Syok Kardiogenik pada IMANEST

2.2.1. Syok Kardiogenik pada IMANEST

Jika iskemia dan infark yang terjadi meliputi area yang cukup luas, maka kontraktilitas miokard dapat terganggu. Ketika luas infark lebih dari 40 dari massa ventrikel kiri maka kemungkinan besar pasien akan jatuh ke kondisi syok kardiogenik Lilly, 2011. Syok kardiogenik adalah suatu kondisi hipoperfusi di organ target dikarenakan penurunan curah jantung sistemik pada kondisi dimana volume intravaskular memadai Hasdai, 2002; Reynolds, 2008. Parameter hemodinamik untuk mendiagnosis syok kardiogenik mencakup: 1. Hipotensi yang persisten TDS 80-90 mmHg atau tekanan darah rerata 30 mmHg lebih rendah dibandingkan TD awal dengan penurunan parah dari cardiac index 1.8 L.min -1 . m -2 tanpa pemberian pengobatan pendukung hemodinamik atau 2.0-2.2 L.min -1 . m -2 pada pemberian pengobatan pendukung hemodinamik Reynolds, 2008. 2. Adanya tekanan pengisian yang cukup atau berlebih yakni tekanan ventrikel kiri pada akhir pengisian diastolik left ventricular end-diastolic pressure yang 18 mmHg, atau tekanan ventrikel kanan pada akhir pengisian diastolik right ventricular end-diastolic pressure 10-15 mmHg. Diagnosis ini biasanya menggunakan kateterisasi arteri pulmonal secara invasif Giannuzzi, 1994; Reynolds, 2008. 3. Hipoperfusi dapat dilihat dari manifestasi klinis berupa akral dingin, penurunan volume urin, dan atau perubahan status mental Reynolds, 2008. Syok kardiogenik dapat ditegakkan dengan menggunakan beberapa parameter di atas namun penggunaan ini sangat rumit dan membutuhkan pemeriksaan invasif, sehingga syok kardiogenik dapat didiagnosa berdasarkan penemuan klinis saja, yakni penurunan tekanan darah yang disangkakan akibat penurunan kemampuan pompa jantung yang disertai dengan tanda hipoperfusi Hasdai, 2002. Seketika syok kardiogenik didiagnosa pada pasien IMA maka prognosis menjadi suram dan tidak dipengaruhi adanya elevasi segmen ST. Pada penelitian Global Use of Strategies to Open Occluded Coronary Arteries in Acute Coronary Syndromes IIb GUSTO IIb sebanyak 72.5 kematian terjadi pada populasi Universitas Sumatera Utara IMANEST dibandingkan 63 pada populasi IMAEST. Pada penelitian Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic Shock SHOCK, angka kematian juga tinggi dimana 62.5 pada populasi IMANEST dan 60.4 pada kelompok IMAEST p=0.649 GUSTO IIb Investigators, 1996; Hasdai, 2002; Hochman, 1996. Pada penelitian Anderson dkk, angka kematian pada IMANEST dengan syok juga terlihat lebih tinggi Anderson, 2013. Gambar 2.2. Angka kematian pada kelompok IMAEST dan IMANEST dengan dan tanpa syok kardiogenik Anderson, 2013 Pada penelitian SHOCK, pasien IMANEST yang mengalami syok berada pada kondisi awal yang berisiko tinggi termasuk usia lebih tua, memiliki riwayat IMA sebelumnya, riwayat gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan riwayat operasi bedah pintas koroner seluruh nilai p 0.001 Hasdai, 2002; Hochman, 1995. Perbedaan lain yang dijumpai antara syok kardiogenik pada pasien IMAEST dan IMANEST adalah Hasdai, 2002: 1. Syok kardiogenik terjadi lebih belakangan pada pasien IMANEST. 2. Kejadian iskemia dan infark berulang lebih sering pada kelompok IMANEST. 3. Kelompok pasien IMANEST memiliki kejadian oklusi pembuluh darah di tiga tempat yang lebih sering. Hal ini menyebabkan pasien IMANEST lebih sering menjalani operasi bedah pintas arteri koroner yang selanjutnya meningkatkan risiko mortalitas sesuai dengan risiko operasi tersebut Anderson, 2013. 4. Pada pasien IMAEST, sekitar 84 pasien dengan syok kardiogenik akan mendapatkan terapi revaskularisasi, berbanding hanya sekitar 35 pasien Universitas Sumatera Utara IMANEST yang mengalami syok kardiogenik yang kemudian menjalani terapi revaskularisasi Anderson, 2013. 5. Ukuran infark yang dinilai dengan peningkatan enzim creatine kinase lebih rendah pada kelompok IMANEST. 6. FEVK lebih rendah pada pasien pada populasi IMANEST yang mengalami syok. Tabel 2.1. Perbedaan terapi dan prosedur pada pasien syok kardiogenik dengan SKA pada kelompok IMAEST dan IMANEST Anderson, 2013 Syok kardiogenik bersifat memperparah kondisi dirinya sendiri. Hal ini dijelaskan dimana depresi miokard menyebabkan hipotensi, kemudian hipotensi yang terjadi semakin memperparah perfusi koroner, yang memperparah dampak iskemia jaringan, sementara di sisi lain penurunan volume sekuncup akan meningkatkan ukuran ventrikel kiri dan meningkatkan kebutuhan oksigen. Hal ini dapat dilihat pada gambar 7 dan 8 di bawah ini. Paradigma klasik memprediksi bahwa mekanisme kompensasi vasokonstriksi sistemik yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskular perifer seharusnya terjadi pada kondisi dimana curah jantung menurun signifikan Hochman, 2003; Lilly, 2011 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Komplikasi IMA Lilly, 2011 Gambar 2.4. Paradigma klasik syok Hochman, 2003 Jika penyebab syok tidak diatasi, maka kejadian syok akan berlanjut ke fase lebih progresif dimana terjadi hipoksia jaringan yang sangat luas. Metabolisme aerobik akan berubah menjadi anaerobik melalui glikolisis dengan produksi asam Universitas Sumatera Utara laktat yang berlebihan. Kelebihan asam laktat akan membawa kepada kondisi asidosis metabolik dimana akan menurunkan pH jaringan dan menurunkan respon vasomotor di jaringan perifer dan vasodilatasi arteriol yang menyebabkan darah mulai menumpuk di sirkulasi kapiler. Kondisi ini tidak hanya semakin menurunkan curah jantung namun juga menempatkan pasien pada kondisi cedera anoksia jaringan di sel endotel dan selanjutnya berkembang menjadi disseminated intravaskular coagulation DIC. Ketika iskemia terjadi di usus, maka hal ini akan menyebabkan flora normal usus berpindah ke sirkulasi, yang kemudian menyebabkan syok endotoksik yang memperparah syok kardiogenik. Pada suatu titik, pasien mengalami hipoksia berat yang terjadi di organ-organ vital dan menyebabkan gagal multi organ. Pada tahap ini, upaya apapun sangat sulit untuk menyembuhkan pasien dan kebanyakan pasien mengalami kematian Kumar, 2005.

2.3. Stratifikasi Risiko pada IMANEST

Dokumen yang terkait

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST

0 0 9

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST

0 2 8

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST Chapter III VI

0 0 25

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST

0 4 5

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST

0 0 2

Peran Indeks Syok Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien dengan Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST

1 16 18

Penambahan Nilai Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri pada Skor Grace Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskuler Mayor Pada Pasien Infark Miokardium Akut Non Elevasi Segmen ST

0 4 18

Penambahan Nilai Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri pada Skor Grace Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskuler Mayor Pada Pasien Infark Miokardium Akut Non Elevasi Segmen ST

0 0 2

Penambahan Nilai Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri pada Skor Grace Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskuler Mayor Pada Pasien Infark Miokardium Akut Non Elevasi Segmen ST

0 0 5

Penambahan Nilai Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri pada Skor Grace Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskuler Mayor Pada Pasien Infark Miokardium Akut Non Elevasi Segmen ST

0 0 17