RUMAH TANGGA BERBASIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU DARI EKOSISTEM MANGROVE DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

(1)

MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

Oleh

MAYANG HARIS WAHYUKINASIH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

Pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI RUMAH TANGGA BERBASIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU DARI EKOSISTEM

MANGROVE DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Oleh

Mayang Haris Wahyukinasih1), Christine Wulandari2), Susni Herwanti3) E-mail : [email protected]

Kawasan hutan mangrove di Indonesia umumnya telah mengalami degradasi akut tidak terkecuali yang ada di Kabupaten Lampung Timur. Keadaan itu karena banyaknya masyarakat yang mengeksploitasi hutan mangrove tanpa memperhatikan akan pentingnya konservasi dalam pemanfaatannya. Pengembangan industri rumah tangga berbasis hasil hutan bukan kayu ekosistem mangrove perlu dilakukan agar tekanan terhadap pemanfaatan hutan mangrove dapat direduksi seperti perlu dikembangkan usaha industri rumah tangga yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok di Desa Margasari. Agar diperoleh indikator keberlanjutan usaha industri rumah tangga tersebut maka perlu diketahui kelayakan finansial industri rumah tangga yang sudah ada. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2013 dengan tujuan untuk menganalisis kelayakan usaha pengolahan daun jeruju (Acanthus ilicifius) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) menjadi berbagai produk olahan dan menganalisis simulasi tingkat suku bunga dan harga untuk menentukan kebijakan fiskal demi perkembangan usaha. Responden yang ada dalam penelitian adalah semua pelaku usaha industri rumah tangga Karya Wanita dan Peduli Lingkungan Hidup (PLH). Penentuan responden dilakukan secara purposive, metode yang digunakan berupa observasi dan wawancara langsung sedangkan analisis kelayakan usaha yang digunakan adalah Gross B/C. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengolahan daun jeruju (Acanthus ilicifius) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) kelompok karya wanita yang layak karena memiliki nilai Gross B/C lebih dari 1 dengan tingkat suku bunga 24% adalah pangsit dengan nilai 1,10 dan peyek (1,04) untuk kelompok peduli lingkungan hidup (PLH) produk yang layak adalah peyek (1,42). Produk yang memiliki nilai Gross B/C lebih dari 1 dengan tingkat suku bunga 12 % untuk kelompok karya wanita adalah peyek (1,09), pempek (1,02), pangsit (1,10), dan sirup (1,009). Kelompok peduli lingkungan hidup memiliki produk yang layak hanya peyek (1,48).


(3)

(4)

(5)

v DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

SANWACANA……..………. vi

PERSEMBAHAN………... viii

RIWAYAT HIDUP………. ix

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR GAMBAR ……….. xi

DAFTAR TABEL……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiii

I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….... 1

B. Perumusan Masalah………. 4

C. Tujuan Penelitian…... 5

D. Manfaat Penelitian…………... 5

E. Kerangka Pemikiran……….. 6

II.TINJAUAN PUSTAKA……….. 8

A. Ekosistem Hutan Mangrove... 8

B. Produksi Hutan Mangrove... 10

C. Pengelolaan Hutan Mangrove... 14

D. Karakteristik Hutan Mangrove di Lampung... 16

E. Hasil Hutan Bukan Kayu dan Pengelolaannya... 17

F. Industri Rumah Tangga... 18

G. Analisis Finansial………...…... 19

III. METODE PENELITIAN………...……….. 21


(6)

B. Alat dan Responden Penelitian….……….... 21

C. Batasan Penelitian………. 21

D. Metode Penelitian……….. 22

1. Jenis Data……… 23

2. Metode Pengambilan Sampel……….. 23

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data……… 25

3.1. Analisis Biaya dan Pendapatan……….. 25

3.2. Gross B/C Ratio………. 26

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………..……….. 27

A. Kondisi Fisik Wilayah.………. 27

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk……… 29

1. Jumlah Penduduk……… 29

2. Tingkat Pendidikan………. 30

3. Mata Pencaharian………. 31

4. Suku dan Agama……….. 31

5. Prasarana Ekonomi……….. 31

6. Kelompok Usaha………. 32

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 34

A.Identifikasi Produk Olahan Daun Jeruju dan buah Pidada….…… 34

B. Analisis Gross B/C Kelompok Karya Wanita……….……… 35

C.Analisis Gross B/C Kelompok PLH……….………..… 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………. 43

A.Kesimpulan……… 43

B. Saran………. 44

DAFTAR PUSTAKA………. 45

LAMPIRAN Foto Kegiatan Pengolahan Daun Jeruju……..………... 51


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut (Murdiyanto, 2003).

Menurut ITTO (2012), luasan hutan mangrove di Indonesia mencapai 31.890 km2 dan merupakan negara yang memiliki luasan hutan mangrove terbesar di Asia Tenggara. Provinsi Lampung mempunyai potensi kawasan hutan seluas 1.004.735 hektar atau 30,43% dari luas total daratan Provinsi Lampung. Luasan Hutan Mangrove yang ada di Provinsi Lampung mencapai 10.533,676 hektar (Bakosurtanal 2009 dalam Kordi 2012).

Menurut Kustanti (2011), hutan mangrove di Provinsi Lampung berada di sepanjang pantai kurang lebih 1.105 km (termasuk beberapa pulau) dan memiliki sekitar 69 pulau. Wilayah pantainya dapat dibagi menjadi 4 wilayah yaitu Pantai Barat (210 km), Teluk Lampung dan Selat Sunda (160 km) dan Pantai Timur (270 km).

Vegetasi mangrove yang ada di Kabupaten Lampung Timur memiliki ketebalan yang agak tipis, yaitu bervariasi antara 50 hingga 150 meter.


(8)

Hamparan mangrove di daerah ini membujur dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Way Penet (perbatasan kawasan Taman Nasional Way Kambas) di wilayah ini selain tumbuhan alami, mangrove juga ditanam oleh instansi kehutanan setempat (Ariyanto, 2007).

Hutan mangrove terletak pada perbatasan darat dan laut. Keberadaan hutan tersebut dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi ini menciptakan zona payau (percampuran antara air tawar dan air asin). Pada zona payau ini tercipta suatu formasi mangrove yang bernilai ekonomi tinggi, yang terdapat pada batas bagian daratan dan batas pasang tertinggi. Zonasi tersebut adalah nipah (Nypa fruticans). Nipah juga merupakan jenis penyusun formasi hutan mangrove bernilai ekonomi tinggi. Jenis-jenis ekonomi tinggi lainnya adalah Phoenix paludosa dan Metroxylon sagu (Kustanti, 2011).

Desa Margasari merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur yang mendapat perhatian dari Lembaga Pengkajian dan Penelitian (LPP) melalui proyek rehabilitasi mangrove pada tahun 1995 dan 1996 dengan bantuan Jepang (Ariyanto, 2007). Setelah adanya rehabilitasi tahun 1995 dan 1996 tersebut, kondisi hutan mangrove Desa Margasari semakin baik dan bertambah luas. Luas hutan mangrove pada tahun 1995-1996 adalah 100 hektar dan pada tahun 2012 luas bertambah menjadi 700 hektar atau bertambah 85% selama 17 tahun, pertambahan luas tersebut terjadi karena adanya gerakan menanam yang dilakukan oleh mayarakat sekitar dan LMC (Lampung Mangrove Center). Adanya pertambahan luas mangrove menunjukkan kondisi hutan mangrove yang semakin membaik, hal tersebut harus tetap dijaga dan


(9)

dikelola dengan baik agar ekosistem hutan mangrove di Desa Margasari tetap lestari (Monografi Desa Margasari, 2012).

Menurut Kadariah (1999), analisis finansial adalah analisis suatu proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Dalam analisis finansial yang diperhatikan, yaitu hasil untuk modal saham (equality capital) yang ditanam dalam proyek, hasil yang harus diterima oleh para petani, pengusaha, perusahaan swasta, suatu badan pemerintah, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pembangunan proyek. Hasil finansial sering

juga disebut “ private returns” (Fahmi, 2012).

Aneka produk dan jasa dari hutan mangrove telah banyak dirasakan manfaatnya oleh manusia. Produk dan jasa tersebut dapat berasal dari komponen biotik maupun abiotik. Produk-produk yang dapat dihasilkan berupa kayu dan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penambah pendapatan masyarakat. Tidak semua produk yang dihasilkan oleh hutan mangrove memiliki nilai yang diketahui oleh masyarakat untuk dimanfaatkan salah satunya daun jeruju dan buah pidada. Pengolahan daun jeruju dan buah pidada yang diolah oleh anggota kelompok usaha menambah pendapatan para anggota industri rumah tangga tersebut. Usaha industri rumah tangga seringkali dihadapkan pada banyaknya kendala seperti permodalan dan akses terhadap layanan publik, sehingga kelayakannya seringkali berubah apalagi industri rumah tangga di pedesaan.


(10)

Mengingat pentingnya kebersinambungan industri rumah tangga ini terhadap hutan mangrove maka diperlukan intervensi kebijakan agar kelayakan industri rumah tangga dapat ditingkatkan terutama dengan subsidi biaya atau subsidi harga. Namun, belum diketahui kelayakan usaha industri rumah tangga yang telah dilakukan sehingga perlu dihitung kelayakan usahanya agar masyarakat lebih mengetahui pentingnya konservasi mangrove dan menekan eksploitasi akan mangrove dan menentukan skenario alternatif kebijakan fiskal melalui penurunan suku bunga dan harga untuk jenis-jenis produk industri rumah tangga tersebut agar menjadi layak untuk dilakukan.

B. Perumusan Masalah

Produktivitas hasil hutan mangrove baik berupa hasil kayu dan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat akan menambah pendapatan. Hasil hutan bukan kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari hutan mangrove antara lain daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) seperti yang dilakukan oleh beberapa anggota karya wanita dan peduli lingkungan hidup (PLH) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Produktivitas hutan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Gross B/C Ratio agar diketahui nilainya apakah layak atau tidak jika dijadikan usaha dan menentukan skenario alternatif kebijakan fiskal melalui penurunan suku bunga dan harga untuk jenis-jenis produk industri rumah tangga tersebut agar menjadi layak untuk dilakukan.


(11)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kelayakan usaha pengolahan daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) menjadi berbagai produk olahan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

2. Menentukan skenario alternatif kebijakan fiskal melalui penurunan suku bunga dan harga untuk jenis-jenis produk industri rumah tangga tersebut agar menjadi layak untuk dilaksanakan di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

D.Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat pengembangan hasil hutan bukan kayu pada ekosistem mangrove menjadi berbagai produk olahan, sehingga dapat dijadikan salah satu pilihan usaha yang berguna untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

2. Memberikan masukan atau saran kepada otoritas publik pengelola hutan mangrove dan pengambil kebijakan yakni Pemerintah Daerah dan Pusat serta Lampung Mangrove Canter (LMC) dalam pengembangan pengelolaan Hutan Mangrove dan pengembangan industri rumah tangga pengolahan hasil hutan bukan kayu.


(12)

E.Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis yang memiliki nilai ekonomi, produktivitas primer, dan produktivitas sekunder yang tinggi seperti ikan, hewan-hewan laut, buah dan kayu dari pohon mangrove tersebut. Oleh sebab itu dilakukan penelitian untuk mengetahui kelayakan usaha hasil hutan bukan kayu berupa daun jeruju dan buah pidada pada ekosistem mangrove yang di lakukan oleh anggota kelompok karya wanita dan PLH. Metode observasi dan wawancara langsung dengan panduan kuesioner digunakan untuk mengetahui biaya-biaya yang dipergunakan pada masing-masing pengolahan daun jeruju (Achantus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) menjadi kerupuk, peyek,

pangsit, pempek, “teh”, sirup, dan dodol. Setelah itu data diolah

menggunakan metode Gross B/C dan disajikan dalam tabel lalu dianalisis secara deskriptif sehingga diketahui kelayakan usaha pada masing-masing produk.

Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan apakah usaha pengolahan daun jeruju dan buah pidada layak dilaksanakan serta menentukan skenario alternatif kebijakan fiskal melalui penurunan suku bunga dan harga untuk jenis-jenis produk industri rumah tangga tersebut agar menjadi layak untuk dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan oleh pihak pengelola hutan mangrove di Desa Margasari dan masyarakat dapat mengetahui keuntungan secara finansial dari produktivitas bukan kayu pada ekosistem mangrove.


(13)

Berdasarkan uraian di atas maka bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran. Hutan Mangrove

Hasil Hutan/Produksi

Nilai Finansial

Pemanfaatan Oleh Kelompok Usaha

Analisis Finansial

Gross B/C ratio

Hasil Hutan Kayu Hasil Hutan Bukan Kayu (daun jeruju dan buah pidada)

Karya Wanita Peduli Lingkungan Hidup (PLH)

B/C >1 = Usaha Layak Dilaksanakan B/C < 1 = Usaha Tidak Layak dilaksanakan B/C = 1 = Usaha mengalami impas


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Hutan Mangrove

Menurut Undang-Undang Nomor 41/1999 yang mengatur tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove juga tumbuh pada pantai karang atau daratan terumbu karang yang berpasir tipis atau pada pantai berlumpur (Kordi, 2012).

Istilah mangrove sering juga disebut Bakau yang merupakan jenis dari Marga Rhizophora sebagai individu. Mangrove sebagai vegetasi penghubung faktor biotik dan abiotik saling berhubungan dan saling ketergantungan maka mangrove lebih mengarah pada suatu ekosistem. Ekosistem mangrove adalah ekosistem unik karena terdapat pada daerah peralihan (Ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang mempunyai kaitan erat diantara keduannya. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (2009), luas Hutan Mangrove di Indonesia hanya 3,2 juta hektar. Namun, jumlah itu merupakan 22% dari seluruh ekosistem sejenis di dunia (Theo, 2012).


(15)

Mangrove, ekosistem perantara darat dan laut, memiliki peran sebagai penyangga kehidupan pesisir. Fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai, ketersediaan air bersih dan tawar, hingga fungsi ekonomi untuk tambak sangat dirasakan oleh warga masyarakat pesisir. Data terakhir dari penelitian Universitas Lampung (2006) dalam Setiawan (2012), kawasan hutan mangrove di Lampung Selatan hanya 5 persen, artinya 95 persen kawasan mangrove di lampung telah rusak. Hilangnya hutan mangrove di Lampung pun berangsur-berangsur berdampak pada punahnya tradisi dan budaya lokal. Hampir tak ada lagi kerajinan kain tenun tapis kapal di Lampung Selatan, karena kualitas lingkungan yang terus merosot, hasil tangkapan nelayan semakin berkurang, sehingga sedikit masyarakat yang memilih menjadi nelayan (Setiawan, 2012).

Fungsi ekonomi hutan mangrove antara lain:

1. Sebagai sumber kayu untuk kayu bakar, arang, bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, dan bahan pertanian.

2. Sebagai bahan industri (makanan, obat-obatan, tekstil, penyamak kulit, pulp, rayon dan kertas).

3. Sebagai tempat pertambakan udang dan ikan, tempat pembuatan garam dan juga sebagai tempat rekreasi.

Menurut (Purnobasuki dalam Kordi 2012), pembagian ekosistem mangrove juga berdasarkan struktur ekosistemnya, yang secara garis besar dibagi ke dalam tiga formasi sebagai berikut:


(16)

1. Mangrove Pantai

Pada tipe ini pengaruh air laut lebih dominan dari air sungai. Struktur horizontal formasi ini dari arah laut ke darat dimulai dari tumbuhan pionir (Sonneratia alba), diikuti oleh komunitas campuran Sonneratia alba, Avicennia spp, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora spp dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora-Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicane di belakang komunitas campuran yang terakhir.

2. Mangrove Muara

Pada tipe ini pengaruh air laut sama kuat dengan pengaruh air sungai. Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti campuran Rhizophora-Bruguiera dan diakhiri komunitas murni Nypa spp.

3. Mangrove Sungai

Pada tipe ini pengaruh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas tumbuhan darat.

B. Produksi Hutan Mangrove

Ekosistem Mangrove selain mempunyai fungsi ekologis yang dijelaskan di atas, juga mempunyai potensi dan manfaat ekonomi yang sangat besar. Ekosistem mangrove memberi kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat, devisa untuk daerah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi) dan negara. Produk yang diperoleh dari dari


(17)

ekosistem mangrove berupa kayu bakar, bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, lilin, madu, dan lain-lain (Kordi, 2012).

Tambak merupakan usaha perikanan dalam wilayah tertentu yang dikelola dengan baik sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Sistem pengelolaan tambak yang berasosiasi dengan hutan mangrove mulai dikembangkan dan dikenal dengan istilah Silvofishery atau wanamina. Secara terminologi Silvofishery berasal dari dua kata, yaitu silvo yang berarti hutan dan fishery yang berarti usaha perikanan. Silvofishery adalah sebuah bentuk terintegrasi antara budidaya tanaman mangrove dengan tambak air payau. Hubungan tersebut diharapkan mampu membentuk suatu keseimbangan ekologis, sehingga tambak yang secara ekologis mempunyai kekurangan elemen produsen yang harus di suplai melalui pemberian pakan, akan tersuplai oleh adanya subsidi produsen (biota laut) dari hutan mangrove (Setiawan, 2008).

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Di samping itu, ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground), serta daerah pemijahan (sapwning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar, arang, kulit kayu yang mengahasilkan tanin (zat penyamak), dan lain-lain (Agus, 2011).


(18)

Di beberapa daerah, buah dari tumbuhan mangrove telah diolah menjadi makanan ringan seperti keripik, selai, minuman sirup, kolak, dan dimasak sebagai sayur. Tumbuhan di ekosistem mangrove yang sudah umum diolah sebagai bahan pangan adalah nipah (Nypa fruticans), terutama untuk produksi gula nira atau gula merah (Kordi, 2012).

Aneka produk dan jasa dari hutan mangrove telah banyak dirasakan manfaatnya oleh manusia. Produk dan jasa tersebut dapat berasal dari komponen biotik maupun abiotik. Produk-produk yang dapat dihasilkan berupa kayu dan bukan kayu. Produk kayu dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi ringan, bagan pembuat perahu, jembatan, tiang pancang, kayu bakar, arang, penyamak kulit, tanin, dan pulp. Hasil hutan bukan kayu antara lain adalah kerupuk jeruju, manisan api-api dan propagul, keripik api-api, dodol sonneratia, madu lebah, buah/propagul sebagai sumber bibit, daunan sebagai sumber pakan ternak, terasi, udang, bandeng, kerang-kerangan, aneka kerajinan kulit kerang, ikan belanak, dan lain sebagainya (Kustanti, 2011).

Ranting-ranting kayu mangrove masih merupakan salah satu alternatif sumber energi atau kayu bagi bagian masyarakat. Berdasarkan hasil survei di Pesisir Teluk Kendari menunjukkan bahwa konsumsi kayu bakar per hari rata-rata sebanyak 2 ikat. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa konsumsi kayu bakar setiap minggu 0,035 m3/ha yang diambil langsung dari ranting-ranting pohon mangrove, dengan demikian pengambilan kayu bakar untuk konsumsi selama setahun adalah sebesar 1,82 m3, dengan nilai Rp 455,00 per hektar per tahun (Witjaksono, 2002).


(19)

Potensi hutan mangrove lainnya adalah kayu bakar. Jenis-jenis Rhizophora spp. sangat disukai sebagai kayu bakar. Kayu bakar dapat digunakan untuk pengasapan ikan dan juga untuk memasak air laut guna menghasilkan garam. Fungsi lainnya dari kayu mangrove yang telah dikupas kulitnya adalah sebagai tiang untuk penahanan reklamasi tanah dan industri konstruksi. Kayu dari hutan mangrove lebih tahan lama terendam air dan juga tahan terhadap cacing laut (Kustanti, 2011).

Penerimaan yang diperoleh dari hasil produksi agar-agar adalah sebesar Rp 500.000,00 per produksi. Sedangkan besarnya pendapatan yang diperoleh dalam 20 kotak buah nipah setelah dikurangi dengan biaya produksi sebesar Rp 375.500,00 adalah sebesar Rp 125.000,00 hal tersebut menunjukkan bahwa pengolahan buah nipah menjadi agar-agar layak untuk dilakukan di Kawasan Paluh Merbau, Kabupaten Deli Serdang (Bahri, 2012).

Masyarakat Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur memanfaatkan hasil hutan bukan kayu ekosistem hutan mangrove secara tradisional. Hasil hutan bukan kayu yang telah dimanfaatkan antara lain adalah bagian-bagian pohon seperti buah, daun, kulit batang, akar, dan getah dari komponen mayor (api-api, bakau kecil, bakau besar, pedada, nipah dan teruntum), komponen minor (daun dan buah vegetasi nipah dan getah teruntum), daun, kulit batang, buah, akar, dan getah dari komponen asosiasi seperti vegetasi waru laut, jeruju, tapak kuda, turi, kayu jaran, beluntas, dan jenu (Diansari 2008 dalam Kustanti 2011).


(20)

C. Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan hutan mangrove terpadu adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber daya mangrove antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumber daya alam, khususnya mangrove, harus berdasarkan pada basis filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjaga mangrove dari kerusakan. Sebagai renewable resources, mangrove sepatutnya dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable basis). Pada prinsip pengelolaan ini sumberdaya mangrove harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara ekosistem mangrove itu sendiri dapat dipertahankan secara alami seperti semula (Kusmana, 2009).

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia sangat berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah penduduk, khususnya yang menempati areal disekitar hutan mangrove yang mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara berlebihan dan tanpa memperhatikan unsur pelestarian. Mengingat adanya berbagai fungsi dan peranan hutan mangrove serta banyaknya permasalahan yang timbul sebagai akibat pemanfaatan lahan mangrove, maka dalam pengelolaan mangrove perlu ada pemikiran sebagai berikut:

a. Demi mempertahankan fungsi dan peranan hutan mangrove terhadap ekosistem perairan disekitarnya, maka konservasi areal hutan mangrove


(21)

yang diperuntukan sebagai usaha budidaya, hendaknya dipertimbangkan atau dilakukan studi kelayakan secara seksama, untuk memperoleh kepastian bahwa areal hutan mangrove tersebut cocok untuk budidaya. b. Hutan mangrove hendaknya diberi status peruntukan berdasarkan urutan

prioritas, misalnya hutan lindung, hutan produksi atau hutan wisata sesuai dengan potensi ekosistem setempat.

c. Perlu dilakukan reboisasi terhadap kawasan hutan mangrove yang sudah rusak, sekaligus memberi lapangan pekerjaan kepada para nelayan. d. Perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat akan

nilai ekologis, ekonomis dan sosial serta manfaat dan fungsi hutan mangrove.

e. Mengelola hutan mangrove secara ekologis dan berkelanjutan (Pramudji, 2000).

Pengelolaan sumberdaya hutan mangrove harus dilakukan penetapan tata guna lahan hutan mangrove yang tegas dan terukur pada tingkat nasional, Tata Guna Hutan Mangrove ini harus dilakukan dengan prinsip optimalisasi antara fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomis dengan mempertimbangkan undang-undang/peraturan yang ada seperti UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang penetapan Ruang, KEPRES Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan Kawasan Lindung dan lain-lain yang terkait (Kusmana, 2010).


(22)

D. Karakteristik Hutan Mangrove di Lampung

Wilayah pesisir Lampung merupakan pertemuan antara dua fenomena, yaitu laut (Laut Jawa dan Samudra Hindia) dan darat (Pegunungan Bukit Barisan Selatan dan dataran rendah alluvial di bagian timur Provinsi Lampung). Keadaan alam daerah Lampung dapat dijelaskan sebagai berikut: sebelah Barat dan Selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai lanjutan dari jalur pegunungan Bukit Barisan, di tengah-tengah merupakan dataran rendah, sedangkan ke dekat pantai sebelah timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke Utara, merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas. Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang besar, baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, member pasokan bahan bangunan dan produk-produk lain, maupun untuk melindungi pantai dari ancaman erosi. Vegetasi mangrove di Pesisir Lampung biasanya berasosiasi dengan terumbu karang adalah jenis Bakau (Rhizophora mucronata), pada lahan yang baru terbentuk api-api (Avicennia marina dan Avicennia alba) dan terdapat fauna penting yang tinggal di mangrove Pantai Timur dan Kawasan Teluk yaitu burung air pecuk ular, bangau tontong, millky stork, kuntul atau pacific reef egret, itik, kepiting bakau, udang, dan berbagai jenis ikan (Pemerintah Daerah Lampung, 2000).

E. Hasil Hutan Bukan Kayu dan Pengelolaannya

Pengertian hasil hutan bukan kayu menurut Badan Pangan Dunia (FAO) adalah hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan. Beberapa


(23)

contoh yang dimaksudkan dengan hasil hutan bukan kayu adalah hasil-hasil yang dapat dimakan (seperti kacang-kacangan, jamur, buah, herba, bumbu, dan rempah-rempah, tanaman beraroma, dan satwa), serat (yang digunakan untuk kontruksi, mebel, pakaian dan perkakas), damar, resin, serta hasil tanaman dan binatang yang digunakan untuk obat, kosmetik dan kepentingan budaya.

Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu:

a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.

b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.

c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Hasil hutan bukan kayu telah lama diketahui menjadi komponen penting dari kehidupan masyarakat sekitar hutan. Bagi sebagian besar penduduk, hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu sumber daya penting dibandingkan kayu. Beberapa rumah tangga menggantungkan hidupnya terutama pada hasil hutan bukan kayu sebagai kebutuhan sampingan atau sebagai sumber pendapatan utama. Penduduk Negara berkembang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu untuk kesehatan dan sumber nutrisi. Hasil hutan bukan kayu secara umum dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: golongan nabati dan golongan hewani (Irwanto, 2012).


(24)

F. Industri Rumah Tangga

Industri rumah tangga dalam pemanfaatan sumber daya hutan memiliki prospek yang baik jika mendapat sentuhan manajemen dan investasi. Industri rumah tangga ini telah terbukti dengan limbah dan kerusakan sumber daya minimal, mampu memberikan produk yang cukup diperhitungkan di pasaran. Industri rumah tangga lebih banyak bergerak dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Seiring dengan pergeseran paradigma yang tidak menekankan kayu sebagai satu-satunya produk yang benilai ekonomis dari hutan. Kerja sama internasional akan membangun industri rumah tangga HHBK menjadi area usaha yang memberdayakan ekonomi kerakyatan melalui pendekatan permodelan, sistem pemasaran dan perluasan pasar (Rochmayanto, 2008).

G. Analisis Finansial

Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani sebagai pemilik. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial antara lain, dari segi cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial sering juga

disebut “Private returns”, beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam

analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal (Soetriono, 2011).


(25)

Usaha pengolahan nipah menjadi berbagai produk olahan pada skala rumah tangga di Kecamatan Percut Sei Tuan layak secara finansial untuk olahan berupa agar-agar dan manisan karena nilai RC rationya lebih dari 1 yaitu (1,33 dan 1,10) (Bahri, 2012).

Usaha pembibitan mangrove Wahana Bahari di Desa Percut, Kecamatan Percut Seituan, Deli Serdang layak untuk dijalankan karena R/C ratio yang lebih besar dari satu yaitu jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Soneratia, Bruguiera sp sebesar 1,3 , Rizophora mucronata sebesar 2,5 dan Avicenia marina sebesar 1,2 (Banjarnahor, 2012).

Analisis Net B/C merupakan perbandingan antara Present value dari arus kas bersih dengan present value investasi yang dikeluarkan. Net B/C sering juga disebut sebagai Profitability Indeks, kriteria penilaian dilakukan sebagai berikut, jika Net B/C > 1 maka usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan dan jika Net B/C < 1 maka usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan. Break Event Point yaitu keseimbangan dimana pada titik tersebut jumlah hasil penjualan sama dengan jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan sehingga perusahaan yang bersangkutan pada tingkat pendapatan tertentu tidak memperoleh laba maupun rugi ( Erwanson, 2011).

Nilai NPV dengan tingkat diskonto 12% sebesar Rp. 14.767.360,00. Artinya pengusahaan arang bakau selama umur proyek (20 tahun) mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 14.767.360,00 menurut nilai sekarang. Nilai Net B/C sebesar 4,03 yang berarti jika melakukan investasi Rp1,00 maka selama umur


(26)

proyek (20 tahun) akan mendapat keuntungan sebesar Rp 4,03 per tahun. Nilai IRR didapatkan sebesar 39% yang berarti pengusahaan merupakan peluang bagi investor untuk menanamkan modalnya, karena dari evaluasi finansial didapatkan nilai IRR lebih besar dari pada suku bunga 12%. Secara perhitungannya analisis finansial layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV


(27)

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April sampai dengan Mei 2013.

B. Alat dan Responden Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalkulator, alat tulis, kamera, laptop, dan kuesioner. Sedangkan Objek dalam penelitian ini adalah 2 kelompok usaha hasil hutan bukan kayu yaitu karya wanita dan peduli lingkungan hidup (PLH) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

C. Definisi Operasional

1. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

2. Analisis finansial hutan mangrove merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat manfaat secara finansial pengelolaan hutan mangrove


(28)

dilihat dari besarnya biaya yang dikeluarkan dengan manfaat/penerimaan yang dihasilkan.

3. Biaya variabel adalah semua biaya yang dikeluarkan yang jumlah nilainya tergantung pada jumlah produksi pengolahan kerupuk, peyek, pangsit,

“teh”, pempek, sirup, dan dodol.

4. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh volume baik dalam produksi maupun dalam penjualan, biaya tetap ini termasuk pembayaran bunga, dan depresiasi.

5. Hasil hutan bukan kayu adalah semua barang/bahan yang diambil atau dipanen selain kayu dari ekosistem alam, hutan tanaman dan digunakan untuk keperluan rumah tangga atau dipasarkan.

6. Pengambilan data besarnya biaya dan penerimaan dilakukan pada bulan April- Mei tahun 2013.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara langsung. Observasi adalah pengamatan langsung di lapangan untuk mendeskripsikan lokasi dan lingkungan dari masyarakat yang telah diteliti. Wawancara adalah pengambilan data dengan cara mengadakan tanya jawab dengan responden. Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi sesuai dengan panduan kuesioner yang berisi analisis kelayakan usaha pengolahan daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris).


(29)

1. Jenis Data

Jenis Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.

1.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung menggunakan kuesioner dengan 2 anggota kelompok usaha yang mengolah daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) yaitu karya wanita dan PLH yang ada di Desa Margasari. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan anggota industri rumah tangga, meliputi data harga tiap produk, suku bunga yang berlaku di lokasi penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari produksi pengolahan daun jeruju dan buah pidada, biaya variabel (transportasi, gaji pegawai, dan bahan-bahan produksi), dan biaya tetap (alat-alat produksi) di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

1.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang berasal dari instansi terkait meliputi keadaan umum lokasi penelitian, letak, kondisi fisik, keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan data-data lain yang menunjang penelitian yang berasal dari pencarian di internet, dan studi pustaka.

2. Metode Pengambilan Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah anggota kelompok usaha yang mengolah daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia


(30)

caseolaris). Kelompok usaha dipilih secara sengaja atau purposive sampling. Menurut Singarimbun, Efendi (2008), Purposive sampling adalah metode pengambilan responden tidak secara acak tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu secara sengaja. Industri rumah tangga yang dipilih adalah karya wanita dan PLH karena hanya ada 2 kelompok yang mengolah daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) yang ada di Desa Margasari kedua kelompok ini berdiri masing-masing. Karya wanita terdiri dari 5 anggota dan produk yang dihasilkan dari pengolahan daun jeruju (Acanthus ilicifus) dan buah pidada (Sonneratia caseolaris) yaitu, kerupuk, peyek, pangsit, pempek, teh, sirup pidada, dan dodol pidada. Kelompok karya wanita ini memiliki kegiatan produksi pada setiap bulannya. Kelompok PLH terdiri dari 24 anggota. Produk yang dihasilkan pada anggota kelompok ini tidak jauh berbeda dengan karya wanita yang membedakan kelompok PLH tidak menghasilkan pempek dan teh jeruju. Kelompok ini memiliki kegiatan produksi hanya 2 kali dalam setahun. Menurut Arikunto (2011) pengambilan sampel oleh sebagian atau wakil dari populasi, apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Besarnya responden ditentukan dengan mengambil seluruh jumlah total anggota kelompok industri rumah tangga yang ada di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur yaitu 29 responden.


(31)

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan diolah dan disajikan dalam tabel, kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif. Data-data yang dianalisis berupa data kuantitatif. Analisis data dilakukan dengan memperhatikan variabel-variabel yang telah ditentukan dan selanjutnya dianalisis sesuai tujuan.

3.1 Analisis Biaya dan Pendapatan

Untuk mengetahui kelayakan usaha pengelolaan hutan mangrove dilakukan analisis finansial dengan menggunakan Gross B/C. Menurut Aziz (2003), Fahmi (2012) perhitungan biaya produksi serta penerimaan usaha yaitu:

Biaya Produksi (Rp/Bulan) TC = FC + VC

Penerimaan (Rp/Bulan) TR = P x Q

Keuntungan (Rp/Bulan) I = TR-TC

Keterangan :

FC = Fixed Cost/Biaya Tetap VC = Variabel Cost/Biaya Variabel V = Biaya Variabel per Produk Q = Quantity/ Jumlah produk TR = Total Revenue/Penerimaan Total TC = Total Cost/Biaya Total

P = Price Per Unit/Harga produk per unit I = Income/Pendapatan bersih/Keuntungan


(32)

3.2 Gross B/C

Analisis Gross B/C sama dengan Net B/C, Gross B/C (Gross Benefit Cost ratio) merupakan perbandingan antara present value benefit dengan present value cost, apabila Gross B/C >1, proyek layak untuk dilaksanakan sebaliknya jika Gross B/C <1, proyek tidak layak dilaksanakan. Hasil perhitungan kriteria investasi dalam penyusunan studi kelayakan usaha dapat membantu para pelaku usaha untuk menerima atau menolak usulan usaha, memilih satu dari beberapa alternatif pilihan usaha yang paling layak untuk dilaksanakan. Rumus perhitungan dalam Hasyimi (2012) Gross Benefi Cost adalah sebagai berikut:

Keterangan:

b = Pendapatan (Rp/Bulan) c = Biaya Variabel (Rp/Bulan) k = Biaya tetap (Rp/Bulan)

i = suku bunga per tahun yang berlaku di lokasi (24%) n t t t n t t t i k c i b C GB 1 1 1 ) 1 ( ) ( ) 1 ( /


(33)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

B. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Usaha industri rumah tangga dengan produk olahan daun jeruju dan buah pidada oleh anggota Karya Wanita yang layak dilaksanakan dengan Gross B/C lebih dari 1 dengan tingkat suku bunga 24% per tahun adalah peyek = 1,04 dan pangsit = 1,10. Anggota Peduli Lingkungan Hidup memiliki produk yang layak untuk dilaksanakan untuk industri rumah tangga adalah peyek = 1,42.

2. Pada anggota Karya Wanita produk olahan daun jeruju dan buah pidada dengan melakukan insentif penurunan harga dan tingkat suku bunga UMKM sebesar 12% per tahun dan memiliki nilai Gross B/C lebih dari 1 maka produknya bertambah menjadi pempek = 1,02, dan sirup= 1,01. Pada anggota Peduli Lingkungan Hidup kelayakannya menjadi peyek = 1,48 untuk produk lainnya tidak layak namun meningkat nilainya dari nilai sebelumnya yang menggunakan suku bunga yang berlaku di lokasi yaitu 24%.


(34)

C.Saran

Dari hasil penelitian disarankan kepada kelompok industry rumah tangga Karya Wanita dan Peduli Lingkungan Hidup (PLH) lebih dispesialisasikan memproduksi pangsit dan peyek serta lebih mengembangkan usaha dengan bantuan modal dari UMKM agar meningkatkan pendapatan masyarakat guna mereduksi tekanan terhadap hutan mangrove di Desa Margasari Kecamatan labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.


(35)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S.. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rhineka Cipta.Jakarta.

Ariyanto, R.. 2007. Sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Lampung Timur. Tesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Aswoko, G dan Taqyuddin. 2009. Perhitungan Kelayakan Usaha Gaharu. http://wahanagaharu.blogspot.com/4 September 2010.

Badan Informasi Geospasial. 2010. http://badaninformasigespasial.go.id/luas-hutan-mangrove/ Diakses pada 5 April 2013.

Bakosurtanal. 2010. Peta mangrove Indonesia.

http://www.bakosurtanal.go.id/peta-mangroves-indonesia/ Diakses pada 4 April 2013.

Banjarnahor, R.. 2012. Analisis Kelayakan Finansial dan Strategi Pengembangan Pembibitan Mangrove (Wahana Bahari). Skripsi Universitas Sumatra Utara. Medan.

Bank Indonesia. Suku Bunga. 2013.

http://m.bi.go.id/mweb/id/Ruang+Media/Siaran+Pers/sp-153013-dkom.htm / Diakses pada tanggal 22 September 2013.

Darwanto. 2010. Analisis Efesiensi Usahatani di Jawa Tengah (Penerapan Analisis Frontier). Jurnal. Organisasi dan Manajemen Volume 6 Nomor 1 : 46-57.

Departemen Kehutanan Provinsi Lampung. 1997. Upaya Rehabilitasi Mangrove (Hutan Bakau) Pantai Timur dengan Pola Maringgai dan Pola Kemitraan Provinsi Dati I Lampung. Bandar Lampung. Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Lampung.

Departemen Kehutanan. 1999. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Timur. 2006. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Propinsi Lampung. Lampung Timur.


(36)

Erwanson, R.. 2011. Model PJJ Manajemen Keuangan. Kementerian Pendidikan Nasional Pusat pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pertanian Cianjur.

Fahmi, I.. 2012. Manajemen Produksi dan Operasi. CV Alfabeta. Bandung. Finesso, M.G.. 2012. Mangrove Diandalkan Menyerap Karbon.

http://sains.kompas.com/read/2012/10/08/16085720/mangrove.diandalkan. menyerap.karbonDiakses pada tanggal 21 Maret 2013.

Hiariey, S.L.. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Skripsi. Universitas Terbuka.

Irwanto. 2012. Pengertian dan Definisi Hasil Hutan Bukan Kayu. http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-definisi-hasil-hutan_25.html Diakses pada Tanggal 02 November 2013.

ITTO. 2012. http://www.itto.int/sfm/ Diakses pada tanggal 20 Mei 2013.

Kadariah L, Karlina, dan C. Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kordi K, M.G. H.. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Kurniawan, H.. 2008. Analisis Ekonomi Pengusahaan Arang Bakau oleh Masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kusmana, C.. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. IPB. Bogor.http://mfile.narotama.ac.id/files/Umum/JURNAL%20IPB/PENGEL OLAAN%20SISTEM%20MANGROVE%20SECARA%20TERPADU.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

. 2010. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. IPB. Bogor.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/26315/prosiding_sim posium_penerapan_ekolabel_hutan-22.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

Kustanti, A.. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.

Laila, Nor, Ana Z., dan Achmad J.. 2012. Analisis Pendapatan Usahatani Padi (Oryza sativa) Benih Varietas Ciherang yang Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kecamatan Labuan Amas Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Jurnal. Media Sains Volume 4 Nomor 1.

Maheswara, A.C.F.. 2011. Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Pencegah Tsunami dan Menciptakan Lapangan Kerja.


(37)

http://nevafarrell.blogspot.com/2011/07/pemanfaatan-hutan-mangrove-sebagai.htmlDiakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 57 WIB Mariani, Syarifah M., dan Husinsyah. 2011. Pengaruh Metode Sri (System of

Rice Intensification)Terhadap Pendapatan dan Efesiensi Usahatani Padi (Oryza sativa L.) Sawah di Desa Karang Tunggal Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal EPP Volume 8 Nomor 2 : 17-23.

Monografi Desa Margasari. 2012. Potensi Desa, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi lampung. Lampung Timur.

Nasional Geographic. 2012. Sebanyak 95 Persen awasan mangrove di Lampung Rusak. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/sebanyak-95-persen-kawasan-mangrove-di-lampung-rusak Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 37 WIB

Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, dan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut. 1999. Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Lampung. Bandar Lampung.

Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung. http://www.crc.uri.edu/download/LAM_0001.pdf Diakses pada Tanggal 03 November 2013

Peo, O. M.. 2007. Analisis Finansial Pengusahaan Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit di Kawasan Hutan Mangrove. Skripsi. IPB. Bogor.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Prespektif Hutan Mangrove. Airlangga University press. Surabaya.

Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahannya dan Pengelolaannya.

http://www.oseanografi.lipi.go.id/sites/default/files/oseana_xxv(1)13-20.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

Rangka, Nur A. dan Gunarto. 2012. Pengaruh Penumbuhan Bio Flok pada Budidaya Udang Vaname Pola Intensif di Tambak. Jurnal. Ilmiah Perikanan dan Kelautan Volume 4 Nomor 2.

Rohmayanto, Y.. 2008. Pengembangan Pola Kearifan Lokal Menjadi Industri Rumah Tangga Hasil Hutan Bukan kayu.

http://puslitsosekhut.web.id/publikasi.php?id=88 Diakses pada Tanggal 02 November 2013.

Sadi. 2006. Kajian Finansial Usaha Tani Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(38)

Sari, P.D.. 2012. Analisis Finansial Pemanfaatan Daun Nipah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Pembungkus Rokok. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Saputro, B.G.. 2009. Ekologi Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Cibinong. Siregar, B.S.. 2012. Analisis Finansial Serta Prospek Pengolahan Buah Nipah

(Nypa fruticans) Menjadi Berbagai Produk Olahan. Skripsi Universitas Sumatra Utara. Medan.

Setiawan, D.. 2008. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan. http://mtdepen.wordpress.com/2008/01/24/pengaruh-hutan-mangrove-terhadap-produksi-perikan/ Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 40 WIB

Sianturi, G.. 2012. Kajian Bentuk Pengolahan dan Analisis Finansial Buah Api-api Sebagai Bahan Makanan dan Minuman di kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Singarimbun,M dan S.Effendi. 2008. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sundari, I. 2012. Analisis Kelayakan Finansial Produksi Pasta Mangga Podang

Urang. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Sukardi, L. 2012. Kajian Kelayakan Finansial Tambak Rakyat di Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Agroteksos vol 22. Nomor 1.

Soetriono. 2006. Daya Saing dalam Tinjauan Analisis. Bayu Media. Malang. . 2011. Analisis Finansial dan Ekonomi.

http://irtusss.blogspot.com/2011/02/analisis-finansial-dan-ekonomi-Html. Diakses pada tanggal 21 Maret 2013, pada pukul 21.04 WIB

Theo, D.. 2012. Pelestarian Hutan Mangrove dan Pemberdayaan Masyarakat. http://www.setkab.go.id/artikel-6300-pelestarian-hutan-mangrove-dan-pemberdayaan-masyarakat.htmlDiakses pada tanggal 21 Maret 2013, pada pukul 20.35 WIB

Waluyo, K. T.. 2011. Pusat LITBANG Keteknikan Kayu dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH). Bogor.

http://cyberpenyuluhankht.info/index.php/artikel/73-implementasi- teknologi-inovasi-aplikatif/192-teknik-pemungutan-hasil-hutan-bukan-kayu-kelompok-resin-dan-getah.html. Diakses pada tanggal 23 September 2013.

Watala. 2005. Laporan Perkembangan Program Mendukung Peran Desa Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Lampung, di Indonesia sub program


(39)

pengelolaan Ekosistem Mangrove melalui Fasilitas Peningkatan Ekonomi Lokal Mandiri di Pesisir Timur Lampung. Bandar Lampung.

Witjaksono, Julian. 2002. Struktur Komunitas Mangrove dan Analisis Finansial Usaha pada Lahan Konversi Hutan Mangrove di Pesisir Teluk Kendari. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Wijaya, H.A.. 2008. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 1 Edisi Khusus.


(1)

C.Saran

Dari hasil penelitian disarankan kepada kelompok industry rumah tangga Karya Wanita dan Peduli Lingkungan Hidup (PLH) lebih dispesialisasikan memproduksi pangsit dan peyek serta lebih mengembangkan usaha dengan bantuan modal dari UMKM agar meningkatkan pendapatan masyarakat guna mereduksi tekanan terhadap hutan mangrove di Desa Margasari Kecamatan labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S.. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rhineka Cipta.Jakarta.

Ariyanto, R.. 2007. Sumberdaya hutan mangrove di Kabupaten Lampung Timur. Tesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Aswoko, G dan Taqyuddin. 2009. Perhitungan Kelayakan Usaha Gaharu. http://wahanagaharu.blogspot.com/4 September 2010.

Badan Informasi Geospasial. 2010. http://badaninformasigespasial.go.id/luas-hutan-mangrove/ Diakses pada 5 April 2013.

Bakosurtanal. 2010. Peta mangrove Indonesia. http://www.bakosurtanal.go.id/peta-mangroves-indonesia/ Diakses pada 4 April 2013.

Banjarnahor, R.. 2012. Analisis Kelayakan Finansial dan Strategi

Pengembangan Pembibitan Mangrove (Wahana Bahari). Skripsi

Universitas Sumatra Utara. Medan. Bank Indonesia. Suku Bunga. 2013.

http://m.bi.go.id/mweb/id/Ruang+Media/Siaran+Pers/sp-153013-dkom.htm / Diakses pada tanggal 22 September 2013.

Darwanto. 2010. Analisis Efesiensi Usahatani di Jawa Tengah (Penerapan Analisis Frontier). Jurnal. Organisasi dan Manajemen Volume 6 Nomor 1 : 46-57.

Departemen Kehutanan Provinsi Lampung. 1997. Upaya Rehabilitasi Mangrove (Hutan Bakau) Pantai Timur dengan Pola Maringgai dan Pola Kemitraan Provinsi Dati I Lampung. Bandar Lampung. Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Lampung.

Departemen Kehutanan. 1999. UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Timur. 2006. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Propinsi Lampung. Lampung Timur.


(3)

Erwanson, R.. 2011. Model PJJ Manajemen Keuangan. Kementerian Pendidikan Nasional Pusat pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pertanian Cianjur.

Fahmi, I.. 2012. Manajemen Produksi dan Operasi. CV Alfabeta. Bandung. Finesso, M.G.. 2012. Mangrove Diandalkan Menyerap Karbon.

http://sains.kompas.com/read/2012/10/08/16085720/mangrove.diandalkan. menyerap.karbonDiakses pada tanggal 21 Maret 2013.

Hiariey, S.L.. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Skripsi. Universitas Terbuka.

Irwanto. 2012. Pengertian dan Definisi Hasil Hutan Bukan Kayu. http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-definisi-hasil-hutan_25.html Diakses pada Tanggal 02 November 2013.

ITTO. 2012. http://www.itto.int/sfm/ Diakses pada tanggal 20 Mei 2013.

Kadariah L, Karlina, dan C. Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Kordi K, M.G. H.. 2012. Ekosistem Mangrove: Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Kurniawan, H.. 2008. Analisis Ekonomi Pengusahaan Arang Bakau oleh Masyarakat di Kabupaten Aceh Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Kusmana, C.. 2009. Pengelolaan Sistem Mangrove Secara Terpadu. IPB. Bogor.http://mfile.narotama.ac.id/files/Umum/JURNAL%20IPB/PENGEL OLAAN%20SISTEM%20MANGROVE%20SECARA%20TERPADU.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

. 2010. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. IPB. Bogor.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/26315/prosiding_sim posium_penerapan_ekolabel_hutan-22.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

Kustanti, A.. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.

Laila, Nor, Ana Z., dan Achmad J.. 2012. Analisis Pendapatan Usahatani Padi (Oryza sativa) Benih Varietas Ciherang yang Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kecamatan Labuan Amas Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Jurnal. Media Sains Volume 4 Nomor 1.

Maheswara, A.C.F.. 2011. Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Pencegah Tsunami dan Menciptakan Lapangan Kerja.


(4)

http://nevafarrell.blogspot.com/2011/07/pemanfaatan-hutan-mangrove-sebagai.htmlDiakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 57 WIB Mariani, Syarifah M., dan Husinsyah. 2011. Pengaruh Metode Sri (System of

Rice Intensification)Terhadap Pendapatan dan Efesiensi Usahatani Padi (Oryza sativa L.) Sawah di Desa Karang Tunggal Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal EPP Volume 8 Nomor 2 : 17-23.

Monografi Desa Margasari. 2012. Potensi Desa, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi lampung. Lampung Timur.

Nasional Geographic. 2012. Sebanyak 95 Persen awasan mangrove di Lampung Rusak. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/09/sebanyak-95-persen-kawasan-mangrove-di-lampung-rusak Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 37 WIB

Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, dan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut. 1999. Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Lampung. Bandar Lampung.

Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir Lampung dan PKSPL - IPB. Bandar Lampung. http://www.crc.uri.edu/download/LAM_0001.pdf Diakses pada Tanggal 03 November 2013

Peo, O. M.. 2007. Analisis Finansial Pengusahaan Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit di Kawasan Hutan Mangrove. Skripsi. IPB. Bogor.

Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Prespektif Hutan Mangrove. Airlangga University press. Surabaya.

Pramudji. 2000. Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan Permasalahannya dan Pengelolaannya.

http://www.oseanografi.lipi.go.id/sites/default/files/oseana_xxv(1)13-20.pdf Diakses pada Tanggal 04 November 2013.

Rangka, Nur A. dan Gunarto. 2012. Pengaruh Penumbuhan Bio Flok pada Budidaya Udang Vaname Pola Intensif di Tambak. Jurnal. Ilmiah Perikanan dan Kelautan Volume 4 Nomor 2.

Rohmayanto, Y.. 2008. Pengembangan Pola Kearifan Lokal Menjadi Industri

Rumah Tangga Hasil Hutan Bukan kayu.

http://puslitsosekhut.web.id/publikasi.php?id=88 Diakses pada Tanggal 02 November 2013.

Sadi. 2006. Kajian Finansial Usaha Tani Tambak Tumpang Sari Sistem Empang Parit di Hutan Mangrove. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(5)

Sari, P.D.. 2012. Analisis Finansial Pemanfaatan Daun Nipah Sebagai Bahan Baku Pembuatan Pembungkus Rokok. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Saputro, B.G.. 2009. Ekologi Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Cibinong. Siregar, B.S.. 2012. Analisis Finansial Serta Prospek Pengolahan Buah Nipah

(Nypa fruticans) Menjadi Berbagai Produk Olahan. Skripsi Universitas Sumatra Utara. Medan.

Setiawan, D.. 2008. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan. http://mtdepen.wordpress.com/2008/01/24/pengaruh-hutan-mangrove-terhadap-produksi-perikan/ Diakses pada tanggal 20 Agustus 2013, Pukul 06. 40 WIB

Sianturi, G.. 2012. Kajian Bentuk Pengolahan dan Analisis Finansial Buah Api-api Sebagai Bahan Makanan dan Minuman di kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Singarimbun,M dan S.Effendi. 2008. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Sundari, I. 2012. Analisis Kelayakan Finansial Produksi Pasta Mangga Podang

Urang. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Sukardi, L. 2012. Kajian Kelayakan Finansial Tambak Rakyat di Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Agroteksos vol 22. Nomor 1.

Soetriono. 2006. Daya Saing dalam Tinjauan Analisis. Bayu Media. Malang. . 2011. Analisis Finansial dan Ekonomi.

http://irtusss.blogspot.com/2011/02/analisis-finansial-dan-ekonomi-Html. Diakses pada tanggal 21 Maret 2013, pada pukul 21.04 WIB

Theo, D.. 2012. Pelestarian Hutan Mangrove dan Pemberdayaan Masyarakat. http://www.setkab.go.id/artikel-6300-pelestarian-hutan-mangrove-dan-pemberdayaan-masyarakat.htmlDiakses pada tanggal 21 Maret 2013, pada pukul 20.35 WIB

Waluyo, K. T.. 2011. Pusat LITBANG Keteknikan Kayu dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH). Bogor.

http://cyberpenyuluhankht.info/index.php/artikel/73-implementasi- teknologi-inovasi-aplikatif/192-teknik-pemungutan-hasil-hutan-bukan-kayu-kelompok-resin-dan-getah.html. Diakses pada tanggal 23 September 2013.

Watala. 2005. Laporan Perkembangan Program Mendukung Peran Desa Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Lampung, di Indonesia sub program


(6)

pengelolaan Ekosistem Mangrove melalui Fasilitas Peningkatan Ekonomi Lokal Mandiri di Pesisir Timur Lampung. Bandar Lampung.

Witjaksono, Julian. 2002. Struktur Komunitas Mangrove dan Analisis Finansial Usaha pada Lahan Konversi Hutan Mangrove di Pesisir Teluk Kendari. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Wijaya, H.A.. 2008. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol. 1 Edisi Khusus.