Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam

(1)

TESIS

Oleh

RINA PERMATA PUTRI

117011006/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RINA PERMATA PUTRI

117011006/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 117011006 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1 Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : RINA PERMATA PUTRI

Nim : 117011006

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG

MENGANDUNG PENIPUAN DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RINA PERMATA PUTRI Nim :117011006


(6)

membatalkannya, membuat transaksi terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah. Ditambah lagi keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuat klausul-klausul tertentu dalam akad perjanjian yang menguntungkan pihak itu saja, ditambah lagi pemberian informasi tentang objek akad yang keliru bukan yang sebenarnya yang mengakibatkan penerimaan informasi mengenai akad tersebut pun menjadi keliru oleh mereka yang hendak mengikatkan dirinya dalam suatu akad terutama dalam akad/kontrak baku. Penelitian tentang Khiyar atau Hak Opsi ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat diketahui oleh mereka yang bertransaksi dalam akad yang mengandung penipuan dimana mereka memiliki Hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan atau rujukan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder sehingga dapat diperoleh data/perbandingan data yang aktual.

Akad yang mengandung unsur penipuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak merupakan perbuatan penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh mitra akad baik dengan perkataan atau perbuatan, kemudian adanya tipu muslihat dan juga adanya kebohongan berupa perkataan dan juga menyembunyikan keterangan yang sebenarnya terkait dengan objek akad yang sengaja dilakukan untuk mendorong untuk menutup akad tersebut. Oleh karena itu, Islam memberikan suatu hak khiyar bagi mereka yang dirugikan dalam akad tersebut yaitu berupa hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akad tersebut. Pihak yang bersengketa karena akad yang mengandung penipuan dapat memilih jalan perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak, namun mereka dapat juga memilih untuk melakukan gugat ke pengadilan agar dilakukan pembatalan akad tersebut. Namun bagi akad yang telah memenuhi rukun dan syarat untuk terbentuknya akad tetaplah menjadi akad yang sah, tapi berdosa karena mengandung penipuan didalamnya.


(7)

sometimes used by those who have stronger position to make certain clauses in a contract which will be favorable for them. Besides that, giving wrong information about an object of a contract will cause the receiver of the information to be wrong in committing himself to a standard contract. Research on khiyar or optional right becomes very important for those who do transaction in a fraudulent contract since they have khiyar (Optional Right) to proceed or to cancel the contract.

The research used judicial normative approach which analyzed written laws from literature materials or secondary data and legal references related to khiyar discussed in the research. The data were gathered by conducting library research with documentary study of primary and secondary data so that actual data or comparative data were obtained.

A fraudulent contract which can harm one of the parties is a misleading action which intentionally deceives the ignorant partner, either orally or in action; there are also cunning tricks and lies orally and concealing information related to the object of a contract which is intentionally done to conceal the fact about the contract. Therefore, Islamic religion gives the right of akhyar to those who are harmed in the contract in the form of optional right to cancel or to proceed the contract. The parties in dispute because of the fraudulent contract can select reconciliation based on mutual agreement, but they can also select to file a claim to Court to cancel the contract. However, a contract which has fulfilled the requirement will be a valid contract although it is still sinful since it contains fraud in it.


(8)

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG MENGANDUNG PENIPUAN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” . Penulisan tesis ini merupakan salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, S.H., MS., CN dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH.,

M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.


(9)

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.


(10)

menyelesaikan tesis ini.

8. Tesis ini juga penulis persempbahkan kepada Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang telah memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya selama ini kedua orang tuaku Alm. H. Dasrul AR dan Almh. Rani Astuti Silalahi. Begitu juga dengan Papi Aladin Poerba dan Mami Reni Astuti Silalahi yang sudah bersedia melimpahkan kasih dan sayang, perhatian dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(11)

Nama : Rina Permata Putri Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 9 Juni 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. Pembangunan Gg. Dame No.8 Helvetiah Medan

Telepon/Hp : 082166969292

II. KELUARGA

Nama Ayah : Alm. H. Dasrul AR

Nama Ibu : Almh. Rani Astuti Silalahi

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD 029 Pekanbaru lulus tahun 1998

SLTP Negeri 1 Pekanbaru lulus tahun 2001

SMA NEGERI 1 MEDAN lulus tahun 2004

S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Medan lulus tahun 2009 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU lulus tahun 2013


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka teori dan Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 23

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24

2. Sumber Data ... 25

3. Analisis Data... 26

BAB II KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM ... 27

A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam ... 27

B. Rukun dan Syarat Suatu Akad ... 33

C. Macam-Macam Akad Perjanjian ... 41


(13)

A. Khiyar (Hak Opsi) ... 61

B. Perdamaian(Al Sulh)Di Antara Para Pihak ... 80

C. Menggugat Ke Pengadilan ... 85

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN JIKA TERDAPAT KHIYAR DALAM AKAD MENURUT HUKUM ISLAM... 99

A. Batal Dengan Putusan Pengadilan ... 99

B. Sah, Tapi Mengandung Unsur Penipuan ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111


(14)

Akad fudhuli : Akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta

‘Aqd Al-Iz’am : Akad baku

Aqid : Orang yang berakad

Al-aqidain : Subjek akad

Al-gabn al-fahisy : Ketidakseimbangan prestasi yang menyolok

Ar-Ra’yu : Akal

Arbitration Clause : Klausula arbitrase

Ash-Sarf : Jual beli alat pembayaran ( mata uang,

emas,perak)

At-tagrir al-fi’li : Penipuan dengan perbuatan

At-tagrir al-qauli : Penipuan dengan perkataan

At-taradhi : Suka sama suka

Bai’ As-Salam : Jual beli dengan pesanan

Baligh : Dewasa

Batil : Tidak sah

Bedrog : Penipuan

Buyu’ al-amanah : Jual beli kepercayaan

Ceiling Price : Kebijakan harga tertinggi

Dharurriyat : Sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali

dengannya

Disputes : Sengketa

Dwalig : Salah sangka

Eksplisit : Gamblang, tegas, terus terang

Fahisy : Tipuan yang buruk

Fasakh : Pembatalan Akad

Fuqaha : Para ahli hukum Islam

Ghara : Penipuan

Gyah : Tujuan akhir

Hakam : Lembaga sejenis Arbitrase

Idhafi : Syarat tambahan


(15)

Ius Curia Novit : Hakim dianggap mengetahui semua hukum

Jahalah : Ketidak jelasan

Jaiz : Boleh

Jariyah : Sedekah atau amal yang pahalanya mengalir

terus menerus

Kaffah : Secara menyeluruh

Khamar : Arak

Khiyar : Hak pilih

Khiyar a-rad : Hak pilih pengembalian

Khiyar ar-ru’yah : Hak pilih dalam melihat

Khiyar Syarath : Hak pilih menetapkan persyaratan

Kunstgrypen : Muslihat licik

Levering : Penyerahan

Litigasi : Penyelesaian sengketa melalui Proses peradilan

Mahallul ‘aqd : Objek akad

Mahjur ‘alaih : Orang yang diletakkan dibawah pengampunan

Majhul : Orang yang tidak diketahui jati dirinya

Masyaqqah : Memberatkan

Mauquf : Ditangguhkan

Mu’ athah : Menerima

Mudharat : Kerugian

Murtahin : Pemegang gadai

Musta’jir : Penyewa

Musyaqah : Kerja sama pemilik kebun dengan

penggarap/pengelola

Nafidz : Yang ditaati

Naqishah : Tidak sempurna

Nash : Jelas dan tidak mengandung makna lain

Nazir : Pengawas

Sahih : Sah

Sharih : Secara jelas

Sighat Al-‘aqd : Ijab dan kabul


(16)

Tafshiliy : Yang terima

Taradhin : Rela sama rela

Taufiq : Penyesuaian

Tauqit : Pembatasan Waktu

Tasharruf : Tindakan

Tasharruf ‘aqd : Perbuatan hukum akad

Unknown one party : Tidak diketahui oleh salah satu pihak

Urf : Adat (kebiasaan)

Wakalah : Menyerahkan, menjaga


(17)

KUHPerdata : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

KUHP : KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

KHES : KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH


(18)

membatalkannya, membuat transaksi terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah. Ditambah lagi keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki posisi yang lebih kuat untuk membuat klausul-klausul tertentu dalam akad perjanjian yang menguntungkan pihak itu saja, ditambah lagi pemberian informasi tentang objek akad yang keliru bukan yang sebenarnya yang mengakibatkan penerimaan informasi mengenai akad tersebut pun menjadi keliru oleh mereka yang hendak mengikatkan dirinya dalam suatu akad terutama dalam akad/kontrak baku. Penelitian tentang Khiyar atau Hak Opsi ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat diketahui oleh mereka yang bertransaksi dalam akad yang mengandung penipuan dimana mereka memiliki Hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder dan bahan acuan atau rujukan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu studi dokumen/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder sehingga dapat diperoleh data/perbandingan data yang aktual.

Akad yang mengandung unsur penipuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak merupakan perbuatan penyesatan sebagai tindakan mengelabui dengan kesengajaan yang tidak diketahui oleh mitra akad baik dengan perkataan atau perbuatan, kemudian adanya tipu muslihat dan juga adanya kebohongan berupa perkataan dan juga menyembunyikan keterangan yang sebenarnya terkait dengan objek akad yang sengaja dilakukan untuk mendorong untuk menutup akad tersebut. Oleh karena itu, Islam memberikan suatu hak khiyar bagi mereka yang dirugikan dalam akad tersebut yaitu berupa hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akad tersebut. Pihak yang bersengketa karena akad yang mengandung penipuan dapat memilih jalan perdamaian berdasarkan kesepakatan para pihak, namun mereka dapat juga memilih untuk melakukan gugat ke pengadilan agar dilakukan pembatalan akad tersebut. Namun bagi akad yang telah memenuhi rukun dan syarat untuk terbentuknya akad tetaplah menjadi akad yang sah, tapi berdosa karena mengandung penipuan didalamnya.


(19)

sometimes used by those who have stronger position to make certain clauses in a contract which will be favorable for them. Besides that, giving wrong information about an object of a contract will cause the receiver of the information to be wrong in committing himself to a standard contract. Research on khiyar or optional right becomes very important for those who do transaction in a fraudulent contract since they have khiyar (Optional Right) to proceed or to cancel the contract.

The research used judicial normative approach which analyzed written laws from literature materials or secondary data and legal references related to khiyar discussed in the research. The data were gathered by conducting library research with documentary study of primary and secondary data so that actual data or comparative data were obtained.

A fraudulent contract which can harm one of the parties is a misleading action which intentionally deceives the ignorant partner, either orally or in action; there are also cunning tricks and lies orally and concealing information related to the object of a contract which is intentionally done to conceal the fact about the contract. Therefore, Islamic religion gives the right of akhyar to those who are harmed in the contract in the form of optional right to cancel or to proceed the contract. The parties in dispute because of the fraudulent contract can select reconciliation based on mutual agreement, but they can also select to file a claim to Court to cancel the contract. However, a contract which has fulfilled the requirement will be a valid contract although it is still sinful since it contains fraud in it.


(20)

Islam merupakan agama (ad din) yang rahmatanlil’alamin, artinya agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Semua sisi dari kehidupan ini telah mendapatkan pengaturannya menurut hukum Allah SWT, sehingga tepat jika dikatakan bahwa Islam bersifat komprehensif dan universal. Pada dasarnya lingkup kehidupan manusia didunia ini bersandar pada dua macam hubungan yakni vertikal kepada Allah SWT dan horizontal, yaitu hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Hubungan vertikal dengan Rabb-nya terwujud didalam pelaksanaan kegiatan amaliah ibadah. Namun inti dari penciptaan manusia adalah untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Zuriyat ayat 561 yang intinya menyatakan bahwa “tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Disisi lain manusia juga senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, dalam bentuk muamalah. Baik di bidang harta kekayaan maupun dalam hubungan kekeluargaan. Hubungan antar sesama manusia, khususnya dalam hal harta kekayaan, biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian (akad). Dalam konteks Indonesia, terdapat tiga macam sistem hukum yang mengatur masalah perjanjian ini, yaitu Hukum Adat, Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), dan Hukum Islam.


(21)

Prinsip utama dari hukum perjanjian menurut KUHPerdata adalah prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah mengikat seperti undang-undang bagi pihak yang mengadakannya (asas pacta sun servanda). Sedangkan keabsahan dari perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang intinya menyebutkan bahwa untuk sah nya suatu perjanjian diperlukan adanya kesepakatan di antara para pihak, adanya kecakapan bertindak secara hukum, adanya objek tertentu, dan sebab/kausa yang halal.

Perjanjian yang sah juga menimbulkan akibat hukum bagi para pihak berupa kewajiban untuk melaksanakannya dengan itikad baik (in good faith). Sedangkan apabila ke empat syarat tersebut tidak dipenuhi maka konsekuensi yuridis dari perjanjian tersebut adalah batal, batal baik demi hukum (null and void) dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maupun dapat dibatalkan (voidable) dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi.

Disisi lain, mengingat secara faktual masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka berlaku pula hukum Islam yang menyangkut lapangan ibadah dan muamalat. Dengan demikian sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana konsep perjanjian yang diatur dalam syariat Islam. Hal ini sejalan juga dengan adanya kewajiban bagi setiap umat Islam untuk menjalankan hukum Allah Swt dengan sepenuhnya(kaffah).


(22)

Pemahaman yang utuh mengenai hukum perjanjian Islam sangat berguna, khususnya bagi umat Islam di Indonesia yang saat ini sedang trend terkait dengan sistem ekonomi Islam, seperti yang terjadi dalam lapangan perbankan syariah, asuransi syariah (takaful), dan pasar modal syariah. Dalam kegiatan-kegiatan perekonomian tersebut dilandasi oleh adanya hubungan antar subyek hukum yang biasanya didasarkan pada perjanjian baik secara tertulis maupun lisan, yang lazim disebut akad.

Secara konseptual atau dalam istilah syariah, akad menurut Wahbah Zuhaili mengartikan bahwa:

“akad adalah hubungan atau keterkaitan antara ijabdanqabul, yang dibenarkan oleh syariah dan memiliki implikasi hukum tertentu. Atau dalam pengertian lain, akad merupakan keterkaitan antara keinginan kedua belah pihak yang dibenarkan olehsyariahdan menimbulkan implikasi hukum tertentu”.2

Pengertian akad sendiri di kalangan para fuqaha terbagi menjadi dua, yaitu secara khusus dan umum:

1. Pengertian umum yang dekat dengan pengertian bahasa berkembang dikalangan fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yaitu:

“Akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak di dalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa-menyewa, pemberian kuasa dan gadai”.

2. Pendapat kedua yang mengartikan akad secara khusus dikemukakan oleh fuqaha Hanafiah yang mengatakan:

“Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya atau dengan redaksi yang


(23)

lain: Keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya pada objek”.3

Tak jauh beda dari definisi diatas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam mengatakan juga dalam Pasal 1034 bahwa, akad atau Al-Aqdu adalah perikatan diantara dua pihak dan berjanji untuk melaksanakannya, dan aqad itu gabungan antaraijabdanqabul.

Sementara itu Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad yaitu suatu perikatan antaraijabdanqabuldengan cara yang dibenarkansyara’yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangqabuladalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.5

Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsipsyariah.

Rumusan akad tersebut diatas mengindikasikan bahwa akad harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang

3Ibid, hal: 111.

4

A. Djazuli,et. al.,Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, ( Bandung: Kiblat Press, 2002), hal: 19

5Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalat ( Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:


(24)

perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Akad diwujudkan dalam ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya, bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan adanyaijab qabulyang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.6

Suatu penawaran (ijab) adalah kondisi yang diperlukan dari sebuah kontrak (akad) yang sah. Ia didefinisikan sebagai pernyataan atau penawaran yang tegas yang dibuat terlebih dahulu dengan tujuan menciptakan kewajiban, sementara pernyataan yang menyusul kemudian disebut dengan penerimaan (qabul). Ijab menunjukkan kesediaan dari pihak untuk melakukan hal yang positif. Hukum Islam tidak menyatakan apakah kesediaan suatu pihak untuk tidak melakukan suatu hal juga termasuk dalam Ijab atau tidak.

Council of Islamic ideology di Pakistan memiliki pandangan bahwa hanya pelaksanaan suatu tindakan yang membentuk ijab. Pematangan dari suatu tindakan tidak dapat dianggap sebagai Ijab. Federal Shariat Court Pakistan berpendapat bahwa sebuah kontrak (Akad) dapat berisi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Definisi ini sesuai dengan pengertian ijab seperti yang tertera dalam Contract Act tahun 1872 dalam hukum Inggris yang menyatakan : “Ketika seseorang menyatakan kepada orang lain kesediaannya untuk melakukan sesuatu untuk tidak melakukan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan persetujuan dari

6Abdul Ghofur Anshori,Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, (Djogyakarta: Gajah Mada


(25)

orang lain tersebut atas suatu tindakan atau pematangannya, ia dikatakan telah membuat sebuah proposal”.7

Adapun format mengenai penawaran dan penerimaan adalah prosedur atau cara sebuah kontrak (akad) dibuat. Peraturan hukum menuntut penawarannya dinyatakan dalam bahasa yang jelas dan tidak bersyarat apa pun. Harus ada kesesuaian penawaran dan penerimaan mengenai subjek dan pertimbangan serta pengeluaran penawaran dan penerimaan pada sesi yang sama.

Penawaran dan penerimaan dapat disampaikan dalam beragam cara, yaitu melalui kata–kata, isyarat, indikasi atau tingkah laku. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli hukum berkenaan dengan kesimpulan mengenai akad yang melalui kata-kata. Mereka belum menetapkan kata–kata yang pasti dalam pembentukan kontrak akad tertentu. Apapun yang dapat menyampaikan pengertiannya dengan jelas dianggap memadai untuk pembentukan akad. Entah kata–kata nya bersifat eksplisit atau implisit tidak akan berbeda.

Hukum Islam sendiri menuntut bahwasanya penerimaan seharusnya sesuai dengan penawaran dalam semua detailnya dan bahwa ia seharusnya diterima dalam pertemuan yang sama jika penawarannya efektif sejak sesi pertemuan tersebut. Kebutuhan akan kesatuan sesi untuk “penawaran dan penerimaan” telah diinterpretasikan dalam cara berbeda–beda. Kebutuhan ini didasarkan oleh perkataan Nabi Muhammad Saw: “Pihak–pihak yang terlibat dalam kontrak (akad) memiliki hak memilih atau khiyar (untuk menyelesaikan atau tidak) hingga sebelum mereka

7Muhammad Ayub,Understanding Islamic finance (A—Z Keuangan Syariah),( Jakarta:


(26)

berpisah”.8 Walaupun ada beberapa perbedaan minor dalam pendapat, para fuqaha memiliki pandangan bahwa akad harus dilengkapi oleh penawaran dan penerimaan dalam pertemuan yang sama hingga salah satu pihak mendapatkan hak untuk memikirkan kembali, mengesahkan, atau membatalkan akadnya nanti. Pilihan Stipulasi (Khiyar asy – Syart)adalah mekanisme yang disediakan oleh hukum Islam untuk menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh hambatan–hambatan yang mungkin ada dalam kesatuan sesi. Pilihan ini menjadikan akad tidak mengikat bagi pihak yang telah mendapatkan hak tersebut untuk periode tertentu.

Seperti dalam halnya perjanjian jual beli yang merupakan jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat.

Namun, banyak perbuatan curang juga berupa janji–janji yang sebenarnya dihimpun ke dalam perjanjian. Dalam hal ini pihak yang diperdayakan itu biasanya akan menggugat karena melanggar perjanjian daripada karena perbuatan curang tersebut, sebab sekali pelanggaran perjanjian itu terbukti, ganti rugi secara otomatis dibebankan. Apabila perbuatan curang semata–semata itu terbukti, orang yang bertanggungjawab dapat mengajukan pembelaan terhadap gugatan ganti rugi jika dia

8


(27)

dapat membuktikan bahwa ia secara layak percaya sendiri untuk mengatakan yang benar. Perbedaan antara perbuatan curang semata-mata dengan janji-janji yang bersifat perjanjian dapat menjadi sulit, tetapi dalam perjanjian jual beli, pengadilan biasanya akan menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan penjual sebagai seorang dealer adalah janji-janji yang bersifat perjanjian, sedangkan pernyataan-pernyataan penjual yang bukan dealer adalah perbuatan curang semata- mata.

Tidak hanya itu saja, lazimnya dan yang sering terjadi dalam praktek di masyarakat pihak yang melakukan penawaran biasanya telah siap untuk segera mengikatkan diri dalam suatu persetujuan jika dibandingkan dengan pihak yang menerima penawaran dan karena kesiapannya lebih baik dari pihak yang menerima penawaran, maka biasanya pihak yang melakukan penawaran tersebut telah siap dengan konsep atau rancangan perjanjian berupa rancangan kontrak tertulis yang diharapkannya dapat diterima oleh pihak yang menerima penawaran.9

Kesepakatan yang telah dicapai dan dituangkan kedalam perjanjian tertulis itu selain berisikan subjek dan objek perjanjian, juga berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat perjanjian ditambah syarat lain yang ditentukan oleh undang-undang. Seluruh substansi yang tertuang dalam kontrak itu sejak fase kontraktual telah mengikat di antara kedua belah pihak agar negoisasi tersebut berjalan mulus dan memuaskan kedua belah pihak. Namun tak jarang negoisasi saat berlangsung berjalan mulus akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Ketidaksesuaian ini terjadi karena terjadinya pemahaman yang keliru dari pihak yang menerima penawaran akibat penyampaian atau penyajian fakta yang keliru dari pihak yang memberi penawaran perihal informasi yang diberikan oleh pihak yang melakukan penawaran. Adakalanya informasi yang diberikan merupakan yang menyesatkan ataupun pernyataan palsu yang disajikan dengan sengaja oleh pihak yang memberikan penawaran atau mungkin juga terjadi dengan tidak sengaja dan keadaan ini terjadi apabila pihak calon pembeli menerima informasi mengenai objek barang yang menyesatkan itu percaya dan menerima saja apa yang disampaikan oleh pihak pemberi penawaran atau penjual. Jelaslah bahwa pernyataan palsu yang menyesatkan tersebut sudah memperdayakan pihak lain dan membujuk supaya membuat perjanjian, walaupun setidak-tidaknya keadaan setengah benar yang menyesatkan dapat menjadi palsu.10

9

Syahril Sofyan,Standar Perjanjian Misrepresentasi dalam Transaksi Bisnis, Disertasi (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hal: 4


(28)

Oleh karena itu maka ajaran Islam yang adil selalu memperhatikan hubungan antar manusia, khususnya bila menyangkut permasalahan harta dan perpindahannya. Sepertinya halnya dalam akad jual beli yang dilakukan, terkadang rasa sesal karena tergesa-gesa dalam mengadakan transaksi atau membatalkannya, membuat transaksi terasa tidak enak, menyesal atau pun merasa bersalah.11

Seperti dalam hal transaksi jual beli antara pembeli dan penjual, makasyari’at Islam sebenarnya memberikan hak istimewa berupa hak khiyar, yaitu hak memilih untuk tetap melangsungkan jual beli atau membatalkannya, hal ini karena terjadi sesuatu hal misalnya karena ada cacat pada barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab lain. Hal ini lah yang sebenarnya dalam hukum Islam diatur mengenai masih adanya hak setiap pembeli atau pihak yang menyetujui untuk terikat dalam suatu perikatan atau perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau perikatan itu ataupun jual beli tersebut apabila dari objek perjanjian atau jual beli tersebut ternyata tidak sesuai dengan yang telah disepakati.

Khiyaritu sendiri ditetapkansyari’atIslam bagi orang-orang yang melakukan transaksi (akad) perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemashlahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya.

Sebagaimana berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. salah satu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:

11

Zamakhsyari Hasballah, Panduan Bisnis Muslim, (Medan: Pesantren Al-Manar, 2011) hal:110


(29)

Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw ”Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya, Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar12

Disamping itu terdapat hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:

“Dari Abdullah bin Al-Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam dari Nabi Saw beliau bersabda: ”Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua”13

Adapun status khiyar, menurut ulama fiqh, adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemashlahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

Seperti halnya pada khiyar syarat yaitu dimana kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya menetapkan syarat waktu untuk menunggu apakah ia akan meneruskan akad atau membatalkannya ketika masih dalam tempo yag disepakati oleh keduanya. Dimana orang yang menetapkan bagi dirinya syarat khiyar dia memiliki hak untuk meneruskan akad atau membatalkannya, dengan begitu setiap akad yang ada khiyar di dalamnya adalah akad yang tidak lazim (wajib) dari sisi

12Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari,Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Nomor hadis 2003, CD

Room, Maktabah Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-‘ilm An-Nafi’, Seri , Al-Ishdar Al Awwal, 126, hlm 743 yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich,Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal: 217


(30)

orang yang memiliki hak khiyar, dia boleh mengembalikan barang karena khiyar menghalangi wajibnya akad jual beli.

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian dengan judul “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”, penting untuk dilakukan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaimana kriteria akad yang dikatakan mengandung unsur penipuan yang dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak dalam Hukum Perjanjian Islam? 2. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam

akad yang mengandung unsur penipuan?

3. Apakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan jika terdapat Khiyar dalam akad?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kriteria akad yang mengandung unsur penipuan dalam ketentuan hukum perjanjian Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam akad yang mengandung unsur penipuan.


(31)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang timbul jika terjadi Khiyardalam suatu akad.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini saya berharap agar kiranya penelitian ini dapat memberikan manfaat, yakni:

1. Secara teoritis.

Adapun hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara terutama mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”.

2. Secara praktis.

Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah memberikan pendapat atau pun masukan pemikiran bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya dalam mengetahui tentang bagaimana bentuk suatu akad dari sebuah akta maupun perjanjian baku yang dianggap sebagai suatu penipuan yang dapat merugikan sebelah pihak.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan beberapa penelitian yang menyangkut akad khususnya dalam hukum Islam antara lain:


(32)

1. Judul Penelitian “ STANDAR PERJANJIAN MISREPRESENTASI DALAM TRANSAKSI BISNIS” oleh DR. Syahril Sofyan, SH, MKn.

Dengan permasalahan:

a. Mengapa timbul kontrak yang misrepresentation di antara para pihak yang membuat perjanjian.

b. Apakah transaksi bisnis yang lahir dari kontrak baku masih dapat dimasukkan ke dalam kelompok perjanjian yang mengandung unsur misrepresentation.

c. Bagaimana menentukan suatu kontrak itumisrepresentation.

2. Judul Penelitian “PERSINGGUNGAN ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM KUH PERDATA DENGAN HUKUM PERJANJIAN MENURUT HUKUM ISLAM” oleh SAIDIN

Dengan permasalahan:

a. Bagaimana perjalanan sejarah keberadaan KUHPerdata dan Hukum Islam (bidang hukum perdata) pada masa kolonial Belanda dan Pasca kemerdekaan.

b. Bagaimana sikap kalangan praktisi maupun para hakim dalam menempatkan hukum perjanjian KUH Perdata dalam praktek penyelesaian sengketa serta dampaknya terhadap keberadaan hukum rakyat (termasuk hukum perdata Islam)


(33)

d. Sejauh mana persinggungan asas-ass dalam Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata dengan asas-asas Hukum Perjanjian menurut Hukum Islam?

e. Strategi apa yang ditempuh oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penegakan hukum dalam rangka pencapaian tujuan untuk membumikan hukum rakyat sekaligus merumuskan hukum perikatan nasional?

Dari ketiga penelitian diatas sejauh yang diketahui tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Dengan demikian penelitian tentang “HUKUM KHIYAR DALAM AKAD YANG MENGANDUNG PENIPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”, belum pernah dilakukan.Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu Hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.

Teori berasal dari kata“theoria”dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar “thea” ini pula datang kata modern“teater” yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir


(34)

yang tersusun “sistematis, logis (rasional), empiris (kenyatannya), dan juga simbolis”.14

“Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah”.15

Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proporsisi-proporsisi yang telah diuji kebenarannya. Suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitan yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.16 Karena teori ini dapat dikatakan merupakan suatu pencapaian akan sesuatu secara generalisasi, yang telah diuji dan hasilnya mempunyai ruang lingkup yang sangat luas terhadap fakta-fakta yang bersangkutan, teori hukum akan senantiasa berkembang sesuai dinamika masyarkat. Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan, teoritis17.

Gorys Keraf18mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang–kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena–fenomena yang ada.

14 Soerjono Soekanto,Pengantar penelitian Hukum, ( Jakarta: Universitas Indonesia press,

1999), hal: 12.

15Ibid, hal: 15

16Soerjono Soekanto,Op Cit, hal :6.

17M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal :80. 18Gorys Keraf,Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia, 2001), hal :47


(35)

Kerangka teori ini akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam”.

Penelitian ini menggunakan Teori Maqashid Al- Syari’ah sebagai grand theory (teori utama), yang memiliki arti tujuan-tujuan syariat. Maqasid al-Syari’ah dikalangan ulama ushul fiqh disebut juga dengan asrar Al-Syari’ah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang terdapat dibalik suatu hukum yang ditetapkan oleh Srai’, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.19

Maqashid Al-Syariah ini merupakan intisari utama dari hukum Islam, dimana tujuan Allah SWT menurunkan hukum-Nya bagi manusia adalah untuk merealisasikan lima tujuan utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Syatibi20:

1. Memelihara Agama; 2. Memelihara Jiwa;

3. Memelihara aqal Pikiran; 4. Memelihara Keturunan; 5. Dan memelihara harta benda.

Khiyar ini berkaitan dengan salah satu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam hukum Islam yaitu untuk memelihara harta benda. Tentunya memelihara harta benda dari perbuatan yang dilarang Syariat Islam yaitu melakukan

19Ar-Raysuni, Nadzariyyah al-Maqashid, (Herdon: IIIT, 2000), hal: 10 dalam Zamakhsyari,

Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqh dan Ushul Fiqih, ( Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2013), hal: 2

20 Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi Dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan: Sekolah


(36)

penipuan. Dalam hal memelihara harta benda, ajaran Islam memerintahkan hal-hal berikut ini21:

1. Islam memerintahkan setiap muslim untuk bekerja keras dan mencari rezeki lewat jalan yang halal. Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa rezeki yang paling disukai Allah dari hamba-Nya adalah rezeki yang diusahakannya dengan tangannya sendiri.

2. Islam mengajarkan kepada ummatnya bahwa salah satu hal yang akan dimintai Allah pertanggung jawabannya dari manusia di akhirat kelak adalah terkait masalah harta, di mana ia dapatkan dan bagaimana ia menggunakannya. Hal ini mendorong setiap mukmin untuk bertanggung jawab terhadap setiap harta yang didapatkan dan digunakannya.

3. Islam mengajarkan bahwa harta adalah wasilah(sarana untuk mencapai ridha Allah) bukan gyah (tujuan akhir). Maka dari itu, setiap mukmin didorong untuk mengeluarkan dari hartanya yang merupakan hak-hak orang yang berada disekitarnya dari golongan tidak mampu, sebagai jalan mendapatkan ridha Allah.

4. Islam mengajarkan bahwa satu-satunya harta yang dapat menemani seseorang dalam perjalanannya mempertanggung jawabkan hidupnya kepada Allah adalah harta yang dinafkahkan untuk ibadah, apalagi sedekah jariyah, yang terus mengalirkan pahala kepada pemberinya walaupun ia sudah meninggal dunia selama barang itu masih dapat dimanfaatkan orang.

5. Islam memerintah umatnya untuk mempertahankan hartanya dari pihak-pihak yang ingin mengambil dengan cara paksa. Bahkan dalam hadist dikatakan:” siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia termasuk golongansyahid”.

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Memelihara harta benda dalam tingkatan dharurriyat, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang ilegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.

2. Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit seseorang yang memerlukan modal.


(37)

3. Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal itu berkaitan dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.

Selain dari Teori Maqashid Al- Syari’ah sebagai Teori Utama yang dipergunakan sebagai pisau analisis, penelitian ini disertai juga dengan teori Keadilan sebagai Teori Pendukung. Hal ini dipergunakan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap para pihak dalam melaksanakan suatu akad transaksi perjanjian yang mengandung penipuan sehingga pihak yang mengalami kerugian atau kekecewaan dapat melakukankhiyarsesuai dengan yang diatur dalam Hukum Islam.

Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.22

Raghib Al-Asfahani menyatakan bahwa kata adil (‘adl) berarti memberi pembagian yang sama23. Sementara itu, pakar lain mendefinisikannya dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang menyatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat. Hal ini

22Zamaksyari, Op. Cit., hal: 95

23 Raghib Al-Asfahani, Mufradaat Al-Qur’an, Hal :154 selanjutnya dapat di lihat dalam


(38)

sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.24

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam segala hal, walaupun merugikan diri sendiri:

a. Allah SWT berfirman tentang perintah agar manusia berbuat adil dan berbuat kebaikan, serta menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, hal ini terdapat dalam Surat An-Nahl ayat 90:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

b. Allah berfirman tentang kewajiban menegakkan keadilan kepada siapa saja kendatipun kepada orang yang tidak seagama, terdapat dalam Surat As-Syura ayat 15:

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebaai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:”Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan Kamu. Bagi kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu, tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).”

c. Allah berfirman tentang alasan apapun tidak dapat diterima untuk tidak berbuat adil, termasuk ketidaksenangan terhadap orang tertentu, terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”

d. Allah berfirman tentang berlaku adil akan mendekatkan seseorang kepada Allah Swt seperti terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 8:

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

24Mustafa Al- maraghii,Tafsir al-Maraghi, jilid 3, hal:129 selanjutnya dapat di lihat dalam


(39)

Keadilan (‘adl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa datang. Dalam Islam, antara keimanan dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas. Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan kebutuhan dalam diri manusia.25

Begitu juga dalam berekonomi, keadilan dalam Islam dapat diartikan sebagai26: 1. Persamaan Kompensasi.

Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain, sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak pada seseorang yang telah melakukan pengorbanan untuk memperoleh balasan yang seimbang dengan pengorbanannya.

2. Persamaan Hukum.

Persamaan hukum disini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang di depan hukum atas dasar apapun juga. Dalam konteks ekonomi, setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain hanya karena kondisi yang berbeda dari dua golongan tersebut.

3. Moderat.

Moderat disini dimaknai sebagai posisi tengah-tengah. Nilai adil disini dianggap telah diterapkan seseorang juga orang yang bersangkutan mampu memposisikan dirinya dalam posisi di tengah. Hal ini memberikan suatu implikasi bahwa seseorang harus mengambil posisi di tengah dalam arti tidak mengambil keputusan yang terlalu memperberat ataupun keputusan yang terlalu memperingan, misalnya dalam memberikan kompensasi.

4. Proporsional.

Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun kesesuaian ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari sisi tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab, ataupun

25 Zamakhsyari,Op. Cit., hal: 99 26Zamahsyari,Op. Cit.,hal: 114-115


(40)

kontribusi yang diberikan oleh seseorang. Proporsional tidak hanya berkaitan dengan konsumsi, namun juga pada distribusi pendapatan. Suatu distribusi yang adil tidak harus selalu merata, namun perlu tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada. Mereka yang ukurannya besar perlu memperoleh besar, dan yang kecil memperoleh jumlah kecil pula.

Dalam berekonomi, seluruh makna keadilan ini akan terwujud jika setiap orang menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan, dan kejelasan. Secara singkat masing-masing nilai ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Kebenaran

Kebenaran merupakan esensi dan dasar keadilan. Kebenaran dalam hal ini dimaknai sebagai kesesuaian dengan syari’ah Islam. Kebenaran empiris atau faktual hanya bisa diterima jika tidak bertentangan dengan kebenaran syari’ah. Kebenaran dalam memberikan informasi, kebenaran dalam memberikan pertimbangan, dan kebenaran dalam memberikan jaminan kepada semua pihak atas hak-hak yang terkait. Keadilan hanya bermakna jika setiap orang berfikir, bersikap, dan berperilaku secara benar.

2. Kejujuran

Jujur artinya konsistensi antara kepercayaan, sikap, ungkapan, dan perilaku. Kejujuran merupakan aspek penting dan prasyarat dalam keadilan. Kejujuran merupakan tuntutan yang mutlak untuk bisa mencapai kebenaran dan keadilan. Bila seseorang tidak bisa berlaku jujur dalam suatu hal, maka keputusan yang diambil dalam urusan itu dipastikan tidak benar dan tidak adil. 3. Keberanian

Untuk mengambil suatu keputusan yang adil dan melakukan yang benar seringkali seseorang dihadang oleh suatu keadaan yang serba menyulitkan. Oleh karena itu, keberanian diperlukan untuk mengatasi keberanian hal ini keadilan tidak bisa diwujudkan.

4. Kelurusan.

Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan. Taat asas disini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil bisa terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asas, maka akan sangat terbuka kemungkinan untuk melakukan kedzaliman.27

2. Konsepsi.

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara


(41)

operasional dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.28 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka konsepsional belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.29

Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan pengertian terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang dipakai dalam penelitian ini:

a. Khiyar adalah hak pilih, atau dengan kata lain hak salah satu pihak yang bertransaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad.30

b. Akad secara konseptual atau dalam istilah syariah adalah hubungan atau keterkaitan antara ijab dan qabul yang dibenarkan olehsyariah agama Islam dan memiliki implikasi hukum tertentu. Atau dengan kata lain merupakan

28

Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal: 307

29Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hal: 133

30

Ismail Nawawi, Fikih Muamalah (Klasik dan Kontemporer), (Bogor: Gahlia Indonesia, 2012).hal: 85


(42)

keterkaitan antara keinginan kedua belah pihak yang dibenarkan oleh syariah dan menimbulkan implikasi hukum tertentu.31

c. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.32

d. Penipuan adalah proses, cara, perbuatan menipu; perkara menipu (mengecoh)33.

e. Hukum Islam adalah kumpulan norma-norma atau hukum–hukum syarak yang mengatur tingkah laku manusia dalam berbagai dimensi hubungannya, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Maupun yang merupakan hasil ijtihad, yaitu interpretasi dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam(fukaha)terhadap kedua sumber tadi.34 f. Perspektif adalah cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, tingginya); sudut pandang35

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu danlogos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan

31Ibid, hal: 20

32Pasal 1313 KUHPerdata

33Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2005), hal: 1199 34

Syamsul Anwar,Hukum Perjanjian Syariah., ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal: 5

35


(43)

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu keinginan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.36

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 1. Jenis dan Sifat Penelitian.

Spesifikasi penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan. Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis37 yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan

36 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2002), hal: 1

37 Deskriptif analitis, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat

karakteristik dari fakta – fakta (individu, kelompok atau keadaan),dan untuk menemukan frekuensi sesuatu yang terjadi. Lihat Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2000), hal: 58. Dengan penelitian yang deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya, ( Sutrisno Hadi,Metodologi Research, ( Yogyakarta; Andi Offset, 1989, hal: 3).


(44)

teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.38

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum yang berkaitan dengan khiyar yang dibahas dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Penelitian kajian yuridis mengenai “Hukum Khiyar Dalam Akad Yang Mengandung Penipuan Dalam Perspektif Hukum Islam” menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu studi kepustakaan, berupa dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer misalnya buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil penelitian, karya ilmiah atau hasil–hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder misal kamus hukum,

38Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada,


(45)

kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia, internet, jurnal-jurnal.

3. Analisis Data

Didalam penelitian hukum normatif, maka analisa data hakekatnya berarti kegiatan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.39

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder, maupun tersier) untuk mengetahui validitasnya, setelah itu, keseluruhan data tersebut akan disistimatisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.40

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder.41

Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif adalah42

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah, asas atau doktrin

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

39Soejono Soekanto,Op. Cit., hal: 251 40Bambang Sunggono,Op. Cit., hal: 106 41

Zainuddin Ali,Metode Penelitian Hukum Nasional, Ind-Hill, Jakarta hal: 105

42Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; PT. Raja


(46)

BAB II

KRITERIA AKAD YANG MENGANDUNG UNSUR PENIPUAN DALAM KETENTUAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM

A. Pengertian Hukum Perjanjian Islam

Secara etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittida, atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak ataupun perjanjian, perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.43

Dalam Hukum Islam khususnya Al-Quran sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian44 yaitu kata akad ( al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian45, sedangkan kata yang kedua dalam Al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Akad ataual-‘aqdu dalam bahasa Arab berarti ikatan, atau perjanjian dan kesepakatan. Kata‘aqdu(ataual’aqd) sendiri mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan(‘aqd).

43Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K, Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,( Jakarta:

Sinar Grafika, 2004), hal: 1.

44 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya

bakti, 2001), hal: 247


(47)

Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Dengan demikian akad diwujudkan dalamijabdan qabul yang menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan adanya ijab qabul yang didasarkan pada ketentuan syariat, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perjanjian yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.

Sebagaimana Hukum Islam yang berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, Hadits (sebagai dua sumber utama), sertaar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Saw, yang dikenal dengan Hadits Mu’az46 maka sumber hukum Perjanjian Islam sendiri berasal juga dari Al-Qur’an, al- Hadits, dan Ijtihad.47

46 “Pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman ( dari

Madinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, Nabi menguji sahabatnya yang bernama Mu’az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunkannya kelak untuk

memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang mengatakan bahwa dia akan

mempergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan baru itu dijawab Mu’az dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Al-Qur’an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al-Qur’an bagaimana? Mu’az menjawab: saya akan mencarinya dalam Sunnah Nabi. Nabi bertanya lagi: Kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam Sunnah Nabi, bagaimana? Mu’az menjawab” Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan ra’yuatau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi sangan senang atas jawaban Mu’az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah


(48)

1. Al-Quran

Sebagai salah satu sumber hukum Islam utama yang pertama, dalam Hukum Perjanjian Islam, sebagian besar Al-Qur’an hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini:

a. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain ddiantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

b. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. c. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabilah kami berjual-beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

d. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:

yang telah menuntun utusan Rasul-Nya” lihat Mohammad Daud Ali,Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islan di Indonesia, cet 8, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 hal:68

47


(49)

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

e. Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu

f. Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 1 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. g. Al-Qur’an surat Al-Maida ayat 2 yang artinya:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa, dan pelanggaran”. h. Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 9 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagi mu jika kamu mengetahui”.

i. Al-Qur’an surat Al-Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.

Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya dalam Al-Qur’an yang mengatur mengenai perbuatan muamalat secara umum.

2. Al-Hadits

Dalam Hadits, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat lebih terperinci daripada Al-Qur’an. Namun perincian ini tidak terlalu mengatur hal-hal yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadist-Hadist tersebut antara lain dapat dilihat dibawah ini:

a. HR Abu Dawud dan Hakim

Allah Swt.telah berfirman (dalam Hadits Qudsi-Nya), “Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah seorang di antara


(50)

keduanya berkhianat terhadap temannya. Apabila salah seorang di antara keduanya berkhianat, maka Aku keluar dari perserikatan keduanya”.

b. Hadist Nabi Muhammad Saw

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw, berkata, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi, dan berhala”. Pendengar bertanya, “Bagaimana dengan lemak bangkai, ya Rasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu”. Jawab beliau, “Tidak boleh, semua itu haram, celakalah orang Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan uangnya”.

c. Hadits Nabi Muhammad Saw, dari Abu Hurairah

Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain”.

d. HR Muslim dari Abu Hurairah

Bahwasanya Rasulullah Saw, pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau kedalam onggokan itu, tiba-tiba didalam jarinya beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata, “Apakah ini?” Jawab yang punya makanan,”Basah karena hujan, ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau taruh dibagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku”.

e. HR Ahmad dan Baihaqi

Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayarnya”.

f. HR Bukhari dan Muslim

Siapa saja yang melakukan jual-beli Salam (salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu.

g. HR Abu Ya’la, Ibnu Majah, Thabrani, dan Tarmidzi

Berilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.

3. Ijtihad

Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad yang dilakukan dengan menggunakan akal atauar-ra’yu. Posisi akal dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Allah Swt menciptakan akal untuk manusia agar dipergunakan sesuatu dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan dalam Islam. Namun demikian, akal tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada petunjuk. Petunjuk itu telah diatur oleh Allah Swt yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Penggunaan akal untuk berijtihad telah dibenarkan oleh Nabi Muhammad Saw seperti yang terdapat pada Hadits Mu’az bin Jabal, bahkan juga terdapat dalam


(51)

ketentuan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 59., Mohammad Daud Ali memberikan definisi ijtihad adalah:

“ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumus-kan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah”.

Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan diantara kalangan ulamafiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian.48

MenurutDictionary of Business Term,49memberikan definisi akad yaitu “aqd or contract is Transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised”

Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut:

“akad adalah sebuah persetujuan yang mengikat secara umum antara dua pihak atau lebih yang sama, untuk pertimbangan, satu atau lebih pihak setuju untuk melakukan sesuatu”.

Sementara itu, Hashim Ma’ruf al- Husaini50, memberikan definisi akad atau kontrak:

48Abdul Aziz Muhammad Azam,Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal:16

49Alexander Hamilton Institute,A Dictionary of Business Terms, 1987dalamAbdul Manan,

Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), hal: 72


(52)

a contract is an agreement and the consequence is an obligation and binding upon the contracting parties

Bila dialih-bahasakan maka bermakna sebagai berikut:

“akad adalah sebuah kontrak yang merupakan suatu persetujuan dan konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat”.

Pengertian Akad sendiri juga terdapat dalam Kompilasi Hukum ekonomi Syariah Bab I Pasal 20 yang menyebutkan:

“akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsipSyariah.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam suatu akad atau perjanjian ataupun kontrak menurut hukum Islam yaitu adanya pertalian ijab qabul yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad tersebut dan dengan sedirinya memiliki kewajiban dan hak yang melekat pada akad tersebut yang mengikat para pihak. Akad tersebut juga harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. B. Rukun dan Syarat Suatu Akad

Akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri demi terwujudnya suatu

50

Hashim Ma’ruf al-Husaini, Nazriyah al-Aqd fi Fiqh al- Zafari(n.d), hal:100 dalamMohd Ma’sum Billah,Shari’ah Standart of Business Contract, ( Kuala Lumpur: Zafar Sdn. Bhd, 2006), hal: 3


(53)

tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing, harus diungkapkan dalam suatu pernyataan yaitu dengan ijab dan qabul. Dalam melaksanakan suatu akad terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya akad yang dibuat oleh para pihak. Begitu juga dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi.

Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu”.51

Sedangkan syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.52

Pendapat mengenai rukun akad dalam Hukum Islam sendiri beraneka ragam dikalangan para ahli fiqh. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqdbukan merupakan bagian daritasharruf akad(perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad.

51Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 1996), hal: 1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi,et.al.,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005) hal: 50


(1)

pelaksanaaan di luar persidangan ataupun melalui sidang pengadilan. Selanjutnya upaya hukum yang terakhir adalah menggugat ke pengadilan yaitu melalui lembaga peradilan agama yang berwenang dalam penyelesaian sengketa bisnis (ekonomi) syari’ah mengingat adanya keselarasan antara hukum materiil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam pada lembaga Peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam.

3. Adapun akibat hukum yang ditimbulkan jika terdapatkhiyardalam akad adalah akad tersebut dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan dan menurut sebagian para ahli hukum Islam, pembatalan akad ini hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan atau dengan putusan hakim. Namun pembatalan akad ini alangkah baiknya tidak hanya sekedar kerelaan para pihak, tetapi perlu dilakukannya pembatalan total terhadap akad yang dibuat demi kebaikan dan kepastian hukum untuk para pihak yang berakad dengan mengajukan pembatalan akad ke Pengadilan Agama demi terciptanya kepastian hukum. Namun bagi para pihak yang sepakat untuk meneruskan akad tersebut, terhadap akad itu tetap dipandang sah, meskipun mengandung unsur penipuan dan akan menjadi suatu dosa tersendiri bagi pihak yang telah dengan sengaja melakukan penipuan dalam akad tersebut.

B. SARAN

1. Hendaknya bagi para pihak yang akan melakukan transaksi perdata untuk bersikap saling terbuka, tidak menyembunyikan satu hal apapun yang berkaitan


(2)

transaksi perdata agar terhindarnya suatu akad yang mengandung penipuan sehingga tercapainya keadilan bagi mereka yang berakad. Karena Allah SWT sendiri menghendaki bagi ummatnya untuk mencari rezeki yang halal dan tidak merampas harta yang bukan menjadi haknya. Dan hal ini juga bertujuan agar terciptanya keadilan antara para pihak penyelenggara akad .

2. Bagi para pembuat Undang-Undang di Indonesia untuk masa yang akan datang diharapkan agar memasukkan Khiyar ke dalam hukum Indonesia guna terciptanya kepastian hukum bagi mereka yang menggunakan klausulaKhiyardi dalam redaksi akad yang dibuat serta untuk menjamin dan memelihara prinsip kehati-hatian bagi para pihak serta melindungi mereka yang akan bertransaksi akad agar terhindar dari kerugian akibat akad yang mengandung unsur penipuan. 3. Diharapkan bagi para pihak yang berakad agar memasukkan klausula khiyar

dalam akad yang mereka buat sebagai bukti mereka beritikad baik dan tidak adanya unsur penipuan dalam akad tersebut serta terhindar dari perbuatan dosa karena telah melakukan suatu penipuan dalam akad sehingga dapat terhindar dari tidak terbuangnya waktu dan uang secara cuma-cuma apabila nantinya salah satu pihak yang merasa dirugikan karena adanya unsur penipuan tersebut mengajukan pembatalan ke pengadilan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto,Metode Penelitian Sosial Dan Hukum, Jakarta: Granit, 2000

Al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi penerjemah Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2008

Ali, Zainudin,Metode Penelitian Hukum Nasional, Ind-Hill

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Anshori, Abdul Ghofur., Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta: GadjahMada University Press, 2010

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Memahami Syariat Islam, Cet. 1. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000

Ayub, Muhammad, Understanding Islamic finance (A—Z Keuangan Syariah), Jakarta: PT. Gramedia, 2009

Azzam, Abul Aziz Muhammad,Fiqh Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Jakarta: Amzah, 2010

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Adityabakti, 2001

Basir, Cik, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Lencana, 2009

Basyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000

Boediono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008

Daud Ali, Mohammad,Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet.8, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000


(4)

Dewi. Gemala danYeni Salma Barlinti,HukumPerikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005

Djazuli, et. Al.,Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam, Bandung: Kiblat Press, 2002

Hadi, Sutrisno,Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989 Harahap, Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1996 Haroen, Nasrun,Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000

Hasballah, Zamakhsyari,Panduan Bisnis Muslim, Medan: Pesantren Al Manar, 2011 ___________________, Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqh dan Ushul Fiqh,

Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2013

Karim, Adiwarman A., Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006

Keraf, Gorys ,Argumentasi dan Narasi, Jakarta: Gramedia, 2001

Kompilasi Hukum (Naskah Akademik), Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2007

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994

Manan, Abdul, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,Jakarta: Kencana, 2012

Ma’sum Billah, Mohd, Shari’ah Standart of Business Contract, Kuala Lumpur: Zafar.Sdn Bhd, 2006

Mas’Adi, Ghufron, Muamalah Kontekstual, Cet.1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012

Muhammad dan Alimin,Etika dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004


(5)

Mukti Arto, A, Praktik Perkara-Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Muslich, Ahmad Wardi,Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah (Klasik dan Kontemporer), Bogor: Gahlia Indonesia, 2012

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Purba, Rachmansyah, Penyelesaian Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Tesis, PascaSarjana Kenotariatan USU, 2009

Rahardjo, Satjipto.Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

Sahrani, Sohari dan Ru’faah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor; Ghalia Indonesia, 2011

M.S. Salim,Hukum Kontrak: Teori dan Tekhnik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2006

Satrio, J, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1999

Sofyan, Syahril, Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis, Disertasi pada Program PascaSarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011

Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004

Syahrizal, Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dan Pengadilan Negeri Di Kota Banda Aceh, Tesis, Medan: Pascasarjana Fakultas


(6)

Thaib, H.M. Hasballah, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah2005

___________________, Hukum Islam Di Indonesia, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006

___________________,dan H. Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Quran, Medan: Pustaka Bangsa, 2007

___________________, Reaktulissi Dan Elastisitas Hukum Islam, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Hukum USU, 2002

Umar Basyir, Abu,Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang RI tentang Arbitrase Nomor. 30 Tahun 1999 Undang-Undang RI tentang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 INTERNET

http://ashabulkhahfi-its.blogspot.om/2012/05/fikih-muamalat-khiyar_26.html

http://pkbh.uji.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauan-yuridis-tentang-perbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-penggelapan.html, Kamus

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005