ANALISIS PENYELESAIAN KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF (Studi di Kota Bandar Lampung)

(1)

ANALISIS PENYELESAIAN KECELAKAAN LALU LINTAS MELALUI PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF

(Studi di Kota Bandar Lampung) Oleh

Andre Jevi Surya

Kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Penyelesaian penyelesaian kecelakaan lalu lintas dapat ditempuh yaitu proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Penyelesaiaan Kecelakaan Lalu Lintas di luar proses peradilan menggunakan bentuk pendekatan keadilan restoratif berupa Alternative Dispute Resolution (ADR). Permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif? (2) Bagaimanakah dampak bagi korban, pelaku, dan masyarakat dari proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung?

Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan: (1) Tata cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif adalah berupa mediasi berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Tidak semua jenis kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan melalui konsep ini, perkara kecelakaan lalu lintas yang dapat diselesaikan adalah perkara yang tidak masuk dalam kategori mengakibatkan korban luka berat dan korban meninggal dunia; dan (2) Penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif memiliki dampak bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Dampak positif antara lain: Menjamin hak-hak pelaku, korban dan masyarakat; Merestorasi kerugian; Menyelesaikan masalah dengan solusi di luar proses peradilan hukum acara pidana; dan Menghasilkan perdamaian antara pelaku dan korban. Dampak negatif antara lain: Pelaku yang berasal dari kalangan masyarakat menengah kebawah memiliki kecenderungan tidak dapat menjalankan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR); dan Tanpa adanya peran polisi unit kecelakaan lalu lintas sebagai mediator penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR).


(2)

Saran yang diberikan penulis berkaitan dengan analisis penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif (studi di Kota Bandar Lampung) adalah sebagai berikut : Diharapkan pemerintah dapat menjadikan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai agenda resmi kepolisian dalam penyelesaian kecelakaan lalu lintas; dan Diharapkan pihak kepolisian dapat berperan aktif sebagai mediator dalam menerapkan konsep Alternative Dipute Resolution

(ADR).


(3)

Oleh Andre Jevi Surya

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Andre Jevi Surya dilahirkan di Bandar Lampung 14 Januari 1993 yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara, anak dari Bapak H. Juprius, S.E., M.M., dan Ibu Hj. Surya Maryati, S.E.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak Bahayangkari Tanjung Karang Bandar Lampung pada 1999, Sekolah Dasar Kartika Jaya II-5 Bandar Lampung pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandar Lampung yang lulus di tahun 2008 dan di tahun 2011 telah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung. Dengan mengikuti Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung Pada Tahun 2011.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi yang ada di dalam maupun di luar lingkungan universitas dan aktif mengikuti program pelatihan serta ajang kompetisi yang menunjang masa depan sang penulis.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan dari segala Alam, yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah Nya, maka dengan segala ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payah yang selama ini telah dilakukan,

dengan ini aku persembahkan sebuah karya kepada:

Kedua orang tuaku yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai.

Ayahandaku H. Juprius, S.E. M.M. dan Ibundaku tercinta Hj. Surya Maryati S.E. Terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do'a yang

telah diberikan sehingga aku mampu mempersembahkan keberhasilan ini.

Kakakku Angga Jevi Surya, S.H. serta adik-adikku Annisa Jevi Surya dan Anjas Jevi Surya yang senantiasa menemaniku dengan segala keceriaan dan kasih sayang.

Keluarga besarku terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini

Para guru serta dosen yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepadaku

Sahabat-sahabat dan teman-temanku yang selalu menemani untuk memberikan semangat


(8)

MOTO

Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan

kepada keluarganya (terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.

(Al-Quran Surat An-nisa ayat 92)

Maka barang siapa yang salah seorang keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah ucapanku ini, keluarganya memiliki dua pilihan: andakalanya memilih

diat, atau memilih qishash (hukum bunuh). Hadis Nabi dari Abi Syuraih Al-Khuza'I

Segala sesuatu yang telah dimulai, walaupun proses yang dilalui tidak dapat dikatakan mudah, bahkan terlihat seperti mustahil untuk dilalui, janganlah pergi

untuk lari dari tanggungjawab, teruslah selesaikan, lakukanlah hal yang terbaik dan yakinlah agar semua ini dapat terselesaikan dengan hasil akhir yang indah.


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil'alamin, Segala puji dan syukur selalu dipanjatkan kepada Allah SWT, Tuhan dari segala Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul: Analisis Penyelesaian Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif (Studi di Kota Bandar Lampung).

Penulis menyadari skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari partisipasi dan bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. Selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran, dan meluangkan waktu sehingga proses penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik.

5. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. Selaku Pembimbing II yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan hasil yang baik.


(10)

skripsi ini.

7. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. yang telah memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satlantas Polresta Kota Bandar Lampung, serta Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. dan Bapak Dr. Heni Siswanto S.H., M.H. yang telah meluangkan waktu untuk melakukan wawancara sehingga dapat penelitian skripsi ini diselesaikan.

9. Para Dosen Fakultas Hukum Universits Lampung yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas bimbingan dan pengajaran ilmu yang telah diberikan selama penulis menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10.Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan selama ini. 11.Ayahandaku H. Juprius, S.E. M.M. dan Ibundaku tercinta Hj. Surya Maryati

S.E. terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, dan ketulusan serta doa untuk setiap perjalanan keberhasilanku.

12.Kakakku Angga Jevi Surya, S.H. serta adik-adikku Annisa Jevi Surya dan Anjas Jevi Surya yang senantiasa menemaniku dengan segala keceriaan dan kasih sayang.

13.Sahabat-sahabatku dari Kelompok Propti Culpa, yang tiada henti memberikan semangat dan dukungan selama ini.

14.Keluarga Besar Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tiada henti membimbing penulis menjadi seorang praktisi hukum yang handal.

15.Keluarga Besar UKM-U English Society, yang selama ini telah memberikan suatu makna besar bagi penulis sehingga dapat menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya, mendapatkan keluarga baru, teman, dan juga sahabat bagi penulis.


(11)

seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung serta menemukan keluarga baru, teman, dan juga sahabat bagi penulis.

17.Keluarga Besar UKM-F Fossi FH Unila yang selalu memberikan motivasi Spiritual Islam kepada penulis.

18.Sahabat-sahabatku dari Keluarga Besar Lembaga Bahasa Inggris Bandar Lampung, Indonesia Future Leaders, Duta Bakti Pemuda Antar Provinsi Kota Bandar Lampung, Program Mahasiswa Wirausaha, Clinical Legal Education, Forum Sigap Bencana Universitas Lampung, Kelompok KKN Ketang Kalianda, dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

19.Sahabat-sahabatku dari Keluarga Besar IMMLAUT yang selalu semangat dengan ungkapan-ungkapan yang tidak dapat diduga.

20.Sahabat-sahabatku dari Keluarga Besar Beswan Djarum Lampung Angkatan 28 dan 29 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu luar biasa menggapai masa depan yang cerah

Semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT Senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua, Amin.

Bandar Lampung 27 April 2015 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pemasalahan dan ruang Lingkup Penelitian ... 10

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Keadilan Restoratif ... 17

B.Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas ... 22

C.Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan lalu Lintas ... 33

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 47

B.Jenis dan Sumber Data ... 47

C.Penentuan Responden ... 49

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 50

E. Analisa Data ... 51

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden ... 52

B.Tata Cara Penyelesaian Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif ... 54

C.Dampak Bagi Korban, Pelaku, dan Masyarakat dari Proses Penyelesaian Tindak Pidana Lalu Lintas melalui Pendekatan Keadilan Restoratif di Kota Bandar Lampung ... 72


(13)

B.Saran ... 82


(14)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan berlalu lintas Masyarakat Indonesia telah memiliki suatu ketentuan hukum yang mengatur mengenai lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan hukum ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tertib dalam berlalu lintas dan agar hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan lalu lintas dapat dicegah dengan adanya sanksi yang tegas berupa ketentuan hukuman pidana. Namun tentu saja walaupun telah memiliki aturan yang jelas mengenai lalu lintas dan angkutan jalan, kecelakaan lalu lintas tetap dapat terjadi tanpa adanya unsur kesengajaan.

Tindak pidana lalu lintas merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sehingga pelaku disanksi dengan hukuman badan dan/atau denda sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Kecelakaan merupakan suatu bentuk dari tindak pidana lalu lintas. Kecelakaan terjadi diakibatkan oleh pelaku, baik disengaja ataupun karena kealpaannya mengakibatkan kerugian materil, luka-luka, dan/atau korban jiwa dalam dunia lalu lintas dan angkutan jalan. Kecelakaan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan lebih merujuk pada suatu hal yang


(15)

terjadi secara tidak sengaja atau culpa. Maksud dari arti culpa adalah “kesalahan

pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.1

Ketentuan Pasal 229 ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa : "Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan". Merujuk pada pasal tersebut, kecelakaan lalu lintas dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu manusia, kendaraan, infrastruktur, dan iklim/cuaca. Berdasarkan artikel dari website resmi Badan Intelijen Negara, melihat pada Outlook 2013 Transportasi Indonesia, penyebab terbesar terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah faktor manusia yang lalai ketika mengendarai kendaraan bermotor yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan sehingga menimbulkan kerugian materil, luka-luka, maupun korban jiwa.2 Seperti apa yang tercantum dalam Pasal 227 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam hal kecelakaan lalu lintas, Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib untuk melakukan penanganan kecelakaan dengan melakukan pengolahan tempat kejadian perkara, mengamankan barang bukti dan melakukan penyidikan perkara. Dengan demikian Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai

1

Projodikoro, Wirjono. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Eresco. 2003. hlm 122. 2

www.bin.go.id/awas/detil/1974/4/21/03/203/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga diakses pada 10 desember 2014


(16)

penegak hukum dan pelaksana undang-undang memiliki kewajiban untuk dilakukannya proses hukum dalam menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas.

Penggolongan dan penanganan perkara kecelakaan lalu lintas menurut pasal 229 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Ketentuan Pasal 230 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud


(17)

dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun pada pengaplikasian Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berjalan tidak sesuai dengan yang tertulis dalam undang-undang tersebut.

Tidak semua proses penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas sesuai dengan Pasal 230 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan data jumlah kecelakaan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia Lampung Daerah Lampung resor Kota Bandar Lampung didapati sepanjang Januari sampai Desember 2014 terdapat 431 perkara kecelakaan lalu lintas, namun hanya terdapat 25 perkara yang dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum atau di P-21.3 Sedangkan terdapat 301 perkara kecelakaan lalu lintas yang diselesaikan di luar pengadilan atau melalu konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR). Berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009.

Alternatif Dispute Resolution (ADR) merupakan pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan melalui mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Perlu diketahui, mediasi merupakan suatu cara yang sering digunakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam suatu kecelakaan lalu lintas yang pada akhirnya menemukan kata mufakat untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan cara kekeluargaan tanpa harus

3

Data Jumlah Laka Lantas, Korban, Penyelesaian Perkara Laka Lantas dan SP2HP Polresta Kota Bandar Lampung Januari-Desember 2014


(18)

diselesaikan melalui proses hukum. Dengan kata lain keadilan restoratif benar-benar digunakan untuk menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas meski dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengatur mengenai keadilan restoratif itu sendiri.

Pelaksanaan Alternative Dispute Resolution (ADR) dilakukan dengan mempertemukan korban dan pelaku. Setelah dipertemukan, maka dilakukanlah mediasi yang diakhiri dengan kesepakatan perdamaian. Apabila telah tercapai perdamaian maka perkara kecelakaan lalu lintas dinyatakan selesai dan tidak dilanjutkan ke proses peradilan pidana yang sesuia dengan peruturan perundang-undangan.

Keadilan restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat.4 Keadilan restoratif merupakan suatu bentuk penyelesaian perkara pidana di luar peradilan di mana pelaku dan korban dipertemukan untuk diadakan mediasi di antara mereka sehingga didapatkan suatu kesepakatan yang menghasilkan perdamaian antara pelaku dan korban dan perkara tersebut dinyatakan selesai. Karakteristik model keadilan restoratif adalah sebagai berikut yaitu:

1) Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

4

Herlina, Apong. et al.Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta:


(19)

2) Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;

3) Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

4) Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

5) Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

6) Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

7) Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

8) Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;

9) Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

10) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan

11) Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.5

Ada 4 (empat) jenis penerapan keadilan restoratif yang dikenal dibeberapa negara yang dianggap sebagai pioneer penerapan keadilan restoratif, yaitu:

a. Victim Offender Mediation (VOM) b. Family Group Conferencing (FGC) c. Circles

5

Mardiah, Ainal. dkk. Mediasi Penal Sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam

Pengadilan Anak. (Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unsyiah Kuala Vol.I Tahun I No.1 Agustus 2012). hlm.5


(20)

d. Reparative Board/ Youth Pane6

Model keadilan restoratif di atas memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan perkara kejahatan dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif menitikberatkan pada penggantian kerugian diderita korban atau para korban dan masyarakat terdekat oleh pelaku. Inti dalam proses keadilan restoratif adalah korban, masyarakat dan pelaku aktif membangun tanggapan yang bersifat menyembuhkan akibat yang ditimbulkan dari tindakan kejahatan.

Keadilan restoratif dalam penyelesaian kecelakaan lalu lintas sudah dikenal dan diterapkan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Sebagai contoh, ketika seorang pengendara menabrakan kendaraannya terhadap orang lain yang mengakibatkan orang lain tersebut mengalami kerugian materil, cidera, luka-luka, ataupun meninggal dunia, para pelaku memberikan santunan atau perhatian sebagai tanggung jawab atas apa yang ia lakukan terhadap diri korban. Hal di atas dilakukan sebagai bentuk penghukuman terhadap pelaku, yang di kemudian hari menjadi suatu respon positif bagi para penegak hukum.

Keadilan restoratif menjadi suatu anjuran yang diberikan pihak kepolisian terhadap para pihak yang terlibat di dalam sebuah kecelakaan lalu lintas agar dapat menyelesaikannya dalam suatu proses kekeluargaan yang mendapatkan win-win solution terhadap kedua belah pihak tanpa harus melalui proses hukum. Tentu ini sangatlah tidak sesuai dengan asas legalitas dari suatu aturan hukum, di mana tidak adanya suatu pengaturan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009


(21)

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjelaskan mengenai konsep penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif. Sehingga dalam hal ini aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian sebagai pelaksana Undang-undang Nomor 22 Tahun 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas telah keluar dari kewenangannya dalam melaksanakan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang bila ditelaah merupakan suatu bentuk Abuse of Power atau penyalahgunaan kewenangan yang telah diberikan kepadanya.

Ketika menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas, setiap anggota kepolisian memiliki keterikatan terhadap norma atau kaidah untuk melaksanakan kewajibannya sebagai penegak hukum. Seperti das sollen yang merupakan suatu kenyataan normatif (apa yang seyogyanya), yakni suatu keharusan yang wajib dijalankan, bukan menyatakan sesuatu yang terjadi secara nyata, melainkan apa yang seharusnya atau seyogyanya terjadi.7 Dengan begitu setiap anggota dari lembaga kepolisian wajib untuk menyatakan sesuatu yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, tanpa memutarbalikan fakta sebagai suatu kepentingan dan tanpa melihat akhir dari apa yang timbul dari setiap kewajibannya sebagai aparat penegak hukum dan pelaksana undang-undang. Namun seorang polisi juga seorang manusia, yang terkadang tidak hanya menggunakan akal logika dalam menjalankan tugasnya demi tercapai tujuan penegakan hukum tetapi juga menggunakan hati nuraninya. Das sein adalah suatu kenyataan perilaku ketika dorongan nurani terlahiriahkan.8 Dapat dikatakan polisi adalah selain seorang aparat penegak hukum yang merupakan bagian dari masyarakat, sehingga dalam

7

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty. 1999. hlm. 16

8


(22)

menyelesaikan suatu permasalahan yang menurutnya dapat diselesaikan dengan cara yang dipilih dan sesuai dengan para masing-masing pihak terkait tetapi tetap tidak keluar dari jalur peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Melihat seperti apa yang telah dijelaskan maka timbul suatu pertanyaan bagaimana cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif tersebut dapat dilakukan, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak mengatur mengenai konsep keadilan restoratif. Tanpa adanya suatu tata cara ataupun aturan yang jelas dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif ini akan menimbulkan suatu polemik bagi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Tentunya penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif akan menuai berbagai dampak positif maupun negatif terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat Indonesia. Sehingga perlu dilakukan suatu kajian mengenai dampak implementasi keadilan restoratif dalam hal ini untuk menemukan berbagai kemungkinan dampak dari jenis pendekatan penyelesaian tindak pidana ini.

Berdasarkan latar belakang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian dengan yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul "Analisis Penyelesaian Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif (Studi Di Kota Bandar Lampung)".


(23)

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif?

b. Bagaimanakah dampak bagi korban, pelaku, dan masyarakat dari proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada bidang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang termasuk bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ataupun peraturan lain yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Tempat penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Kota Bandar Lampung khususnya pada Lembaga Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Fakultas Hukum Universitas Lampung Tahun 2015.


(24)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif.

2. Untuk mengetahui dampak bagi korban, pelaku, dan masyarakat dari proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun masyarakat pada umumnya. Adapun kegunaan penelitian ini dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu :

1. Secara Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif terhadap proses penyelesaian kecelakaan lalu lintas sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan kaidah-kaidah hukum yang akan datang.

2. Secara Praktis

Diharapkan hasil penulisan ini dapat berguna untuk memberi informasi dan gambaran bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat mengenai


(25)

tata cara penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah kerangka-kerangka yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang sangat relevan untuk penelitian.9Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori keadilan restoratif.

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.10Keadilan Restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat.11 Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia.

9

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. hlm.125 10

Achjani Zulfa, Eva. 2009. Keadilan Restoratif. Depok: Badan Penerbit FHUI. hlm. 3 11


(26)

Tujuan utama dalam penerapan konsep keadilan keadilan restoratif adalah untuk memperbaiki ataupun mengembalikan kerugian korban seperti sediakala, pengakuan oleh pelaku mengenai perbuatan tindak pidana yang ia lakukan dan menyelesaikan konflik secara damai melalui sebuah kesepakatan. Apabila tidak terjadinya kesepakatan damai meskipun pelaku sudah mengakui kesalahannya dan bersedia membayar kerugian kepada korban, maka pendekatan keadilan restoratif untuk menyelesaikan suatu perkara khususnya perkara kecelakaan lalu lintas dinyatakan gagal dan harus dilakukan penyelesaian melalui proses hukum yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui pengertian keadilan restoratif yang bila diartikan merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dan perkara hukum di luar proses peradilan berupa mediasi untuk mengembalikan keadaan korban menjadi sediakala dan menghasilkan kesepakatan antara masing-masing pihak yang terlibat dalam permasalahan hukum tersebut agar dapat menyelesaikan perkara kecelakaan tersebut dengan cara membuat kesepakatan damai yang merupakan mufakat dari sebuah musyawarah. Serta penerapan konsep keadilan restoratif memiliki tujuan utama untuk mengembalikan kerugian korban seperti sediakala dan menghindarkan pelaku dari proses hukum perbuatan pidana yang ia lakukan dengan cara yang menyelesaikan pemasalahan tersebut melalui kearifan dan kebijaksanaan pelaku, korban, dan masyarakat.


(27)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.12 Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Analisis

Analisi menurut penjelasan kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.13

b. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas berdasarkan Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kelalaian pengguna jalan, ketidak layakan kendaraan, ketidaklayakan jalan atau infrastruktur, dan iklim/lingkungan.

c. Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif merupakan suatu, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan

12

Soekanto, Soerjono. Op.Cit. hlm: 132 13


(28)

pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara.14

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisan tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar tentang pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Bab ini menguraikan tentang keadilan restoratif, tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, sumber dan jenis data serta prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

14

Marlina. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative


(29)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan terhadap pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui keadilan restoratif dan mengetahui dampak dari proses penyelesaian tindak pidana lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif di Kota Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap pembahasan permasalahan yang dilakukan oleh penulis.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Keadilan Restoratif

Konsep Restoratif Justice atau yang sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era 1960-an dalam konsep penyelesaian perkara pidana.1 Pengaturan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana pertama kali disahkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Peradilan Anak. Jenis penyelesaian tindak pidana ini menitikberatkan untuk mengakhiri suatu permasalahan pidana dengan Win-Win Solution antara pihak korban dan pelaku. Dengan kata lain proses penyelesaian tindak pidana melalui keadilan restoratif terjadi dengan melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana tertentu agar bersama-sama memikirkan dan menyelesaikan masalah tersebut.

Proses pendekatan keadilan restoratif dilakukan dengan suatu kebijakan sehingga terwujud suatu pengalihan proses penyelesaian tindak pidana keluar proses pengadilan pidana dan diselesaikan melalui proses musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata,

1


(31)

semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.2

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain :3

a. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya) apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan;

b. Selanjutnya Scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c. Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita d. Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum

pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.

2

Arief, Barda Nawawi. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan

Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996. hlm. 2

3Ibid.


(32)

e. M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan

Melihat dari pendapat para sarjana hukum di atas didapatkan suatu kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana harus berdasarkan kebutuhan dan keadaan masyarakat dengan melihat nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat pula sehingga dihasilkan penyelesaian permasalahan hukum yang efektif.

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.4 Berbeda dengan sistem yang sekarang ada, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.5

Melihat sejarah perkembangan hukum pidana, suatu tindakan atau perbuatan pidana bila dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain. Untuk mengembalikan pada keadaan semula maka diperlukan tindakan pembalasan terhadap orang/pelaku yang menyebabkan

4

Achjani Zulfa, Eva. Op.Cit. hlm. 3 5

Achjani Zulfa, Eva. Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan Penerapan

Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakkan Hukum Pidana. Depok: Disertasi FH


(33)

kerusakan atau kerugian dalam masyarakat tersebut. Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan kewajiban terhadap seseorang yang dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban terhadap masyarakat.6Menurut Tony F. Marshall;7

“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Keadilan restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

Jika melihat implementasi pendekatan keadilan restoratif di luar Indonesia telah mengalami begitu perkembangan. Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian eropa proses restoratif sudah lama diterapkan pada semua tahap penyelenggaraan peradilan pidana yang konvensional, yaitu tahap penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan. Intinya keadilan restoratif memberikan peran utama kepada korban kejahatan. Dalam pada itu, sekali pun pelakunya tetap harus bertanggung jawab dan harus pula menyembuhkan luka jiwa sang korban, ia layak memperoleh hukuman seringan mungkin.8 Dengan demikian timbulah keadilan dimasing-masing pihak baik korban maupun pelaku tindak pidana. Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana dan mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan suatu pandangan

6

Herlina, Apong. “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol 3 No. III. September

2004. 2004. hlm. 19-28 7

Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice dalam Hukum Pidana. Medan: USU

Press. 2010. hlm. 28 8


(34)

kebenaran secara umum merujuk kepada keadilan9. Keadilan ini adalah ihwal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut seseungguhnya merupakan struktur atau kelengkapan saja untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.10 Dalam perspektif restoratif dalam memandang kejahatan, meskipun kejahatan dilakukan juga melanggar hukum pidana, aspek yang lebih penting bukan perbuatan pelanggarannya tetapi proses penimbulan kerugian terhadap korban kejahatan, masyarakat dan sebenaranya melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri. Bagian-bagian yang penting ini sebagian besar telah dilupakan oleh sistem peradilan pidana menurut perspektif retributif.11

Pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan untuk menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang dirasakan belum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan.12 Serta dalam pelaksanaannya, keadilan restoratif dapat dilaksanakan melalui:13

1. Mediasi korban dengan pelanggar; 2. Musyawarah kelompok keluarga;

3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.

9

Friedman, Lawrence. The Legal System: A Social Science Perspective. New York : Russel Sage

Foundation. 1975. hlm. 17-18 10

Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir(Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2007. hlm. 270

11

Yulia, Rena. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta:

Graha Ilmu.2010. hlm. 191 12

Amelindanurrahmah.blogspot.com/2012/04/penegakan-keadilan-restoratif-di-dalam.html diakses 10 desember 2014

13


(35)

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah bentuk pendekatan keadilan restoratif. Konsep ini merupakan pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan melalui mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Alternatif Dispute Resolution (ADR) memiliki tujuan yaitu:

1. Menyelesaiakan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan para pihak;

2. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi; dan

3. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.14

B. Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Sebelum mengetahui dan mengidentifikasi sebuah kecelakaan merupakan sebuah tindak pidana, maka perlu diketahui mengenai tindak pidana dan jenis pidana secara umum kemudian baru dapat dijelaskan mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Tindak pidana atau strafbaarfeit baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit antara lain adalah tindak pidana, pristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. Istilah tindak pidana atau

strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang

14

http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/10/implementasi-program-restorative.html?m=1 diakses 15 April 2015


(36)

oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.15

Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang istilah strafbaarfeit atau tindak pidana, Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16Sedangkan Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada dua kejadian yang konkret, yaitu:17

1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang 2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.18

Pompe berpendapat bahwa suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum

15

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2002. hlm. 71

16

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan.Malang.UMM

Press. 2009. hlm.105. 17

Suharto, RM. Hukum Pidana Materil. Jakarta : Sinar Grafika. 1996. hlm. 29 18

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Kedelapan Edisi Revis. Jakarta :Rineka


(37)

sebagai “denormovertreding (verstoring de rechtsorde), waarandeovertrederschuldheeft en waarvan de bestraffing is voor de handhaving

der rechtsorde en de behartiging van het algemeenwelzijn”.19

Menurut Van Hattum, Perkataan Strafbaar itu berarti voorsraaf in aanmerkingkomend atau

straafverdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan strafbaarfeit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah melakukan tindakan

semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum atau suatu feitterzake van hetwelkeenpersonstrafbaar is.20

Menurut Marshall, perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.21 Lalu Vos menjelaskan, bahwa peristiwa pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gerdragring) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman.22 Sedangkan Menurut Hukum Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan hukuman.23

Menurut Simons, unsur-unsur, peristiwa pidana itu adalah Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, metschuld in Verband Staande handeling Van een Toerekenungsvatbaar persoon. Apabila diterjemahkan menjadi perbuatan salah

19

Lamintang, .A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997. hlm.182

20

Ibid,.hlm. 184. 21

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.1994.hlm. 89

22

Utrecht, E. Hukum Pidana 1. Bandung : Pustaka Tinta Mas. 1986. hlm. 251 23Ibid.,


(38)

dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.24 Menurut Simons, unsur-unsur peristiwa pidana antara lain:25

a. Perbuatan manusia (handeling).

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrecrelijk).

c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh undang-undang. d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab

(Toerekeningsvatbaar).

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat.

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:26

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.

24

Kansil, C.S.T. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita. 2004 Hlm. 37

25Ibid

. hlm 37-38 26


(39)

Dari seluruh pendapat para sarjana hukum diatas, dapat dimengerti mengenai pengertian tindak pidana serta peristiwa pidana, dapat diketahui pula unsur-unsur dan syarat-syarat terjadinya suatu tindak pidana.

Perbuatan pidana dapat dibedakan menjadi beberapa macam atau jenis antara lain:27

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu perbuatan yang dialarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak disengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan, belum merupakan delik.

f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.

Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang dikategorikan dua jenis pristiwa pidana. Dua jenis peristiwa pidana itu antara lain yaitu Misdrif

(Kejahatan) dan Overtreding (Pelanggaran).28 Suatu tindak atau peristiwa pidana dibedakan pula dari sudut pandang teori dan prakteknya, yaitu:29

27Ibid.

hlm. 94 28

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka cipta. 2005. Hlm. 40

29Ibid. hlm. 75


(40)

a. Delik Commissionis dan Delikta Commissionis.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuat (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

b. Delik Dolus dan Delik Culpa

Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP dilakukan dengan tidak berbuat.

c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan) d. Delik menerus dan tidak menerus.

Berdasarkan uraian di atas telah diketahui mengenai pengertian dan definisi tindak pidana secara umum. Setelah mengetahui uraian tersebut barulah dapat diuraikan mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan mengenai pengertian kecelakaan lalu lintas, yaitu kecelakaan merupakan suatu peristiwa yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kelalaian pengguna jalan, ketidak layakan kendaraan, ketidaklayakan jalan atau infrastruktur, dan iklim/lingkungan. Kecelakaan lalu


(41)

lintas merupakan tindak pidana dikarenakan dalam Aturan Penutup Pasal 103 KUHP dijelaskan ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oeh ketentuan ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.

Dalam salah satu asas hukum yang dikenal adalah lex specialis derogat legi generalis, menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, inilah yang menjadi dasar kecelakaan lalu lintas dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan atau tindak pidana khusus karena diatur di dalam suatu bentuk hukum perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ketentuan pasal 103 KUHP pula kecelakaan dapat dinyatakan dalam bentuk tindak pidana karena diatur ketentuan pidananya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Di dalam ketentuan pasal 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa :

(1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib :

a. Mampu mengemudikan kendaraan dengan wajar; b. Mengutamakan keselamatan para pejalan kaki;

c. Menunjukan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin mengemud, dan tanda bukti


(42)

lulus uji, atau tanda bukti lain yang sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 16;

d. Memetuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemeberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu sitirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, penggunaan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan/atau minimum, tata cara mengangkut orang dan barang, tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain;

e. Memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, dan menggunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah.

(2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk disamping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi rumah-rumah wajib memakai helm.

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa :

(1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib :

a. Menghentikan kendaraannya;


(43)

c. Melaporan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.

(2) Apabila pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, kepadanya diwajibkan segera melaporkan diri kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.

Penggolongan dan penanganan perkara kecelakaan lalu lintas menurut pasal 229 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, yaitu :

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.


(44)

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Dari jenis kecelakaan lalu lintas terdapat beberapa situasi yang dapat menjadi pembeda antara jenis-jenis kecelakaan lalu lintas yaitu Kecelakaan Lalu Lintas ringan yaitu sebagai contoh terjadi kecelakaan lalu lintas namun disini hanya menimbulkan kerusakan kendaraan dan lain halnya, tapi pada intinya tidak menimbulkan luka-luka baik si pengendara maupun orang lain yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tersebut. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, di mana terjadi kecelakaan lalu lintas menimbulkan suatu kerusakan kendaraan atau barang lain dan juga menimbulkan korban luka-luka ringan, seperti luka lecet dan luka-luka lainnya tetapi tidak sampai luka-luka tersebut mengakibatkan seseorang tidak dapat beraktivitas normal. Dan Kecelakaan Lalu Lintas berat, di mana terjadi kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya menimbulkkan kerusakan barang ataupun barang, tetapi menimbulkan korban luka berat, sehingga korban tidak dapat beraktivitas normal dalam beberapa waktu maupun secara permanen, atau timbul korban meninggal dunia .

Pada ketentuan Pasal 230 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kepastian hukum tersebut maka para penegak hukum wajib untuk memproses seluruh perkara tindak pidana lalu-lintas.


(45)

Pada ketentuan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dijelaskan bahwa:

(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Kecelakaan lalu lintas dalam ketentuan pidananya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Berdasarkan Ketentuan Pasal 310, Pengemudi kendaraan bermotor yang karena


(46)

kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalulintas ringan diancam pidana penjara maksimal 6 bulan, jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sedang diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, dan jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas berat maka ancaman hukuman pidana penjara mencapai maksimal 5 tahun penjara dan jika korbannya mengalami kematian maka diancam dengan hukuman pidana penjara 6 tahun.

Terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan atas dua faktor yaitu kesengajaan dan kelalaian. Jika terjadinya kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh faktor kesengajaan maka ancaman pidana yang dapat diberikan menjadi dua kali lipat dari ketentuan yang telah ada mengenai masing-masing jenis kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jika seseorang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan Lalu Lintas, namun dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada kepolisian, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.

C. Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas

Penyelesaian tindak penyelesaian kecelakaan lalu lintas adalah suatu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan melalui proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Setiap perkara pada setiap kecelakaan lalu lintas haruslah diselesaikan dengan proses acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas


(47)

dan Angkutan Jalan. Dan setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban dan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa:

(1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. (2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan

Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi.

Namun dalam Poin (3) Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memiliki ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;

b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

Walaupun pihak pelaku sudah melakukan tindakan pertanggung-jawaban dan melakukan ganti rugi, tidak lantas menggugurkan perkara pidana yang dijatuhkan kepadanya. Ini berdasarkan ketenteuan Pasal 235 Pasal 234 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa:


(48)

(1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Sedangkan mengenai besaran ganti kerugian dijelaskan pada Pasal 236 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa:

(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.

(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.

Namun, berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009, Pihak Kepolisian memiliki kewenangan untuk mengambil pola penyelesaian permasalahan hukum dengan melalui Alternatif


(49)

Dispute Resolution (ADR). Perlu diketahui Alternatif Dispute Resolution (ADR) merupakan pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian yaitu diselesaikan melalui mediasi yang merupakan salah satu bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Berikut isi dari Surat Kapolri tersebut:

Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR)

Sehubungan dengan rujukan tersebut di atas, dengan hormat dijelaskan kembali bahwa salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan Polmas adalah penerapan konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian. Akhir-akhir ini banyak proses penegakkan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian sangat kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat CJS terlalu kaku dalam penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut di atas, agar di ambil langkah-langkah sbb : 1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian

materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR 2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus

disepakati oleh pihak-pihak yg berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yg berlaku secara profesional dan proporsional.

3. Penyelesaian kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat

4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas keadilan

5. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing2 utk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR.

6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.

Demikian untuk menjadi maklum.

Hal ini diperjelas lagi dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi Dan


(50)

Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yaitu pada pasal 14 penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) pola penyelesaian masalah sosia melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi, misalnya melalui upaya perdamaian sehingga konsep pendekatan keadilan restoratif itu terdapat pengaturannya walaupun berada di luar dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan pihak kepolisian wajib untuk melaksanakannya.

Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 yang memuat penyelesaian perkara dengan konsep Alternative Dispute Resolution

(ADR) telah dilaksanakan oleh Kepolisian Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Kota Bandar Lampung dalam menyelesaikan berbagai perkara kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Bandar Lampung berdasarkan data Tabel 1 Jumlah Laka Lantas dan Korban Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka Satlantas Polresta Kota Bandar Lampung dan Tabel 2 Jumlah Laka Lantas dan Penyelesaian Perkara Laka Lantas Bulan Januari sampai Desember 2014 Unit Laka Satlantas Polresta Kota Bandar Lampung Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Kota Bandar Lampung yaitu :


(51)

Tabel 1: JUMLAH LAKA LANTAS DAN KORBAN LAKA LANTAS BULAN JANUARI SAMPAI DESEMBER 2014 UNIT LAKA SATLANTAS

POLRESTA KOTA BANDAR LAMPUNG

NO BULAN JUMLAH

LAKA

KORBAN

MD LB LR KERMAT

1 JANUARI 20 5 5 20 RP 204.350.000

2 FEBRUARI 29 4 6 36 RP 150.150.000

3 MARET 38 4 12 47 RP 74.200.000

4 APRIL 41 9 10 49 RP 347.950.000

5 MEI 32 9 10 36 RP 207.800.000

6 JUNI 48 5 14 47 RP 97.900.000

7 JULI 38 8 9 38 RP 64.050.000

8 AGUSTUS 36 4 22 30 RP 121.950.000

9 SEPTEMBER 46 12 15 39 RP 150.600.000

10 OKTOBER 42 7 9 42 RP 80.500.000

11 NOPEMBER 34 6 16 30 RP 114.300.000

12 DESEMBER 27 9 7 29 RP 51.900.000

JUMLAH 431 82 135 443 RP 1.664.750.00

Sumber : Unit Laka Satlantas Polresta Kota Bandar Lampung Tahun 2014.

Keterangan:

Laka (Kecelakaan Lalu Lintas) MD (Meninggal Dunia)

LB (Luka Berat)

LR ( Luka Ringan)


(52)

Tabel 2: JUMLAH LAKA LANTAS DAN PENYELESAIAN PERKARA LAKA LANTAS BULAN JANUARI SAMPAI DESEMBER 2014 UNIT

LAKA SATLANTAS POLRESTA KOTA BANDAR LAMPUNG

NO BULAN JUMLAH

LAKA

PENYELESAIAN PERKARA LAKA

P-21 SP.3 TILANG ADR KE POM

1 JANUARI 20 3 2 0 13 0

2 FEBRUARI 29 2 3 0 21 0

3 MARET 38 6 1 0 27 0

4 APRIL 41 3 6 0 27 1

5 MEI 32 1 5 0 20 0

6 JUNI 48 2 2 0 33 0

7 JULI 38 0 7 0 20 0

8 AGUSTUS 36 3 4 0 25 0

9 SEPTEMBER 46 3 5 0 32 0

10 OKTOBER 42 1 4 0 35 0

11 NOPEMBER 34 1 0 0 27 0

12 DESEMBER 27 0 3 0 21 0

JUMLAH 431 25 42 0 301 1

Sumber : Unit Laka Satlantas Polresta Kota Bandar Lampung Tahun 2014.

Keterangan:

Laka (Kecelakaan Lalu Lintas) ADR (Alternative Dispute Resolution)


(53)

Melihat tabel 1 dapat didefinisikan bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Kota Bandar Lampung sejak Januari hingga Desember 2014 termasuk tinggi yaitu 431 perkara kecelakaan lalu lintas. Angka kecelakaan lalu lintas tertinggi terdapat di Bulan Juni yaitu terjadi 48 perkara kecelakaan lalu lintas. Akibat dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi di tahun 2014 yaitu 48 orang meninggal dunia, 135 orang luka berat, dan 443 orang luka ringan. Selain itu kerugian materil yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas di Kota Bandar Lampung tahun 2014 sangatlah besar yaitu Rp.1.664.750,00.

Berdasarkan tabel 2 jumlah perkara kecelakaan lalu lintas diproses dengan berbagai cara. Terdapat 25 perkara yang di P-21 dan diselesaiakan melalui proses hukum acara pidana yang sesuai dengan perundang-undangan. Selanjutnya 42 perkara dinyatakan SP3 oleh Unit Kecelakaan Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas Polresta Kota Bandar Lampung dikarenakan kurangnya cukup bukti atau pelaku meninggal dunia. Terdapat 301 perkara kecelakaan lalu lintas diterapkan penyelesaian dengan cara Alternative Dispute Resolution (ADR), dan 1 perkara kecelakaan lalu lintas di lanjutkan ke POM. Dengan demikian Alternative Dispute Resolution (ADR), salah satu bentuk penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang merupakan bentuk pendekatan keadilan restoratif telah diimplementasikan di berbagai perkara kecelakaan yang terjadi di Kota Bandar Lampung.

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau mediasi penal. Metode ini sebenarnya telah lama digunakan masyarakat di Indonesia dalam rangka


(54)

menyelesaikan perkara di antara mereka. Mereka menempuh musyawarah untuk mufakat untuk mencapai perdamaian. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya musyawarah untuk mufakat adalah cikal bakal dari Alternative Dispute Resolution

(ADR). Alternative Dispute Resolution (ADR) yang berasal dari kearifan lokal Masyarakat Indonesia dianggap sangat efektif dan merupakan suatu kesalahan jika permasalahan itu dibuka di tengah masyarakat. Dalam banyak perkara, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog berupa musyawarah, dan meminta pihak ketiga yaitu tokoh masyarakat, untuk bertindak sebagai mediator. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan mediasi penal yaitu suatu bentuk upaya penyelesaian alternatif non-litigasiterhadap perkara dalam ranah hukum pidana melalui mediasi.

Menurut Barda Nawawi Arief bertolak dari ide den prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:

a. Penanganan konflik (Conflict HandlinglKonjliktbearbeitung)

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation-Prozessorientierung)

Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada basil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya.


(55)

c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalittit)

Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation – Parteiautonomie l Subjektiviertung)

Para pihak (pelaku den korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.30

Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai konsep mediasi penal merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sudah berkembang pada ranah hukum keperdataan. Konsep ini juga dalam perkembangan hukum keperdataan di Indonesia sudah menjadi perhatian, bahkan sudah dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa perdata yang diatur secara yuridis. Alternative Dispute Resolution (ADR) diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun dalam ranah hukum pidana belum ada undang-undang yang mengatur mengenai konsep Alternative Dispute Resolution (ADR). Walaupun pada umumnya, penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum.

30

Arief, Barda Nawawi. dalam Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penyelesaian

Sengketa/Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan, Kapita Selekta Hukum

(Menyambut Dies Natalis Ke 50 Fakultas Hukum UNDIP). Penerbit Fakultas Hukurn UNDIP. Semarang. 2007. hal. 20.


(56)

Kedudukan Kepolisan Republik Indonesia sebagai penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa:

(1) Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2 menjelaskan bahwa:

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa kepolisian dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum memiliki fungsi untuk menegakkan hukum di bidang yudisial, baik tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dengan adanya kewenangan diskresi di bidang yudisial yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri”.

Diskresi kepolisian dapat diartikan sebagai kebebasan pihak kepolisian untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Wewenang diskresi kepolisian dalam penghentian penyidikan, terdapat wewenang dalam hal atau keadaan tertentu untuk diambil suatu keputusan mengenai akan diambil suatu tindakan atau tidak apabila terjadi suatu tindak pidana.


(1)

81

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut :

1. Tata cara penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui bentuk pendekatan keadilan restoratif adalah berupa mediasi berdasarkan Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 disebut Alternative

Dispute Resolution (ADR) namun tidak semua jenis kecelakaan lalu lintas

dapat diselesaikan melalui konsep Alternative Dispute Resolution (ADR), perkara kecelakaan lalu lintas yang dapat diselesaikan adalah perkara yang tidak masuk dalam kategori ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman pidana penjara di atas 5 (lima) tahun penjara atau jenis kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban luka berat dan korban meninggal dunia.

2. Penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif memiliki dampak positif maupun negatif bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Dampak positif antara lain: Menjamin hak-hak pelaku, korban dan masyarakat; Kerugian yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas; Menyelesaikan masalah dengan solusi terbaik yang berkeadilan untuk pelaku,


(2)

82

korban dan masyarakat tanpa harus melalui proses peradilan hukum acara pidana; dan Menghasilkan perdamaian antara pelaku maupun korban yang berimbang satu sama lainnya (Win-Win Solution). Dampak negatif antara lain: Pelaku yang berasal dari kalangan masyarakat menengah kebawah yang tidak mampu untuk memberikan ganti kerugian terhadap korban, memiliki kecenderungan tidak dapat menjalankan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR); dan Tanpa adanya peran polisi unit kecelakaan lalu lintas sebagai mediator penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat menimbulkan suatu hasil mediasi yang tidak berimbang antara pelaku maupun korban (Win-Lose Solution).

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis berkaitan dengan analisis penyelesaian kecelakaan lalu lintas melalui pendekatan keadilan restoratif (studi di Kota Bandar Lampung) adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan pemerintah dapat menjadikan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai agenda resmi kepolisian dalam penyelesaian kecelakaan lalu lintas.

2. Diharapkan Pihak kepolisian dapat berperan aktif sebagai mediator dalam menerapkan konsep Alternative Dipute Resolution (ADR);


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abdullah, Idrus. 2013. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution). Tangerang. Yamiba.

Achjani Zulfa ,Eva. 2009. Keadilan Restoratif. Depok. Badan Penerbit FHUI. __________. 2009. Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan

Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakkan Hukum Pidana. Depok. Disertasi FH UI.

Al-Barry, M. Dahlan. 1994 Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta. Arloka.

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Acara Pidana. Bandarlampung. Universitas Lampung.

Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Prenhallindo.

Dewi, Erna. 2014. Sistem Pemidanaan Indonesia Yang Berkearifan Lokal. Bandar Lampung. Justice Publisher.

Friedman, Lawrence. 1975. The Legal System: A Social Science Perspective. New York. Russel Sage Foundation.

Hamzah., Andi.1994. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Rineka Cipta.

Herlina, Apong. et al. 2004. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Kansil, C.S.T. 2004. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. Lamintang, P.A.F.. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra


(4)

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Cetakan Pertama. Bandung. Refika Aditama.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta. Liberty.

Moeljatno. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta.

__________. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Kedelapan Edisi Revisi. Jakarta. Rineka Cipta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta. Citra Aditya Bakti.

Projodikoro, Wirjono. 2003. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Eresco.

Rahardjo, Satjipto. 2007. Biarkan Hukum Mengalir(Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum). Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Sadjiono. 2008. Etika Profesi Hukum. Surabaya. Laksbang Mediatama. Satjpto Raharjo, 1980, Hukum Pidana Nasional. Jakarta: Rineka Cipta,

Soekanto, Soejono. 1984. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. Rajawali Press. __________. 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

Sudarto. 1986. Hukum Pidana. Semarang. Yayasan Sudarto FH Undip. Suharto, RM. 1996.Hukum Pidana Materil. Jakarta. Sinar Grafika.

Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Tongat. 2009. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan.Malang.UMM Press.

Utrecht, E. 1986.Hukum Pidana 1, Bandung . Pustaka Tinta Mas.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap korban Kejahatan. Yogyakarta. Graha Ilmu.


(5)

B. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan.

Peraturan Kapolri No. 15 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Surat Kapolri No Pol: B/2022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

C. Artikel

Arief, Barda Nawawi. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996.

__________. dalam Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penyelesaian Sengketa/Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan, Kapita Selekta Hukum (Menyambut Dies Natalis Ke 50 Fakultas Hukum UNDIP). Penerbit Fakultas Hukurn UNDIP. Semarang. 2007.

Mardiah, Ainal dkk. Mediasi Penal Sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan Anak (Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unsyiah Kuala Vol.I Tahun I No.1 Agustus 2012)


(6)

D. Website

Amelindanurrahmah.blogspot.com/2012/04/penegakan-keadilan-restoratif-di-dalam.html

www.bin.go.id/awas/detil/1974/4/21/03/203/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesar-ketiga

www.hukumonline.com/klinik/detail/cl624/sp3

http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/10/implementasi-program-restorative.html?m=1 diakses