Peran Pengawas Sekolah Dalam Mendukung Gerakan Literasi Sekolah

(1)

PERAN PENGAWAS SEKOLAH DALAM MENDUKUNG GERAKAN LITERASI SEKOLAH

Oleh: Asmuddin

I. Pengantar

Sebagai sumber daya pendidikan, tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pengawasan pada pendidikan formal dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan. Salah satu rangkaian tugas pengawas sekolah adalah mendukung program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai wujud refresentasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota. Adapun tugas atau kewenangan tersebut antara lain: merencanakan dan melaksanakan pendampingan dan pelatihan kepada warga sekolah untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan pendidikan terutama pelaksanaan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi peserta didik, memantau serta memastikan ketersediaan buku referensi dan buku pengayaan, dan sarana yang mendukung program GLS, melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan GLS di tingkat kabupaten/kota, satuan pendidikan, dan masyarakat. Hal tersebut keterlibatan pengawas sekolah sangatlah relevan dengan tugas pokoknya, baik sebagai pembina,pemantau .ataupun sebagai pembimbing.

Gerakan Literasi Sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) yang tertuang dalam permendikbud nomor 23 tahun 2015 salah satu kegiatan tersebut adalah membaca selama 15 menit buku nonpelajaran sebelum jam pelajaran dimulai. Kegiatan tersebut bertujuan menumbuhkan minat baca peserta didik dan meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan kegiatan partisifatif yang melibatkan berbagai unsur seperti peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan,pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua peserta didik, akademisi, media massa, dan tokoh masyarakat yang bersinergi menyukseskan GLS tersebut.


(2)

Berawal dari sebuah gerakan dengan berbagai program yang dicanangkan setiap satuan pendidikan dalam bentuk-bentuk pembiasaan diharapkan dapat menjadi sebuah budaya. Selama ini tidak dapat dibantah kebiasaan membaca siswa kita sangat rendah. Hal ini menurut OECD PISA (Program International Student Assessment) bahwa Indonesia menduduki peringkat 69 dari 79 negara pada tahun 2015. Bahkan Seorang sastrawan Indonesia, Taufik Ismail pernah meneliti pada tahun 1997 di 13 SMA di berbagai negara mengenai kewajiban membaca buku, ketersediaan buku wajib di perpustakaan sekolah,bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di sekolah. Hasilnya Indonesia berada di urutan ke-13 dengan kewajiban membaca 0 judul (Dharma:2016). Berdasarkan gambaran dan fakta-fakta singkat tersebut sangatlah tepat bila kiat literasi didorong sekaligus sebagai penguatan dari pengawas sekolah minimal di lingkup binaan akademik dan manajerialnya masing-masing di setiap satuan pendidikan sebagai realisasi atau dukungan keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

II. Masalah

Kesuksesan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) tidak terlepas dari apakah tujuan dan targetnya dapat terealisasikan dengan kondisi masing-masing satuan pendidikan? Tujuan Gerakan Literasi Sekolah adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sementara target atau hasil yang diharapkan dari Gerakan Literasi Sekolah seperti menyenangkan dan ramah anak sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar, menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan, semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan menghargai sesama, memampukan warganya untuk cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi kepada lingkungan sosialnya, serta dapat mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah. Tujuan dan target tersebut memerlukan program kerja atau langkah-langkah nyata dari berbagai hambatan seperti terbatasnya buku-buku nonpelajaran, peserta didik yang minat bacanya rendah, keterampilan guru yang terbatas sebagai fasilator literasi, dan dukungan orang tua yang lemah dalam menyiapkan fasilitas belajar serta perpustakaan yang beralih fungsi sebagai gudang buku .


(3)

Untuk mencapai hasil yang diinginkan tentunya membutuhkan partisipasi pihak sekolah utamanya peserta didiknya, guru, kepala sekolah, dan unsur eksternal seperti pengawas sekolah. Pengawas sekolah di samping tugas pokoknya membina di bidang administrasi pembelajaran, pemantauan,penilaian, dan pembimbingan juga tidak kalah pentingnya menyukseskan Gerakan Literasi Sekolah tersebut. Sesuai Permendikbud No. 143 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya justru Pengawas sekolah ada kewenangan dalam hal program pembimbingan dan pemantauan khususnya pada standar proses di satuan pendidikan. Salah satu aspek program sekolah yang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan pengawas sekolah adalah GLS tersebut. Begitu pula dalam Permendikbud No. 14 tahun 2016 tentang perubahan Permendikbud No. 21 tahun 2010.

Tantangan inilah yang harus dilalui pengawas sekolah dalam mendukung GLS. Karena sebenarnya regulasinya mengisyaratkan bahwa Pengawas sekolah secara tersirat berkewajiban berpartisipasi dalam GLS tersebut. Masalah lain juga adalah “Apakah warga utama sekolah bersedia berpartispasi penuh dalam gerakan literasi sekolah tersebut disamping tugas utamanya dalam pembelajaran? Bagaimana kiat-kiat pengawas sekolah mengubah paradigma atau kebiasaan yang turun-temurun di kalangan peserta didik dan guru, dan/atau kepala sekolah yang malas membaca dan menulis?

Menurut Sumadi (2016) tantangan dari pihak sekolah adalah bagaimana upaya menjadikan budaya literasi dapat menciptakan generasi pembelajar abad ke-21? Gerakan Literasi Sekolah bermuara pada pembentukan karakter dan kompetensi. Pembentukan karakter dan kompetensi dapat melalui proses beragam literasi seperti literasi dasar sesuai satuan pendidikannya di SD, SMP, dan SMA/SMK. Pekerjaan berat dari semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan GLS tersebut adalah mampu menjawab persoalan “Apa dampaknya jika sebuah bangsa tidak memiliki budaya literasi?” Hal tersebutlah yang akan menguji keyakinan dan intelektual kita apakah budaya literasi merupakan kunci kemajuan sebuah bangsa? Pertanyaan mendasar lainnya seperti” Apakah bangsa atau negara yang maju saat ini ada korelasinya dengan kemampuan literasi mereka? Hal inilah yang menjadi motivasi warga sekolah


(4)

untuk dapat bersaing dalam dunia sains dan teknologi tentunya melalui proses literasi.

Tantangan dan persoalan-persoalan tersebut merupakan gejala minimnya gairah pihak sekolah dalam mewadahi peserta didiknya menjadi generasi cerdas. Oleh karena dengan pembiasaan membaca dan menulis dipastikan sumber ilmu pengetahuan dan pengalaman akan bertambah. PR terbesar semua pihak termasuk di kalangan keluarga”bagaimana menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis anak-anak kita sejak di lingkungan keluarga? Masalah dari masalah yang dikemukakan tersebut adalah bagaimana strategi pelaksanaannya,serta bagaimana pola monitoring yang akurat yang dilakukan pihak terkait seperti pengawas sekolah? Masalah-masalah tersebut mengemuka sebagai bukti bahwa kegiatan literasi kita khususnya di kalangan peserta didik belum membudaya. Sederetan masalah inilah yang melatarbelakangi lahirnya Gerakan Literasi Sekolah yang salah satu payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 23 tahun 2015.

III. Pembahasan dan Solusi

Masalah-masalah atau isu hangat yang mengemuka dalam uraian kedua artikel ini akan diberikan pembahasan dan solusi secara singkat. Uraian-uraian tersebut berupa hakikat literasi sekolah, tahapan literasi sekolah, prinsip pelaksanaan literasi sekolah, pihak terkait pendukung GLS, dan parameter terlaksananya GLS. Dengan uraian-uraian tersebut diharapkan dapat menjadikan literasi di kalangan peserta didik minimal mulai SD, SMP, dan SMA/SMK membudaya. Proses GLS tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan terealisasi secara signifikan dan dapat membentuk generasi yang berkarakter bangsa dan cerdas. Hal tersebut pula yang dapat mengubah posisi Indonesia di bidang literasi setara dengan negara-negara yang sudah maju literasinya.

Pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/ atau berbicara. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Dalam buku Panduan GLS (2016)


(5)

umumnya berisi penjelasan pelaksanaan kegiatan literasi di SD, SMP dan SMA/SMK yang terbagi menjadi tiga tahap, yakni: pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Ruang lingkup GLS meliputi:

1. lingkungan fisik sekolah (ketersediaan fasilitas, sarana prasarana literasi); 2. lingkungan sosial dan afektif (dukungan dan partisipasi aktif semua

warga sekolah) dalam melaksanakan kegiatan literasi; dan

3. lingkungan akademik (adanya program literasi yang nyata dan bisa dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah).

Hal-hal tersebut menjadi tugas pengawas sekolah menfasilitasi, menginspirasi bahkan membimbing kepada warga sekolah agar GLS berhasil dilaksanakan. Keberhasilan pengawas sekolah, guru, dan kepala sekolah dalam melaksanakan GLS tersebut ada kaitannya dengan kompetensi yang dimiliki. Kaitannya dengan GLS, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru dituntut memiliki kompetensi pengetahuan, sosial, dan kepribadian sehingga mampu membimbing kegiatan literasi peserta didik dalam hal pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.

Kegiatan pembiasaan dapat dilakukan berupa membaca dalam hati, membaca nyaring yang dilakukan setiap hari selama 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Fungsi pengawas sekolah, guru, dan kepala sekolah adalah sebagai model yang melibatkan diri bersama peserta didik membaca bersama. Sudut-sudut kelas dapat ditata buku-buku bacaan sebagai perpustakaan mini atau taman baca yang nyaman sehingga peserta didik mudah dan termotivasi membaca.

Kegiatan pengembangan diharapkan peserta didik ada kreasi bahan bacaan, memiliki jurnal bacaan, ada tagihan lisan dan tulis dari guru sebagai penilaian nonakademik. Untuk lebih memotivasi peserta didik diupayakan ada penghargaan secara berkala bagi peserta didik yang aktif dan antusias membaca. Hal lain dapat juga dikiatkan poster-poster kampanye membaca yang dipampang di taman sekolah atau di area-area strategis.Intinya kreativitas guru dan kepala sekolah lalu peran pengawas sekolah sangat signifikan mengarahkan peserta didik meningkatkan minat bacanya.

Kegiatan pembelajaran merupakan sebuah proses membaca menuju budaya. Aktivitas membaca 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai telah


(6)

dilakukan peserta didik tanpa pengawasan guru hingga membiasakan membaca kapan dan di mana saja. Guru merasakan perubahan drastis dari hasil tagihan nonakademik dan akademik setelah peserta didik mulai terbiasa membaca dengan bermakna. Hasil yang menggembirakan lagi bila peserta didik membuat portofolio yang berisi kumpulan bacaan minimal 12 buku nonpelajaran. Pola ini juga terlihat peserta didik dapat menggunakan berbagai strategi sampai pada level pemahaman isi bacaan seperti membaca denah, grafik, tabel, dan gambar. Tindakan guru selanjutnya dapat menjadikan bahan bacaan peserta didik sebagai tagihan akademik dan nonakademik.

Gerakan literasi sekolah dapat dimodifikasi secara bertahap melalui penumbuhan minat baca dengan kegiatan 15 menit membaca sebelum pembelajaran dimulai (Permendikbud No. 23 tahun 2015), meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan, dan meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran. Kegiatan GLS tentunya disesuaikan dengan kondisi sarana prasarana, kesiapan warga sekolah, bahan bacaan, dan kesiapan sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan dan perangkat kebijakan yang relevan). Peran pengawas sekolah sangat dibutuhkan dalam mengelolah program GLS secara efektif.

Gerakan Literasi Sekolah dalam pelaksanaannya mengandung prinsip seperti yang dikemukakan Bears (2009) dalam Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah yang menekankan pada hal-hal berikut:

1. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang bisa diprediksi.

2. Program literasi yang baik bersifat berimbang.

3. Program literasi berlangsung di semua area kurikulum.

4. Tidak ada istilah terlalu banyak untuk membaca dan menulis yang bermakna.

5. Diskusi dan strategi bahasa lisan sangat penting.

Kegiatan GLS akan efektif dan tidak terkesan bombastis atau program spektakuler belaka apabila pihak terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Dikdasmen), pihak Disdik provinsi, Dikbud kabupaten/kota (pengawas sekolah), komite sekolah, guru, kepala sekolah, peserta didik bahkan orang tua harus berkomitmen mendukung dalam bentuk


(7)

mewadahi terlaksananya GLS tersebut.Bahkan kalau perlu pihak pengawas sekolah diamanahi atau direkomendasikan secara tegas oleh Kemdikbud untuk memonitoring secara ketat proses GLS. Oleh karena faktor pengawasan lemah dipastikan sebuah gerakan ataupun sebuah proyek tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermutu.Hal inilah penulis menempatkan pengawas sekolah sebagai perpanjangan tangan/refresentasi Dikbud atau pengeksekusi kebijakan GLS tersebut disamping tupoksinya yang lain. Pengawas sekolah sekaligus juga sebagai wujud kepedulian dalam rangka menjadikan budaya literasi salah satu tuntutan model pembelajaran abad ke-21 dalam menciptakan generasi berkarakter bangsa.

Model atau kiat yang dipaparkan tersebut merupakan model strategi dan tindak lanjut dari sebuah rancangan GLS. Memang bukan perkara gampang menyukseskan GLS tersebut yang tentunya menyesuaikan tingkat satuan pendidikannya dan kondisi masing-masing. Parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yaitu terkait dengan ekosistem sekolah yang literat berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial dan afektif, dan lingkungan akademik. Di sinilah peran sentral pembinaan, pemantauan, dan pembimbingan pengawas sekolah sebagai perpanjangan tangan dinas Dikbud kabupaten/kota.

Gerakan Literasi Sekolah tersebut harus terus disosialisasikan khususnya di sekolah-sekolah pelosok dan sekolah-sekolah dalam kota yang belum serius melaksanakan GLS tersebut. Pihak yang berkepentingan dalam hal tersebut seperti pemangku kepentingan, mitra pendidikan (pengiat literasi, lembaga donor internasional). Berdasarkan pengamatan bahwa GLS tersebut memang sudah berjalan di beberapa tempat, tetapi masih ada sekolah yang belum optimal bahkan belum melaksanakannya. Gejala-gejala seperti ini harus ditanggapi serius oleh pengawas sekolah sebagai manifestasi terlaksananya GLS di sekolah binaannya.

Implementasi GLS pada prinsipnya akan menuju pada sasaran berliterasi secara menyeluruh baik literasi sains, teknologi informasi, finansial, budaya dan kewarganegaraan. Selanjutnya hasil dari berliterasi yang diawali dengan sebuah gerakan akan memunculkan kompetensi seperti berpikir kritis/pemecahan masalah, komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi. Tujuan akhir dari GLS setelah menguasai beragam literasi, beragam kompetensi, diharapkan mampu


(8)

membentuk karakter seperti rasa ingin tahu, adaptasi, inisiatif, kegigihan, kepemimpinan, dan kepedulian sosial-budaya (Muhammad: 2016).

Argumentasi-argumentasi tersebut adalah sebuah gerakan yang dapat mendorong dan menginspirasi warga sekolah untuk lebih memacu diri berliterasi dengan dukungan penuh pengawas sekolah. Karena secara kelembagaan pengawas sekolah adalah bagian dari pembina kepala sekolah dan guru yang bertanggung jawab atas kesuksesan program sekolah termasuk GLS tersebut. Keterlibatan langsung pengawas sekolah dari program-program sekolah seperti GLS akan lebih akurat dibanding kepala sekolah dan guru bekerja sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai solusi, disamping kiat-kiat sekolah berliterasi.

Kehadiran pengawas sekolah dalam mengurusi GLS tersebut adalah sebuah inovasi kinerja pengawas sekolah. Karena akhirnya juga akan mengarah pada peningkatan mutu pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Tentunya tidak melupakan tugas-tugas lain seperti supervisi akademik dan manajerial dalam konteks pembinaan, pemantauan, dan evaluasi dalam hal administrasi pembelajaran serta pelaksanaannya. Faktor dukungan dari berbagai pihak khususnya pengawas sekolah, beragam kiat menuju budaya literasi, fasilitas literasi, dan keinginan menciptakan generasi pembelajar abad ke-21 yang berkarakter melalui budaya literasi adalah sebuah cita-cita besar untuk keluar dari stigma” peserta didik kita malas membaca dan malas menulis serta peserta didik kita rabun membaca dan pincang menulis”. Keseriuasan, tekad yang menggebu-gebu, serta usaha maksimal menggelorakan semangat GLS tersebut tidak mustahil sebuah gerakan berliterasi akan melahirkan kebiasaan hingga menjadi sebuah budaya literasi.

Budaya literasi tidak bisa tumbuh dengan sendirinya hanya dengan slogan, retorika, dan surat edaran, tetapi akan lebih bermakna jika ada terobosan-terobosan spektakuler dari warga sekolah khususnya pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru menyiasati semua kegiatan, wujudnya atau ujung-ujungnya ada muatan literasinya. Sebagai ilustrasi, katakanlah ada seorang siswa yang terlambat masuk sekolah, tidak perlu hukuman fisik, tetapi cukup membebankan bacaan dengan durasi sekitar 10-15 menit dalam satu buku kemudian melaporkan hasil bacaannya.


(9)

Begitu pula hal-hal lain dapat dilakukan dengan cerdas menyesuaikan level kelas, kondisi atau lingkungan peserta didik masing-masing. Berikut ilustrasi menarik kiat literasi yang berhasil dilakukan karena kiat-kiat orang-orang dekatnya dan lingkungan yang mendukung. Seorang siswi yang bernama Dayna Tan, seorang siswi SD kelas 6 di Singapura menerbitkan buku “I READ 320 BOOKS AT NINE… SO CAN YOU” pada usia 11 tahun. Dayna bukanlah anak genius tapi kehebatannya diciptakan oleh dorongan lingkungan yang tepat. Sejak usia 2 tahun ibunya telah membacakan banyak buku cerita setiap malam. Mereka sendiri adalah model dan panutan pembaca yang aktif. Dayna menulis bukunya dalam 10 bulan penuh di antara semua tugas sekolah dan juga kegiatan sehari-harinya yang padat.

kan secara menyeluruh dan berkelanjutanat sepanjang hayat melalui peli

IV. Kesimpulan dan Harapan Penulis

Berdasarkan uraian pengantar, masalah, dan pembahasan serta solusi artikel ini, dapatlah disimpulkan bahwa literasi adalah sebuah kebutuhan. Karena sebuah kebutuhan, maka literasi adalah sesuatu yang harus dilakukan. Literasi dapat berwujud membaca dan menulis. Paradigma kebiasaan yang belum tertanam dan tumbuh di kalangan peserta didik inilah menjadi sebuah masalah besar. Hal inilah yang mendasari lahirnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Dengan gerakan ini akan melahirkan budaya literasi yang mampu menciptakan generasi pembelajar abad ke-21. Gerakan Literasi Sekolah diharapakan dapat menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis peserta didik di sekolah.

Terlaksananya GLS tersebut harus melibatkan berbagai pihak mulai dari unsur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen), dinas Dikbud provinsi, dinas dikbud kabupaten/kota (pengawas sekolah), pihak sekolah, komite sekolah, dan masyarakat umum (orang tua). Semua pihak tersebut berkontribusi dalam menyambut, mendukung programnya, dan terlibat langsung sesuai kapasitas masing-masing. Khusus pengawas sekolah sangatlah tepat bila sebagai pendamping sekaligus pembina dan membimbing suksesnya GLS minimal di sekolah binaan masing-masing.Keterlibatan pengawas sekolah dalam GLS tersebut merupakan sebuah inovasi kinerja. Karena tugas pengawas sekolah


(10)

selama ini cenderung di administrasi pembelajaran, penilaian, dan pelaksanaannya. Sementara GLS tersebut mengarah pada peningkatan mutu dan pembentukan karakter bangsa.

Keberhasilan GLS juga tergantung model, strategi atau pola yang diterapkan. Pola-pola yang dilakukan seperti membiasakan membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai hingga berkembang menjadi sebuah budaya. Ketersediaan sarana prasarana literasi, faktor kenyamanan peserta didik, kampanye membaca melalui poster yang terpampang, dan mengarahkan mengenali literasi dasar hingga literasi yang mampu membentuk kompetensi dan karakter. Parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yaitu terkait dengan ekosistem sekolah yang literat berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial dan afektif, serta lingkungan akademik. Rangkaian tindak lanjut GLS berupa pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran inilah yang dilakukan untuk membentuk perilaku literasi. Gerakan Literasi Sekolah yang optimal dan efektif bila ada rencana atau skenario kegiatannya, diadakan pembinaan, seterusnya dilakukan pemantauan/monitoring, dan evaluasi. GLS tersebut tidak akan sukses menjadi sebuah gerakan hingga membudaya apabila sebatas slogan atau surat edaran saja.

Sebagai penulis menaruh harapan besar agar Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terus didorong dan dikembangkan secara terus-menerus hingga di seluruh satuan pendidikan. Pihak terkait seperti pengawas sekolah memastikan kegiatan literasi di sekolah-sekolah seperti apa bentuk dan hasilnya. Kemudian pihak sekolah tidak ada alasan bahwa tidak bisa berliterasi karena sarana prasarana pendukungnya sangat terbatas. Gerakan Literasi Sekolah sebenarnya adalah sebuah gerakan yang dilakukan secara terstruktur, masif dan berkelanjutan dibawa kendali dikdasmen.

Harapan lainnya kepada pihak orang tua dapat berupa pembiasaan membaca dan menulis anak-anak kita sejak dini dalam berbagai bentuk sebagai modal awal pengenalan berliterasi. Seruan membaca dan menulis adalah sebuah kewajiban karena “Membaca adalah Jantungnya Pendidikan". Tanpa membaca pendidikan akan ‘mati. Membaca merupakan batu loncatan bagi keberhasilan di sekolah dan dalam kehidupan kelak dalam masyarakat. Tanpa kemampuan membaca yang layak, keberhasilan di sekolah lanjutan dan di perguruan tinggi


(11)

adalah tidak mungkin. Mudah-mudahan usaha-usaha maksimal dari semua pihak dapat membuahkan hasil dengan terbentuknya anak-anak bangsa yang cerdas, berkarakter, mahir dalam segala bidang literasi karena perilaku literasi yang sudah membudaya dalam dirinya.


(12)

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Satria. 2016.Gerakan Literasi Sekolah, Apa, Mengapa, dan Bagaimana. (Makalah Seminar Literasi tanggal 16 April 2016 di Kendari).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen). 2016 Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen). 2016 Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah.Menumbuhkan Budaya Literasi Sekolah.

Muhammad, Hamid. 2016. Gerakan Literasi Sekolah. ( Makalah Seminar Internasional PGSPA UHAMKA tanggal 27 April 2016 di Jakarta).

Permendikbud No. 143 tahun 2014tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentangPenumbuhan Budi Pekerti.

Permen PAN dan Reformasi Birokrasi No. 14 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Sumadi,Tjipto. 2016. Budaya Literasi:Menciptakan Generasi Pembelajar Abad XXI dan Membangun Karakter Bangsa.(Makalah Seminar Literasi tanggal 16 April 2016 di Kendari).

ara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warga literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.


(13)

(1)

membentuk karakter seperti rasa ingin tahu, adaptasi, inisiatif, kegigihan, kepemimpinan, dan kepedulian sosial-budaya (Muhammad: 2016).

Argumentasi-argumentasi tersebut adalah sebuah gerakan yang dapat mendorong dan menginspirasi warga sekolah untuk lebih memacu diri berliterasi dengan dukungan penuh pengawas sekolah. Karena secara kelembagaan pengawas sekolah adalah bagian dari pembina kepala sekolah dan guru yang bertanggung jawab atas kesuksesan program sekolah termasuk GLS tersebut. Keterlibatan langsung pengawas sekolah dari program-program sekolah seperti GLS akan lebih akurat dibanding kepala sekolah dan guru bekerja sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai solusi, disamping kiat-kiat sekolah berliterasi.

Kehadiran pengawas sekolah dalam mengurusi GLS tersebut adalah sebuah inovasi kinerja pengawas sekolah. Karena akhirnya juga akan mengarah pada peningkatan mutu pendidikan dan pembentukan karakter bangsa. Tentunya tidak melupakan tugas-tugas lain seperti supervisi akademik dan manajerial dalam konteks pembinaan, pemantauan, dan evaluasi dalam hal administrasi pembelajaran serta pelaksanaannya. Faktor dukungan dari berbagai pihak khususnya pengawas sekolah, beragam kiat menuju budaya literasi, fasilitas literasi, dan keinginan menciptakan generasi pembelajar abad ke-21 yang berkarakter melalui budaya literasi adalah sebuah cita-cita besar untuk keluar dari stigma” peserta didik kita malas membaca dan malas menulis serta peserta didik kita rabun membaca dan pincang menulis”. Keseriuasan, tekad yang menggebu-gebu, serta usaha maksimal menggelorakan semangat GLS tersebut tidak mustahil sebuah gerakan berliterasi akan melahirkan kebiasaan hingga menjadi sebuah budaya literasi.

Budaya literasi tidak bisa tumbuh dengan sendirinya hanya dengan slogan, retorika, dan surat edaran, tetapi akan lebih bermakna jika ada terobosan-terobosan spektakuler dari warga sekolah khususnya pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru menyiasati semua kegiatan, wujudnya atau ujung-ujungnya ada muatan literasinya. Sebagai ilustrasi, katakanlah ada seorang siswa yang terlambat masuk sekolah, tidak perlu hukuman fisik, tetapi cukup membebankan bacaan dengan durasi sekitar 10-15 menit dalam satu buku kemudian melaporkan hasil bacaannya.


(2)

Begitu pula hal-hal lain dapat dilakukan dengan cerdas menyesuaikan level kelas, kondisi atau lingkungan peserta didik masing-masing. Berikut ilustrasi menarik kiat literasi yang berhasil dilakukan karena kiat-kiat orang-orang dekatnya dan lingkungan yang mendukung. Seorang siswi yang bernama Dayna Tan, seorang siswi SD kelas 6 di Singapura menerbitkan buku “I READ 320 BOOKS AT NINE… SO CAN YOU” pada usia 11 tahun. Dayna bukanlah anak genius tapi kehebatannya diciptakan oleh dorongan lingkungan yang tepat. Sejak usia 2 tahun ibunya telah membacakan banyak buku cerita setiap malam. Mereka sendiri adalah model dan panutan pembaca yang aktif. Dayna menulis bukunya dalam 10 bulan penuh di antara semua tugas sekolah dan juga kegiatan sehari-harinya yang padat.

kan secara menyeluruh dan berkelanjutanat sepanjang hayat melalui peli

IV. Kesimpulan dan Harapan Penulis

Berdasarkan uraian pengantar, masalah, dan pembahasan serta solusi artikel ini, dapatlah disimpulkan bahwa literasi adalah sebuah kebutuhan. Karena sebuah kebutuhan, maka literasi adalah sesuatu yang harus dilakukan. Literasi dapat berwujud membaca dan menulis. Paradigma kebiasaan yang belum tertanam dan tumbuh di kalangan peserta didik inilah menjadi sebuah masalah besar. Hal inilah yang mendasari lahirnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Dengan gerakan ini akan melahirkan budaya literasi yang mampu menciptakan generasi pembelajar abad ke-21. Gerakan Literasi Sekolah diharapakan dapat menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis peserta didik di sekolah.

Terlaksananya GLS tersebut harus melibatkan berbagai pihak mulai dari unsur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen), dinas Dikbud provinsi, dinas dikbud kabupaten/kota (pengawas sekolah), pihak sekolah, komite sekolah, dan masyarakat umum (orang tua). Semua pihak tersebut berkontribusi dalam menyambut, mendukung programnya, dan terlibat langsung sesuai kapasitas masing-masing. Khusus pengawas sekolah sangatlah tepat bila sebagai pendamping sekaligus pembina dan membimbing suksesnya GLS minimal di sekolah binaan masing-masing.Keterlibatan pengawas sekolah dalam GLS tersebut merupakan sebuah inovasi kinerja. Karena tugas pengawas sekolah


(3)

selama ini cenderung di administrasi pembelajaran, penilaian, dan pelaksanaannya. Sementara GLS tersebut mengarah pada peningkatan mutu dan pembentukan karakter bangsa.

Keberhasilan GLS juga tergantung model, strategi atau pola yang diterapkan. Pola-pola yang dilakukan seperti membiasakan membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai hingga berkembang menjadi sebuah budaya. Ketersediaan sarana prasarana literasi, faktor kenyamanan peserta didik, kampanye membaca melalui poster yang terpampang, dan mengarahkan mengenali literasi dasar hingga literasi yang mampu membentuk kompetensi dan karakter. Parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yaitu terkait dengan ekosistem sekolah yang literat berupa lingkungan fisik, lingkungan sosial dan afektif, serta lingkungan akademik. Rangkaian tindak lanjut GLS berupa pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran inilah yang dilakukan untuk membentuk perilaku literasi. Gerakan Literasi Sekolah yang optimal dan efektif bila ada rencana atau skenario kegiatannya, diadakan pembinaan, seterusnya dilakukan pemantauan/monitoring, dan evaluasi. GLS tersebut tidak akan sukses menjadi sebuah gerakan hingga membudaya apabila sebatas slogan atau surat edaran saja.

Sebagai penulis menaruh harapan besar agar Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terus didorong dan dikembangkan secara terus-menerus hingga di seluruh satuan pendidikan. Pihak terkait seperti pengawas sekolah memastikan kegiatan literasi di sekolah-sekolah seperti apa bentuk dan hasilnya. Kemudian pihak sekolah tidak ada alasan bahwa tidak bisa berliterasi karena sarana prasarana pendukungnya sangat terbatas. Gerakan Literasi Sekolah sebenarnya adalah sebuah gerakan yang dilakukan secara terstruktur, masif dan berkelanjutan dibawa kendali dikdasmen.

Harapan lainnya kepada pihak orang tua dapat berupa pembiasaan membaca dan menulis anak-anak kita sejak dini dalam berbagai bentuk sebagai modal awal pengenalan berliterasi. Seruan membaca dan menulis adalah sebuah kewajiban karena “Membaca adalah Jantungnya Pendidikan". Tanpa membaca pendidikan akan ‘mati. Membaca merupakan batu loncatan bagi keberhasilan di sekolah dan dalam kehidupan kelak dalam masyarakat. Tanpa kemampuan membaca yang layak, keberhasilan di sekolah lanjutan dan di perguruan tinggi


(4)

adalah tidak mungkin. Mudah-mudahan usaha-usaha maksimal dari semua pihak dapat membuahkan hasil dengan terbentuknya anak-anak bangsa yang cerdas, berkarakter, mahir dalam segala bidang literasi karena perilaku literasi yang sudah membudaya dalam dirinya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Satria. 2016.Gerakan Literasi Sekolah, Apa, Mengapa, dan Bagaimana. (Makalah Seminar Literasi tanggal 16 April 2016 di Kendari).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen). 2016 Buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen). 2016 Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah.Menumbuhkan Budaya Literasi Sekolah.

Muhammad, Hamid. 2016. Gerakan Literasi Sekolah. ( Makalah Seminar Internasional PGSPA UHAMKA tanggal 27 April 2016 di Jakarta).

Permendikbud No. 143 tahun 2014tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentangPenumbuhan Budi Pekerti.

Permen PAN dan Reformasi Birokrasi No. 14 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Sumadi,Tjipto. 2016. Budaya Literasi:Menciptakan Generasi Pembelajar Abad XXI dan Membangun Karakter Bangsa.(Makalah Seminar Literasi tanggal 16 April 2016 di Kendari).

ara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warga literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik.


(6)