Pembahasan dan Solusi Peran Pengawas Sekolah Dalam Mendukung Gerakan Literasi Sekolah

4 untuk dapat bersaing dalam dunia sains dan teknologi tentunya melalui proses literasi. Tantangan dan persoalan-persoalan tersebut merupakan gejala minimnya gairah pihak sekolah dalam mewadahi peserta didiknya menjadi generasi cerdas. Oleh karena dengan pembiasaan membaca dan menulis dipastikan sumber ilmu pengetahuan dan pengalaman akan bertambah. PR terbesar semua pihak termasuk di kalangan keluarga”bagaimana menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis anak-anak kita sejak di lingkungan keluarga? Masalah dari masalah yang dikemukakan tersebut adalah bagaimana strategi pelaksanaannya,serta bagaimana pola monitoring yang akurat yang dilakukan pihak terkait seperti pengawas sekolah? Masalah-masalah tersebut mengemuka sebagai bukti bahwa kegiatan literasi kita khususnya di kalangan peserta didik belum membudaya. Sederetan masalah inilah yang melatarbelakangi lahirnya Gerakan Literasi Sekolah yang salah satu payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 23 tahun 2015.

III. Pembahasan dan Solusi

Masalah-masalah atau isu hangat yang mengemuka dalam uraian kedua artikel ini akan diberikan pembahasan dan solusi secara singkat. Uraian-uraian tersebut berupa hakikat literasi sekolah, tahapan literasi sekolah, prinsip pelaksanaan literasi sekolah, pihak terkait pendukung GLS, dan parameter terlaksananya GLS. Dengan uraian-uraian tersebut diharapkan dapat menjadikan literasi di kalangan peserta didik minimal mulai SD, SMP, dan SMASMK membudaya. Proses GLS tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan terealisasi secara signifikan dan dapat membentuk generasi yang berkarakter bangsa dan cerdas. Hal tersebut pula yang dapat mengubah posisi Indonesia di bidang literasi setara dengan negara-negara yang sudah maju literasinya. Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan atau berbicara. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Dalam buku Panduan GLS 2016 5 umumnya berisi penjelasan pelaksanaan kegiatan literasi di SD, SMP dan SMASMK yang terbagi menjadi tiga tahap, yakni: pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Ruang lingkup GLS meliputi: 1. lingkungan fisik sekolah ketersediaan fasilitas, sarana prasarana literasi; 2. lingkungan sosial dan afektif dukungan dan partisipasi aktif semua warga sekolah dalam melaksanakan kegiatan literasi; dan 3. lingkungan akademik adanya program literasi yang nyata dan bisa dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah. Hal-hal tersebut menjadi tugas pengawas sekolah menfasilitasi, menginspirasi bahkan membimbing kepada warga sekolah agar GLS berhasil dilaksanakan. Keberhasilan pengawas sekolah, guru, dan kepala sekolah dalam melaksanakan GLS tersebut ada kaitannya dengan kompetensi yang dimiliki. Kaitannya dengan GLS, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru dituntut memiliki kompetensi pengetahuan, sosial, dan kepribadian sehingga mampu membimbing kegiatan literasi peserta didik dalam hal pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Kegiatan pembiasaan dapat dilakukan berupa membaca dalam hati, membaca nyaring yang dilakukan setiap hari selama 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Fungsi pengawas sekolah, guru, dan kepala sekolah adalah sebagai model yang melibatkan diri bersama peserta didik membaca bersama. Sudut-sudut kelas dapat ditata buku-buku bacaan sebagai perpustakaan mini atau taman baca yang nyaman sehingga peserta didik mudah dan termotivasi membaca. Kegiatan pengembangan diharapkan peserta didik ada kreasi bahan bacaan, memiliki jurnal bacaan, ada tagihan lisan dan tulis dari guru sebagai penilaian nonakademik. Untuk lebih memotivasi peserta didik diupayakan ada penghargaan secara berkala bagi peserta didik yang aktif dan antusias membaca. Hal lain dapat juga dikiatkan poster-poster kampanye membaca yang dipampang di taman sekolah atau di area-area strategis.Intinya kreativitas guru dan kepala sekolah lalu peran pengawas sekolah sangat signifikan mengarahkan peserta didik meningkatkan minat bacanya. Kegiatan pembelajaran merupakan sebuah proses membaca menuju budaya. Aktivitas membaca 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai telah 6 dilakukan peserta didik tanpa pengawasan guru hingga membiasakan membaca kapan dan di mana saja. Guru merasakan perubahan drastis dari hasil tagihan nonakademik dan akademik setelah peserta didik mulai terbiasa membaca dengan bermakna. Hasil yang menggembirakan lagi bila peserta didik membuat portofolio yang berisi kumpulan bacaan minimal 12 buku nonpelajaran. Pola ini juga terlihat peserta didik dapat menggunakan berbagai strategi sampai pada level pemahaman isi bacaan seperti membaca denah, grafik, tabel, dan gambar. Tindakan guru selanjutnya dapat menjadikan bahan bacaan peserta didik sebagai tagihan akademik dan nonakademik. Gerakan literasi sekolah dapat dimodifikasi secara bertahap melalui penumbuhan minat baca dengan kegiatan 15 menit membaca sebelum pembelajaran dimulai Permendikbud No. 23 tahun 2015, meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran. Kegiatan GLS tentunya disesuaikan dengan kondisi sarana prasarana, kesiapan warga sekolah, bahan bacaan, dan kesiapan sistem pendukung lainnya partisipasi publik, dukungan kelembagaan dan perangkat kebijakan yang relevan. Peran pengawas sekolah sangat dibutuhkan dalam mengelolah program GLS secara efektif. Gerakan Literasi Sekolah dalam pelaksanaannya mengandung prinsip seperti yang dikemukakan Bears 2009 dalam Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah yang menekankan pada hal-hal berikut: 1. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang bisa diprediksi. 2. Program literasi yang baik bersifat berimbang. 3. Program literasi berlangsung di semua area kurikulum. 4. Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna. 5. Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting. Kegiatan GLS akan efektif dan tidak terkesan bombastis atau program spektakuler belaka apabila pihak terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Dikdasmen, pihak Disdik provinsi, Dikbud kabupatenkota pengawas sekolah, komite sekolah, guru, kepala sekolah, peserta didik bahkan orang tua harus berkomitmen mendukung dalam bentuk 7 mewadahi terlaksananya GLS tersebut.Bahkan kalau perlu pihak pengawas sekolah diamanahi atau direkomendasikan secara tegas oleh Kemdikbud untuk memonitoring secara ketat proses GLS. Oleh karena faktor pengawasan lemah dipastikan sebuah gerakan ataupun sebuah proyek tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermutu.Hal inilah penulis menempatkan pengawas sekolah sebagai perpanjangan tanganrefresentasi Dikbud atau pengeksekusi kebijakan GLS tersebut disamping tupoksinya yang lain. Pengawas sekolah sekaligus juga sebagai wujud kepedulian dalam rangka menjadikan budaya literasi salah satu tuntutan model pembelajaran abad ke-21 dalam menciptakan generasi berkarakter bangsa. Model atau kiat yang dipaparkan tersebut merupakan model strategi dan tindak lanjut dari sebuah rancangan GLS. Memang bukan perkara gampang menyukseskan GLS tersebut yang tentunya menyesuaikan tingkat satuan pendidikannya dan kondisi masing-masing. Parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yaitu terkait dengan ekosistem sekolah yang literat berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial dan afektif, dan lingkungan akademik. Di sinilah peran sentral pembinaan, pemantauan, dan pembimbingan pengawas sekolah sebagai perpanjangan tangan dinas Dikbud kabupatenkota. Gerakan Literasi Sekolah tersebut harus terus disosialisasikan khususnya di sekolah-sekolah pelosok dan sekolah-sekolah dalam kota yang belum serius melaksanakan GLS tersebut. Pihak yang berkepentingan dalam hal tersebut seperti pemangku kepentingan, mitra pendidikan pengiat literasi, lembaga donor internasional. Berdasarkan pengamatan bahwa GLS tersebut memang sudah berjalan di beberapa tempat, tetapi masih ada sekolah yang belum optimal bahkan belum melaksanakannya. Gejala-gejala seperti ini harus ditanggapi serius oleh pengawas sekolah sebagai manifestasi terlaksananya GLS di sekolah binaannya. Implementasi GLS pada prinsipnya akan menuju pada sasaran berliterasi secara menyeluruh baik literasi sains, teknologi informasi, finansial, budaya dan kewarganegaraan. Selanjutnya hasil dari berliterasi yang diawali dengan sebuah gerakan akan memunculkan kompetensi seperti berpikir kritispemecahan masalah, komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi. Tujuan akhir dari GLS setelah menguasai beragam literasi, beragam kompetensi, diharapkan mampu 8 membentuk karakter seperti rasa ingin tahu, adaptasi, inisiatif, kegigihan, kepemimpinan, dan kepedulian sosial-budaya Muhammad: 2016. Argumentasi-argumentasi tersebut adalah sebuah gerakan yang dapat mendorong dan menginspirasi warga sekolah untuk lebih memacu diri berliterasi dengan dukungan penuh pengawas sekolah. Karena secara kelembagaan pengawas sekolah adalah bagian dari pembina kepala sekolah dan guru yang bertanggung jawab atas kesuksesan program sekolah termasuk GLS tersebut. Keterlibatan langsung pengawas sekolah dari program-program sekolah seperti GLS akan lebih akurat dibanding kepala sekolah dan guru bekerja sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai solusi, disamping kiat-kiat sekolah berliterasi. Kehadiran pengawas sekolah dalam mengurusi GLS tersebut adalah sebuah inovasi kinerja pengawas sekolah. Karena akhirnya juga akan mengarah pada peningkatan mutu pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Tentunya tidak melupakan tugas-tugas lain seperti supervisi akademik dan manajerial dalam konteks pembinaan, pemantauan, dan evaluasi dalam hal administrasi pembelajaran serta pelaksanaannya. Faktor dukungan dari berbagai pihak khususnya pengawas sekolah, beragam kiat menuju budaya literasi, fasilitas literasi, dan keinginan menciptakan generasi pembelajar abad ke-21 yang berkarakter melalui budaya literasi adalah sebuah cita-cita besar untuk keluar dari stigma” peserta didik kita malas membaca dan malas menulis serta peserta didik kita rabun membaca dan pincang menulis”. Keseriuasan, tekad yang menggebu-gebu, serta usaha maksimal menggelorakan semangat GLS tersebut tidak mustahil sebuah gerakan berliterasi akan melahirkan kebiasaan hingga menjadi sebuah budaya literasi. Budaya literasi tidak bisa tumbuh dengan sendirinya hanya dengan slogan, retorika, dan surat edaran, tetapi akan lebih bermakna jika ada terobosan- terobosan spektakuler dari warga sekolah khususnya pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru menyiasati semua kegiatan, wujudnya atau ujung-ujungnya ada muatan literasinya. Sebagai ilustrasi, katakanlah ada seorang siswa yang terlambat masuk sekolah, tidak perlu hukuman fisik, tetapi cukup membebankan bacaan dengan durasi sekitar 10-15 menit dalam satu buku kemudian melaporkan hasil bacaannya. 9 Begitu pula hal-hal lain dapat dilakukan dengan cerdas menyesuaikan level kelas, kondisi atau lingkungan peserta didik masing-masing. Berikut ilustrasi menarik kiat literasi yang berhasil dilakukan karena kiat-kiat orang-orang dekatnya dan lingkungan yang mendukung. Seorang siswi yang bernama Dayna Tan, seorang siswi SD kelas 6 di Singapura menerbitkan buku “I READ 320 BOOKS AT NINE… SO CAN YOU” pada usia 11 tahun. Dayna bukanlah anak genius tapi kehebatannya diciptakan oleh dorongan lingkungan yang tepat. Sejak usia 2 tahun ibunya telah membacakan banyak buku cerita setiap malam. Mereka sendiri adalah model dan panutan pembaca yang aktif. Dayna menulis bukunya dalam 10 bulan penuh di antara semua tugas sekolah dan juga kegiatan sehari- harinya yang padat. kan secara menyeluruh dan berkelanjutanat sepanjang hayat melalui peli

IV. Kesimpulan dan Harapan Penulis