2 Berawal dari sebuah gerakan dengan berbagai program yang dicanangkan
setiap satuan pendidikan dalam bentuk-bentuk pembiasaan diharapkan dapat menjadi sebuah budaya. Selama ini tidak dapat dibantah kebiasaan membaca
siswa kita sangat rendah. Hal ini menurut OECD PISA Program International Student Assessment bahwa Indonesia menduduki peringkat 69 dari 79 negara
pada tahun 2015. Bahkan Seorang sastrawan Indonesia, Taufik Ismail pernah meneliti pada tahun 1997 di 13 SMA di berbagai negara mengenai kewajiban
membaca buku, ketersediaan buku wajib di perpustakaan sekolah,bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di sekolah. Hasilnya Indonesia berada di urutan
ke-13 dengan kewajiban membaca 0 judul Dharma:2016. Berdasarkan gambaran dan fakta-fakta singkat tersebut sangatlah tepat bila kiat literasi
didorong sekaligus sebagai penguatan dari pengawas sekolah minimal di lingkup binaan akademik dan manajerialnya masing-masing di setiap satuan pendidikan
sebagai realisasi atau dukungan keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah GLS.
II. Masalah
Kesuksesan Gerakan Literasi Sekolah GLS tidak terlepas dari apakah tujuan dan targetnya dapat terealisasikan dengan kondisi masing-masing satuan
pendidikan? Tujuan Gerakan Literasi Sekolah adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sementara target atau hasil yang diharapkan dari Gerakan Literasi Sekolah seperti menyenangkan dan ramah anak
sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar, menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan, semua warganya menunjukkan
empati, peduli, dan menghargai sesama, memampukan warganya untuk cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi kepada lingkungan sosialnya, serta dapat
mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah. Tujuan dan target tersebut memerlukan program kerja atau langkah-langkah nyata
dari berbagai hambatan seperti terbatasnya buku-buku nonpelajaran, peserta didik yang minat bacanya rendah, keterampilan guru yang terbatas sebagai fasilator
literasi, dan dukungan orang tua yang lemah dalam menyiapkan fasilitas belajar serta perpustakaan yang beralih fungsi sebagai gudang buku .
3 Untuk mencapai hasil yang diinginkan tentunya membutuhkan partisipasi
pihak sekolah utamanya peserta didiknya, guru, kepala sekolah, dan unsur eksternal seperti pengawas sekolah. Pengawas sekolah di samping tugas
pokoknya membina di bidang administrasi pembelajaran, pemantauan,penilaian, dan pembimbingan juga tidak kalah pentingnya menyukseskan Gerakan Literasi
Sekolah tersebut. Sesuai Permendikbud No. 143 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya
justru Pengawas sekolah ada kewenangan dalam hal program pembimbingan dan pemantauan khususnya pada standar proses di satuan pendidikan. Salah satu
aspek program sekolah yang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan pengawas sekolah adalah GLS tersebut. Begitu pula dalam Permendikbud No. 14
tahun 2016 tentang perubahan Permendikbud No. 21 tahun 2010. Tantangan inilah yang harus dilalui pengawas sekolah dalam mendukung
GLS. Karena sebenarnya regulasinya mengisyaratkan bahwa Pengawas sekolah secara tersirat berkewajiban berpartisipasi dalam GLS tersebut. Masalah lain juga
adalah “Apakah warga utama sekolah bersedia berpartispasi penuh dalam gerakan literasi sekolah tersebut disamping tugas utamanya dalam pembelajaran?
Bagaimana kiat-kiat pengawas sekolah mengubah paradigma atau kebiasaan yang turun-temurun di kalangan peserta didik dan guru, danatau kepala sekolah
yang malas membaca dan menulis? Menurut Sumadi 2016 tantangan dari pihak sekolah adalah bagaimana
upaya menjadikan budaya literasi dapat menciptakan generasi pembelajar abad ke-21? Gerakan Literasi Sekolah bermuara pada pembentukan karakter dan
kompetensi. Pembentukan karakter dan kompetensi dapat melalui proses beragam literasi seperti literasi dasar sesuai satuan pendidikannya di SD, SMP,
dan SMASMK. Pekerjaan berat dari semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan GLS tersebut adalah mampu menjawab persoalan “Apa
dampaknya jika sebuah bangsa tidak memiliki budaya literasi?” Hal tersebutlah yang akan menguji keyakinan dan intelektual kita apakah budaya literasi
merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa? Pertanyaan mendasar lainnya seperti” Apakah bangsa atau negara yang maju saat ini ada korelasinya dengan
kemampuan literasi mereka? Hal inilah yang menjadi motivasi warga sekolah
4 untuk dapat bersaing dalam dunia sains dan teknologi tentunya melalui proses
literasi. Tantangan dan persoalan-persoalan tersebut merupakan gejala minimnya
gairah pihak sekolah dalam mewadahi peserta didiknya menjadi generasi cerdas. Oleh karena dengan pembiasaan membaca dan menulis dipastikan sumber ilmu
pengetahuan dan pengalaman akan bertambah. PR terbesar semua pihak termasuk di kalangan keluarga”bagaimana menumbuhkan kebiasaan membaca
dan menulis anak-anak kita sejak di lingkungan keluarga? Masalah dari masalah yang dikemukakan tersebut adalah bagaimana strategi pelaksanaannya,serta
bagaimana pola monitoring yang akurat yang dilakukan pihak terkait seperti pengawas sekolah? Masalah-masalah tersebut mengemuka sebagai bukti bahwa
kegiatan literasi kita khususnya di kalangan peserta didik belum membudaya. Sederetan masalah inilah yang melatarbelakangi lahirnya Gerakan Literasi
Sekolah yang salah satu payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 23 tahun 2015.
III. Pembahasan dan Solusi