16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Signal Detection Theory
Signal Detection Theory merupakan sebuah model mengenai bagaimana
manusia mendeteksi sinyal atau stimulus dengan adanya gangguan atau noise Karim dan Siegel, 1998. Menurut signal detection theory, respon seseorang
pengamat dalam tugas mendeteksi sinyal dapat dibagi menjadi proses penginderaan yang bergantung pada intensitas stimulus dan proses keputusan
yang dipengaruhi oleh kecenderungan pada respon pengamat Wade dan Tavris,
2007.
Respon pengamat terhadap stimulus bergantung pada kebiasaan, kewaspadaan, motif-motif pribadi, dan harapan. Berdasarkan teori ini, terdapat
empat jenis respon, yakni: hit, false alarm, miss, dan correct rejection. Hit adalah keadaan saat pengamat mendeteksi sinyal yang memang ada. False alarm
merujuk pada kondisi ketika seseorang mengatakan ada sinyal ketika sebenarnya tidak sinyal sama sekali. Kondisi ketika seseorang gagal mendeteksi sinyal yang
muncul disebut dengan miss. Sedangkan correct rejection merupakan keadaan saat seseorang mengatakan tidak ada sinyal ketika memang tidak ada sinyal.
Wade dan Tavris, 2007.
Dalam mendeteksi kecurangan, auditor internal biasanya menitikberatkan pada tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan kecurangan telah atau sedang
terjadi red flag. Menurut teori deteksi sinyal, kegiatan auditor internal dalam merespon red flag dapat dikaitkan dengan keempat jenis respons di dalam signal
detection theory , yakni hit, false alarm, miss dan correct rejection.
Jika auditor internal dapat mendeteksi dan menginvestigasi red flag yang menuntun pada terdeteksinya kecurangan, maka kondisi tersebut dikategorikan
kedalam hit. Disisi lain, jika auditor internal menginvestigasi red flag yang tidak ada keterkaitan dengan kecurangan, maka kondisi ini disebut false alarm. False
alarm dapat terjadi karena tidak semua red flag mengarah kepada tindakan
kecurangan.
Respon miss terjadi saat auditor internal tidak mampu menemukan red flag yang menunjukkan bahwa kecurangan telah atau sedang terjadi. Correct rejection
terjadi jika auditor internal menemukan red flag, namun auditor internal
berkeyakinan bahwa redflag tersebut tidak mengarah kepada tindak kecurangan. 2.1.2.
Teori Atribusi
Menurut Lubis 2014, teori atribusi kali pertama dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
kombinasi antara kekuatan internal kemampuan, usaha, dan kekuatan eksternal kesulitan dalam pekerjaan, keberuntungan. Menurut Manusov dan Spitzberg
2008, teori atribusi berkaitan dengan proses internal berfikir dan eksternal berbicara dalam menginterpretasi dan memahami segala sesuatu mengenai sikap
diri sendiri dan orang lain. Lebih lanjut, Lubis 2014 berpendapat bahwa terdapat tiga peran perilaku
yang membentuk sikap seseorang, yakni perbedaan, konsesus, dan konsistensi.
Perbedaan Distinctiveness mengacu pada apakah seseorang bertindak sama dalam berbagai masalah. Konsensus mempertimbangkan bagaimana
perilaku seseorang individu dibandingkan dengan individu lain pada situasi yang sama. Sedangkan konsistensi merujuk pada suatu tindakan yang diulang
sepanjang waktu. Auditor internal yang memiliki perbedaan kompetensi biasanya akan
memiliki perbedaan dalam melaksanakan tugas auditnya. Dalam penelitian ini, auditor internal yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak,
maka akan memiliki kemampuan untuk memahami efektivitas pengendalian internal secara lebih baik. Perbedaan kompetensi juga akan menyebabkan
perbedaan dalam menilai risiko kecurangan dan kemampuan untuk mendeteksi kecurangan. Hal ini sesuai dengan aspek konsensus.
Aspek distinctiveness dalam penelitian ini dapat dikaitkan kedalam efektivitas pengendalian internal. Auditor internal akan memberikan
pertimbangan yang berbeda antara pengendalian internal yang kuat dengan pengendalian internal yang lemah.
2.2. Kemampuan untuk Mendeteksi Kecurangan