27
Hal ini berimplikasi bahwa semua hukum internasional kemudian bersifat non
self-executing. The
Whitney doctrine
menjelaskan teori non self-executing treaty yang berkembang di abad ke-19 ini, sebagai
suatu batasan
konstitusional dalam
kekuasaan pembuat
treaty untuk
menciptakan hukum
domestik melalui
treaty.
29
Artinya suatu perjanjian yang non- self-executing
memerlukan suatu
aturan pelaksana nasional terlebih dahulu sebelum
perjanjian tersebut dilaksanakan. Dalam
terma praktisnya,
hukum internasional dipandang tidak bisa digunakan
untuk memvalidasi hukum domestik atau vice versa, kewajiban-kewajiban seharusnya
muncul di bawah satu sistem yang tidak bisa secara otomatis dipindahkan ke sistem
lainnya.
30
Penganut teori dualisme ini di antaranya adalah Irlandia dan Inggris.
2.2. Kritik Terhadap Teori Dualisme
Salah satu
kritik terhadap
teori dualisme disampaikan oleh Kelsen yang
mengatakan apabila hukum internasional dan hukum nasional adalah dua hal yang
sangat berbeda tanpa hubungan apapun, maka penggunaan kata “hukum” pada 2
29
David Sloss, “Non-Self-Executing Treaties: Exposing A Constitutional Fallacy” U.C. Davis Law Review Vol. 36 No. 1, 2002,
hlm. 5.
30
Martin Dixon, 1993, Op.Cit., hlm. 70.
28
bidang tersebut
adalah salah.
31
Teori dualisme
dipandang telah
melawan kebutuhan atas kesatuan ilmu pengetahuan,
termasuk di
antaranya adalah
ilmu pengetahuan hukum.
Kritik selanjutnya
adalah dualist
meletakkan primat pada hukum nasional lalu menghadapi masalah ketika suatu negara
secara anarkis
menolak untuk
patuh terhadap kewajiban internasional. Kelemahan
teori dualisme ini dapat ditemukan dari sisi internasional secara praktikal dalam isu
tentang tanggung gugat internasional.
32
Apabila terhadap
suatu perjanjian
internasional, suatu negara telah bertindak sesuai dengan hukum nasional namun
nyatanya telah menimbulkan tanggung gugat di kemudian hari karena tindakannya, maka
negara tersebut tidak dapat mengelak dari tanggung gugat internasional tersebut. Hal ini
diperkuat dengan Article 27 The 1969 Vienna Convention on The Law of Treaties yang
menyatakan, “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for
its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46”.
Teori dualisme
menuntut adanya
transformasi hukum internasional ke hukum nasional dengan prosedur konstitusional
31
Borchad Edwin, Op.Cit., hlm. 142.
32
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 27.
29
tertentu di suatu negara. Proses transformasi ini
akan mendapati
kesulitan ketika
diperhadapkan dengan self-executing treaty, sedangkan di negara dualist tidak dapat
menerima hukum internasional yang bersifat self-executing treaty. Sebagai contoh, negara
India merupakan negara dualist yang tidak dapat secara langsung melaksanakan hukum
internasional dalam negaranya sehingga self- executing treaty tetap harus diubah terlebih
dahulu menjadi
suatu legislasi
yang dikeluarkan oleh Parlemen.
33
Selain self-executing
treaty, teori
dualisme akan mengalami kesulitan juga ketika
diperhadapkan dengan
hukum kebiasaan internasional. Di negara Amerika
Serikat yang
menganut monisme,
international customary law ini telah menjadi bagian dari hukum negara tersebut melalui
kasus Erie R.R. Co. v. Thomkins.
34
Hukum kebiasaan internasional tidak menimbulkan
masalah bagi
negara monisme
sebab monisme
menekankan primatnya
pada hukum
internasional, namun
ini akan
berbeda pada
negara dualist
yang
33
Sunil Kumar Agarwal, “Implementation of International Law in India: Role of Judiciary”, hlm. 5. Diunduh dari
http:oppenheimer.mcgill.caIMGpdfSK_Agarwal.pdf pada
tanggal 25 Oktober 2015 pukul 14.26 WIB.
34
Curtis A. Bradley dan Jack L. Go ldsmith, “Customary
International Law As Federal Common Law: A Critique of The Modern Position” Harvard Law Review Vol. 110, hlm. 186.
30
menekankan primatnya
pada hukum
nasional sehingga
hukum kebiasaan
internasional yang menjadi bagian dari hukum internasional tidak akan mendapat
tempat di sistem hukum nasional negara dualist.
B. Teori Internasionalisme
1. Transnational Legal Process
Louis Henkin mengatakan, “almost all nations observe almost all principles of international
law and almost all of their obligations almost all of the time”.
35
Pernyataan Henkin
tersebut memberikan
gambaran bahwa
nyatanya kebanyakan
negara-negara mematuhi
hukum internasional
dan menjalankan
kewajibannya hampir setiap saat. Bahkan negara terisolasi,
seperti Korea
Utara pun
36
, pasti
tetap membutuhkan interaksi dengan negara lain dalam
proses transnasional ekonomi maupun politik. Namun
pernyataan Henkin
di atas
bukan merupakan
jawaban yang
tuntas untuk
35
Louis Henkin, “The Constitution and United States
Sovereignty: A Century of Chinese Exclusion and Its Progeny ” 100
Harv. L. Rev. 853, 1987, hlm. 875.
36
Pada tahun 1993 Korea Utara menghadapi krisis kekurangan energy dan bahan pangan sehingga melakukan
kerjasama nuklir dengan Amerika Serikat dengan Jepang. Harold Hongju Koh, “Jefferson Memorial Lecture – Transnational Legal
Process after September 11
th
”, 22 Berkeley J. International Law. 337, 2004, hlm. 8