Kerangka Pustaka LANDASAN TEORI
                                                                                BSNP  dalam  standar  isi. SK  dan  KD  merupakan  tolok  ukur  pedoman dalam  pembelajaran  dan  merupakan  tujuan  ketercapaian  pembelajaran.
Uraian materi yang ada di dalam buku secara implisit memuat materi yang mendukung tercapainya minimum SK-KD yang lengkap dengan ketentuan
sebagai berikut: •
40 ≤ KD ≤ 60, masuk kedalam kategori sangat baik •
21 ≤ KD ≤ 40, masuk kedalam kategori baik •
KD ≤ 20, masuk kedalam kategori cukup baik •
Dan  jika  tidak  memenuhi  ketentuan  di  atas masuk  kedalam  kategori kurang baik.
Keluasan  materi  berkenaan  dengan materi  yang  disajikan  harus mencerminkan  jabaran  yang  mendukung  pencapaian  semua  Kompetensi
Dasar KD dan sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik. b. Kesesuaian materi dengan kurikulum
Buku  teks  bahasa  Indonesia  yang  memenuhi  syarat  kriteria kelayakan berdasar BSNP haruslah sesuai dengan kurikulum yang berlaku
Kurikulum  2006KTSP.  Kurikulum  merupakan  suatu  usaha  untuk menyampaikan  asas-asas  dan  ciri-ciri  yang  penting  dari  suatu  rencana
pendidikan  dalam  bentuk  yang  sedemikian  rupa  sehingga  dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah.
Kurikulum  yang  berlaku  untuk  bahasa  Indonesia  2006  mencakup keterampilan  berbahasa,  kebahasaan,  dan  kesastraan. Aspek  keterampilan
kebahasaan  meliputi mendengarkan,  berbicara,  membaca,  dan  menulis.
Aspek kebahasaan  meliputi fonologi,  morfologi,  sintaksis,  dan  semantik, sedangkan  aspek  kemampuan  kesastraan  meliputi sejarah  sastra
,
teori sastra, dan kritik sastra.
c. Kelengkapan Materi Dalam buku teks Bahasa Indonesia setidaknya kelengkapan materi
mencakup  beberapa  hal  yaitu  wacana,  pemahaman  wacana,  fakta kebahasaankesastraan, dan aplikasi.
1 Wacana dapat  berupa  1  percakapan; 2  karangan  atau  laporan utuh: cerpen,  novel,  buku,  artikel,  pidato,  khotbah;  atau  puisi
merupakan materi utama yang harus ada dalam buku teks pelajaran Bahasa  Indonesia.  Wacana  biasanya  mengawali  uraian  materi
setiap  bab. Berdasarkan  pada  wacana  itulah  uraian  materi, pemahaman  wacana,  fakta  kebahasaankesastraan,  dan  implikasi
wacana, dibahas. Wacana yang disajikan mencakup ruang lingkup yang  ada  dalam  standar  isi  berupa  empat  aspek  keterampilan
berbahasa  mendengarkan,  berbicara,  membaca,  dan  menulis mulai  dari  pengenalan  konsep  sesuai  dengan  tuntutan  yang  ada  di
Standar  Komptensi  maupun  Kompetensi  Dasar  pelajaran  Bahasa Indonesia.
2 Pemahaman  wacana  merupakan  tahapan  lanjut  setelah  membaca dan  menyimak  wacana.  Pemahaman wacana  berisi  perintah,  tugas
atau  pelatihan  yang  mengarahkan  peserta  didik  untuk memahami isi atau pesan wacana.
3 Uraian  materi  berisi  fakta  kebahasaan:  kalimat,  kosa  kata, istilah, ungkapan, peribahasa, atau kesastraan sesuai tuntutan SK dan KD.
4 Implikasi  wacana  merupakan  unsur  di  luar  wacana,  bisa  berupa analogi,  perbandingan,  kesejajaran  wacana
yang  mampu memperkuat  penyampaian  materi  sesuai  dengan  tuntutan  SK  dan
KD. Implikasi wacana berisi konsep dasar keluasan materi melalui pelatihan,  tugas,  dan  kegiatan  mandiri  sehingga  dalam  kehidupan
sehari-hari  peserta  didik  mampu  menggali  dan  memanfaatkan informasi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan dalam
kerja ilmiah 2.
Kedalaman Materi Selain  kelengkapan,  kedalaman  materi  sebuah  buku  teks  juga  harus
diperhatikan. Kedalaman  materi  merupakan  uraian  materi  yang mendukung tercapainya  minimum  KD  yang  sesuai  dengan  tingkat  pendidikan  peserta  didik.
Harus  jelas  pembagian  kedalaman  materi  pada  tiap  tingkatan  kelas.  Hal  yang diperhatikan  dalam  poin  kedalaman  materi  yaitu  kesesuaian,  kuantitas,  dan
kualitas wacana. a. Kesuaian wacana
Mengacu  pada  ruang  lingkup  yang  ada  dalam  pada  standar  isi empat aspek keterampilan berbahasa. Empat  aspek keterampilan bahasa
dimaksudkan  meliputi: mendengarkan,  berbicara,  membaca,  dan  menulis. Wujud  uraian,  mulai  pengenalan  konsep  sampai  dengan  interaksi
antarkonsep,  dan  memperhatikan  tuntutan  SK  dan  KD.  Tingkat  kesulitan disesuaikan  dengan  tingkat pemahaman  peserta  didik  yang  lebih
menekankan pada “concrete-operational” dan “system of operations.” b. Kuantitas wacana
Ditunjukkan oleh jumlah minimal yang sesuai dengan tuntutan SK dan  KD.  Untuk  mencapai  kedalaman  materi,  maka  kuantitas  wacana
ditentukan oleh pengembangan atau penambahan dengan jenis wacana lain yang  dapat  berfungsi  sebagai  pembanding,  penjelas,  analogi,  atau
kebutuhan  lain  yang  sejalan  dengan  tuntutan  materi.  Dengan  demikian, materi
yang disajikan
memuat sumber-sumber
tambahan itu
mencerminkan kontinuitas,
dengan kedalaman
spiralitas mengembangkanan  materi. Materi yang  ditampilkan  menjadi  lebih
menarik dan inovatif, serta memotivasi peserta didik senang belajar. c. Kualitas wacana
Mencerminkan kedalaman materi yang ditentukan oleh keaktualan, kemutakhiran,  kefaktualan,  dan  kevariasian  topik.  Kualitas  wacana
mencerminkan kedalaman isi atau pesan dengan spiralitas pengembangan materi pelajaran bahasa.
3. Keakuratan Materi
Setelah  materi  memiliki  kesesuaian  dengan  standar  kompetensi  dan kompetensi  dasar  yang  ditentukan  pemilihan  materi  yang  digunakan  juga  harus
akurat. Keakuratan materi dalam buku teks Bahasa  Indonesia tercermin dari hal- hal berikut, yaitu:
a. Keakuratan dalam pemilihan wacana Wacana  yang  disajikan  berdasarkan  kenyataan  yang  ada  faktual
serta  sedang  hangat  dibicarakan  aktual  dengan  menyebutkan  sumber yang jelas sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik.
b. Keakuratan dalam konsep dan teori Konsep dan teori yang disajikan untuk mencapai KD sesuai dengan
definisi  sesuai  dengan  bidang  keilmuan  linguistik  tidak  menimbulkan banyak  tafsir  dan  ilmu  sastra,  digunakan  secara  tepat  sesuai  dengan
fenomena yang dibahas dan tidak menimbulkan banyak tafsir. c. Keakuratan dalam pemilihan contoh
Uraian  dan  contoh  menanamkan  keruntutan  konsep:  yang  mudah, sukar, konkret, abstrak, yang sederhana, kompleks yang telah dikenal dan
yang  belum  dikenal.  Contoh  yang  disajikan  mengandung  keunggulan nilai-nilai  moral  seperti  keteladanan,  kejujuran,  tanggung
jawab, kedisiplinan, kerja sama, dan toleransi.
d. Keakuratan dalam pelatihan Pelatihan  yang  disajikan  diawali  dari  konsep  yang  sederhana
berkembang  ke  yang  kompleks;  konkret  ke  abstrak,  mudah  ke  sulit,
lingkungan  dekat  ke  yang  jauh  secara  bertahap  dan  berkesinambungan continuity sesuai dengan prinsip proses belajar.
4. Materi Pendukung Pembelajaran
Beberapa hal  yang perlu diperhatikan dalam pemilihan materi pendukung dalam buku teks yaitu:
a. Kesesuaian dengan perkembangan ilmu Materi  yang  disajikan  dalam  buku up  to  date,  sesuai  dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni ipteks yang relevan dengan tingkat kognisi peserta didik.
b. Kesesuaian fitur, contoh, dan rujukan Wacana  dan  pengembangannya  memperlihatkan  fitur,  gambar,
contoh,  atau  ilustrasi  yang  mencerminkan  peristiwa  atau  kejadian  nyata, diutamakanan  yang  mutakhir  up  to  date  yang  dapat  dilihat  dan  dialami
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. c. Pengembangan wawasan kebinekaan
Wawasan  kebinekaan  dalam  pengembangan  wacana  dicerminkan oleh hal-hal berikut antara lain, apresiasi terhadap keanekaragaman budaya
dan  agama. Wacana  dan  pengembangannnya  misalnya  tugas,  pelatihan, gambar,  contoh  atau  ilustrasi  yang disajikan  dapat  membuka  wawasan
peserta  didik  mengenal  dan  menghargai  perbedaan  suku,  budaya,  dan
agama. Apresiasi  terhadap  kemajemukan  masyarakat, misalnya  tugas, pelatihan,  gambar,  contoh  atau  ilustrasi  yang  disajikan  dapat  membuka
wawasan  peserta  didik  mengenal  dan  menghargai  perbedaan  perilaku, pendapat, penampilan, dan adat istiadat.
Apresiasi  terhadap  keanekaan  produk  dan  jasa, misalnya  tugas, pelatihan,  gambar,  contoh  atau  ilustrasi  yang  disajikan  dapat  membuka
wawasan  peserta  didik mengenal  dan  menghargai  perbedaan  dan persebaran  produk dan  jasa. Apresiasi  terhadap  potensi  kekayaan  budaya
dan  alam, misalnya  tugas,  pelatihan, gambar,  contoh  atau  ilustrasi  yang disajikan  dapat  membuka  wawasan  peserta  didik  mengenal,  menghargai
dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan setempat. d. Pengembangan wawasan kebangsaan dan integrasi bangsa
Pengembangan wawasan kebangsaan dan integrasi bangsa meliputi wacana  dan  pengembangannya  mengembangkan  cinta  tanah air misalnya
dalam pemberian tugas pelatihan, dilengkapi gambar, contoh atau ilustrasi yang  disajikan  itu  dapat  membuka  wawasan  peserta  didik  menumbuhkan
kebanggaan  sebagai  bagian  dari  masyarakat  Indonesia. Wacana dan pengembangannya  memperkuat  rasa persatuan  dan  kesatuan  bangsa,
misalnya dalam pemberian tugas pelatihan dilengkapi gambar, contoh atau ilustrasi  yang  disajikan  itu  dapat  membuka  wawasan  peserta  didik
menumbuhkan kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
5. Kelayakan Penyajian
Teknik penyajian sebuah buku teks setidaknya memiliki pedoman sebagai berikut:
1 Kekonsistenan sistematika penyajian Sistematika  penyajian  disampaikan  secara  jelas,  fokus,  dan  taat
asas  dalam  setiap  bab,  yakni  ada  bagian  pendahuluan  berisi  tujuan penulisan  buku  teks  pelajaran,  sistematika  buku,  cara  belajar  yang  harus
diikuti, serta hal-hal lain yang dianggap penting bagi peserta didik, bagian isi uraian, wacana, pelatihan, ilustrasi, gambar, dan pendukung lain, serta
bagian  penutup  rangkuman,  ringkasan,  serta  relevan  dengan  pokok bahasan  sehingga  mampu  membangkitkan  rasa senang  siswa  dalam
belajar. 2 Keruntutan konsep
Uraian,  latihan,  contoh  dalam  hal  materi  kebahasaan  dan kesastraan  yang  disajikan  ada  hubungan  satu  dengan  yang  lain  sehingga
peserta  didik  mampu  mengaplikasikan  konsep-konsep  dasar  keilmuan secara terintegrasi dan holistik sesuai tuntutan KD.
3 Keseimbangan antarbab Uraian  substansi  antarbab  tercermin  dalam  jumlah  halaman,
proporsional  dengan  mempertimbangkan  KD  yang  didukung  dengan
beberapa pelatihan, contoh, ilustrasi, atau gambar secara seimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pokok bahasan.
4 Penyajian pembelajaran Beberapa  hal  yang  perlu  diperhatikan  dalam  penyajian pembelajaran
dalam buku teks antara lain: 1 Keterpusatan pada peserta didik
Sajian  materi  menempatkan  peserta  didik  sebagai  subjek pembelajaran  sehingga  uraian  dalam  buku  perlu  didukung  oleh
kegiatan  yang  mampu  membentuk  kemandirian  belajar  peserta didik, misalnya  dengan  tugas-tugas  mandiri.  Penyajian  materi
bersifat  interaktif  dan  partisipatif  yang  memotivasi  peserta  didik terlibat secara mental dan emosional dalam pencapaian SK dan KD
sehingga  antarpeserta  didik  termotivasi  untuk  belajar  secara komprehensif  tentang  berbagai  persoalan  kebahasaan  dan
kesastraan. 2 Keterangsangan metakognisi peserta didik
Sajian  materi  dapat  mengembangkan  motivasi  belajar peserta  didik  dan  merangsang  peserta  didik  untuk  berpikir  kreatif
tentang  apa,  mengapa,  dan  bagaimana  mempelajari  materi pelajaran dengan rasa senang.
3 Kerangsangan daya imajinasi dan kreasi berpikir peserta didik Penyajian  materi  dapat  merangsang  daya  imajinasi  dan
kreasi  berpikir  peserta  didik  melalui  ilustrasi,  analisis  kasus,  dan latihan.
4 Bagian pendahulu berisi pengantar materi setiap bab serta memuat tujuan  yang  hendak  dicapai  melalui  sajian  bab,  materi,  dan
pelatihan yang akan dibahas pada bab tersebut. 5 Bagian  isi adalah  bagian  yang  memuat  keseluruhan  materi  yang
memuat SK dan KD mulai dari bab, subbab sampai subbab-subbab dengan pengembangannya serta rangkuman setiap bab.
6 Bagian penyudah berisi rujukan, daftar pustaka, indeks, glosarium, dan evaluasi.
6. Kelayakan Bahasa
Dalam  kelayakan  buku  teks  yang  perlu  diperhatikan  adalah  penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut.
a. Lugas
Bahasa  yang  digunakan  dalam  BTBI  haruslah  lugas apa  adanya, tidak  berbelit-belit,  hanya  mencantumkan  penjabaran  materi  yang  pokok,
penting, dan yang perlu saja. Misalnya yang berkenaan dengan: 1 Ketepatan struktur kalimat
Kalimat  yang  dipakai  mewakili  isi  pesan  dan  informasi  yang  ingin disampaikan dengan tetap mengikuti tata kalimat Bahasa Indonesia.
2 Keefektifan kalimat Kalimat yang dipakai sederhana dan langsung ke sasaran.
3 Kebakuan istilah Istilah  yang digunakan sesuai dengan Kamus Besar  Bahasa  Indonesia
dan  istilah  teknis  yang telah  baku  digunakan  dalam  TIK. Padanan istilah  teknis  yang  masih  cukup  asing  diberikan  penjelasannya  pada
glosarium. b.
Komunikatif BTBI  yang  memenuhi  kelayakan  yaitu  yang  menggunakan  bahasa
yang  komunikatif,  sehingga  mudah  untuk  dipahami  dan  dimengerti  oleh siswa. Pesan atau informasi disampaikan dengan bahasa yang menarik dan
lazim dalam komunikasi tulis Bahasa Indonesia. 1 Diaologis dan interaktif
BTBI yang baik mengunakan bahasa yang dapat memotivasi siswa, bahasa  yang digunakan  membangkitkan  rasa  senang  ketika  peserta  didik
membacanya  dan  mendorong  mereka  untuk  mempelajari  buku  tersebut secara  tuntas.selain  itu  buku  teks  juga  harus  mendorong  siswa  untuk
berpikir  kritis,  bahasa  yang  digunakan  mampu  merangsang  peserta  didik untuk mempertanyakan suatu hal lebih jauh, dan mencari jawabnya secara
mandiri dari buku teks atau sumber informasi lain. 2 Kesesuaian dengan perkembangan peserta didik
BTBI  harus sesuaian  dengan  tingkat  perkembangan  intelektual peserta  didik, Bahasa  yang  digunakan  dalam  menjelaskan  suatu  konsep
harus  sesuai  dengan  tingkat  perkembangan  kognitif  peserta  didik. Kesesuaian  dengan  tingkat  perkembangan  emosional  peserta  didik juga
merupakan  hal  yang  perlu  diperhatikan dalam  BTBI,  bahasa  yang digunakan sesuai dengan tingkat kematangan emosional peserta didik.
3 Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia Dalam
penulisan buku
teks terutama
BTBI haruslah
memperhatikan  kaidah  bahasa  Indonesia  baik  dan  benar,  sesuai  dengan pedoman ejaan yang disempurnakan, dan KBBI.
4 Penggunaan istilah, simbol, dan ikon Dalam  BTBI,  penggunaan  istilah dan  penggambaran  simbol  atau
ikon yang  menggambarkan  suatu  konsep  harus  konsisten  antar-bagian dalam buku konsisten.
Buku ajar yang baik memiliki kriteria tertentu atau standar tertentu seperti tentang  relevansinya  dengan  kurikulum  yang  sedang  berlaku  saat  ini,  kesesuaian
metode dengan  materi  yang  disampaikan serta isi  buku secara  keseluruhan. Seorang  guru  profesional tentunya mempertimbangkan  beberapa hal dalam
menentukan buku teks apa yang sesuai dengan kemampuan siswanya. Butir-butir pedoman kriteria buku teks di atas bisa dijadikan pegangan bagi para guru dalam
menelaah buku teks yang hendak digunakan dalam proses pengajaran. Dengan  memperhatikan  butir-butir  kriteria telaah  buku  teks  di  atas,
diharapkan  meningkat  pula pengetahuan  guru  dalam pemilihan  buku  teks  yang tepat  dan  sesuai  untuk  siswanya.  Pemilihan  buku  teks  yang  tepat  berdasarkan
kriteria  telaah  buku  teks yang  ada  tentunya  akan  menunjang  dalam  peningkatan motivasi dan minat siswa dalam proses pembelajaran.
2.2.5 Wacana
Menurut  Edmondson  dalam  Tarigan  1987:  25  wacana  adalah  suatu peristiwa  yang  terstruktur  yang  dimanifestasikan  dalam  perilaku linguistik atau
yang  lainnya, sedangkan  teks  adalah  suatu urutan  ekspresi-ekspresi linguistik yang  terstruktur  yang  membentuk  suatu  keseluruhan  yang  padu  atau  uniter.
Masing  dalam  bukunya  Tarigan  1987:  25,  Stubbs  mendefinisikan  wacana sebagai organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa; dengan perkataan lain unit-
unit  linguistik  yang  lebih  besar  daripada  kalimat  atau  klausa,  seperti  pertukaran- pertukaran  percakapan  atau  teks  tertulis.  Secara  singkat:  apa  yang disebut  teks
bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran utterence. Pendapat  yang  serupa  dengan  Stubbs  dikemukakan  oleh  Kridalaksana
1984:  208 menyebutkan  wacana  discourse  adalah satuan  bahasa  terlengkap, dalam  hierarki  gramatikal  merupakan  satuan  gramatikal  tertinggi  atau  terbesar.
Wacana  ini  direalisasikan  dalam  bentuk  karangan  yang  utuh  novel, buku, seri ensiklopedia, dsb., paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap.
Wacana  adalah  seperangkat  proposisi  yang  saling  berhubungan  untuk menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.
Kohesi  atau  kepaduan  itu  sendiri  harus  muncul  dari  isi  wacana,  tetapi  banyak sekali  rasa  kepaduan  yang  dirasakan  oleh  penyimak  atau  pembaca  harus  muncul
dari  cara  pengutaraan  atau  penguturaan  wacana  itu  Deese  dalam  Tarigan  1987: 25.
Lubis  1993: 21  mengistilahkan  wacana  discourse  yaitu  sama  dengan teks,  yakni  kesatuan  bahasa  yang  diucapkan  atau  tertulis  panjang  atau  pendek,
itulah  yang  dinamakan  teks  atau discourse.  Teks  adalah  satu  kesatuan  semantik dan  bukan  kesatuan  gramatikal. Kesatuan  yang  bukan  lantaran  bentuknya
morfem, klausa, kalimat tetapi kesatuan artinya. Menurut Syamsuddin 1992: 5 menyimpulkan pengertian wacana sebagai
rangkaian  ujar  atau  rangkaian  tindak  tutur  yang  mengungkapkan  suatu  hal subjek  yang  disajikan  secara  teratur,  sistematis,  dalam  satu  kesatuan  yang
koheren,  dibentuk  oleh  unsur  segmental  maupun  nonsegmental  bahasa. Sedangkan  menurut  Tarigan  1987:  27  menyimpulkan  bahwa  wacana  adalah
satuan  bahasa  yang  terlengkap  dan  tertinggi  atau  terbesar  di  atas  kalimat  atau klausa  dengan  koherensi  dan  kohesi  tinggi  yang  berkesinambungan  yang
mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Definisi  yang  disimpulkan  oleh  Tarigan  yang  diambil  dari  definisi
beberapa ahli telah secara lengkap dan jelas menguraikan pengertian wacana. Hal ini bisa dijadikan landasan teori wacana dalam penelitian ini. Secara singkat dapat
disimpulkan  bahwa  wacana  adalah  kesatuan  bahasa  yang  lengkap  dan  tertinggi yang tersusun rapi dan berkesinambungan yang direalisasikan dalam bentuk lisan
maupun tulis. 2.2.6
Jenis-jenis Wacana Menurut  Tarigan  1987:  52, wacana  dapat  diklasifikasikan  dengan
berbagai cara, tergantung dari sudut pandang kita antara lain:
1. Berdasarkan Tertulis atau Tidaknya
Berdasarkan tertulis atau tidaknya, wacana dapat diklasifikan atas wacana tulis dan wacana lisan.
a. Wacana Tulis atau written discourse
Wacana  Tulis atau written  discourse adalah  wacana  yang  disampaikan secara  tertulis,  melalui  media  tulis  Tarigan,  1993: 52.  Penerima  pesan
wacana  tulis  adalah  pembaca.  Sehubungan  dengan  hal  tersebut,  maka keterampilan  menulis  merupakan  pokok  penting  dalam  menyampaikan
pesan.  Ia  juga menyatakan  bahwa  untuk  menerima,  memahami,  atau menikmati  wacana  tulis  maka  sang  penerima  pesan  harus  membacanya.
Untuk  sampai  kepada  penerimaan,  pemahaman,  atau  penikmatan  pesan yang  disampaikan  dalam  wacana  tulis,  maka  kalimat  yang  digunakan
harus  efektif.  Kefektifan  kalimat  mencerminkan  pesan  yang  disampaikan dapat diterima dengan sempurna Tarigan, 1993: 52.
b. Wacana Lisan Tarigan 1987: 55 mengatakan bahwa wacana lisan atau spoken discourse
adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerimanya,  memahami,  atau  menikmati  wacana  ini  maka  sang
penerima  harus  menyimak  atau  mendengarkannya. Dengan  kata  lain, penerima  adalah  penyimak.  Wacana lisan  sering  dikaitkan  dengan
interactive discourse atau wacana interaktif.
2. Berdasarkan Langsung atau Tidaknya Pengungkapan
Berdasarkan  langsung  atau  tidaknya  pengungkapan,  wacana  dapat dibedakan atas wacana langsung dan wacana tidak langsung.
a. Wacana Langsung atau direct  discourse adalah  kutipan  yang  sebenarnya dibatasi  oleh  oleh  intonasi  atau  fungtuasi  Kridalaksana,  1993: 231.
Wacana  langsung  berhubungan  dengan  istilah  kalimat  langsung,  yakni kalimat yang diungkapkan secara langsung dalam bentuk lisan atau tertulis
dari pembicara atau penulis. b. Wacana Tidak Langsung atau indirect  discourse adalah  pengungkapan
kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan menggunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu,
antara  lain  dengan  klausa  subordinatif,  kata bahwa dan  sebagainya Kridalaksana, 1993: 231.  Kata-kata  yang  disampaikan  oleh  pembicara
secara tidak langsung mengungkapkan pesan kepada pendengar. 3.
Berdasarkan Cara Membeberkan atau Cara Menuturkannya Berdasarkan cara  membeberkan  atau  menuturkannya,  wacana  dapat
diklasifikasikan atas wacana pembeberan dan wacana penuturan. a. Wacana Pembeberan atau expository discourse adalah wacana  yang tidak
mementingkan  waktu  dan  penutur,  berorientasi  pada  pokok  pembicaraan, dan  bagian-bagiannya  diikat  secara  logis  Kridalaksana,  1993: 231.
Wacana  pembeberan  dapat  disamakan  dengan  bentuk  tulisan  eksposisi,
yakni tulisan atau karangan yang membeberkan pokok permasalahan agar pendengar atau pembaca luas pengetahuannya.
b. Wacana Penuturan
atau narratif  discourse
adalah  wacana  yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga
dalam  waktu  tertentu,  berorientasi  pada  pelaku,  dan  seluruh  bagiannya diikat  oleh  kronologi  Kridalaksana,  1993: 231.  Wacana  penuturan
merupakan wacana yang mementingkan urutan peristiwa dalam waktu dan ruang. Wacana ini biasa disebut juga dengan karangan atau tulisan narasi
yaitu  karangan  yang  menceritakan  suatu  peristiwa  secara  kronologis  atau berurutan dalm ruang dan waktu.
4. Berdasarkan Bentuknya
Berdasarkan  bentuknya,  wacana  dapat  dibedakan  atas  prosa,  puisi,  dan drama.
a. Wacana Prosa Dalam media cetak, wacana yang paling banyak ditemukan adalah wacana
prosa. Menururt Tarigan 1987: 57 wacana prosa adalah sebagai berikut. Wacana  prosa  adalah  wacana  yang  disampaikan  dalam  bentuk  prosa.
Wacana  ini  dapat  tertulis  atau  lisan,  dapat  berupa  wacana  langsung  atau tidak  langsung,  dapat  pula  dengan  pembeberan  atau  penuturan.  Novel,
novelet,  cerita  pendek,  artikel,  kertas  kerja,  skripsi,  tesis,  disertasi,  surat, dan  sebagainya merupakan  contoh  wacana  prosa. Berdasarkan  definisi  di
atas,  wacana  prosa  dapat  dibedakan  atas  wacana  fiksi  dan  nonfiksi.
Perbedaan  wacana  fiksi  dan  nonfiksi  dapat  dilihat  dari  ciri-ciri  yang membentuknya.  Salah  satu  ciri  yang  membedakannya  adalah  bahasa.
Bahasa wacana fiksi cenderung konotatif dan khayalan, sedangkan wacana nonfiksi bersifat denotatif dan ilmiah.
b. Wacana  Puisi merupakan  wacana  yang  disampaikan  dalam  bentuk  puisi, baik secara tertulis maupun lisan Tarigan, 1993: 57. Wacana ini dibentuk
dengan  menggunakan  pilihan  kata  yang  singkat,  padat,  dan  jelas. Selain itu,  wacana  puisi  mementingkan  pilihan  bunyi,  irama,  serta  unsur
keindahan. c. Wacana  Drama adalah  wacana  yang  disampaikan  dalam  bentuk  drama,
dalam  bentuk  dialog, baik  secara  tertulis  maupun  secara  lisan  Tarigan, 1993: 59.  Karya  sastra  yang  mementingkan  dialog  ini  termasuk  wacana
karena dibangun oleh kalimat-kalimat yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang lengkap dan mengandung pesan atau makna.
Pada  penelitian  ini,  wacana  yang  akan  dijadikan  bahan  penelitian  adalah wacana  yang  dijadikan  bahan  pembelajaran  membaca.  Jenis  wacana  yang
digunakan  umumnya  berjenis  pembeberan,  ditinjau  dari  cara  membeberkan  atau menuturkannya, atau wacana prosa ditinjau dari bentuknya
.
2.2.7 Pengertian Keterbacaan Menurut  Hardjasujana  1999:  10,  keterbacaan  merupakan  padanan
readability dalam  bahasa  Inggris.  Istilah  ini  berarti: pertama,  kejelahan  tipografi
atau tulisan tangan, kedua kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan  bacaan  dan  tingkat  minat  baca,  atau ketiga kemudahan  memahami  bahan
bacaan  yang disebabkan ketedasan bahasanya. Definisi lain yang sedikit berbeda dikemukakan  Tampubolon  1990:  213  menurutnya,  keterbacaan  readability
adalah  sesuai  tidaknya suatu  wacana  bagi  pembaca  tertentu  dilihat  dari aspektingkat  kesukarannya.  Dari  istilah  asing  yang  sama,  muncul  dua  definisi
yang berbeda, tetapi ada persamaannya yaitu keterbacaan berkaitan dengan mudah atau sukarnya suatu wacana.
Menurut Suladi 2000: 4, salah satu cara untuk mendapatkan wacana yang sesuai dengan yang diharapkan adalah dengan studi keterbacaan. Untuk mengukur
tingkat keterbacaan, perlu mempertimbangkan beberapa variabel, seperti struktur bahasa,  isi  wacana,  tipografi,  dan  minat  baca. Menurut  Adjat  Sakri  1994,
menjelaskan  bahwa  keterbacaan  merupakan  perpaduan  antara  ketedasan  dan kejelahan.  Ketedasan  berhubungan  dengan  keterbacaan  bahasa,  sedangkan
kejelahan  berhubungan  dengan  keterbacaan  tata  huruf.  Kedua  istilah  ini  muncul karena  dalam  proses  membaca,  siswa  akan  dihadapkan  pada  wacana  yang
beragam.  Penggunaan  bahasa  yang  mudah,  sederhana,  dan  tipografi  atau  tata huruf  yang  baik  akan  mempengaruhi  minat  baca  siswa.  Hal  ini  membantu  siswa
dalam proses pemahaman suatu bacaan. Keterbacaan  juga  dapat  diartikan  sebagai  keseluruhan  unsur  di  dalam
materi  cetak  tertentu  yang  mempengaruhi  keberhasilan  pembaca  yang  meliputi pemahaman  dan  kecepatan  membaca  yang  optimal  Rusyana,  1984:  213.
Rusyana dalam Sudali 2000: 2 menganjurkan agar melakukan studi keterbacaan
terhadap  bahan-bahan  bacaan  untuk  sekolah  karena  keberadaan  bahan  bacaan memegang  peranan  penting  dalam  kegiatan  pengajaran.  Ketepatan  pemilihan
bacaan akan menentukan keberhasilan proses pengajaran. Dalam
Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia Depdikbud,  1988:
62, keterbacaan  itu  merupakan perihal  dapat  dibacanya  teks secara  cepat,  mudah
dimengerti, dipahami,  dan  mudah  pula  diingat. Kridalaksana  1994  pun memaknai keterbacaan sebagai taraf dapat tidaknya suatu karya tulis dibaca oleh
orang yang mempunyai kemampuan membaca yang berbeda-beda. Suatu buku teks bukan hanya dilihat dari segi penampilan fisik saja, tetapi
isi yang terdapat di dalamnya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Pemilihan bahan  bacaan  yang  tepat  bagi  pembaca,  khususnya  siswa  menjadi  kunci
keberhasilan  proses  pengajaran.  Berpedoman  dari  pengertian  keterbacaan  yang dikemukakan  oleh  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  agar  bahan  bacaan  dapat
dimengerti siswa sehingga penggunaan bahasa  yang baik, sederhana, dan mudah dimengerti menjadi  sangat  penting.  Adanya  studi  keterbacaan  berguna  dalam
penentuan wacana yang sesuai terhadap minat baca siswa 2.2.8
Cara Mengukur Keterbacaan Tingkat  keterbacaan  harus  serasi  dengan  tingkat  kemampuan  siswa.
Menurut  Hafni  1981:  14 ada  tiga  jenis  metode  yang  biasa  digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, yaitu formula, grafik dan prosedur klos. Formula-
formula  keterbacaan  yang  dipilih  berdasarkan  kepraktisan  dan  kesederhanaan
pemakaian,  yaitu Reading  Ease  Formula, Human  Interest  Formula,  Dale  and Chall Formula, dan Fog Index Hafni, 1981: 15.
Keterbacaan  suatu  teks  berkaitan  erat  dengan  untaian- untaian  kalimat yang membangun wacana dalam teks itu Suladi, 2000: 12. Menurut Naga dalam
Suladi 2000: 13, banyak hal yang turut mempengaruhi keterbacaan suatu tulisan. Salah  satunya  adalah  panjang  kalimat  dan  panjang  kata.  Makin  panjang  suatu
kalimat,  makin  sulit  dipahami,  demikian  juga  dengan  panjang  kata.  Untuk mengukur  keterbacaan  berbagai  faktor  perlu  dipertimbangkan,  seperti  struktur
bahasa  kosakata  dan  kalimat,  jenis  isi  bacaan,  tipografi,  dan  minat  baca Tampubolon dalam Suladi, 2000: 13.
Adanya usaha untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu wacana dilakukan  oleh Thorndike  1921  dengan  memusatkan  perhatian  pada  kata-kata
sulit  berdasarkan  kekerapan  pemakaian  sebuah  kata.  Sementara  itu,  menurut Krause, Robinson, dan Sakri 1976, 1979, 1994 menyebutkan mengenai  kriteria
penentuan keterbacaan, yaitu: 1 Kepadatan  konsep tidak  boleh  membuat  pembaca  mengalami  frustrasi.
Artinya  kalimat  dalam  wacana  tidak  boleh  dipadati  dengan  banyak gagasan.
2 Tingkat kekompleksan kalimat tidak boleh tinggi. Artinya tidak membuat kalimat-kalimat yang terlalu panjang yang sulit dipahami siswa.
Sebagai  salah  satu  usaha  untuk  menyerdahanakan  prosedur  penilaian keterbacaan  dikembangkan  suatu  model  yang  lain  dari  formula,  yaitu  metode
dengan  menggunakan  grafik  dan  carta.  Ada  beberapa  macam  grafik  dan  carta, antara  lain  Fry  1968,  McLaughlin  1968,  dan  Mugford  1969. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan grafik Fry. 2.2.8.1 Grafik Fry
Formula  Grafik  Fry  merupakan  suatu  instrumen  yang  sederhana dan efisien untuk menentukan tingkat keterbacaan buku teks. Faktor-faktor
yang  harus  diperhatikan  dalam  instrumen  Grafik  Fry  meliputi  panjang kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kata yang sulit tersebut disebabkan oleh
terlalu  banyaknya  jumlah  suku  kata,  sedangkan  tingkat  kesulitan  kalimat disebabkan oleh terlalu kompleksnya kalimat Depdikbud, 1999: 5.
Grafik  Fry  merupakan  hasil  upaya  untuk  menyerdahanakan dan mengefisienkan  teknik  penentuan  tingkat  keterbacaan.
Fry  1969 menjelaskan  bahwa  grafik  Fry  dan  formula  Spache  berkorelasi  0.90,
sedangkan  dengan  formula  Dale-Chall  0,94 Harjasujana,  dkk,  1998. Formula  ini  mendasarkan  pengukuran  keterbacaan  pada  dua faktor  utama,
yaitu  panjang-pendeknya  kalimat  dan  tingkat  kesulitan  kosakata  yang ditandai oleh jumlah banyak-sedikitnya suku kata yang membentuk setiap
kosakata dalam wacana tersebut. Berikut ini contoh gambar grafik Fry.
Jumlah  suku  kata  per  seratus  perkataan,  yakni  jumlah  kata  dari wacana  sampel  yang  dijadikan  sampel  pengukuran  keterbacaan  wacana.
Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit. Di sisi lain, jumlah kalimat per seratus
perkataan merupakan perwujudan dari landasan lain faktor penentu formula keterbacaan yaitu faktor panjang-pendek kalimat.
Angka-angka  yang  berderet  di  bagian  tengah  grafik  dan  berada  di antara  garis-garis  penyekat  dari  grafik  tersebut  menunjukkan  perkiraan
peringkat  keterbacaan  wacana  yang  diukur.  Angka  1  menunjukkan peringkat  1,  artinya  wacana  tersebut  cocok  untuk  pembaca  dengan  level
peringkat  baca  1  SD;  angka  2  untuk  peringkat baca  2  SD,  angka  3  untuk peringkat baca 3 SD, dan seterusnya hingga universitas.
Daerah yang  diarsir  pada  grafik  yang  terletak  di  sudut  kanan  atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika
hasil  pengukuran  keterbacaan  wacana  jatuh  pada  wilayah  gelap  tersebut, maka  wacana  tersebut  kurang  baik  karena  tidak  memiliki  peringkat  mana
pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti  dengan  wacana  lain. Seratus  perkataan merupakan  jumlah  angka
yang  dianggap  sebagai  jumlah  yang representatif  untuk  mewakili  sebuah wacana.
2.2.8.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Fry Menurut Harjasujana dan Yetti 1999 petunjuk penggunaan grafik
Fry adalah sebagai berikut: 1
Pilih penggalan yang representatif dari wacana dengan mengambil 100 buah perkataan. Kata adalah sekelompok lambang yang di kiri
dan  kanannya berpembatas misalnya Budi, IKIP, 2000 masing- masing  dianggap  kata.  Wacana  tabel  diselingi  dengan  gambar,
kekosongan  halaman,  tabel,  dan  atau  rumus-rumus  yang mengandung banyak angka-angka tidak dihitung.
2 Hitung  jumlah  kalimat  dari  seratus  buah  perkataan  hingga
persepuluhan terdekat. Maksudnya, jika kata yang ke-100 wacana sampel tidak jatuh diujung kalimat, maka sisa kata yang termasuk
hitungan  keseratus itu  diperhitungkan  dalam  bentuk  desimal
persepuluhan.  Misalnya,  jika  wacana  sampel  itu  terdiri  atas 13 kalimat dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke-13 terdiri dari 18 kata
dan kata ke-100 jatuh pada kata ke-8, kalimat itu dihitung sebagai 816 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel
adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat. 3
Hitung  jumlah  suku  kata  dari  wacana  sampel  hingga  kata  ke-100. Suku  kata  yang  dimaksud  adalah  suku  kata  fonetis.  Kelompok
lambang  yang  terdiri  atas  angka  atau  singkatan, diperhitungkan satu  suku  kata.  Misalnya 196 terdiri  atas  3  suku  kata  dan IKIP
terdiri atas empat suku kata. 4
Untuk  wacana  bahasa  Indonesia,  penggunaan  grafik  Fry  masih harus  ditambah  satu  langkah,  yakni  mengalikan  hasil  peghitungan
suku kata dengan angka 0,6 Harjasujana, 1998. Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.
5 Plotkan angka-angka  itu  ke  dalam  Grafik  Fry.  Kolom  tegak  lurus
menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.
Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi,  baik  ke  atas  maupun  ke  bawah.  Oleh  karena  itu,  peringkat
keterbacaan wacana  hendaknya  ditambah  satu  tingkat  dan  dikurangi  satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal
untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah  6,  maka  peringkat  keterbacaan  wacana  yang  diukur  tersebut  harus
diperkirakan  dengan tingkat  keterbacaan  yang  cocok  untuk  peringkat  5 yakni  6 - 1,  6,  dan  7  6  +  1. Berikut  ini  merupakan  contoh  dari
penggunaan grafik Fry.
10 Hal yang Tak Bisa Dibeli dengan Uang
Kita  sering  membicarakan  tentang  uang; bagaimana  mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta
diinvestasikan di mana. Kita  sibuk  merencanakan,  memikirkan,  dan mengkhawatirkan  uang  yang  kita miliki,  sehingga  seolah-olah  uang  adalah
hal paling penting di dunia. Uang memang penting dalam kehidupan. Tanpa alat tukar ini, kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat
kita  bisa  melakukan  banyak  hal  dibandingkan  jika  kita  tak  memilikinya. Tetapi,  sepenting-pentingnya  uang,  sebanyak  apa  pun  pundi-pundi  uang
Anda,  ada  hal-hal  yang  tak  bisa  dibeli  olehnya,  seperti kehilangan  waktu, kebahagiaan,
kebahagiaan anak,
cinta, penerimaan  diterima  oleh
lingkungan  pergaulan, kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap  yang  baik,  dan kedamaian.
Wacana Kata
Kalimat Suku
Kata Kita  sering  membicarakan  tentang  uang;
bagaimana  mendapatkan  banyak  uang, bagaimana  mengatur  pengeluaran,  berapa
yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita  sibuk  merencanakan,  memikirkan,  dan
mengkhawatirkan  uang  yang  kita  miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal paling
penting  di  dunia.  Uang  memang  penting dalam  kehidupan.  Tanpa  alat  tukar  ini,  kita
tak  akan  bisa  memenuhi  kebutuhan  hidup. Uang  membuat  kita  bisa  melakukan  banyak
hal  dibandingkan  jika  kita  tak  memilikinya. Tetapi, sepenting-pentingnya uang, sebanyak
apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang  tak  bisa  dibeli  olehnya,  seperti
kehilangan waktu, kebahagiaan, kebahagiaan anak,
cinta, penerimaan  diterima  oleh
lingkungan pergaulan,
kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap yang baik, catatan:
kata ke-100 dan kedamaian. 100
6 262
Jumlah 100
6 262
Kesimpulan: a. Jumlah kalimat utuh = 5 kalimat,
b. 262 suku kata 262 x 0,6= 157,2 dibulatkan menjadi 157, c. Jumlah kalimat terakhir: 2 kata setelah kata ke 100 = 3438 = 0,89
dibulatkan menjadi 0,9, d. Jumlah kalimat = 5 + 0,9 = 5,9.
Setelah diketahui hasil perhitungan jumlah kalimat dan jumlah suku kata, Maka hasil tersebut diplotkan ke dalam grafik Fry seperti di bawah ini.
Berdasarkan  grafik  Fry  di  atas,  wacana  tersebut  jatuh  di  wilayah peringkat  10.  Sesuai  dengan  teori  maka  peingkat  tersebut  dikurangi  satu
tingkat  10 – 1  =  9  dan  ditambah  satu  peringkat  10  +  1  =  11.  Jadi,  wacana tersebut dapat digunakan untuk kelas 9, 10, 11.
2.2.8.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry
Pertama,  untuk  mengukur  tingkat  keterbacaan  sebuah  buku  yang biasanya  relatif  tebal  jumlah halamnnya,  pengukuran  keterbacaan  ini
hendaknya  sekurang-kurangnya  dilakukan  sebanyak  tiga kali  percobaan
dengan  pemilihan  sampel  yang  berbeda-beda, yakni  wacana  dari  bagian awal  buku, bagian  tengah  buku,  dan  bagian akhir  buku.  Untuk artikel  dan
jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu  kali,  kecuali  jika penulisnya  berbeda-beda.  Dalam mengukur  tingkat
keterbacaan  sebuah  buku  setelah menempuh  langkah-langkah  petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil
rata-rata  inilah  yang  kemudian  akan  dijadikan  dasar  untuk  menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
Kedua, Grafik  Fry  merupakan  hasil  penelitian  terhadap  wacana bahasa  Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda
dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Sistem pola suku kata dalam bahasa  Indonesia pada umumnya mempunyai
ciri  dwisuku  atau  bahkan  lebih.  Keadaan  ini  sangat  berbeda  dengan  sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa
Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan  kenyataan  tersebut,  dapatlah  dipastikan  bahwa  berdasarkan
grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk  peringkat  peringkat  kelas  rendah,  seperti  kelas  1  dan  2,  sebab  titik
pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata- rata  jumlah  suku  kata  akan  selalu  jatuh  pada  daerah  yang  diarsir
Harjasujana, 1998.
Ketiga,  kadang-kadang  guru  perlu  mengevaluasi  bacaan  yang terdiri  atas  kata-kata  yang jumlahnya  kurang  dari  seratus  buah, seperti
pertanyaan-pertanyaan dalam  tes, petunjuk  untuk  melakukan  kegiatan tertentu,  pengumuman-pengumuman  singkat,  atau
petunjuk-petunjuk penggunaan  obat-obatan tertentu. Untuk  menentukan  tingkat  keterbacaan
wacana-wacana  yang  demikian,  yang  jumlah katanya  kurang  dari  seratus perkataan,  para  ahli  telah  menemukan  jalan  pemecahan yang  cukup
sederhana.  Mereka  telah  melakukan  penyesuaian  terhadap  prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry.
Prosedur  kerja  yang  disarankan  ialah  dengan  menempuh  langkah- langkah berikut ini:
1 Hitunglah  jumlah  kata  dalam  wacana  dan bulatkan  pada  bilangan
puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya,  maka  jumlah  tersebut  diperhitungkan  sebagai  50;  jika
jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30. 2
Hitunglah  jumlah  suku  kata  dan  kalimat  yang  ada  dalam  wacana tersebut.  Kegiatan  ini  dilakukan  dengan  cara yang  sama  seperti
langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry. 3
Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata hasil perhitungan langkah 2 tersebut dengan  angka-angka  yang  ada  dalam  Daftar  Konversi.
Dengan  demikian,  guru  dapat  menggunakan  lagi  Grafik  Fry  menurut tata tertib  seperti  yang  sudah  dijelaskan  terdahulu. Dengan  kata  lain,
data  yang  diplotkan ke dalam  grafik  adalah  data  yang  telah diperbanyak dengan daftar konversi.
                