What is dualism theory?

24 dalam satu sistem seperti yang teori monisme inginkan. 19 Tidak hanya pertentangan antara aras hukum internasional dan hukum nasional, namun pertentangan yang timbul dari sesame aras hukum internasional itu sendiri. Sebagai contoh, kasus Ahmed Ali Yusuf and Al Barakaat International Foundation v. Council and Commission dan kasus Yassin Abdullah Kadi v. Council and Commission. 20 Kasus tersebut membawa pertanyaan inti apakah European Council memiliki kekuasaan sah atau kompetensi untuk membuat sebuah regulasi yang mengijinkan pembekuan keuangan seseorang atau organisasi yang diduga telah membiayai aktivitasi organisasi teroris seperti Al Qaeda. 21 Pertentangan norma dalam kasus ini terjadi di level hukum internasional, yakni antara hukum hak asasi manusia yang berlaku universal dan hukum internasional melalui lembaga European Council bagi negara-negara Eropa.

2. Dualisme

2.1. What is dualism theory? Teori dualisme sering diidentikkan dengan mahzab positivisme karena sama- 19 Torben Spaak, “Kelsen on Monism and Dualism”, hlm. 7. Diunduh dari http:ssrn.comabstract=2231530 pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 12.54 WIB. 20 Torben Spaak, Op.Cit.., hlm. 3. 21 Ibid. 25 sama mengutamakan hukum nasional dengan bentuk peraturan perundang- undangan. 22 Hal ini menyebabkan seorang pengacara internasional juga dianggap sebagai seorang dualist sekaligus positivist. Berbeda dengan teori monisme yang meletakkan primatnya pada hukum internasional, teori dualisme justru mengutamakan hukum nasional berdasarkan kedaulatan negara masing-masing sehingga hukum internasional tidak dapat memaksa suatu negara untuk patuh terhadap hukum internasional. 23 Menurut teori ini, hukum internasional dan hukum nasional masing- masing merupakan dua sistem yang berbeda secara intrinsik. 24 Teori dualisme tidak menginginkan adanya pencampuran wilayah antara hukum internasional dan hukum nasional. 25 Menurut teori ini, akan sangat sulit dibayangkan apabila dua sistem hukum 22 Giorgio Gaja, “Positivism and Dualism in Dionisio Anzilotti” European Journal International Law, 1992, hlm. 123. 23 Anthony D’Amato, “The Coerciveness of International Law” Faculty Working Papers Paper 91, Northwestern Universitiy School Of Law, 2010, hlm. 3. Diunduh dari http:scholarlycommons.law.northwestern.educgiviewcontent.c gi?article=1090context=facultyworkingpapers pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 15.51 WIB. 24 Sugeng Istanto, Op.Cit., hlm. 8. 25 Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction, Colorado: Westview Press, 1991, hlm. 23. Lihat juga 8 karakter murni teori dualisme, Damos Damoli Agusman, 2014, Op.Cit., hlm. 59. 26 tersebut dilaksanakan secara bersamaan oleh individu. 26 Asumsi logisnya, kedaulatan negara menjadi basis kuat untuk menempatkan individu secara khusus di bawah hukum nasional sehingga apabila hukum internasional dan hukum nasional melebur, maka akan timbul pergulatan antara kedaulatan negara dengan tatanan hukum internasional 27 . Pemisahan tegas antara hukum internasional dan hukum nasional yang dikehendaki teori dualisme kemudian diikuti dengan penggunaan teori transformasi. Dalam negara yang menganut teori dualisme, pengadilan tidak dapat menerapkan perjanjian internasional secara langsung kecuali perjanjian internasional tersebut telah ditransformasi ke dalam legislasi nasional. 28 Dengan kata lain, suatu hukum internasional hanya bisa berlaku dalam suatu negara apabila terdapat prosedur konstitusional proses transformasi yang menariknya ke dalam sistem hukum nasional. 26 Borchad Edwin, Op.Cit., hlm. 140. 27 Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Limited, 2000, hlm. 101. 28 Bahakal Yimer dkk. , “Application of International Investment Agreement by Domestic Courts”, 2011. Diunduh dari http:graduateinstitute.chfileslivesitesiheidfilessitescteis haredCTEILaw20ClinicMemoranda202011UNCTAD_Memo. pdf pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 16.42 WIB. 27 Hal ini berimplikasi bahwa semua hukum internasional kemudian bersifat non self-executing. The Whitney doctrine menjelaskan teori non self-executing treaty yang berkembang di abad ke-19 ini, sebagai suatu batasan konstitusional dalam kekuasaan pembuat treaty untuk menciptakan hukum domestik melalui treaty. 29 Artinya suatu perjanjian yang non- self-executing memerlukan suatu aturan pelaksana nasional terlebih dahulu sebelum perjanjian tersebut dilaksanakan. Dalam terma praktisnya, hukum internasional dipandang tidak bisa digunakan untuk memvalidasi hukum domestik atau vice versa, kewajiban-kewajiban seharusnya muncul di bawah satu sistem yang tidak bisa secara otomatis dipindahkan ke sistem lainnya. 30 Penganut teori dualisme ini di antaranya adalah Irlandia dan Inggris.

2.2. Kritik Terhadap Teori Dualisme

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB IV

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB V

0 1 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 2013014 BAB III

0 1 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB II

22 114 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB IV

0 1 15

BAB II JENIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 2.1. Konsep Pengujian Undang-Undang - PERUMUSAN NORMA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 33

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSIONALISME DAN DEMOKRASI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 140