Syarat Sahnya Perjanjian Akad

45 h. Harus ada kesesuaian tawaffuq antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari. i. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan tidak ada paksaan dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan dengan kata-kata, tulisan catatan, isyarat khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf ataupun dengan perbuatan seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya. Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

1. Syarat Sahnya Perjanjian Akad

Sebagai salah satu asas dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut. 48 Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah 48 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal.75. Universitas Sumatera Utara 46 kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad. Perlu ditegaskan bahwa, meskipun secara praktis yang dinyatakan sebagai rukun akad adalah ijab dan qabul yang merupakan manifestasi eksternal dari kehendak batin, akan tetapi yang dituju dan yang dimaksudkan adalah substansi yang terkandung di balik ijab dan qabul tersebut, yaitu perizinan ridha dan persetujuan. Oleh karena itu, antara perizinan dan ungkapannya yang berupa ijab dan qabul hendaknya tidak dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan. Perizinan adalah substansinya dan ijab dan qabul adalah penandanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa substansi ijab dan qabul adalah perizinan. Inilah yang disebut sebagai teori kepercayaan kehendak nyata dalam hukum perjanjian barat, sebagai lawan dari teori kemauan kehendak batin. 49 Ijab dan qabul yang tidak ada substansinya, hampa dari perizinan, tidak dapat menciptakan perjanjian yang sah secara hukum. Perizinan sendiri mengandaikan adanya kehendak. Orang yang tidak mempunyai kehendak tidak memiliki perizinan, seperti orang gila, hilang akal, anak yang belum muamayyiz. Akad pada dasarnya merupakan tindakan hukum yang berlandaskan pada kehendak untuk melahirkan akibat hukum. Setelah diketahui bahwa akad suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh aqad. Setiap pmbentukan aqad 49 Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 27 Universitas Sumatera Utara 47 atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadi akad ada dua macam. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi tambahan yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad: 1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak ahli. Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan mahjur kerena boros atau yang lainnya. 2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya. 3. Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang. 4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ seperti jual beli mulasamah. 5. Akad dapat memberikan faedah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah. 6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya. 7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal. Universitas Sumatera Utara 48 Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti menjadi wakil seseorang. Dalam hal ini disyaratkan antara lain: 1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli. 2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain . Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum nampak maka akad batal atau dikembalikan 50 . Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal kharijiy. Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut sesuatu yang disyaratkan, sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad. 50 http:hitsuke.blogspot.com200911akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih Muammalah Hendi Suhendi, diakses tanggal 10 September 2013. Universitas Sumatera Utara 49 Menurut Ahmad Azhar Basyir menentukan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut: 51 1 Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan; 2 Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad; dan 3 Tujuan akad harus dibenarkan syara’. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah: a. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan ‘urf yang berlaku. b. Harus ada kesesuaian tawaffuq antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari. c. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan tidak ada paksaan dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan dengan kata-kata, tulisan catatan, isyarat khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf 51 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hal. 99-100. Universitas Sumatera Utara 50 ataupun dengan perbuatan seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya. Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Menurut Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah shahih, rusak fasid, dan syarat yang batal batil, yaitu sebagai berikut: 52 1. Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat ‘urf. Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual beli, adanya hak pilih khiyar dan syarat sesuai dengan ‘urf, dan adanya garansi. 2. Syarat fasid, adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat shahih. Misalnya, membeli mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun. 3. Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya , akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah membelinya. Syarat pembentukan akad yang akan dibahas ada empat macam, yaitu: 53 1. Syarat in’iqad terjadinya akad; 52 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, Jakarta: Gema Insani, 2011, hal. 517. 53 Ibid. Universitas Sumatera Utara 51 Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan sesuatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak terwujud maka akan menjadi batal. Syarat ini ada 2 macam: a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad . syarat ini meliputi: 1 Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak 2 Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya 3 Akad itu diizinkan oleh syara’ selama dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan walaupun ia bukan aqid yang memiliki barang 4 Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli, mulasamah 5 Akad dapat memberikan faedah sehingga tidak sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah 6 Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal 7 Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat Universitas Sumatera Utara 52 tambahan idhafi yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan 2. Syarat sah; Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat- akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual beli disyariatkan oleh Hanafiah , terbebas dari salah satu ‘aib cacat yang enam yaitu: a. Jahalah ketidakjelasan b. Ikhrah paksaan c. Tauqit pembatasan waktu d. Gharar e. Syarat yang fasid 3. Syarat nafadz kelangsungan aqad Untuk melangsungkan akad diperlukan dua syarat: 54 a. Adanya kepemilikan dan kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai kekuasaan perwakilan. Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan perwakilan, maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf ditangguhkan, bahkan menurut Asy-syafi’i dan ahmad, akadnya batal. 54 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 152. Universitas Sumatera Utara 53 b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidak nafidz. 4. Syarat luzum Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat lazim. Untuk mengikatnya lazim-nya suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar pilihan, yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar ‘aib atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak mengikat lazim bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya. Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti menjadi wakil seseorang. Dalam hal ini disyaratkan antara lain: 1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli. 2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain Universitas Sumatera Utara 54 Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan 55 . Adapun macam-macam akad dapat dibagi sesuai dengan tinjauan-tinjauannya. Adapun macam-macam akad adalah: 56 . a. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad. b. Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang- barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran. c. Aqad Mudhaf ialah yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai pengulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.

C. Unsur-unsur Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam

Sistem ekonomi yang paling dikenal di dunia ada dua jenis, yaitu sistem ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan individu dan sistem ekonomi sosialis yang lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu. Hal 55 http:hitsuke.blogspot.com200911akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih Muammalah Hendi Suhendi, diakses tanggal 17 juli 2013 56 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal 50. Universitas Sumatera Utara 55 ini sama sekali berbeda dengan kondisi perekonomian Islam. Islam menerapkan keseimbangan antara seluruh kepentingan. Islam menerapkan sistem ekonominya dengan mempergunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu khusus dan kepentingan negara umum yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”. 57 Sistem Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek penerapan ilmu ekonomi sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintahpenguasa dalam rangka mengorganisi faktor produksi, distribusi, dan mamfaat barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturanperundang-undangan Islam Sunnatullah. 58 Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, artinya terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama. Dewasa ini ada dua sistem ekonomi yang dianut oleh umat manusia di dunia, yakni sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Multilevel marketing sesungguhnya adalah strategi dan taktik pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan distribusi produk, untuk membangun mata rantai distribusi yang produktif omzet penjualan yang pasti, permanen memiliki pelanggan tetap dan terkendali, lewat upaya memposisikan calon pelanggan customer sekaligus sebagai tenaga pemasar marketer sistem kerja konsep kemitraan multilevel marketing dan komoditi usahanya produk barang atau jasa yang diakui hukum untuk dipasarkan. 59 Strategi dan taktik ini betujuan untuk mengaktifkan tugas-tugas pemasaran di lapangan membangun opini pasar dan menjamin kontinuitas, dengan pola 57 A. Djazuli. dan Yadi Anwari. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat Sebuah Pengenalan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2002. hal. 20. 58 Suhrawardi.K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2000. hal.7 59 Ashari Akmal Tarigan. dkk. Ekonomi dan Bank Syariah. IAIN Press bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam FKEBI. Medan..2002. hal.311. Universitas Sumatera Utara 56 memindahkan atau membagi jalur periklanan dari media umum seperti televisi, radio, koran, majalah, tabloid, papan reklame dan sebagainya kepada manusia yang direkrut lewat pensponsoran. Salah satu gerakan ekonomi syariah di Indonesia adalah dengan menggunakan sistem dengan bisnis Islami. Bisnis Islami merupakan: “Serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kuantitas kepemilikan hartanya barangjasa termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya ada aturam halal dan haram”. 60 Pada proses perjanjian tidak selamanya menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan akad. Ada kalanya akad yang dilakukan itu mengandung kekurangan. Hal ini mengakibatkan akad tidak lagi sempurna. Akad ini disebut dengan akad yang cacat. Pada akad yang cacat, kekeliruan atau kesalahan ghalath. Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada zat jenis obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga, dan juga dikaji pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warnanya abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 60 M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma. Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani Press. 2002. hal.18. Universitas Sumatera Utara 57 Hukum Perjanjian Islam adalah hukum yang memandang suatu persoalanakad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa perjanjian yang benar dan shahih sebuah perjanjian kontrakakad tidak menjadi sah dan tidak halal dalam mata agama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang di dalam Surah An Nisa’ ayat 29. Yang menjadi dasar hukum dari akadperjanjian itu sendiri di dalam agama Islam. yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Maksud dari akad cacat adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan. 61 Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan atas kerelaan diri sendiri. Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, maka dijadikanlah ijab qabul sebagai penerjemah bahasa hati. Dalam sighah harus selaras antara ijab dan qabul. Apabila suatu pihak menawarkan ijab benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain harus menerima qabul dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan dengan benda B yang harganya seratus lima puluh rupiah. Dan dalam sighah pula, kedua belah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya transparansi, qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa 61 Hasballlah Thaib 3, Op. Cit, hal.133 Universitas Sumatera Utara 58 adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab dua hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus dilakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama. Salah satu rukun dari akad adalah aqidain atau pihak-pihak yang akan melakukan akad. Kriteria pelaku akadadalah ahliyah kecakapan, wilayah kuasa dan ridha kerelaan. Ahliyah kecakapan memiliki dua kriteria yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadi dua; sempurna dan tidak sempurna. Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurna adalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lain yang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna, seperti idiot. Jika tidak mempunyai ahliyah maupun wilayah, maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan. Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak mempunyai kuasa, seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung kepada izin pemilik barang. Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah apabila mengandung unsur riba. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan riba yaitu ikrah pemaksaan, mabuk, hazl terucap diluar Universitas Sumatera Utara 59 keinginannya, ghalath keliru, tadlis menyembunyikan aib dan ghabn penipuan 62 . Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang pertama shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua, batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah. Maisir adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana pihak yang menang mengambil harta atau materi dari pihak yang kalah. Gharar diibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai tentang subjek atau objek akad. Sedangkan Riba adalah setiap kelebihan yang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima. Sebagai contoh aplikatif ulasan Wahbah Az-Zuhaili tentang jual beli yang dilarang dalam beberapa kategori 63 . Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa, dan seorang mahjur ‘alaih. Kedua; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Seperti jual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antara ijab dan qabul, dan jual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami. 62 Ibid, hal.134 63 Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah Muhaqqiq, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Penerbit: Daar al-Fikr, hal.123. Universitas Sumatera Utara 60 Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari mahallul ‘aqd. Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual beli ma’dum, jual beli barang yang tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung unsur gharar. Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnya bai’ ‘inah, riba, jual beli orang kota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya. 64 Dengan demikian yang menjadi unsur-usur dari akad yang cacat adalah: 1. PaksaanIntimidasi Ikrah. Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. 2. Kekeliruan atau kesalahan Ghalath. Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat jenis obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari tembaga dan pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi 64 Jumal Ahmad, “Teori Akad Transaksi dalam Hukum Islam”, http:www.fimadani.comteori-akad-transaksi-dalam-hukum-islam , diakses tanggal 20 Juli 2013. Universitas Sumatera Utara 61 pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 3. Penyamaran Harga Barang Ghabn. Ghabn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad barang dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. 4. At-Tadlisat-Taghrir Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar. 5. Al-Jahalah yaitu hal mengakibatkan persengketaan yang menyebabkan rusaknya akad. 6. Al-Gharar yaitu semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian. Universitas Sumatera Utara

BAB III AKIBAT HUKUM AKAD YANG CACAT DALAM

HUKUM PERJANJIAN ISLAM

A. Bentuk-Bentuk Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam

Akad yang cacat merupakan akad yang dapat dimintakan pembatalannya. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk akad yang termasuk ke dalam kategori akad yang cacat adalah sebagai berikut: 1. Al-Ikrah Paksaan Ikrah berasal dari kata akraha-yukrihu-ikraahan. Jika dikatakan: akraha fulanan ‘ala al-amri; hamalahu ‘alaihi qahran memaksa fulan atas satu perkara; memaksanya untuk melaksanakan urusan tersebut 65 . Adapun menurut istilah para fuqaha, Ikrah adalah memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu yang dibencinya baik berupa ucapan ataupun perbuatan dengan gertakan dan ancaman. Dalam kamus al-Musthalahat al-Iqtishadiyyah disebutkan 66 , Ikrah adalah paksaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu yang dipaksakan, hingga paksaan tersebut meniadakan kerelaannya. Paksaan merupakan cacat kehendak yang paling fatal dalam hukum Islam karena sifatnya sangat kongkrit, mangekang kehendak dan memaksanya dengan seketika. Paksaan secara etimologi adalah menyuruh orang lain pada perkara yang 65 My Rayhan, “Cacat-cacat Akad ‘Uyub al-’ Aqdi, http:myrayhan .blogspot.com 201201 cacat-cacat-akad-uyub-al-aqdi_19.html, diakses tanggal 20 Juli 2013. 66 Ibid 62 Universitas Sumatera Utara 63 tidak dikehendakinya, sementara menurut para Fuqaha’ paksaan adalah menyuruh seseorang untuk mengerjakan suatu perbuatan yang tiada. Para fuqaha membedakan dua macam paksaan, paksaan sempurna penuh dan paksaan tidak sempurna. Paksaan dikatakan penuh apabila hal yang dipaksanakan melakukan oleh pihak dipaksa dengan adanya ancaman yang menyangkut keselamatan jiwa atau hilangnya sebagian anggota badan, paksaan dikatakan tidak sempurna. 67 Ikrah dianggap berlaku jika mengandung dua hal, yaitu pihak yang memaksa hendaknya mampu melaksanakan ancamannya, dan pihak yang dipaksa hendaknya memiliki perasangka yang kuat bahwa ancaman tersebut akan dilakukan padanya. Kalau salah satu dari dua hal tersebut apalagi kedua-duanya tidak ada, maka ikrah itu dianggap hanya main-main dan tidak berpengaruh sama sekali. Ikrah itu ada dua: a. Ikrah mulji’ yaitu paksaan ikrah yang dapat merusak kerelaan dan hak pilih. Dalam hal ini, pihak yang dipaksa mukrah seperti sebuah alat yang berada di tangan si pemaksa mukrih. Paksaan ini biasanya dalam bentuk ancaman pembunuhan, ancaman membuat cacat anggota tubuh atau pemukulan berat yang dikhawatirkan dapat menghilangkan nyawa atau anggota badan, atau melenyapkan seluruh harta. Ikrah mulji’ seperti ikrah yang disertai dengan ancaman penghilangan nyawa atau anggota badan, maka ikrah tersebut membatalkan akad jual beli dan juga akad-akad lainnya. 67 Hasballlah Thaib 3, Op. Cit, hal.133 Universitas Sumatera Utara 64 b. Ikrah ghair mulji’ yaitu paksaan ikrah yang merusak kerelaan namun tidak merusak hak pilih, dan ini bisa dalam bentuk ancaman berupa gangguan yang lebih rendah dari ancaman yang disebutkan di atas, seperti ancaman dengan pukulan yang tidak menghilangkan nyawa atau anggota badan, atau melenyapkan sebagian harta. Adapun apabila gangguan itu ringan yasir, maka ia tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan ia tidak dianggap sebagai sebuah paksaan. Dan untuk membedakan antara gangguan yang tidak perlu dipedulikan dengan gangguan yang akan meningkat menjadi ikrah paksaan adalah kembali kepada keputusan hakim. Karena dalam hal itu tidak ada batasan yang pasti, sedangkan membuat batasan dengan akal jelas tidak mungkin, maka keputusannya dikembalikan kepada hakim, karena bisa berbeda-beda tergantung dari kondisi manusia. Ada orang yang tidak merasa terancam kecuali bila dipukul dengan keras atau dipenjara dalam waktu lama. Namun ada juga yang merasa terancam hanya dengan dimarahi atau digertak. Para fuqaha telah sepakat bahwa berbagai kegiatan keuangan yang didasari oleh kerelaan, seperti jual beli dan sejenisnya tidak dianggap sah apabila dilakukan dengan paksaan. Namun, apakah semua kegiatan itu dibolehkan setelah hilangnya paksaan atau tidak.Yakni apabila muncul kerelaan setelah sebelumnya dipaksa, apakah bisa dibenarkan atau tidak, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan Abu Hanifah membolehkannya 68 . Seperti 68 Ibid, hal.135 Universitas Sumatera Utara 65 yang diungkapkan oleh ulama fikih bahwa akad yang disertai paksaan ikrah adalah akad yang fasid tapi sahnya akad dengan keridhaan 69 . 2. Al-Ghalath Kesalahan Kesalahan disebut juga dengan kekeliruan. Kekeliruan yang dimaksud di sini adalah kekeliruan yang terjadi pada objek akad, bukan pada subjeknya. Ghalath berasal dari kata ghalitha-yaghlathu-ghalathan, yang menurut bahasa berarti al-khata kesalahan. Cacat ini berkaitan dengan objek akad tertentu, yaitu dengan menyebutkan satu gambaran tertentu tentang objek akad, namun ternyata yang tampak adalah kebalikannya. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata berlian tersebut hanya terbuat dari kaca, atau orang yang membeli pakaian dari sutera, namun ternyata hanya terbuat dari kapas. Ghalath itu ada dua macam: a Ghalath yang mengakibatkan batalnya akad, yaitu yang perbedaannya kembali kepada perbedaan jenis, atau perbedaan yang signifikan pada manfaatnya, seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara hewan sembelihan dengan bangkai pada akad jual beli daging. b Ghalath yang perbedaan jenis atau perbedaan manfaatnya tidak signifikan, seperti orang yang membeli hewan jantan, dan ternyata hewannya betina, atau sebaliknya. Ghalath seperti ini tidaklah membatalkan akad, namun pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkannya. 69 Buchari Alma. Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, Penerbit Alfabeta, Bandung 2010, hal 251. Universitas Sumatera Utara 66 3. Al-Ghabn Penyamaran Harga Ghabn menurut bahasa adalah al-khida’ penipuan. Jika dikatakan: ghabanahu ghabnan fi al-bai’ wa asy-syira’; khada’ahu wa ghalabahu dia benar- benar menipunya dalam jual beli; yaitu menipunya dan mengalahkannya, ghabana fulanan; naqashahu fi ats-tsaman wa ghayyarahu dia menipu fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya 70 . Adapun menurut istilah, ghabn adalah pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau tukar menukar antara dua alat kompensasi yang tidak adil karena tidak adanya kesamaan antara yang diambilnya dengan yang diberikannya. Seperti orang yang menjual rumah seharga sepuluh padahal harganya hanya delapan. Maka dari pihak orang yang melakukan penyamaran harga, berarti memindahkan kepemilikan barang dengan kompensasi lebih dari harga barangnya. Sementara dari pihak yang disamarkan harga barangnya, berarti ia memiliki barang dengan harga lebih mahal dari harga yang sebenarnya. Ghabn menurut para fuqaha ada dua macam, yaitu: ghabn yasir penyamaran ringan dan Ghabn fahisy penyamaran berat.Ghabn yasir penyamaran ringan adalah: penyamaran harga yang tidak sampai keluar dari harga pasaran taqwim al- muqawwimin, yaitu harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di pasar 71 . 70 Hasballlah Thaib 3, Op. Cit, hal.136 71 Ibid, hal.137 Universitas Sumatera Utara 67 Dalam kegiatan muamalah hampir tidak bisa terlepas dari adanya ghabn yasir seperti ini. Oleh karena itu, dalam semua jenis akad, ghabn seperti itu dapat dimaklumi, dan tidak ada pengaruhnya.Ghabn fahisy penyamaran berat adalah penyamaran harga yang sampai mengeluarkan barang dari harga pasarannya. Ghabn seperti ini membatalkan akad yang subjeknya adalah harta waqaf atau harta orang yang dicekal mahjur ‘alaihim, atau harta Baitul Mal, karena pengoperasian harta- harta semacam ini harus berada dalam lingkaran kemaslahatan harta tersebut. Adapun pengaruh ghabn fakhisy pada akad-akad lainnya, terjadi perbedaan pendapat antar para ulama: 1. Ghabn semacam itu tidak ada pengaruhnya, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya akad juga menjaganya agar tidak batal. Karena orang yang menjadi korban penyamaran harga tidak lepas dari sikap lalai dan terburu- buru. Maka ia juga harus menanggung akibat perbuatannya itu. 2. Orang yang menjadi korban penyamaran harga memiliki hak untuk membatalkan akad agar dia dapat terlepas dari perbuatan semena-mena terhadap dirinya 3. Ghabn seperti ini jika tujuannya adalah penipuan dari Ghabin pihak yang menyamarkan harga, maka pihak yang menjadi korban maghbun memiliki hak untuk membatalkannya. Dan jika tujuannya bukan untuk menipu pembeli, maka tidak ada pengaruhnya. Kemungkinan pendapat inilah yang paling pas dari semua pendapat di atas. Universitas Sumatera Utara 68 Pembedaan antara ghabn yasir penyamaran ringan dengan Ghabn fahisy penyamaran berat adalah kembali pada ‘urf kebiasaan. Karena tidak ada batasan kongkrit dalam masalah ini. Adapun berbagai perkiraan tentang batasan penyamaran harga yang diungkapkan sebagian fuqaha tidak dianggap sebagai syariat yang pasti. Namun semua itu didasari oleh berbagai kebiasaan al-a’raf yang tersebar pada masa mereka. 4. At-Tadlisat-Taghrir Penipuan Pemalsuan atau penipuan adalah menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar. Misalnya, orang menjual kambing perahan, beberapa hari sebelumnya tidak diperah agar kiranya bahwa air susunya amat deras karena susunya pada waktu kambing itu dijual tampak amat penuh. 72 Penipuan itu bila tidak sesuai faktanya untuk tujuan akad. 73 Tadlis berasal dari kata dallasa-yudallisu-tadlisan. Menurut bahasa ad-dalas berarti adz-dzulmah kegelapan 74 dan ad-dals berarti al-khadi’ah penipuan. Tadlis adalah ikhfa al-‘aib menyembunyikan cacat. Sedangkan tadlis dalam jual beli adalah menjual suatu barang yang mengandung cacat dengan tanpa menjelaskan cacatnya tersebut pada pihak pembeli. Menurut Abdul Halim Mahmud al-Ba’li, yang dimaksud dengan tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan mengakibatkan kerugian salah satu pihak yang berakad, juga dikatakan Tadlis adalah penipuan. 75 72 Ibid, hal. 138. 73 Harlien Budiono, Kumpulan tulisan Hukum perdata di Bidang kenotariatan, Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 2008, hal.373. 74 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan agama, Jakarta;Kencana, 2012, hal. 94-95. 75 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, PT. Raja Grafindo Persada,2007, hal.168. Universitas Sumatera Utara 69 Tadlis itu terbagi dua: a Tadlis perkataan qauli seperti seseorang yang menjual suatu barang dengan mengatakan bahwa barang tersebut terbebas dari cacat dan lain- lain b Tadlis perbuatan fi’li seperti dalam kasus tashriyyah yaitu membiarkan susu ternak tidak diperah agar dianggap selalu bersusu banyak dan lain- lain. Jika terjadi tadlis maka orang yang tertipu mudallas memiliki khiyar. Ia boleh tetap melanjutkannya dan mempertahankan barang yang diperjual belikan, yang artinya ia ridharela dengan barang tersebut. Ia juga boleh memfasakh membatalkan akad jual-beli, yakni ia kembalikan barang tersebut dan meminta kembali secara penuh harga yang telah ia bayarkan. Tadlis yang menetapkan khiyar ada dua bentuk: 1 Tadlis yang meningkatkan harga meski tidak ada aib, Seperti memerahi wajah hamba sahaya perempuan, menghitamkan rambutnya dan semacamnya, juga seperti membiarkan susu tetap di kambingnya, dengan tidak diperah 2 Tadlis dengan menutupi ‘aib cacat Dalam tadlis bentuk pertama adalah adanya perlakuan terhadap barang yang bisa mengaburkanmengelabui pembeli sehingga menduga atau menganggap barang tersebut memiliki kualitas, fungsi, spesifikasi atau Universitas Sumatera Utara 70 lainnya, lebih dari yang sebenarnya. Tujuannya tentu saja agar harga barang itu lebih tinggi. Contoh tadlis bentuk ini untuk saat sekarang: merekondisi barang sehingga tampak seolah-olah baru atau belum lama dipakai, mematikan speedometer dan baru dihidupkan lagi saat mau dijual, mengecat ulang bodi mobil, mengganti chasing HP dengan chasing baru, dan lain sebagainya. Semua itu akan bisa membuat pembeli mengganggap kondisi barang lebih dari yang sebenarnya. Dalam tadlis bentuk kedua yaitu tadlis dengan menutupi ‘aib cacat, ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak halal seorang muslim menjual sesuatu yang mengandung cacat kepada saudaranya kecuali ia menjelaskan jualannya itu kepada saudaranya, Bukhari Muslim” 76 . Hadis ini dengan jelas menyatakan bahwa seseorang yang menjual barang cacat, tidak halal baginya kecuali ia menjelaskan cacat yang ada itu. Ini sekaligus menjelaskan bahwa menjual tanpa menjelaskan cacat itu merupakan tata cara memperoleh harta secara haram. Namun, kadang barang cacat itu tidak mungkin dikembalikan, misalnya mobil sudah bertabrakan atau bahan baku sudah terlanjur diproses. Padahal pembeli tidak rela dengannya karena cacat atau kurang, tetapi 76 Ibid, hal.166. Universitas Sumatera Utara 71 harganya sudah dibayar. Jika tidak rela, secara syar’i pembeli itu memiliki khiyar untuk mengembalikan barang, tetapi hal itu tidak mungkin karena kondisi yang terjadi. Untuk menghilangkan dharar dari pembeli itu maka ia bisa merujuk kepada penjual agar membayar nilai cacat tersebut. 5. Al-Jahalah Jahalah menurut bahasa berasal dari jahiltu asy-syai’ saya tidak tahu suatu hal lawan dari ‘alimtuhu saya mengetahuinya. Dan jahalah adalah melakukan suatu perbuatan tanpa ilmu. 77 Adapun jahalah menurut istilah, para fuqaha menggunakan kata jahalah baik untuk manusia yang tidak diketahui keyakinannya, perkataannya, ataupun perbuatannya, juga mereka menggunakan kata jahalah pada aspek-aspek lain di luar manusia seperti barang dagangan dan lain-lain. Sehingga sesuatu yang majhul, mereka mensifatinya dengan jahalah. Jahalah itu ada tiga tingkatan: 1 Jahalah fahisyah, yaitu jahalah yang dapat mengakibatkan persengketaan. Jahalah ini menjadikan akad tidak sah, karena diantara syarat sah akad adalah agar objek akad itu ma’lum diketahui dengan pengetahuan yang meniadakan persengketaan. 2 Jahalah yasirah, yaitu jahalah yang tidak mengakibatkan persengketaan. Jahalah seperti ini dibolehkan dan akad dengan adanya jahalah ini juga sah, seperti jahalah pondasi rumah dan lain-lain. 77 Hasballah Thaib 3, Op. Cit, hal. 144. Universitas Sumatera Utara 72 3 Jahalah mutawassithah, yaitu jahalah antara fakhisyah dan yasirah. Para fuqaha berbeda pendapat dalam jahalah ini. Sebagian mereka menganggap bahwa hukumnya sama dengan jahalahfakhisyah. Namun sebagian yang lain menganggapnya sama dengan jahalah yasirah. Setiap jahalah yang bisa mengakibatkan persengketaan berarti merusak akad. Seperti seseorang yang menjual seekor kambing yang tidak tertentu dari segerombolan kambing yang ada. Maka pihak penjual, kadang ingin memberikan kambing yang kualitasnya jelek dengan alasan tidak adanya ta’yin penentuan barang. Pihak pembeli juga kadang ingin mengambilkambing yang kualitasnya bagus dengan alasan yang sama, maka akad sepertiini menjadi rusak fasad menurut ulama Hanafiyah 78 . Gambaran jahalah fahisyah itu ada empat: 1 Jahalah yang berkaitan dengan objek akad, seperti seseorang yang membeli seekor sapi dengan syarat sapi tersebut menghasilkan susu sekian liter, maka syarat tersebut mengandung gharar dan jahalah, hingga syarat tersebut tidak berlaku dan dianggap rusak. 2 Jahalah dalam hal waktu, karena dalam jual beli disyaratkan agar waktunya jelas diketahui, dan jika waktunya tidak diketahui majhul maka rusaklah jual beli tersebut, seperti ketika bertiupnya angin, turun hujan, waktu datangnya fulan, waktu panen, waktu datangnya para jemaah haji, dan lain sebagainya. 78 Abdul Manan, Op.Cit, hal. 101-102. Universitas Sumatera Utara 73 3 Jahalah dalam hal harga, karena jual beli dengan harga yang tidak jelas majhul adalah fasid. Misalnya pihak pembeli berkata, aku beli barang ini dari anda dengan harga seperti orang-orang membelinya, maka jual beli tersebut fasid. 4 Jahalah dalam hal jaminan barang atau seseorang, seperti jika pihak penjual mensyaratkan pada pihak pembeli agar mendatangkan seorang penjamin kafil, padahal kafil tersebut tidak ada di tempat berlangsungnya akad, maka akad tersebut rusak fasid, karena dia tidak tahu apakah kafil tersebut mau memberikan jaminan atau tidak, juga karena bolehnya akad ini berkaitan dengan adanya persetujuan kafil untuk memberikan kafalah, ketika persetujuan kafil itu menjadi syarat padahal kafil tersebut tidak ada di lokasi akad, maka akad itupun tidak dibolehkan. Jika pihak penjual mensyaratkan pada pihak pembeli agar menyerahkan barang jaminan, jika barang jaminannya majhul, maka akad itu pun fasid, karena diterimanya akad tersebut berkaitan dengan barang jaminan, dan jika akad itu harus diketahui, maka yang berkaitan dengan akad barang jaminan juga harus diketahui. 6. Al-Gharar Menurut bahasa, al-gharar adalah, al-khathr pertaruhan. Syaikh As-Sa’di menyatakan, al-gharar adalah al-mukhatharah pertaruhan dan al-jahalah ketidak jelasan. Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Dari penjelasan ini dapat Universitas Sumatera Utara 74 diambil pengertian bahwa yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian 79 . Dalam syari’at Islam, jual beli gharar dilarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar” 80 . Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui” Al- Baqarah 188. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”Al-Maidah 90. 81 Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam: 1. Gharar yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya bai’ al-ma’dum. 79 Hasballah Thaib 3, Op. Cit, hal. 150. 80 Hadits Abu Hurairah,hal 231 81 Al-Qur’an surah Al-Maidah 90 Universitas Sumatera Utara 75 2. Gharar yang disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya. Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan sedikit atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar ketidak jelasan yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam hammam pemandian dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan. Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya”. 3. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua. Misalnya menjual sesuatu yang terpendam di tanah dan lain-lain 82 . Pada permasalahan ini Ibnul Qayyim menyatakan, gharar objek yang tidak bisa dipastikan 83 dan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di lepas. Dari 82 Hasballah Thaib 3, Op. Cit, hal. 144. 83 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal.199 Universitas Sumatera Utara 76 penjelasan tersebut diatas dapat ditarik suatu pandangan bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang, jadi jual beli yang ada mengandung akan unsur gharar yang masih menjadi perselisihan pendapat dari para ulama-ulama maka belum pasti dapat diambil suatu kesimpulan bahwa benda-benda yang termasuk didalam unsur gharar dilarang.

B. Akibat Hukum Akad Yang Cacat dalam Hukum Perjanjian Islam

Jumhur mayoritas para ulama berpendapat bahwa status akad jual beli yang barangnya cacat dan tidak dijelaskan oleh penjual, hukumnya sah, akan tetapi penjualnya berdosa. Berdasarkan sabda Nabi SAW, “Jangan lakukan tashriyah membiarkan hewan ternak yang sedang menyusui untuk tidak diperah agar kelihatan banyak susunya saat dijual 84 . Siapa yang telanjur membeli hewan yang ditashriyah setelah ia memerah susunya, ia berhak memilih antara meneruskan untuk membeli atau jika ia tidak rela boleh mengembalikan hewan serta menarik uang dan ia harus memberikan 1 sha’ kurma untuk pemilik hewan.” –HR Bukhari dan Muslim 85 Pilihan yang diberikan Nabi SAW kepada pembeli yang tertipu karena tidak dijelaskan aibnya oleh penjual untuk meneruskan pembelian atau mengembalikannya menunjukkan bahwa akadnya sah. Dan hak pembeli yang tertipu untuk memilih dalam kasus ini disebut khiyar aib. Seseorang yang membeli barang, ternyata barang tersebut cacat dan dia tidak mengetahui sebelumnya dan juga tidak diberitahu oleh penjual, dia berhak memilih di 84 Muhammad Fu’ad, Kumpulan Hadits shahih Bukhari Muslim, Jakarta: Insan Kamil, 2012, hal.37 85 Ibid, hal. 76 Universitas Sumatera Utara 77 antara meneruskan pembelian tanpa kompensasi apa pun dari pihak penjual, sebagaimana disebutkan dalam hadist tashriyah di atas, atau mengembalikan barang dan menarik kembali uang yang telah dibayar, serta keuntungan memakai barang sejak waktu pembelian hingga pengembalian tidak perlu ia bayar. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwa seorang laki-laki membeli budak, setelah ia pekerjakan selama beberapa waktu. Ternyata budak tersebut cacat. Ia mengembalikannya kepada penjual serta meminta kembali uangnya. Penjual meminta biaya selama budak digunakan oleh pembeli 86 . Maka Nabi bersabda “Ia tidak berhak memintanya, karena jika budak itu mati tentu kerugian ditanggung oleh pembeli.” 87 –HR Ahmad; hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Qatthan; Menahan barang serta meminta sebagian dari uang yang telah dibayarkannya sesuai dengan kekurangan harga barang tersebut dikarenakan cacat, uang ini disebut dengan Arsy kompensasi. Ini merupakan pendapat mazhab Hambali. Jumhur mayoritas para ulama berpendapat, pilihan ketiga bukanlah hak pembeli, karena tidak ada dalil soal itu. Dengan demikian, jumhur mensyaratkan untuk pilihan ketiga: dikembalikan kepada kerelaan penjual untuk memberikan kompensasi Arsy. Arsy dihitung dengan cara sebagaimana contoh di bawah ini: A membeli mobil dengan harga Rp 54.000.000. Ternyata transmisinya tidak berfungsi. Untuk menentukan jumlah uang yang harus dikembalikan penjual, harga 86 Ibid, hal 56 87 Muhammad Fu’ad, Op. Cit,. hal.137 Universitas Sumatera Utara 78 mobil ditaksir oleh pedagang yang berpengalaman soal harga mobil bekas. Ia menaksir mobil dalam keadaan baik, misalnya harganya Rp 45.000.000, dan dalam kondisi transmisi rusak harganya Rp 40.000.000. Selisih antara dua harga adalah Rp 5.000.000, sama dengan 19 dari harga keseluruhan. Maka pembeli boleh memilih: menarik kembali seluruh uangnya Rp 54.000.000, atau mengambil mobil tersebut dan menarik arsy sebanyak 19 x Rp 54.000.000 = Rp 6.000.000, jika penjual ridha. 88 Berdasarkan contoh diatas maka untuk mengidentifikasi akad yang cacat dan akibat hukumnya dapat dilihat dalam 2 kategori yaitu: 1. Akad yang dapat dibatalkan. Tidak setiap akad mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada akad-akad tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan kerelaan atau kehendak sebagian pihak. Suatu akad menjadi batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut: a. PaksaanIntimidasi Ikrah Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk 88 Kumara, “Menyembunyikan Cacat Barang, Transaksi Tidak Sah?”, “http:www.citraislam.commenyembunyikan-cacat-barang-transaksi-tidak-sah”, diakses tanggal 19 Juli 2013 Universitas Sumatera Utara 79 bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. Suatu akad dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya, orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya, ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat, orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya. Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap akad yang dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. 89 Akibat hukum dari paksaan dalam hukum positif sebagaimana disebutkan dalam pasal 1323-1324 KUHPerdata, paksaan tidak mengakibatkan perjanjian batal demi hukum melainkan hanya dapat dibatalkan dalam arti perjanjian tersebut sah tapi bisa dibatalkan oleh orang yang akad. b. Kekeliruan atau kesalahan Ghalath. Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat jenis obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga, pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna 89 http:makalahkomplit.blogspot.com201303makalah-pengertian-akad.html, diakses tanggal 27 Januari 2014. Universitas Sumatera Utara 80 abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 2. Akad yang batal demi hukum. Akad yang cacat yaitu akad yang apabila rukun akad sudah terpenuhi tetapi syarat akad tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi cacat fasid. Akad yang cacat adalah suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya menjual rumah tidak ditunjukkan tipe, jenis dan bentuk rumah. Jual beli ini akan sah bila unsur fasidnya dihilangkan. Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak. Akad batil adalah akad yang cacat pada salah satu rukunnya atau cacat pada syarat yang wajib melekat pada rukun akad, sedangkan akad fasid adalah akad yang cacat diluar rukun-rukun akad. Tidak terpenuhinya salah satu rukun ataupun syarat akad maka akad dianggap tidak sah atau batal demi hukum. Akad adalah sebuah kontrak yang merupakan suatu persetujuan dan konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat. Dalam suatu akad atau perjanjian ataupun kontrak menurut hukum Islam adanya pertalian ijab kabul yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad tersebut dan dengan sedirinya memiliki kewajiban dan hak yang melekat pada akad tersebut Universitas Sumatera Utara 81 yang mengikat para pihak. Akad tersebut juga harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Namun demikian, dengan batalnya suatu akad atau akad tersebut batal demi hukum maka hapuslah segala hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak. Universitas Sumatera Utara 82

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK YANG

DIRUGIKAN DISEBABKAN AKAD YANG CACAT MENURUT HUKUM PERJANJIAN ISLAM

A. Khiyar dan Hubungannya dengan Akad Cacat

Khiyar adalah boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan menarik kembali, tidak jadi jual beli. Dalam artinya apabila ada orang berjual beli satu benda, selama mereka belum berpisah dari majlis itu masing- masing ada haq boleh urungkan jual beli tersebut. 90 Khiyar syarat adalah khiyar milik salah satu pelaku akad, atau keduanya, atau selain keduanya dalam mempertahankan akad atau membatalkannya dalam jangka waktu tertentu, jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Khiyar ini dimilki pelaku lain mensyaratkannya untuk dirinya. Para ulama fiqh mendefinisikan al khiyar dengan: Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi. 91 Hak Khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik- baiknya. Status khiyar menurut ulama fiqh, adalah disyariatkan atau dibolehkan 90 http:sofi-pai.blogspot.com201106khiyar.html, diakses tanggal 21 Juli 2013. 91 Gemala Dewi, dkk, Op. Cit, hal. 80 82 Universitas Sumatera Utara 83 karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. 92 Hikmah-hikmah yang mengharuskan melakukan khiyar, dapat disimpulkan sebagaimana berikut: 1. Untuk membuktikan dan mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian. 2. Supaya pihak penjual dan pembeli merasa puas dalam urusan jual beli 3. Untuk menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli 4. Untuk menjamin kesempurnaan dan kejujuran bagi pihak penjual dan pembeli. 93 Ada beberapa bagian mengenai khiyar, yaitu: 1. Khiyar al-majelis Khiyar al-majlis yaitu hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. Artinya suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan atau salah seorang di antara mereka melakukan pilihan untuk menjual atau membeli. Khiyar majlis adalah hak pilih bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan 92 Hasballah Thaib 3, Op. Cit, hal. 22. 93 Muhammad Washito, “Macam-macam Khiyar Hak Pilih dalam Akad Jual Beli,” Jakarta, Majalah Pengusaha Muslim Edisi 9 Volume 1 Tanggal 15 September 2010. Universitas Sumatera Utara 84 oleh dua pihak seperti akad muawazhot tukar menukar seperti jual beli dan ijaroh persewaan. 2. Khiyar at-Ta’yin Khiyar at-ta’yin yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli. Contoh adalah dalam pembelian keramik, misalnya ada yang kualitas super KW1 dan sedang KW 2. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar keramik dan arsitek. Biasanya barang yang dijual memiliki tiga kualitas yaitu biasa, menengah dan istimewa. Pembeli diberikan hak pilih tayin untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri tanpa menadapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku bagi akad-akad muawwadat yaitu akad-akad yang mengandung tukar balik seperti macam-macam jual beli dan hibah. Tidak semua fuqaha sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud khiyar ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam barang yang ditransaksikan. Syarat-syarat khiyar tayin: a. Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa. Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga klasifikasi di atas. Lebih dari itu tidak diperlukan lagi khiyar. b. Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-tingkat. Universitas Sumatera Utara 85 c. Masa khiyar tayin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya tiga hari. 94 Jika pembeli sudah menjatuhkan pilihannya pada salah satu jenis barang yang ditawarkan, maka akad sudah jadi dan kepindahan kepemilikan telah berlaku 3. Khiyaral ‘aib cacat Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika ia tidak suka ia kembalikan sebagai ganti perahannya adalah memberi satu sha’ tamar.” 95 Manurut Ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongannya tanduk binatang yang akan dijadikan korban. 4. Syarat Tetapnya Khiyar Khiyar‘aib setelah diteliti mempunyai beberapa syarat yaitu: 1. Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada ditangan pembeli, ‘aib tersebut tidak tetap. 2. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan menerima barang, tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridho. 94 http:pelukis.multiply.comjournalitem1, diakses 17 Juli 2013. 95 Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 Universitas Sumatera Utara 86 3. Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada caca. Denga demikian jika penjual mensyaratkan tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskan, gugurlah hak dirinya. Hal itu sesuai dengan dengan pendapat ulama Hanafiyah. 96 Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan menurut salah satu riwayat dari Hanabilah berpendapat bahwa seorang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib, apabila ‘aib tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak diketahui oleh pembeli. 5. Waktu Khiyar ‘Aib Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama, mengenasi membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan, yaitu: 1. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan ketika diketahui cacat yakni secara langsung, tidak boleh ditangguhkan. 2. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan ketika diketahui cacat yang ditangguhkan, tidak secara langsung menurut adat 97 . Untuk khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu yang menagklibatkan habis dan tidaknya kesempatan akad. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad 96 Hasballah Thaib 3, Op. Cit, hal. 33 97 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia, 2004, hal.68 Universitas Sumatera Utara 87 batal dengan ucapan pembeli, “Saya kembalikan” tanpa membutuhkan keridhaan atau keputusan hakim. Hak kepemilikan barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada ditangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli secara lazim. Dampak dari khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi lazim, atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad menjadi batal. Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih barang yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut: 1. Ridha setelah mengetahui adanya cacat baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Mangugurkan khiyar secara jelas maupun secara samar-samar. 3. Barang yang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk asal. 4. Adanya tambahan barang pada barang yang bersatu dengan barang tersebut seperti munculnya buah dari tumbuhan atau lahirnya anak dari binatang. Ulama fiqih sepakat bahwa khiyar ‘aib diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu meninggal, ahli warisnya memiliki hak menerima barang yang selamat dari cacat. 6. Khiyar syarat Universitas Sumatera Utara 88 Yaitu kedua orang yang sedang melakukan jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama. Persyaratan khiyar syarat dapat dilakukan pada akad-akad yang mengikat lazim dan bisa di batalkan seperti jual-beli dan sewa, dan tidak boleh dilakukan pada akad-akad yang mengikat yang tidak bisa dibatalkan, seperti pernikahan dan Khulu’, begitu juga pada akad penanggalan iqo’at seperti cerai dan pembebasan budak. Begitu juga khiyar syarat tidak berlaku pada akad yang tidak mengikat, wadi’ah dan ‘Ariyah. Khiyar ini disyaratkan bagi salah satu pelaku akad atau selain keduanya dan orang lain ini dapat melaksanakan khiyar, sebagaimana orang yang disyaratkan berhak melaksanakan khiyar maka kniyar ini terlaksana dan hak pihak kedua untuk khiyar batal. 98 Tidak diperselisihkan bahwa khiyar menjadikan akad tidak mengikat bagi orang yang memiliki khiyar. Ia dapat mempertahankan atau membatalkan akad. Untuk mempertahankannya atau membatalkan tidak disyaratkan suatu kalimat tertentu. Melainkan boleh dengan setiap kalimat yang menunjukkan keinginan mempertahankan atau membatalkan. Rasulullah Saw bersabda, “Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang dibeli selama 3 hari 3 malam” 7. Khiyarar-Ru’yah 98 Ibid, hal. 76. Universitas Sumatera Utara 89 Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya. 99 Konsep khiyar ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib tidak ada di tempat atau benda yang belum pernah di periksa, berdasarkan hadits yang artinya: “Barang siapa membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya” HR. Darul Quthni 100 Namun Imam Syafi’i menyangkal keberadaan Khiyar ru’yat ini, karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib tidak ada ditempat sejak semula sudah tidak sah. Syarat Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain: a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi. c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah. 101 99 Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 113 100 Ibid Universitas Sumatera Utara 90 Mengenai kasus akad yang cacat dalam perjanjian Islam ini pernah terjadi di Bogor, yaitu kasus pencucian uang kredit fiktif senilai 102 milyar rupiah pada Bank Syariah Mandiri BSM Cabang Bogor. Awalnya seorang pengusaha properti bernama Iyan Permana mengajukan Kredit Kepemlikan Rumah KPR senilai 1 milyar rupiah kepada BSM Bogor, namun dalam prosesnya berkembang ide memperbanyak jumlah kredit dengan cara memanipulasi sejumlah dokumen mulai dari surat tanah sampai KTP palsu dan tidak menjalani prosedur perbankan sebagaimana yang seharusnya, dalam hal ini Iyan Permana dibantu oleh tiga orang pegawai BSM Bogor. Pihak kepolisian juga menangkap seorang Notaris bernama Sri Dewi yang ikut dalam persekongkolan untuk membobol dana kredit BSM tersebut. Notaris Sri Dewi merupakan notaris yang ditunjuk BSM dalam proses perikatan antara BSM dengan Iyan Permana. Peran notaris disini adalah membuat akta pembiayaan Al-Murabahah tanpa dihadiri pihak debitur dan sertipikat tanah yang dijadikan agunan hanya photo copy. Debitur hanya diwakili oleh Iyan Permana. 102 Dalam kasus tersebut terdapat adanya penipuan dalam akad murabahah yang dilakukan Bank Syariah Mandiri BSM Cabang Bogor, yang jelas sangat dilarang dalam ajaran agama Islam, dimana akad tersebut dibuat tanpa adanya kehadiran debitur dan objek jaminannya tidak jelas. Dalam hal ini notaris telah membuat akta Murabahah untuk suatu pengikatan yang fiktif, karena debitur dan objek jaminannya 101 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk, penerjemah Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, hal. 100 102 http:news.detik.comread20131107164330240654410polisi-tangkap-notaris-bsm- bogor-dalam-kasus-kredit-fiktif?nd772205mr, diakses tanggal 06 Desember 2013. Universitas Sumatera Utara 91 tidak ada. Untuk melakukan suatu pengikatan, notaris seharusnya meminta dokumen- dokumen asli dari objek jaminan dan penandatangan akta harus dilakukan dihadapan notaris tanpa bisa diwakili oleh siapapun kecuali dengan Surat Kuasa notaril. Akad Murabahah yang dibuat dalam pengikatan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya akad yaitu syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat- akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid cacat. Akad tersebut tidak memenuhi unsur jahalah ketidakjelasan. Yang tidak jelas dalam hal ini adalah objek yang dijadikan jaminan kredit. Selain itu dalam kasus ini juga terdapat unsur penipuan. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan suatu kesepakatan haruslah diberikan secara bebas atau adanya kerelaan dari masing-masing pihak. Dalam Hukum Perjanjian ada tiga sebab yang membuat persetujuan menjadi tidak bebas yaitu tiga hal: paksaan, kekhilafan dan penipuan. 103 Sedangkan dalam ilmu fikih Islam terdapat empat hal perusak keadaan saling rela, yaitu: 1. Paksaan 2. Kekhilafan 3. Penipuan;dan 4. Adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang dipertukarkan karena adanya perdayaan atau tipuan al-Ghubn al-Fahisy ma’a al-Taghrir 104 Penipuan Tadlis adalah penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak yang tidak diketahui oleh pihak mitra janji unknown to one party dengan 103 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998, hal. 23 104 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hal. 174 Universitas Sumatera Utara 92 memberikan keterangan-keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak mitra janjinya agar memberikan perizinannya di mana jelas bahwa kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak telah membuat perikatan bersangkutan atau paling tidak, tidak dengan syarat yang telah disetujuinya. Pada dasarnya, Hukum Perikatan Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan antaradhin yang terwujud dalam 2 dua pilar yaitu ijab penawaran dan qabul penerimaan. Namun demikian tentunya sangat berbeda dalam hal-hal prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam konsep syariah adalah firman Allah dalam Al-Qur’an dan juga pernyataan dan perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis. Dengan demikian tentu saja ada perbedaan yang sangat esensial dalam pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh kedua konsep tersebut . Misalnya dalam konsep syariah sebuah perjanjian atau kontrak tidak boleh memuat 5 lima hal berikut : 1. Membuat dan menjual barang najis. 2. Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam. 3. Mengandung gharar ketidakpastian. 4. Mengandung riba bunga uang. 5. Mengandung maisir perjudian. Universitas Sumatera Utara 93 Kelima materi pembatasan tersebut bisa dijadikan penjelasan bagi konsep kausa yang halal sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang sekarang dipakai dalam perjanjian kontrak baku dalam dunia perbankan dan perasuransian. Konsep syariah juga menganut asas kebebasan berkontrak namun dengan pembatasan-pembatasan yang lebih spesifik. Prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Sementara batasan- batasan yang diberikan oleh pembentuk Undang-undang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3, 1320, 1321 dan 1337 KUHPerdata. Konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi : Untuk sahnya suatu persetujuan- persetujuan diperlukan 4 empat syarat, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Dalam kasus ini perjanjian yang dibuat adalah tidak sah dan batal demi hukum karena tidak memenuhi salah satu dari syarat sahnya perjanjian yaitu suatu sebab yang halal seperti terdapatnya cacat kehendak keliru, paksaan, penipuan. Apabila syarat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Universitas Sumatera Utara 94

B. Perdamaian

Dalam setiap kegiatan perekonomian pasti ada namanya sengketa akibat hubungan perjanjian tersebut. Dalam perekonomian syari`ah persoalan ini masih menjadi sutu polemik tersendiri akibat adanya sistem dual banking. Hal ini dapat kita lihat dalam historitas perjalan peraturan tentang regulasi perbankan berdasarkan kompetensi absolut dari badan peradilan di Indonesia. 105 Penyelesain sengketa dapat dilakukan melalui 2 dua proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama kooperatif di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial para pihak dalam sengketa benar-benar berhadapan dan beradu strategi dan argumentasi yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution ADR ini merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara- cara yang “informal procedure and be put in motion quickly”.Sejak tahun 1980 di berbagai negara, Alternative Dispute Resolution ADR ini dikembangkan sebagai jalan terobosan alternatif atas kelemahan penyelesaian litigasi dan arbitrase, mengakibatkan terkuras sumber daya, dana, waktu dan pikiran dan tenaga eksekutif, 105 Gemala Dewi. Op. Cit, hal 70. Universitas Sumatera Utara 95 malahan menjerumuskan usaha ke arah kehancuran. 106 Atas dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar proses litigasi. 107 Jalan musyawarah adalah merupakan jalan yang paling aman, tanpa resiko didalam menyelesaian setiap persoalan kehidupan. Tak terkecuali dalam persoalan sengketa ekonomi syariah. Walau pun akad atau kontrak bisnis telah dibuat atau dirumuskan sedemikian rupa, lengkap, cermat dan sempurna, namun dalam perjalanannya sering mengalami kendala-kendala maupun hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi salah satu atau bahkan kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut. Konsep shulh perdamaian merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam di bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan masyara’at manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka, melainkan berupa fitrah dari manusia. 108 Bahkan Kholifah Umar ibn Khottob telah memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan: ًﻻََﻼـَﺣ َمٌﺮـَﺣ ْوََآ ﺎًـﻣاﺮَﺣ َﻞــﺣآﺎًﺤﻠﺻَﻻِا َﻦﯿِﻤِﻠْﺴُﻤﻟْا َﻦْﯿَﺑ ٌﺰﺋﺎَـﺟ ُﺢْﻠُﺼﻟا 106 M. Yahya Harahap. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. hal.280-281. 107 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal.4. 108 Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah. Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008, hal. 60. Universitas Sumatera Utara 96 Artinya: Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. 109 Penyelesaian sengketa dengan melalui jalan musyawarah dan perdamaian ini dalam dunia hukum positif sering disebut dengan istilah “mediasi”. Trend dunia masa kini adalah effective judiciary atau badan peradilan yang efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif. Hanya sengketa perdata yang benar- benar memerlukan suatu putusan pengadilan saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya diupayakan perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa tertentu tersebut.

C. Penyelesaian Sengketa

Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas Fatwa Dewan Syariah Nasional DSN ditetapkan bahwa perselisihan atau sengketa antara para pihak dalam kegiatan ekonomi syariah diselesaikan melalui Basyarnas. dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaian dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 110 Dengan kata lain, musyawarah al-shulh adalah tahap awal penyelesaian perselisihansengketa; dan perdamaian al-tahkim adalah alternatif penyelesaian 109 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. di Indonesiakan oleh Mudzakir dengan judul Fikih Sunnah. Jilid X IV.Bandung: Alma’arif, 1993. hal.36. 110 Lihat fatwa DSN Nomor 04DSN-MUIIV2000 tentang Murabahah; fatwa DSN Nomor 05DSN-MUIIV2000 tentang Jual Beli Saham; fatwa DSN Nomor 06DSN-MUIIV2000 tentang Jual Beli Istishna’; fatwa DSN Nomor 07DSN-MUIIV2000 tentang Pembiayaan Mudharabah Qiradh dan beberapa fatwa lain. Universitas Sumatera Utara 97 perselisihansengketa yang kedua, alternatif yang kedua tidak perlu dijalankan bila alternatif yang pertama berhasil dilakukan. Penyelesaian perselisihansengketa ekonomi melalui Badan Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia untuk ekonomi konvensional dan Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas untuk ekonomi syariah berkaitan dengan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketan melalui arbitrase tahkim yaitu dengan menyerahkan perkara yang diperselisihkan kepada hakam atau arbiter merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia maupun dunia Internasional. Sejak dahulu masyarakat biasa menyerahkan perkara mereka kepada kiyaiulamacerdik pandaitokoh adat dan lain-lain untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara anggota masyarakat. Dengan demikian penyelesaian secara arbitrase merupakan budaya yang telah lama tumbuh di nusantara ini. Prosedur berperkara di BASYARNAS telah diatur dengan sistematis sejak masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI yang diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi setelah hanya bersifat tehnis untuk menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS dimulai dengan penyerahan secara tertulis oleh para pihak yang sepakat untuk menyesaikan Universitas Sumatera Utara 98 persengketaan melalui BASYARNAS sesuai dengan peraturan prosedur yang berlaku. Pihak yang bersengketa sepakat akan menyelesaikan persengketaan mereka dengan ishlah perdamaian tanpa ada suatu persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas pemintaan para pihak tersebut. Kesepakatan ini dicantumkan dalam klausula arbitrase. 111 Adapaun mekanisme penyelesaian sengketa malalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas adalah sebagai berikut: 1. Prosedur Administrasi Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan para pihak yang bersengketa oleh sekretaris BASYARNAS. Berkas permohonan tersebut mesti mencantumkan alamat kantor atau tempat tinggal terakhir atau kantor dagang yang dinyatakan dengan tegas dalam klausula arbitrase. Berkas permohonan itu berisikan nama lengkap, tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak atau para pihak. Berkas juga memuat uraian singkat tentang duduknya sengketa dan juga apa yang dituntut. Pada dasarnya pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis, maka perjanjian itu meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, pengadilan negeri menolak dan 111 Heri Sunandar, “Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Basyarnas Badan Arbitrase Syariah Nasional “, artikel Hukum Islam. Vol. VIII No. 6. Desember 2007, hal. 640. Universitas Sumatera Utara 99 tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Surat perjanjian tertulis bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS, hendaklah ditandatangani oleh para pihak, dimana di dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah. Perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Para pihak boleh mengajukan tuntutan ingkar jika terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter yang ditunjuk akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Usaha penyelesaian sengketa melalu mediator arbiter hendaklah memegang teguh kerahasiaan, dan dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak pendaftaran. Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau Universitas Sumatera Utara 100 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 112 Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut. 2. Penentuan Arbiter hakam dan Keputusannya Persyaratan untuk menjadi arbiter, termasuk dalam hal ini arbiter syariah di BASYARNAS adalah: a. Cakap melakukan tindakan hukum; b. Berumur paling rendah 35 tahun; c. Tidak punya hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. f. Bukan jaksa, hakim panitera dan pejabat peradilan lainnya 113 . Dalam hal para pihak tidak dapat memilih arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Majelis arbitrase dapat menunjuk arbiter. Selanjutnya, arbiter atau 112 Ibid 113 Ibid, hal.643 Universitas Sumatera Utara 101 majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi-saksi dan para saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Para pihak menghadap arbiter pada hari yang telah ditentukan, dalam hal ini arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Jika terwujud perdamaian, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian tidak berhasil. Selanjutnya para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Jika diperlukan dapat dimintakan penjelasan tambahan dari para pihak secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jika diperlukan, maka jangka waktu Universitas Sumatera Utara 102 ini dapat diperpanjang. Mengenai biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Selanjutnya dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan. Kewenangan arbitrase menyelesaikan perbankan syari’ah dapat didasarkan atas kesepakatan ketika membuat perjanjian pactum de compromittendo atau dibuat ketika terjadi sengketa akta kompromis. 114 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sering sekali dilakukan dalam dunia bisnis termasuk dunia perbankan. Ketentuan ini juga diperjelas pada Pasal 55 UU Nomor 11 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan sesuai dengan isi akad yang diperjanjikan. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh: 1. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. 114 Ngatino, Arbitrase, Jakarta: STIH IBLAM, 1999, hal. 21 Universitas Sumatera Utara 103 3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Selanjutnya pada penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 disebutkan yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas atau lembaga arbitrase lain; danatau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Pilihan ini lebih disebabkan banyaknya kelebihan arbitrase dibandingkan proses litigasi. Proses hukum yang memerlukan waktu panjang, biasanya dijadikan alasan utama dalam memilih arbitrase disamping penyelesaian arbitrase yang bersifat win win solution dan tidak menempatkan para pihak sebagai lawan. Penanganan sengketa syariah oleh badan arbitrase telah dirintis oleh BAMUI Badan Arbitrase Mualamat Indonesia yang dibentuk pada Tahun 1993 untuk menyelesaikan sengketa bidang muamalat. Dalam perkembangannya BAMUI kemudian menjadi cikal bakal BASYARNAS Badan Arbitrase Syariah Nasional. Diantara peraturan Perundang-Undangan yang mengatur kegiatan ekonomi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Universitas Sumatera Utara 104 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang- Undang. Melalui penafsiran argumentum per analogian analogi, maka ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut diberlakukaan pada Pengadilan Agama. Kata-kata “Pengadilan Negeri” atau “Pengadilan Umum” dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan pada “Pengadilan Agama” atau “Peradilan Agama” sepanjang menyangkut ekonomi syari’ah. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilaan Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi: 1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuaan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter Pasal 13-14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama Pasal 22-25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. 3. Membatalkan keputusan BASYARNAS manakala dalam putusan BASYARNAS terdapat hal-hal yang menjadikan keputusan itu tidak valid lagi karena: 1. Adanya surat dokumen palsu yang menjadi dasar keputusan, 2. Ada dokumen yang ternyata disembunyikan oleh pihak lawan sehingga merugikan pihak lain, atau 3 Karena keputusaan didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan sehingga merugikan pihak lainnya Pasal 70 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999; 4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa ADR dan keeputusan BASYARNAS melalui eksekussi paksa manakala diperlukan Pasal 59-63 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama selambat-lambatnyaa 30 hari setelaah penandatanganan keputusan tersebut Pasal 6 ayat 7 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999. Apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi Pasal 59 ayat 4 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999; 5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998; Universitas Sumatera Utara 105 6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 115 Uraian di atas telah menjelaskan tentang hal ihwal yang terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sedangkan mengenai Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah apabila ternyata antara pihak penggugat dan pihak tergugat berbeda alamat tempat tinggal bahkan obyek sengketa juga berada di tempat yang berlainan dengan kedua belah pihak yang berperkara. Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan pasal 118 ayat 1 HIRPasal 142 ayat 1 RBg., Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, sesuai asas actor sequitur forum rei. Sedangkan apabila obyek gugatannya itu mengenai benda tetap berlaku aturan sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 3 HIRpasal 142 ayat 5 RBg., yakni gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama dimana letak atau lokasi obyek sengketa tersebut berada di wilayah hukumnya, sesuai dengan asas forum rei sitae. Atau dapat juga diajukan gugatan ke Pengadilan Agama tertentu yang telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang didalam akta perjanjian yang telah dibuat sebelumnya Pasal 118 ayat 4 HIRpasal 142 ayat 4 RBg.. 115 Abdullah Dhia, dkk, Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama, Makalah Dalam Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Sengketa Bisnis Syari’ah pada Program Pascasarjana MSI-UII Yogyakarta, 2006, hal. 8. Universitas Sumatera Utara 106 Apabila ternyata para tergugat berada pada tempat tinggal yang berlain- lainan, maka gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat yang ada Pasal 118 ayat 2 HIRPasal 142 ayat 3 RBg.. Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 116 Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung juga hanya diberi waktu maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan banding tersebut. 116 Ibid Universitas Sumatera Utara 107 Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS dapat dibuat oleh para pihak pada waktu mengadakan perjanjian sebelum sengketa timbul. Dalam istilah hukum disebut pactum de compromettendo atau melalui persetujuan kemudian setelah timbulnya sengketa melalui Akta kompromi, bahwa bentuk klausula yang pertama diatur dalam Pasal 615 ayat 3 RV diatur juga dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Bunyi ketentuan Pasal 615 ayat 3 yaitu: “Adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari kepada putusan seorang atau beberapa orang Arbiter wasit”. Universitas Sumatera Utara 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dalam suatu akad sehingga akad tersebut dapat dikatakan sebagai akad yang cacat adalah tidak terpenuhinya rukun dan syarat akad, yang dapat menyebabkan terjadinya paksaan yang merupakan cacat kehendak yang paling fatal dalam hukum Islam karena sifatnya sangat konkrit, kekeliruan yaitu kekeliruan yang terjadi pada objek akad bukan subjeknya, penipuan atau pemalsuan seperti penyamaran harga, dan tipu muslihat yaitu menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak seperti tidak biasanya. Dengan demikian unsur-unsur akad yang cacat adalah Al-ikrah paksaan yaitu paksaan dari seseorang yang memiliki kekuasaan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu yang dipaksakan, hingga paksaan tersebut meniadakan kerelaannya, Al-ghalath yaitu adanya kekeliruan atau kesalahan pada akad tersebut, Al-Ghabn Penyamaran Harga yaitu pengurangan pada salah satu alat kompensasi, atau tukar menukar antara dua alat kompensasi yang tidak adil karena tidak adanya kesamaan antara yang diambilnya dengan yang diberikannya, At-Tadlisat-Taghrir Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar, Al-Jahalah yaitu hal mengakibatkan 108 Universitas Sumatera Utara 109 persengketaan yang menyebabkan rusaknya akad, Al-Gharar yaitu semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian. 2. Akibat hukum terhadap akad yang cacat dalam hukum perjanjian Islam adalah batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Akad tersebut menjadi batal apabila tidak memenuhi rukun dan syarat akad sehingga jenis ini dilarang dalam Islam, sedangkan akad yang dapat dibatalkan adalah jika mengandung unsur paksaan, dan kekeliruan dengan cara menggunakan hak khiyar hak pilih. 3. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan terhadap akad cacat adalah dengan khiyar atau hak pilih, yang ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya dan upaya perdamaian yang dilakukan dengan menggunakan media arbitrase melalui BASYARNAS atau sebagai jalan terakhir melalui lembaga peradilan dalam hal ini Pengadilan agama menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para pihak yang terkait dengan akad yang mereka buat.

B. Saran

1. Seharusnya masyarakat memperhatikan pembuatan akad yang memenuhi rukun dan syaratnya agar tidak menjadi akad yang cacat dan seharusnya masyarakat lebih hati-hati dan teliti ketika bertransaksi dengan menggunakan akadperjanjian Universitas Sumatera Utara 110 agar terhindar dari unsur-unsur penipuan dan kekeliruan dalam pembuatan akadperjanjian. 2. Akad dalam perjanjian Islam harus mengacu pada dasar-dasar akad yang telah ditetapkan dalam Islam sehingga mengetahui akan kebenaran suatu akad tersebut tanpa adanya nilai kecurangan yang merugikan orang lain yang mana dilarang dalam Islam. 3. Dalam masalah penyelesaian sengketa yang menyangkut tentang akad cacat hendaknya dilakukan dengan langkah melalui perdamaian sehingga akan tercapai ukuwah islamiah serta hubungan silaturahim yang terjaga. Universitas Sumatera Utara 111 DAFTAR PUSTAKA

1. Buku