62
Teori dan Indikator Pembangunan
Pembangunan Manusia, yang dimuat di Human Development Report
, terbitan UNDP. Indikator pembangunan yang akan dibahas berikut ini adalah
yang dimuat di dalam dokumen RPJM 2004-2009, sebagai kerangka referensi yang paling relevan saat ini bagi Indonesia,
khususnya bagi aparatur negara yang harus terlibat di dalamnya, baik melalui penyusunan alokasi anggaran budget intervention
maupun melalui penetapan aturankebijaksanaan publik public policy making
, yang kesemuanya memerlukan kajian yang mendalam. Walaupun begitu perlu diingat beberapa keterbatasan
dalam penggunaan indikator pembangunan ini. Pertama, RPJM merupakan program pembangunan lima tahun, sedangkan
diketahui bahwa proses pembangunan itu mempunyai dimensi waktu panjang yang dapat lebih dari dua dasawarsa Lihat Bab I.
Karenanya dalam menilai perkembangan indikator pembangunan di bawah perlu tetap disadari bahwa pembangunan tidak terhenti
sampai tahun 2009 tetapi masih harus menjangkau jangka waktu jauh lebih lama setelah itu. Kedua, pembangunan merupakan
proses yang melibatkan keterkaitan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi Lihat Bab I tentang Arti Pembangunan.
Meskipun dalam jangka pendek sulit dikatakan mana yang lebih dominan, apakah yang ekonomi atau yang non-ekonomi, dapat
diperkirakan bahwa dalam jangka panjang kecenderungannya adalah bahwa faktor non-ekonomi akan relatif lebih berpengaruh
di negara yang sedang membangun daripada di negara yang telah maju. Hal ini karena, di negara yang telah maju faktor-faktor
non-ekonomi ataupun yang sering pula disebut sebagai
Modul Diklatpim Tingkat III
63
institutional foundation telah menjadi mantap dan tidak lagi
banyak berubah. Di lain pihak, sebagaimana telah dibahas pada Bab I tentang Arti Pembangunan, juga telah dikemukakan bahwa
dari keseluruhan proses pembangunan itu, hasil akhirnya end result
adalah faktor ekonomi, khususnya peningkatan pendapatan nasional. Dengan demikian, walaupun sebagai suatu
negara yang dikategorikan masih membangun dalam mana aspek perubahan
pada institutional
foundation masih
sangat berpengaruh, tidak terlalu salah apabila dalam pembahasan
indikator pembangunan fokus awal tertuju pada indikator pembangunan ekonomi makro. Ketiga, umumnya hanya indikator
pembangunan di bidang ekonomi yang dapat dikuantifikasikan sedangkan indikator pembangunan di bidang non-ekonomi
umumnya hanya bersifat kualitatif saja. Dalam Bab ini akan dibahas secara berurutan: Indikator
Pembangunan Ekonomi Makro Bagian A dan Indikator Pembangunan Non-Ekonomi Bagian B. Pada Bagian C, akan
dibahas Indikator Pembangunan Gabungan Ekonomi dan Non- Ekonomi yaitu Human Development Index HDI yang
diciptakan dan dikembangkan oleh United Nations Development Program
UNDP. Sebagai penutup Bab IV ini, pada Bagian D, akan sedikit dibahas peranan data statistik bagi pengembangan
indikator pembangunan.
A. Indikator Pembangunan Ekonomi Makro
Beberapa indikator ekonomi makro yang akan dibahas disini merupakan bagian dari berbagai indikator yang disajikan pada
64
Teori dan Indikator Pembangunan
Tabel Bab 34 dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM 2004-2009.
Sebelum melihat arti dan implikasi dari beberapa indikator tersebut, perlu terlebih dahulu diingatkan kembali bahwa hampir
semua indikator di kerangka ekonomi makro ini tidak ada yang berdiri sendiri. Konsistensi hubungan antara berbagai indikator
ini dihasilkan oleh simulasi dari suatu model ekonometri yang disusun dalam rangka penyusunan rencana.
14
Sebagai keterangan tambahan perlu juga dicatat bahwa dalam hubungan keterkaitan
itu ada beberapa indikator yang besarannya ditentukan oleh kekuatan di luar model disebut variabel eksogen
15
, sedangkan indikator yang lain besarannya ditentukan di dalam sistem itu
sendiri disebut variabel endogen. Karena itu, rangkaian data yang disajikan pada tabel makro itu harus dilihat sebagai
perkiraan kondisional sebab apabila dalam kenyataannya ada satu atau lebih variabel berubah besarannya maka hal ini akan
segera merubah besaran variabel lain dalam keseluruhan gambaran makro itu Dengan beberapa cacatan ini, dan menunjuk
pada Tabel IV. 1 dan Tabel IV.2, berikut ini akan dibahas beberapa indikator ekonomi makro tersebut, yaitu:
1. Pertumbuhan Ekonomi
. Pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh pertumbuhan Produk Domestik Bruto PDB atas
harga konstan,
merupakan indikator
pokok dari
14
Untuk penyusunan rencana lima tahun pasca krisis ekonomi, maka yang digunakan bukan model ekonomi dalam arti sebenarnya, tetapi lebih merupakan hasil exercise yang lebih
sederhana, mengingat terpatahnya kontinuitas series sebelum krisis dengan yang setelah krisis.
15
Ada yang bersifat eksogen karena perkembangannya hanya sebagai data yang ditetapkan di luar seperti harga minyak dunia, dan ada yang bersifat eksogen karena telah ditetapkan
Modul Diklatpim Tingkat III
65
pembangunan, sebagaimana telah diuraikan pada Bab Arti Pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
berkelanjutan akan memungkinkan semakin besarnya tabungan yang dapat disisihkan untuk membiayai investasi
pembangunan baik di bidang ekonomi maupun di bidang non-ekonomi. Hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi dan berkelanjutan dapat lebih dijamin berlangsungnya proses pembangunan baik jangka menengah
maupun jangka panjang. Dalam kaitan itu, perlu dipertimbangkan beberapa aspek penting yang menyangkut
pertumbuhan ekonomi. Pertama, pertumbuhan ekonomi mempunyai
batasan tertinggi
dan terendah.
Kalau pertumbuhan ekonomi melebihi batasan tertinggi, maka
perekonomian dapat menjadi memanas yang akan tercermin pada
laju inflasi yang meningkat dan terjadinya
ketidakseimbangan eksternal dalam hal permintaan agregat tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga
harus dipenuhi dari peningkatan impor barang dan jasa. Dilain pihak, pertumbuhan yang kurang dari batasan
terendah akan menimbulkan bahaya tingkat pengangguran yang dapat mengganggu kestabilan sosial-politik yang pada
gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Batasan terendah juga ditentukan oleh tingkat pertumbuhan
penduduk, khususnya
pertumbuhan ekonomi
harus diupayakan agar tidak lebih rendah dari pertumbuhan
penduduk agar pendapatan per kapita minimal tidak akan
terlebih dahulu sebagai target yang akan diupayakan tercapai misalnya target pertumbuhan ekonomi tertentu.
66
Teori dan Indikator Pembangunan
menurun. Kedua, dalam mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan perlu
dipelihara keseimbangan sumber-sumber pertumbuhan antara konsumsi, investasi dan neto ekspor-impor, dari segi
pengeluaran, dan antara sektor pertanian, industri dan sektor lainnya, dari segi produksi. Dari sisi pengeluaran,
pertumbuhan ekonomi yang rata-rata per tahun lebih tinggi selama RPJM dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya
diperkirakan lebih banyak bersumber dari pertumbuhan investasi, yaitu secara rata-rata 15,2 dari rata-rata 6,9
yang dicapai
lima tahun
sebelumnya, sedangkan
pertumbuhan pengeluaran konsumsi, sebesar 5,3 walaupun masih lebih tinggi dari lima tahun sebelumnya
4.0, peningkatannya tidak sebesar pada peningkatan pengeluaran investasi. Hal ini menunjukkan upaya untuk
tidak secara lama menggantungkan sumber pertumbuhan ekonomi terutama pada pengeluaran konsumsi. Hal ini
karena pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan harus terus diimbangi oleh peningkatan kapasitas produksi. Dari sisi
produksi, peningkatan pertumbuhan sektor industri selama periode RPJM 2004-2009 sebesar 50, yaitu dari rata-rata
5,2 menjadi 7,8 masih lebih tinggi dari peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 16, yaitu dari rata-
rata 3,0 menjadi rata-rata 3,5. Dalam kerangka RPJM 2004-2009, maka pertumbuhan
ekonomi rata-rata per tahun selama lima tahun ini, akan diupayakan sebesar 6,6 persen. lihat Tabel IV.1. Sasaran
pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dari rata-rata per tahun
Modul Diklatpim Tingkat III
67
realisasi lima tahun sebelumnya 2000-2004, sebesar 4,5 persen. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada lima
tahun sebelumnya, maka diperkirakan tingkat pengangguran terbuka yang meningkat dari 6,1 persen dari total angkatan
kerja pada tahun 2000 menjadi 9,7 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2004, akan terus menurun dari 9,5 persen
pada tahun 2005 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Sementara itu, selama RPJM juga akan diupayakan
peningkatan kualitas pertumbuhan, dalam arti setiap persentase
pertumbuhan mengupayakan
peningkatan kesempatan kerja sebesar mungkin.
2. Struktur ekonomi
. Pembangunan memang menyangkut transformasi struktural kearah struktur yang lebih baik.
Dalam rangka RPJM 2004-2009, perubahan struktur ekonomi yang akan dicapai disajikan pada Tabel IV.1.
Terkait dengan perubahan struktur ekonomi distribusi PDB adalah distribusi kesempatan kerja antara berbagai sektor
ekonomi. Beberapa hal yang perlu dikaji dari perkembangan ini adalah sebagai berikut:
a.
Distribusi PDB
. Dalam proses pembangunan, suatu ukuran tentang kemajuan adalah semakin besarnya
proporsi sektor industri dibandingkan dengan pertanian. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa penciptaan nilai
tambah added value pada sektor industri lebih besar kemungkinannya daripada di sektor pertanian pada
sektor pertanian yang menghadapi kendala luas tanah terbatas lebih peka pada berlakunya kaidah menurunnya
68
Teori dan Indikator Pembangunan
output ketika input terus bertambah setelah batas tertentu decreasing returns to scale. Menunjuk pada Tabel IV.1
maka nampak upaya untuk terus meningkatkan proporsi industri pengolahan dari 31,4 pada tahun 2005 menjadi
33,0 pada tahun 2009 ketika proporsi sektor pertanian menurun dari 14,4 pada tahun 2005 menjadi 12,7
pada tahun 2009. Perubahan strukur ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan yang lebih besar di sektor industri
pengolahan daripada di sektor pertanian. Kalau sektor industri tumbuh sebesar 6,1 pada tahun 2005 menjadi
9,5 pada tahun 2009, maka pertumbuhan sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 3,2 pada tahun 2005
dan menjadi 3,8 pada tahun 2009, yang masih jauh lebih rendah daripada pertumbuhan sektor industri pada
tahun terakhir dari RPJM ini. Sebagai catatan tambahan, pertumbuhan sektor pertanian yang mendekati 4,0
menjelang akhir periode RPJM merupakan sasaran yang relatif tinggi dan mengisyaratkan adanya
kebijaksanaan pertanian khusus yang dapat menyangkut perubahan teknologi. produksi dalam bidang agribisnis
atau agroindustri. b.
Distribusi kesempatan kerja .
Perkembangan yang perlu dikaji lebih lanjut dari distribusi kesempatan kerja
adalah bahwa tenaga kerja lebih banyak tertampung di sektor pertanian 46,5 persen pada tahun 2005 dan 42,9
persen pada tahun 2009 dibandingkan dengan di sektor industri 11,8 persen pada tahun 2005 dan 12,6 persen
Modul Diklatpim Tingkat III
69
pada tahun 2009. Hal ini berarti bahwa peningkatan satu persen pertumbuhan di sektor pertanian akan mempunyai
dampak tambahan kesempatan kerja yang lebih besar daripada di sektor industri, sedangkan pertumbuhan
sektor industri dalam PDB tetap lebih besar daripada pertumbuhan sektor pertanian. Keadaan ini mempunyai
implikasi perlunya kebijaksanaan mengenai penggunaan metode produksi yang intensitas modalnya lebih rendah
lebih padat karya di sektor industri, agar sekaligus mencerminkan keadaan kelangkaan modal daripada
tenaga kerja. 3.
Stabilitas Ekonomi . Pembangunan yang berkelanjutan
selain ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga ditandai oleh terpeliharanya stabilitas ekonomi.
Indikator pokok dari stabilitas ekonomi adalah laju inflasi yang diukur oleh perkembangan Indeks Harga Konsumen
IHK . Pemeliharaan laju inflasi yang cukup rendah ini
penting karena perkembangannya menentukan daya beli riil masyarakat, yaitu pendapatan nominal masyarakat setelah
dikurangi laju
inflasi, sehingga
akan menentukan
perkembangan tingkat kesejahteraan riil masyarakat. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan beberapa ciri dari laju inflasi
ini. Pertama, pada umumnya terdapat hubungan sejalan antara
laju inflasi
dengan pertumbuhan
ekonomi. Perekonomian yang tumbuh tinggi umumnya disertai dengan
kecenderungan laju inflasi yang relatif tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah umumnya disertai laju
70
Teori dan Indikator Pembangunan
inflasi yang relatif rendah. Suatu anomali dapat terjadi, di mana pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah terjadi
stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi disertai oleh inflasi yang cukup tinggi, sehingga disebut sebagai fenomena
stagflasi. Kedua, terdapat dua penyebab meningkatnya laju inflasi. Satu penyebab adalah adanya gejala demand pull,
di mana permintaan agregat umumnya lebih tinggi daripada penawaran agregat. Penyebab ini menjelaskan adanya
hubungan sejalan antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan laju inflasi yang relatif tinggi. Penyebab lainnya
adalah gejala cost push, di mana terjadi peningkatan unsur- unsur dari biaya produksi, seperti harga bahan bakar minyak
BBM dan unsur ikutannya seperti tarif dasar listrik TDL dan biaya transportasi. Penyebab ini menjelaskan adanya
anomali pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dengan adanya inflasi yang meningkat. Ketiga, dalam mengupayakan
laju inflasi yang cukup rendah, ataupun menghindarkan terjadinya peningkatan laju inflasi secara tak terkendali,
maka perlu disadari bahwa penyebab laju inflasi bukan hanya faktor obyektif seperti demand dan costs tetapi juga
keadaan psikologis masyarakat. Kedaan psikokologis masyarakat ini terutama ditentukan oleh tingkat kepercayaan
masyarakat bahwa
pemerintah dapat
menguasai permasalahan yang sedang dihadapi. Kalau kepercayaan ini
menjadi tipis, maka dapat berkembang gejala inflationary expectations
yang menyebabkan masyarakat melakukan pemborongan barang di luar kebutuhan sebenarnya panic
buying sehingga inflasi yang tadinya hanya kekuatiran akan
Modul Diklatpim Tingkat III
71
menjadi kenyataan. Karena itu dalam mengupayakan stabilitas ekonomi melalui pengendalian laju inflasi, sangat
penting bagi pemerintah untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah dapat menguasai permasalahan, atara lain
dengan mengumumkan
kepada masyarakat
bahwa pemerintah mempunyai stok barang kebutuhan pokok yang
cukup untuk mengintervensi. Selain ini, langkah untuk meyakinkan masyarakat bahwa laju inflasi masih dalam batas
kewajaran adalah dapat dipelihara perkembangannya pada tingkat satu digit di bawah sepuluh persen, di mana sepuluh
persen merupakan ambang psikologis yang kalau dilewati dapat mulai menimbulkan suasana kekuatiran tadi. Dengan
memperhatikan beberapa ciri dari laju inflasi sebagai indikator pembangunan, maka dalam RPJM 2004-2009,
sasaran laju inflasi diupayakan untuk menurun dari 7,0 pada tahun 2005 sehingga menjadi 3,0 pada tahun 2009
lihat Table IV.1. Selain oleh laju inflasi, maka stabilitas ekonomi juga dapat diukur oleh perkembangan nilai tukar
Rupiah terhadap US. Selama RPJM, nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada pada level Rp 8,900 per satu US
pada tahun 2005, menjadi Rp 8,700 per satu US pada tahun 2009. Ada beberapa ciri dari perkembangan nilai tukar
sebagai indikator pembangunan yang perlu diperhatikan. Pertama
, nilai tukar yang melemah dapat pada satu sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
gairah ekspor, tetapi pada sisi lainnya dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi apabila
pelemahan tersebut
menyebabkan meningkatnya harga impor bahan baku
72
Teori dan Indikator Pembangunan
produsen dalam negeri sehingga menurunkan daya saingnya apabila akan diekspor. Dengan demikian perlu diupayakan
nilai tukar yang secara neto dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua, nilai tukar yang terbentuk
harus mencerminkan harga ekuilibriumnya, yaitu tidak overvalued ataupun undervalued. Kalau overvalued,
dalam arti nilai tukar yang terbentuk lebih kuat daripada yang sebenarnya dapat ditopang oleh fundamental ekonomi, maka
akan terus terjadi tekanan pasar untuk melemahkannya, dan sebaliknya kalau undervalued. Ketiga, perkembangan nilai
tukar sebaiknya cukup stabil tidak gunjang ganjing karena perkembangan yang terlalu fluktuatif dapat
menciptakan ketidakpastian iklim usaha yang produktif di sektor riil, yaitu kegiatan ekonomi akan cenderung
berorientasi pada kegiatan spekulatif mengejar capital gain
jangka pendek. Keempat, nilai tukar yang berkembang juga ditentukan oleh sistem nilai tukar yang dianut.
Meskipun sejak tahun 1966, Indonesia konsisten pada sistem open capital account yaitu tidak ada larangan atas masuk
keluarnya devisa, sejak tahun tersebut Indonesia telah menerapkan tiga sistem penentuan nilai tukar. Dari tahun
1966 sampai dengan tahun 1978 diterapkan sistem pegged rate
, yaitu nilai tukar dipatok pada tingkat tertentu untuk suatu masa tertentu. Dari tahun 1978 sampai dengan tahun
1997, diterapkan sistem managed float, yaitu nilai tukar diperbolehkan berfluktuasi pada batasan maximum dan
minimum tertentu. Kemudian, sejak menerpanya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, Indonesia menganut
Modul Diklatpim Tingkat III
73
sistem free float, dalam mana nilai tukar dapat secara relatif bebas berfluktuasi. Sistem mana yang paling sesuai
sebenarnya ditentukan
oleh seberapa
terbukanya perekonomian dan seberapa besarnya cadangan devisa yang
tersedia. Indikator pembangunan lainnya yang menyangkut stabilitas ekonomi adalah tingkat suku bunga dalam negeri.
Meskipun sejak dianutnya sistem free float, beban penyesuaian terhadap perkembangan ekonomi dunia telah
dapat dialihkan dari perubahan tingkat suku bunga, penentu tingkatnya yang tepat masih harus mempertimbangkan
beberapa aspek. Pertama, tingkat suku bunga dalam negeri selalu harus lebih tinggi dari laju inflasi dalam negeri. Kedua,
tingkat suku bunga dalam negeri harus cukup rendah untuk dapat menggairahkan pinjaman dan menggerakkan sektor riil
tetapi harus juga cukup tinggi untuk tetap menggairahkan masyarakat untuk menabung. Ketiga, tingkat suku bunga
dalam negeri perlu diupayakan cukup rendah agar tidak menimbulkan beban terlalu berat bagi pemerintah dalam
pembayaran utang dalam bentuk obligasi dengan tingkat bunga yang ditetapkan berdasarkan perkembangan suku
bunga di pasar. 4.
DefisitSurplus APBNPDB .
Dalam negara yang sedang membangun dan berkonstitusi Undang-Undang Dasar
1945, maka peranan pemerintah tidak hanya untuk menjalankan roda pemerintahan tetapi juga untuk menjamin
terlaksananya pembangunan sesuai dengan nilai-nilai dasar negara dan aspirasi masyarakat. Peranan pemerintah dalam
74
Teori dan Indikator Pembangunan
pembangunan ini tercermin terutama dalam perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN.
Khususnya dalam hal menjamin terlaksananya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, maka defisitnya APBN dapat
menjadi alat ekspansif ketika perekonomian mengalami kelesuan dan surplusnya APBN dapat menjadi alat kontraktif
ketika perekonomian memanas. Dalam hal perekonomian Indonesia dewasa ini masih dalam tahap pemulihan maka
dalam beberapa tahun kedepan masih diperlukan defisit APBN sebagaimana terlihat pada besaran Defisit APBN
terhadap PDB dari tahun 2005, sebesar -0,7 , sampai dengan 2007, sebesar -0,3 lihat Tabel IV.1. Pada tahun
2008 diperkirakan
APBN menjadi
berimbang dan
SurplusDefisit APBN terhadap PDB adalah 0,0. Sedangkan pada tahun 2009, APBN menjadi surplus sebesar
0,3 terhadap PDB. Perkembangan selama periode ini merupakan
upaya untuk
mempertahankan fiscal
sustainability . Pada dasarnya, walaupun defisit fiskal
diperlukan sebagai stimulus ekonomi, keadaan ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama sehingga defisit fiskal harus
diperkecil dan secepatnya menjadi seimbang dan bahkan menjadi surplus. Defisit anggaran negara selain berdampak
positif sebagai alat pump priming, juga mempunyai dampak crowding out sektor dunia usaha masyarakat.
5.
Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan
. Indikator ini erat kaitannya dengan teori Harrod-Domar yang
menunjukkan hubungan antara besaran investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam Tabel IV.2 tentang Kebutuhan
Modul Diklatpim Tingkat III
75
Investasi dan Sumber Pembiayaan yang diambil dari proyeksi jangka menengah RPJM 2004-2009 Dari angka-
angka pada Tabel IV-2 tersebut, ada beberapa perkembangan yang perlu dikaji dari indikator kelompok ini. Pertama, rasio
investasi, yang dalam periode 2000-2004 cenderung menurun dari 22,9 terhadap PNB pada tahun 2000 menjadi 19,4
terhadap PNB pada tahun 2004, akan diupayakan untuk meningkat dalam periode RPJM, dari 21,0 terhadap PNB
pada tahun 2005 menjadi 28,5 terhadap PNB pada tahun 2009. Kedua, kebutuhan investasi pemerintah terhadap PNB
yang pada tahun 2005 sebesar 3,4 meningkat relatif kecil menjadi hanya 4.1 terhadap PNB pada tahun 2009,
sedangkan kebutuhan investasi masyarakat yang sebesar 17,6 terhadap PNB pada tahun 2005 meningkat menjadi
24,4 terhadap PNB pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa peranan investasi swasta akan menjadi bertambah
besar dalam upaya peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Ketiga, dalam tiga tahun pertama RPJM, tabungan
dalam negeri bahkan lebih besar dari kebutuhan investasi, dengan besaran masing-masing sebesar 22,7 dan 21,0
pada tahun 2005, 23,6 dan 23,15 pada tahun 2006, dan 25,5 dan 25,3 pada tahun 2007. Baru pada tahun 2008
dan 2009, kesenjangan tabungan dan investasi S-I Gap kembali menjadi negatif sebesar masing-masing -0.2 dan -
0,5 terhadap PNB. Hal ini menunjukkan tekad untuk minimal selama tiga tahun pertama akan lebih diandalkan
sumber pembiayaan dalam negeri daripada dana luar negeri. Keempat
, sejalan dengan teori Harrod Domar, maka dengan
76
Teori dan Indikator Pembangunan
tingkat investasi terhadap PNB selama periode RPJM, maka dengan ICOR yang menurun dari 3,9 pada tahun 2004
menjadi 3,6 pada tahun 2009, maka akan tercapai pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 5,0 pada tahun
2004 menjadi 7,6 pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun sebesar 6,6 selama RPJM
2004-2009. Hal ini menunjukkan tekad untuk meningkatkan efisiensi investasi selama RPJM 2004-2009.
Tabel IV.1 Indikator Ekonomi Makro
Sumber: RPJM 2004-2009, Bab 34
Realisasi Perki
raan
Proyeksi Jangka Menengah
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran
Konsumsi Investasi
Ekspor Impor
4,9 2,0
16,7 26,5
25,9 3,8
3,9 6,5
0,6 4,2
4,3 4,7
2,2 -1,0
-4,0 4,5
4,5 1,9
6,6 2,8
5,0 5,1
7,2 9,3
17,4 5,5
4,1 14,6
5,7 10,3
6,1 5,2
17,8 6,0
8,6 6,7
5,0 16,3
6,4 10,2
7,2 5,8
14,3 7,4
10,8 7,6
6,3 12,8
10,1 11,0
Sisi Produksi Pertanian
Industri Lainnya
1,9 6,0
5,3 4,1
3,3 4,0
2,8 5,9
3,9 3,1
5,0 4,6
3,1 5,6
5,2 3,2
6,1 5,8
3,4 6,9
6,3 3,6
7,8 6,9
3,6 8,6
7,4 3,8
9,5 7,6
Distribusi PDB Pertanian
Industri Lainnya
15,6 27,7
56,7 15,6
30,1 54,3
15,7 30,7
53,7 15,0
30,6 54,4
14,7 30,6
54,6 14,4
31,4 54,2
14,0 32,0
54,0 13,5
32,1 54,4
13,1 32,5
54,5 12,7
33,0 54,3
Tenaga Kerja
Kesempatan Kerja juta orang
Distribusi Pertanian
Industri Lainnya
89,8 45,1
13,0 41,9
90,8 43,8
13,3 42,9
91,6 44,3
13,2 42,4
90,8 46,3
12,0 41,7
92,3 46,6
11,9 41,5
94,2 46,5
11,8 41,7
96,7 45,9
11,9 42,2
99,7 45,1
12,0 42,9
103,0 44,1
12,3 43,6
106,6 42,9
12,6 44,5
Pengangguran Terbuka
6,1 8,1
9,1 9,5
9,7 9,5
8,9 7,9
6,6 5,1
Stabilitas Ekonomi Laju InflasiIHK
Nilai Tukar RpUS 9,4
8.425 12,5
10.241 10,0
9.375 5,1
8.578 6,4
8.928 7,0
8.900 5,5
8.800 5,0
8.800 4,0
8.700 3,0
8.700
Keuangan Negara - SurplusDefisit
APBNPDB -Stok Utang
PemerintahPDB
-1,6 83,5
-2,4 74,6
-1,4 65,1
-1,7 58,3
-1,1 53,9
-0.7 48,0
-0,6 43,9
-0,3 39,5
0,0 35,4
0,3 31,8
Modul Diklatpim Tingkat III
77
Tabel IV.2 Kebutuhan Investasi dan Sumber Pembiayaan
Realisasi Perki-
raan
Proyeksi Jangka Menengah
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 2009
Kebutuhan Investasi triliun Rp a. Pemerintah
persentase thd PNB b. Masyarakat
persentase thd PNB Sumber Pembiayaan triliun Rp
1. Tabungan Dalam Negeri persentase thd PNB
a. Pemerintah persentase thd PNB
b. Masyarakat persentase thd PNB
2. Tabungan Luar Negeri persentase thd PNB
Tabungan-Investasi S-I Rasio thd PNB
a. Pemerintah b. Masyarakat
297,2 41,6
3,2 255,5
19,7 297,2
351,2 27,1
30,3 2,3
320,9 24,7
-54,0 -4,2
4,2 -0,2
5,0 375,1
48,6 3,0
326,5 20,1
375,1 450,2
27,7 36,0
2,2 414,2
25,5 -75,1
-4,6 4,6
-0,8 5,4
380,7 55,2
3,0 325,5
17,7 380,7
441,0 23,9
16,1 0,9
424,9 23,1
-60,4 -3,3
3,3 -2,1
5,4 405,3
68,2 3,4
337,1 16,8
405,3 465,6
23,1 3,4
0,2 462,2
22,9 -60,3
-2,9 2,9
-3,2 6,2
430,7 75,1
3,4 355,6
16,0 430,7
491,7 22,1
45,2 2,0
446,5 20,0
-61,0 -2,7
2,7 -1,3
4,1 529,3
86,9 3,4
442,5 17,6
529,3 570,9
22,7 61,7
2,4 509,2
20,2 -41,6
-1,6 1,6
-1,0 2,7
652,9 101,6
3,6 551,3
19,5 652,9
666,3 23,6
76,9 2,7
589,3 20,9
-13,4 -0,6
0,6 -0,9
1,3 805,5
113,6 3,6
691,9 21,7
805,5 808,8
25,5 97,3
3,1 711,5
22,5 -3,3
-0,1 0,1
-0,5 0,6
962,0 135,2
3,8 826,8
23,3 962,0
954,4 27,0
126,2 3,5
828,3 23,4
7,5 0,2
-0,2 -0,3
0,0 1.123,4
162,9 4,1
960,5 24,4
1.123,4 1.100,7
28,0 160,9
4,1 939,8
23,9 22,7
0,5 -0,5
-0,1 -0,5
Sumber: RPJM 2004-2009
B. Indikator Pembangunan Non-Ekonomi