Karena sifatnya yang visual dan merupakan kombinasi warna, suara dan gerakan, hingga nampak hidup dan nyata.
b. Masyarakat lebih tanggap.
Karena iklan televisi disiarkan dari tumah ke rumah dalam suasana yang serba santai atau rekreatif, maka masyarakat lebih siap
memberikan perhatian. c.
Repetisipengulangan. Iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari
sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikanya dan dalam frekuensi yang cukup
sehingga pengaruh iklan itu bangkit. d.
Adanya pemilihan area siaran zoning dan jaringan kerja networking yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat.
e. Ideal bagi para pedagang eceran. Selain karena para pedangan suka
menonton televisi, hal itu disebabkan iklan-iklan televisi memang sangat membantu usaha mereka, bahkan seolah-olah iklan tersebut
ditujukan semata-mata kepada mereka. f.
Terkait erat dengan media lain. Tayangan iklan televisi mungkin saja
terlupakan begitu cepat, tetapi kelemahan ini bisa diatasi dengan memadukannya pada wahana iklan lain.
2.5. Makna Indonesia
Perindo yang sebelumnya menyatakan diri sebagai ormas, resmi mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik pada 7 Februari 2015 lalu
2
. Sebagai sebuah partai politik baru, Perindo tentunya melakukan berbagai
langkah untuk mempromosikan partainya kepada khalayak. Salah satunya
2
Basuki Rahmat N., “Perindo Jadi Partai, Punya Potensi Untuk Menjadi Besar” online http:www.cnnindonesia.compolitik20150207233959-32-30401perindo-jadi-partai-punya-potensi-
untuk-menjadi-besar
14
dengan membuat tayangan-tayangan iklan di televisi. Adapun tayangan iklan yang akan peneliti bahas adalah iklan Perindo versi “Siapakah Indonesia”.
Dalam iklan tersebut, Perindo mentransferkan makna yang dirumuskan Perindo mengenai siapakah yang layak untuk disebut sebagai Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan dalam iklan “Siapakah Indonesia”, Indonesia bukanlah soal etnisitas ataupun agama apa yang dianut, namun “Indonesia adalah
mereka yang tulus hati mencintai negeri ini. Mereka yang tulus berjuang, bertindak secara nyata, menyejahterakan Indonesia.” Pada pernyataan tersebut
tersirat nilai-nilai kebangsaan yaitu patriotisme dan nasionalisme. Adapun menurut Abdulgani dalam Anwar 2014: 51-52 keduanya sama-sama bersumber
dari rasa cinta, namun kecintaan tersebut memiliki arah yang berbeda. Patriotisme lebih terarah pada tanah air, sedangkan nasionalisme adalah
kecintaan yang lebih terarah kepada sesama bangsa. Keduanya memuat nilai solidaritas, yaitu solidaritas terhadap nasib tanah dan bangsanya.
Suprapto dkk. dalam Sakty 2012: 9 menyatakan bahwa patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan
segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Menurut Bakry dalam Sakty 2012:9 Patriotisme merupakan jiwa dan semangat cinta tanah air
yang melengkapi eksistensi nasionalisme. Rashid dalam Sakty 2012: 10 menyebutkan beberapa nilai patriotisme, yaitu: kesetiaan, keberanian, rela
berkorban, serta kecintaan pada bangsa dan negara. Nasionalisme menurut Mardiasmo dalam Anwar 2014: 51:
“Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaaannya. Secara
umum, ini ada tiga, yaitu: otonomi nasionalis, kesatuan nasional dan identitas nasional. Dalam hal ini dapat dijelaskan otonomi nasional
sebagai kewajiban untuk mengatur dan mengurus tanah air sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
mengelola pemerintahan termasuk kekayaan alam. Kesatuan nasional, sebagai sifat tunggal demi pemersatu bangsa. Dan identitas nasional,
15
memiliki tujuan bahwa setiap golongan yang menjadikan asas pendapat kejadian memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bagi
negara kebangsaan.”
Lebih jauh lagi, Abdulgani dalam Anwar 2014: 52-53 mengungkapkan konsep nasionalisme Indonesia sebagai berikut:
“Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang tidak didasarkan atas persamaan ras, suku dan agama. Melainkan semata-mata
didasarkan atas suatu konsepsi mental spiritual, yaitu sikap mental untuk terus hidup bersatu sebagai bangsa, bersumber kepada
kebudayaan Indonesia sendiri dan berkepribadian sendiri. Ia adalah nasionalisme yang ber “Bhineka Tunggal Ika”, suatu dasar yang telah
diletakkan oleh pujangga Empu Tantullar dalam bukunya “Sutasoma” pada abad ke-13. Nasionalisme Indoensia mengutamakan kerukunan
dan menentang perpecahan. Hal ini juga berlaku di bidang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Nasionalisme dalam hal ini, memelihara
dan menyuburkan kerukunan itu.”
Konsep nasionalisme berkaitan erat dengan konsep bangsa. Menurut Suryadinata 2010: 187-188, negara-negara di Asia Tenggara umumnya terbagi
menjadi dua jenis: negara pribumi indigenous state dan negara imigran immigrant state. Negara pribumi cenderung menganut konsep ethno-nation
bangsa berdasarkan ras dan etnis sedangkan negara imigran cenderung pada konsep social-nation bangsa yang berdasarkan multi-ras dan multi-etnis.
Indonesia sendiri meskipun merupakan negara pribumi, namun pada dasarnya konsep kebangsaan Indonesia bukan berdasarkan ethno-nation karena Indonesia
terdiri dari berbagai suku bangsa. Akan tetapi ketika dihadapkan dengan “masalah Tionghoa”, konsep bangsa Indonesia seakan lebih dekat dengan ethno-
nation yang menonjolkan aspek kepribumiannya. Dalam konsep tersebut, kebangsaan seseorang ditentukan berdasarkan ras dan etnis, sehingga etnis
Tionghoa peranakan yang meskipun sudah berstatus sebagai WNI masih belum bisa dikatakan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
16
Sebenarnya, para proklamator kita memiliki konsep yang berbeda mengenai bangsa. Hatta memberi batasan bangsa Indonesia dalam arti politik,
yaitu seorang demokrat sejati yang berwarga negara Indonesia tanpa melihat keturunannya
3
. Sedangkan Bung Karno mendasarkan pemikirannya pada pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer. Menurut Ernest Renan, bangsa adalah
sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama. Artinya walaupun di
dalam suatu kelompok manusia terdapat berbagai suku, agama, ras, budaya, bahasa, adat istiadat dan sebagainya, namun mereka memiliki sejarah dan cita-
cita yang sama dan dapat disebut dengan bangsa Chotib, dkk., 2007: 5. Dengan mengacu pada pendapat Ernest Renan, Bung Karno mengatakan bahwa bangsa
adalah satu jiwa une nation est un âme. Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar une nation est un grand solidarité. Kebangsaan tidak bergantung
pada persamaan bahasa, meski dengan adanya bahasa persatuan dapat lebih memperkuat rasa kebangsaan. Mengutip pendapat Renan, Soekarno mengatakan
yang menjadi pengikat suatu bangsa untuk menjadi satu jiwa adalah kehendak untuk hidup bersama le désir d’ être ensemble
4
. Menurut Otto Bauer Cholis, dkk., 2007: 5, bangsa merupakan
sekelompok manusia yang memiliki persamaan karakter karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan
tumbuh kembangnya bangsa. Mengacu pada pendapat Bauer, Bung Karno menekankan perwujudan bangsa sebagai ekspresi persamaan karakter yang
tumbuh karena persatuan pengalaman. Dari pendapat Bauer, Bung Karno menyimpulkan bahwa meskipun agama, warna kulit, bahasanya berlain-lainan
asalkan sekelompok manusia selama bertahun-tahun mengalami nasib yang sama akan tumbuh persatuan watak, persatuan watak inilah yang menentukan sifat
3
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 188-189.
4
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 370.
17
bangsa
5
. Demikianlah pemikiran Bung Karno mengenai konsep bangsa. Menurut Bung Karno, kebangsaan Indonesia adalah satu tubuh dengan banyak
kaki. “Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya…. ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki
Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa… kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia”
6
2.6. Politik Identitas