Rukun dan Syarat Akad. 1.

28

B. Rukun dan Syarat Akad. 1.

Rukun Akad Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum penyebab munculnya hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal, perjanjian dalam transaksi jual-beli bai’, sewa-menyewa ijarah, bagi hasil mudharabah, penitipan barang wadi’ah, perseroan syirkah, pinjam meminjam ariyah, pemberian hibah, penangguhan utang kafalah, wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan” sedangkan syarat adalah “ketentuan peraturan, petunjuk yang harus diindahkan dan dilakukan”. Dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Definisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut Ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk Universitas Sumatera Utara 29 dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam dikalangan para ahli fiqih. Dikalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-aqd yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain subjek akad dan mahallul ‘aqd objek akad. Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad perbuatan hukum akad. Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena adanya hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad 34 . Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu’ul ‘aqd tujuan akad. Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ‘aqd unsur-unsur penegak akad. Menurut jumhur fuqaha, rukun perjanjian terdiri atas: a. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad b. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan 34 Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Op. Cit,. hal.33. Universitas Sumatera Utara 30 c. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul 35 . Menurut Fuqaha Hanafiyah, rukun akad hanya satu yaitu Shigatal’aqd atau pernyataan Ijab Qabul. Sedangkan Al-‘aqidain dan Ma’qud’alaih bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal dakhiliy dari sesuatu yang ditegakkannya. 36 Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan shalat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka alaqid orangpihak yang melakukan akad tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. 37 Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sedangkan pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad perikatan, dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku 35 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islam wa adillatuhu, Dar al fikr al Mu’ashir, Damaskus,Jilid 4,1997,hal;3089-3095 dalam Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,Jakarta:Kencana, 2012, juz v, hal.299. 36 Mustafa Ahmad az-Zarqa. t.t, al-Madkhal al-Fiqh al’Am, Beirut: Dar al-Fikr. I, hal. 300. 37 Ibid. Universitas Sumatera Utara 31 perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan mengenai manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam. a. Manusia Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata “Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang dibebani hukum” yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT, baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya. Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya the stages of legal capacity. Menurut Abdurahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 empat tahap Subjek Hukum Stages of Legal Capacity 38 . 1. Marhalah al-Janin Embryonic Stage 38 Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlini, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal.119. Universitas Sumatera Utara 32 Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Sebagai hukum, janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah”. Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak, namun tidak mengemban kewajiban hukum. Misalnya janin dapat hak waris pada saat orang tuanya meninggal dunia, dapat menerima hibah, dan sebagainya. 2. Marahalah al-Saba Childhood Stage Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7 tujuh tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-Sabiy Gahyr Al- Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya Guardian. Misalnya mengenai pengelolaan harta tersebut dan pembayaran zakatnya 39 . 3. Marhalah al-Tamyiz Discernment Stage Tahapan ini dimulai sejak seorang berusia 7 tujuh tahun hingga masa pubertas Aqil Baligh. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-Sabiy Al- Mumayyiz” telah bisa membedakan yang baik dan buruk. Seseorang yang mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum tanpa izin dari walinya. 4. Marhalah al-Bulugh Stage of Puberty Pada tahap ini seseorang telah mencapai Aqil Baligh dan dalam keadaan normal dia dianggap telah menjadi Mukallaf. Kapan seseorang dianggap telah baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama 39 Ibid. Universitas Sumatera Utara 33 menyebutkan usia 15 tahun sedangkan sebagian kecil ulama mazhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun ada yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketia seorang perempuan telah datang bulan haid dan laki-laki telah mengalami perubahan-perubahan suara dan fisiknya. Seseorang yang sudah pada tahap ini disebut “Ahliyyah Al-Ada Al- Kamilah”. Orang tersebut telah memperoleh kapsitas penuh sebagai subjek hukum. Intelektualiasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya 40 . Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang lagi sebagai tahapan ke – 5 yaitu: 5. Daur al-Rushd Stage of Prudence Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usahabisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijakan rushdprudence seseorang dapat dicapai secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh. Bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan bedasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis, usaha atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar Rushd ini disebut orang yang Rasyid. Diperkirakan 40 Ibid, hal,120 Universitas Sumatera Utara 34 tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19, 20 atau 21 tahun. 41 Jadi dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk. a Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat jiwa, cacat mental, anak kecil yang belum mumayyiz. b Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh. c Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf. Selain hal tersebut diatas, dalam kaitannya dengan al-aqidain terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu ahliyah kecakapan, wilayah kewenangan dan wakalah perwakilan.kedua belah pihak harus layak dalam membuat akad 42 . 1 Ahliyah kecakapan, yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenal kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua macam: a Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan. Manusia dapat memiliki hak sejalan dalam kandungan untuk hak tertentu, yaitu hak waris. Hak ini akan selalu ada selama manusia hidup. 41 Ibid, hal, 121 42 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit, hal. 23. Universitas Sumatera Utara 35 b Ahliyah ada’ adalah kecakapan memiliki tasharruf dan dikenal tanggung jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah SWT, atau hak manusia. Ahliyah ada’ terbagi atas dua macam berikut ini: 1 Ahliyah ada’ al naqishah yaitu kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mu-mayyiz dan berakal sehat. Ia dapat ber-tasharruf tetapi tidak cakap melakukan akad. 2 Ahliyah ada’al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. Ia dapat ber- tasharruf dan cakap untuk melakukan akad. 2 Wilayah kewenangan, yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat ber- tasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap ber-tasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang kecakapan bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain untuk melakukan tasharruf. a Niyabahashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri. b Niyabahal-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untuk melakukan tasharruf atas nama orang lain biasanya disebut dengan wali. Biasanya hal ini terjadi karena maula’alaih tidak memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna, seperti anak kecil, Universitas Sumatera Utara 36 perempuan dalam melakukan pernikahan. Kewenangan ini dapat didasarkan pada ihtiyariyah memilih menentukan sendiri atau pda ijbariyah keputusan hakim. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali dalam mendapatkan wilayah ini adalah sebagai berikut: 1 Mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharruf. 2 Memiliki agama yang sama Islam antara wali dan maula’alaihi yang diwakili. 3 Mempunyai sifat adil, yaitu istikamah dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak mulia. 4 Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya. 5 Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya. 3 Wakalah perwakilan, yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil dan muwakil yang diwakili harus memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna dan dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan Kabul. Dengan demikian, harus jelas objek dan tujuan akad tersebut. b. Badan Hukum Badan hukum adalah badan yang di anggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia Universitas Sumatera Utara 37 tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum menurut R.Wirjono Prodjodikoro adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan atau yayasan. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al- syirkah, seperti yang tercantum dalam QS, An-Nisa 4: 12, QS. Shaad 38:24 dan Hadist Qudsi. Pada QS, An-Nisa 4: 12, disebutkan “Tetapi jika saudara-saudara seribu itu lebih dari seorang, maka mreka bersekutu dalam yang sepertiga itu…”. Pada QS. Shaad 38:24 bahwa “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang- orang bersifat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman…” Pada Hadist Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Harairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda; “Aku Allah adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya. Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan – kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubunganya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka dan lain-lain. 2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi. 3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum. 4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan- ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu. 5. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang. Universitas Sumatera Utara 38 6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata. Kedudukan negara, menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah. Dalam hal negara sebagai badan hukum, kepala negara atau pegawai-pegawai pemerintah dapat melakukan tindakan hukum atas nama negara sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, empat hal yang merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad 43 . 6. Subjek akad al-‘aqidain Sujek akad disni adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terbentuk dengan beberapa hal berikut: 44 d. Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak- pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrit total, tidak sah melakukan perjanjian. e. Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu 43 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam, jilid5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,19960, hal:1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et, al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,2005, hal.50. 44 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Terjemahan, Jakarta: Darul Haq, 2008, hal. 27-28 Universitas Sumatera Utara 39 pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya. f. Akad itu dianggap berlaku bila tidak terdapat khiyar hak pilih. Seperti khiyar syarath hak pilih menetapkan persyaratan, khiyar ar-ru’yah hak pilih dalam melihat dan sejenisnya. 7. Obyek akad Mahallul ‘Aqd Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut: 45 a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istishna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat. b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. 45 Ibid. Universitas Sumatera Utara 40 Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad. Dengan demikian jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Selain itu jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal. c. Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebutpun harus diberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan dan kepandaian dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam hadis riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar penipuan dan jual beli hassah jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjual mengenai baju itu. Universitas Sumatera Utara 41 d. Objek dapat diserahterimakan. Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung diudara, ikan dilaut tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek perikatan yang berupa manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan jasa yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan. 8. Ijab dan Qabul Sighat al-‘Aqd Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul sendiri dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini: a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, Universitas Sumatera Utara 42 seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis, karena diperlukan alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang- orang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut. c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan akad. Apabila cacatnya adalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman yang sama. d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyara’at, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’athi atau mu’athah saling memberi dan menerima. Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual-beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa diantara mereka akan melakukan perikatan jual beli. 4. Tujuan Akad Maudhu’ul ‘Aqd Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT, dalam al- Universitas Sumatera Utara 43 Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Menurut ulama fiqih , tujua akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai contoh A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan Hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai contoh, A menjual anggur kepada B. A mengetahui bahwa tujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan dijual untuk dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan karena minuman keras haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti B turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam QS, Al-Maidah 5:2, bahwa “dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Namun apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan. 46 46 Yenti Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001, dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, Hal. 63. Universitas Sumatera Utara 44 Menurut ulama hanafiyah Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima. Qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang pertama. Menurut fuqaha hanafiah, rukun akad hanya satu, yaitu Shighat al’aqd, menurut mereka al-‘aqidain dan mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila 47 : a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pembeli b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qabul dianggap batal. d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan. e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah: g. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan ‘urf yang berlaku. 47 http:mathedu-unila.blogspot.com201006rukun-akad.html, diakses tanggal 15 Nopember 2013. Universitas Sumatera Utara 45 h. Harus ada kesesuaian tawaffuq antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari. i. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan tidak ada paksaan dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan dengan kata-kata, tulisan catatan, isyarat khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf ataupun dengan perbuatan seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya. Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

1. Syarat Sahnya Perjanjian Akad