22
kemudian menerapkannya dalam yuridsiksi masing-masing negara tersebut.
1.2. Kritik Terhadap Teori Monisme
Meski perangkat validasi teori monisme didasarkan pada basic norm
13
, namun hukum internasional tidak lantas menjadi
per se
menciptakan atau
memvalidasi hukum nasional
14
. Melihat kepada sisi sejarah, hukum nasional jauh lebih dulu
muncul sebelum
hukum internasional
dibentuk.
15
Premis monisme adalah premis yang a-historis, dimana secara hierarkis
hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional
sehingga hukum
internasional seharusnya lebih dahulu padahal tidak
demikian.
16
Mengingat hukum nasional lebih dulu terbentuk, maka tidak seharusnya
hukum internasional dipandang sebagai hukum yang superior atas hukum nasional.
Kritik berikutnya terkait dengan asas pacta sunt servanda yaitu suatu kontrak
hanya dapat mengikat para pihak yang menyepakatinya.
17
Teori monisme
13
J.G. Starke,
Pengantar Hukum
Internasional: Edisi
Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 99.
14
Edwin Borch ard, “Relation Between International Law and
Municipal Law” Faculty Scholarly Series Paper 3498 Yale Law School, 1940, hlm. 140.
15
Ibid., hlm 142.
16
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung: Alumni,
2011, hlm. 28.
17
Yusuf Caliskan, “The Development of International Investment Law: Lesson from the OECD MAI Negotiations and
23
meletakkan norma dasar basic norms atau dalil fundamental untuk keberlakuannya
bagi setiap individu. Terdapat 2 masalah terkait hal ini, yakni pertama, norma dasar
bersifat abstrak atau tidak memiliki bentuk konkret sehingga akan sulit bagi setiap
individu untuk mematuhinya. Kedua, teori monisme dianggap tidak sejalan dengan asas
pacta sunt servanda karena sifatnya yang universal akan mematahkan keberlakuan
asas ini. Kritik lain terhadap teori monisme
mempertanyakan kemungkinan-
kemungkinan terdapatnya
pertentangan antara hukum internasional dan hukum
nasional, atau konflik antara moral norms dan legal norms.
18
Masalah muncul ketika masing-masing dari hukum internasional
dan hukum nasional memiliki substansi yang
saling bertolakbelakang
dalam penyelesaian
suatu sengketa
sehingga menimbulkan situasi tumpang tindih dalam
penerapan kedua jenis hukum tersebut. Dalam situasi demikian, norma hukum
internasional dan hukum nasional yang berkonflik tidak akan bisa berkoherensi
Their Application to a Possible Multilateral Agreement on Investment”, Florida: Dissertation.com, 2008, hlm. 24.
18
Alexander Somek, “Kelsen Lives” The European Journal of International Law Vol. 18 No. 3, 2007, hlm. 424-425.
24
dalam satu sistem seperti yang teori monisme inginkan.
19
Tidak hanya pertentangan antara aras hukum internasional dan hukum nasional,
namun pertentangan yang timbul dari sesame aras hukum internasional itu sendiri.
Sebagai contoh, kasus Ahmed Ali Yusuf and Al Barakaat International Foundation v.
Council and Commission dan kasus Yassin Abdullah Kadi v. Council and Commission.
20
Kasus tersebut membawa pertanyaan inti apakah
European Council
memiliki kekuasaan sah atau kompetensi untuk
membuat sebuah regulasi yang mengijinkan pembekuan
keuangan seseorang
atau organisasi yang diduga telah membiayai
aktivitasi organisasi
teroris seperti
Al Qaeda.
21
Pertentangan norma dalam kasus ini terjadi di level hukum internasional,
yakni antara hukum hak asasi manusia yang berlaku universal dan hukum internasional
melalui lembaga European Council bagi negara-negara Eropa.
2. Dualisme
2.1. What is dualism theory?