2.4. Indeks Syok
2.4.1. Fisiologi Tekanan Darah
Istilah tekanan darah TD berarti tekanan darah di arteri pada sirkulasi sistemik yang dinyatakan dengan satuan milimeter air raksa mmHg. TD
maksimum terjadi di aorta selama fase ejeksi, disebut sebagai tekanan darah sistolik TDS, dan tekanan darah minimum terjadi pada fase kontraksi isovolumetrik
ketika katup aorta tertutup dan ini disebut tekanan darah diastolik TDD Despopoulos, 2003.
Tekanan darah dihasilkan dari curah jantung dan resistensi perifer total. Sedangkan curah jantung adalah produk dari volume sekuncup jantung dan denyut
jantung. Volume sekuncup jantung ditentukan oleh tiga hal yakni kontraktilitas jantung, volume aliran darah balik preload, dan resistensi yang dihadapi ventrikel
kiri untuk mengeluarkan darah ke aorta afterload Lilly, 2011.
Gambar 2.6. Siklus jantung Despopoulos, 2003
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7. Rumus fisiologi tekanan darah
Gambar 2.8. Rumus fisiologi curah jantung Lilly, 2011.
Gambar 2.9. Pengaturan tekanan darah. Panah kecil menunjukkan arah stimulasi ↑ atau inhibisi ↓ terhadap parameter yang disebutkan di kotak. Lilly, 2011
TD = Curah Jantung x Resistensi Perifer Total
Universitas Sumatera Utara
Terdapat setidaknya empat sistem yang terlibat langsung dalam pengaturan tekanan darah Lilly, 2011:
1. Jantung, yang berfungsi menghasilkan tekanan pemompaan
2. Tonus pembuluh darah, yang menentukan resistensi perifer di sirkulasi sistemik
3. Ginjal, yang mengatur volume intravaskular
4. Hormon, yang mengatur interaksi ketiga sistem di atas
2.4.2. Tekanan Darah dan Laju Denyut Jantung pada Komplikasi Infark
Miokard Akut
IMA akan menyebabkan kehancuran sel miokard yang kemudian menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard disfungsi sistolik. Hal ini akan
menyebabkan penurunan curah jantung dikarenakan kontraksi sinkron menghilang. Beberapa istilah digunakan untuk menjelaskan berbagai tipe gangguan
kontraktilitas yang terjadi. Suatu penurunan kontraktilitas lokal dari suatu daerah miokard disebut sebagai hipokinetik, suatu segmen miokard yang tidak
berkontraksi sama sekali disebut akinetik, dan suatu daerah yang bergerak ke arah luar pada saat sistolik disebut sebagai diskinetik. Selama periode SKA juga terjadi
gangguan diastolik, dimana iskemia dan atau infark akan mengganggu relaksasi ventrikel kiri pada saat diastol suatu proses yang bergantung pada energi, yang
kemudian menurunkan komplians ventrikel kiri dan meningkatkan tekanan pengisian Lilly, 2011.
Beberapa kompensasi neurohormonal akan teraktivasi pada keadaan penurunan curah jantung ini. Tiga yang penting adalah sistem saraf adrenergik
simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan peningkatan produksi hormon antidiuretik. Ketiga mekanisme ini bekerja untuk meningkatkan resistensi perifer
sistemik yang membantu mempertahankan perfusi arteri ke berbagai organ penting. Peningkatan resistensi perifer total kemudian akan mengimbangi penurunan curah
jantung, dan pada kondisi dimana gagal jantung yang terjadi tidak terlalu berat, maka kompensasi ini mencukupi untuk mengatasi gagal jantung. Aktivasi
neurohormonal kemudian juga akan menyebabkan retensi garam dan air, sehingga meningkatkan volume intravaskular dan kemudian meningkatkan preload dan
meningkatkan volume sekuncup melalui mekanisme Frank –Starling Lilly, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Khusus pada sistem saraf adrenergik, penurunan curah jantung akan dideteksi di baroreceptor di sinus karotis dan lengkung aorta yang kemudian
menurunkan laju letupan listrik di reseptor ini. Penurunan ini akan ditransmisikan ke nervus kranialis IX dan X kepada pusat kendali kardiovaskular di medula serebri.
Respon berikutnya adalah peningkatan stimulasi simpatis ke jantung dan sirkulasi perifer, dan tonus parasimpatis menghilang. Terdapat tiga konsekuensi dari aktivasi
ini yakni peningkatan laju denyut jantung, peningkatan kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi perifer baik arteri dan vena Lilly, 2011.
Gambar 2.10. Mekanisme kompensasi neurohormonal yang terjadi sebagai respon terhadap penurunan curah jantung Lilly, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Penurunan tekanan darah meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien IMA. Beberapa mekanisme mungkin dapat menjelaskan hal tersebut.
Tekanan darah rendah mengganggu aliran darah ke organ target termasuk perfusi aliran koroner yang semakin mengganggu keseimbangan oksigen di miokard.
Tekanan darah rendah juga terkait dengan penyakit kronik yang mendasari contoh: keparahan gagal jantung dan tentunya berkaitan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas Bangalore, 2009. Penelitian Bangalore dkk pada 139.194 pasien penelitian Can Rapid Risk
Stratification of Unstable Angina Patients Suppress Adverse Outcomes with Early Implementation of the American College of CardiologyAmerican Heart
Association Guidelines CRUSADE menunjukkan paradoks tekanan darah pada pasien dengan SKANEST. Pada populasi umum, risiko kardiovaskular memiliki
hubungan linear dengan peningkatan tekanan darah. Lewington S 2002 Pada populasi dengan penyakit jantung koroner PJK, terjadi hal yang berbeda dimana
hubungan antara tekanan darah dengan komplikasi kardiovaskular membentuk distribusi bimodal dengan bentuk kurva J. Hal ini berarti bahwa pasien dengan
tekanan darah sistolik sangat rendah dan sangat tinggi memiliki kemungkinan komplikasi yang lebih tinggi. Pada situasi akut, hubungan tekanan darah terlihat
berbeda lagi. Penelitian Bangalore dkk, didukung pula dengan penelitian PURSUIT dan GRACE menunjukkan hubungan yang terbalik, dimana semakin rendah
tekanan darah maka semakin tinggi kemungkinan komplikasi yang terjadi, dalam studi ini yakni kematian oleh segala penyebab dan infark ulangan. Pada penelitian
Bangalore dkk, batas tekanan darah yang dihasilkan adalah 120 mmHg, dimana pasien dengan TD 120 mmHg pada saat awal masuk rumah sakit memiliki
prognosis lebih buruk. Hal ini baik pada pasien dengan fungsi sistolik menurun maupun pada yang normal Bangalore, 2009.
Laju denyut jantung saat istirahat merupakan penanda mayor terhadap konsumsi oksigen dan kebutuhan metabolisme. Penurunan laju denyut jantung
bermanfaat pada pasien dengan PJK Bangalore, 2010. Beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan adanya hubungan linear
antara peningkatan laju denyut jantung saat awal tiba di rumah sakit dengan kematian selama perawatan dan sesudah perawatan. Dijumpai total kematian 15
Universitas Sumatera Utara
pada pasien dengan laju denyut jantung 50-60 kali per menit dibandingkan dengan 41 dan 48 pada laju denyut jantung 90 kali per menit dan 110 kali per menit
Bangalore, 2010. Hal ini terlihat sama pada beberapa skor prediksi SKA seperti GRACE Granger, 2003 dan PURSUIT Boersma, 2000.
Hal ini berbeda pada penelitian Bangalore dkk yang menunjukkan bentuk kurva J antara laju denyut jantung dengan kejadian luaran primer kematian, infark
ulangan, dan stroke selama perawatan pada pasien IMANEST. Pasien dengan laju denyut nadi 60-69 kali per menit memiliki risiko paling rendah untuk kematian
selama perawatan. Risiko paling tinggi dijumpai pada pasien dengan laju denyut jantung sangat rendah dan lebih tinggi. Untuk pasien dengan laju denyut jantung
69 kali per menit, risiko kematian meningkat 2.2 kali lipat Bangalore, 2010. Risiko kematian meningkat dua kali lipat pada pasien dengan laju denyut jantung
50 kali per menit. Cook, 2010. Penelitian Bangalore ini memiliki ukuran sampel yang lebih banyak dibandingkan GRACE ataupun PURSUIT Bangalore, 2010.
Gambar 2.11. Risiko luaran primer terhadap laju denyut jantung Bangalore, 2010
Laju denyut jantung juga memiliki interpretasi klinis pada pasien usia lanjut. Pada pasien lanjut usia memiliki cadangan sistem kardiovaskular terbatas dengan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan kompensasi tubuh yang terbatas pula, terutama denyut jantung, dalam menghadapi IMA Kobayashi, 2016.
Intervensi farmakologis yang menurunkan laju denyut jantung seperti penyekat beta dan penghambat nodus sinoatrial telah menunjukkan penurunan
mortalitas dan memperbaiki luaran klinis Bangalore, 2010; Yusuf, 1985. Pada penelitian Bangalore dkk dijumpai sebanyak 17.5 pasien tidak
dengan penggunaan obat penyekat beta secara rutin. Risiko primer dan sekunder pada penelitian ini tidak terpengaruh dengan pemberian obat tersebut Bangalore,
2010. Bahkan bila dibandingkan pada kelompok dengan laju denyut jantung 50- 60 kali per menit dengan atau tanpa pemberian obat penyekat beta maka kematian
lebih rendah pada kelompok tanpa penggunaan penyekat beta. Risiko kematian meningkat sebanyak 2 kali lipat pada kelompok dengan penggunaan penyekat beta.
Ini merupakan hal penting yang menggambarkan suatu kenyataan bahwa denyut jantung lambat pada jantung normal memberikan sinyal alami bahwa kondisi
jantung pasien tersebut lebih sehat Cook, 2010.
Gambar 2.12. Risiko kematian terhadap laju denyut jantung pada penggunaan dan tanpa penggunaan penyekat beta Bangalore, 2010
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian Morbidity-Mortality Evaluation of the if inhibitor ivabradine in patients with coronary disease and left ventricular dysfunction study
BEAUTIFUL menunjukkan pada pasien PJK stabil dengan laju denyut jantung awal 70 kali per menit, penurunan laju denyut jantung akan mengurangi kejadian
perawatan berulang untuk IMA fatal dan tidak fatal serta kebutuhan untuk dilakukannya tindakan revaskularisasi. Akan tetapi, belum diketahui apakah hal ini
berlaku pula pada situasi kejadian akut dan apakah laju denyut jantung yang rendah tetap memiliki efek proteksi terhadap jantung Bangalore, 2010; Fox, 2008.
2.4.3. Indeks Syok