EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN
ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN
MENGKOMUNIKASIKAN

Oleh
OLAN ASCOREPTA

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa. Model problem solving terdiri dari 5 tahapan ,yaitu;(1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2)
mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah,
(3 )menetapkan jawaban sementara dari masalah, (4) menguji kebenaran jawaban
sementara, (5) menarik kesimpulan

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMAN 1 Talang
Padang tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 256 siswa dan tersebar dalam
delapan kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X2 dan X3 semester
Genap Tahun Pelajaran yang memiliki karakteristik hampir sama. Penelitian ini
menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent (Pretest and
Posttest) Control Group Design.


Efektivitas model pembelajaran problem solving diukur berdasarkan peningkatan
gain yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata n-Gain

keterampilan mengelompokkan untuk kelas kontrol dan eksperimen masingmasing 0,27 dan 0,62 dan rerata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan untuk
kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,28 dan 0,74.

Berdasarkan uji hipotesis, diketahui bahwa Model problem solving pada materi
Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

Kata kunci: keterampilan, mengelompokkan, mengkomunikasikan, model
problem solving,

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL...........................................................................................

viii


DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

ix

I.

II.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................

1

B. Rumusan Masalah ............................................................................

4

C. Tujuan Penelitian ..............................................................................

4


D. Manfaat Penelitian ...........................................................................

4

E. Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................

5

TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektivitas Pembelajaran ..…………………………………………...

7

B.

9

Pembelajaran Konstruktivisme ........................................................ .


C. Model Pembelajaran Problem Solving.................................................. 11
D. Pembelajaran Konvensional.................................................................

14

E. Keterampilan Proses Sains…………………………………………… 17
F. Kerangka Pemikiran………………………………………………....... 22
G. Anggapan Dasar…………………………………………………........ 24
H. Hipotesis Umum……………………………………………................ 24

III.

IV.

V.

METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................

25


B. Jenis dan Sumber Data ....................................................................

25

C. Desain Penelitian dan Metode Penelitian .........................................

26

D. Variabel Penelitian ...........................................................................

27

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya .............................................

28

F. Pelaksanaan Penelitian .....................................................................

29


G. Analisis Data Penelitian ..................................................................

30

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ...................................................

36

B. Pembahasan .....................................................................................

43

SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .........................................................................................

52

B. Saran ................................................................................................


53

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Silabus dan Sistem Penilaian Kelas Eksperimen ...............................

56

2. RPP Kelas Eksperimen ......................................................................

62

3. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen .............................................

77

4. Kisi-kisi Soal Pretest/Posttest.............................................................

92


5. Soal Pretest .........................................................................................

94

6. Soal Posttest ........................................................................................

96

7. Rubrik Penskoran Pretest/ Posttest .......................................................

98

8. Tabel data Skor Pretest, Skor Posttest dan n-Gain............................... 104

9. Lembar Penilaian Afektif Siswa ......................................................... 107
10. Lembar Penilaian Psikomotor Siswa.................................................. 111
11. Perhitungan dan Analisis Data Penelitian ........................................... 117
. Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu kegiatan universal dalam kehidupan manusia. Fungsi pendidikan adalah agar anak tersebut bertambah pengetahuan dan keterampilan
serta memiliki sikap yang benar. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL). Kegiatan pembelajaran KTSP dirancang berdasarkan
standar kompetensi, kompetensi dasar, kemampuan peserta didik, daerah dan lingkungan sekitar. Proses pembelajaran KTSP menempatkan siswa sebagai pusat
pembelajaran (student centered). Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan
motivator. KTSP menuntut siswa untuk memiliki kompetensi dalam semua mata
pelajaran setelah proses pembelajaran.


2

Proses pembelajaran diperlukan agar tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai,
karena dalam proses pembelajaranlah siswa diasah dan diarahkan agar memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Agar proses pembelajaran dapat
terlaksana, ada 4 buah komponen utama yang harus terlibat yaitu siswa, guru,
lingkungan belajar, dan materi ajar (BSNP, 2006).

Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi komunikasi aktif antara siswa
dengan guru dalam proses pembelajaran. Menurut Whitehead (Arifin, dkk, 2003),
hasil yang nyata dalam pendidikan sebenarnya adalah proses berpikir yang
diperoleh melalui pembelajaran dari berbagai disiplin ilmu. Pembelajaran sains
sebagai bagian dari pendidikan, memiliki peranan penting dalam peningkatan
mutu pendidikan. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan
dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan
selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif).
Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan
bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat,
perubahan, dinamika, dan energetika zat (BSNP, 2006).


Berdasarkan hasil wawancara guru kimia di SMA Negeri 1 Talang Padang pada
penelitian pendahuluan, proses pembelajaran yang dilakukan pada umumnya
masih menggunakan pembelajaran konvensional dengan metode ceramah dan
latihan soal. Pada metode ceramah, siswa hanya mendengarkan penjelasan dari
guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting, siswa hanya dituntut untuk
menghafalkan informasi yang disampaikan oleh guru. Pada pembelajaran ini siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh guru,

3

akibatnya siswa kurang terampil dalam mengelompokkan dan mengkomunikasikan konsep kimia, oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran agar siswa agar siswa lebih aktif dan terampil dalam mengelompokkan dan mengkomunikasikan
konsep kimia. Untuk dapat meningkatkan keterampilan tersebut maka perlu adanya
pengembangan model pembelajaran.

Berdasarkan masalah yang dialami, peneliti ingin mengatasi masalah tersebut
maka peneliti mengadakan studi pustaka. Studi pustaka tersebut diperoleh beberapa hasil penelitian antaralain: (1) Purwani (2009), yang dilakukan pada siswa
SMA kelas X di SMAN 1 Jombang, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
melalui model problem solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa. (2) Choiriawat (2012), yang dilakukan
pada siswa SMA kelas XI di SMAN 1 Tumijajar menunjukkan bahwa pembelajaran model problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa pada materi asam-basa.

Model pembelajaran problem solving terdiri dari 5 tahapan (Depdiknas, 2008),
pada tahap keempat model pembelajaran problem solving siswa diminta untuk
menguji kebenaran jawaban sementara, upaya yang dilakukan untuk menguji kebenaran jawaban sementara ini salah satunya adalah melalui pengamatan langsung. Melalui pengamatan langsung yang dilakukan pada materi larutan elektrolit
dan non elektrolit, misalnya, siswa dituntut agar mampu mencatat setiap hasil
pengamatan; mencari perbedaan serta persamaan (membandingkan) data hasil
pengamatan; mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat; serta mencari
dasar pengelompokkan atau penggolongan. Kemampuan-kemampuan ini

4

merupakan indikator keterampilan mengelompokkan. Selain itu dalam pengamatan langsung ini juga siswa dituntut agar mampu menjelaskan hasil percobaan;
menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel/diagram; membaca dan mengkompilasi informasi dalam grafik atau diagram; menyusun dan menyampaikan
laporan secara sistematis dan jelas. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan
indikator keterampilan mengkomunikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa dimungkinkan model problem solving mampu dalam meningkatkan keterampilan
proses sains siswa yaitu keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
khususnya materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian ini dengan judul
“Efektivitas Model Problem Solving pada Materi Larutan Elektrolit dan Non
Elektrolit Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan
Mengkomunikasikan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana model Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan

5

non elektrolit dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.

Bagi siswa
Dengan diterapkannya Model Problem Solving dalam kegiatan belajar mengajar maka akan memberi pengalaman baru bagi siswa dalam memecahkan masalah dalam materi pelajaran kimia khususnya materi larutan elektrolit dan
non elektrolit dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan
mengkomunikasikan.

2.

Bagi guru dan calon guru
Memberi inspirasi dan pengalaman secara langsung bagi guru dalam membelajarkan materi kimia dengan diterapkannya Model Problem Solving,
terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit memperoleh model
pembela-jaran yang efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan.

3. Bagi sekolah
Menjadi informasi dan sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan
kualitas siswa dalam pembelajaran kimia di sekolah.

6

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa
apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan perbedaan yang
signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah
pembelajaran (ditunjukan dengan n-Gain yang signifikan) (Nuraini, 2010).
2. Model Problem solving yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
Problem Solving menurut Depdiknas (2008). Model ini terdiri dari 5
tahap, yaitu; ( 1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mencari data
atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (3)
menetapkan jawaban sementara dari masalah, (4) menguji kebenaran
jawaban sementara, dan ( 5) menarik kesimpulan.
3. Pembelajaran konvensional adalah proses pembelajaran yang lebih banyak
didominasi gurunya sebagai pentransfer ilmu, sementara siswa lebih pasif
sebagai penerima ilmu (Sukardi,2003).
4. Keterampilan mengelompokkan meliputi kemampuan mencatat setiap pengamatan secara terpisah, mencari perbedaan dan persamaan (membandingkan), mengontraskan ciri-ciri, serta mencari dasar pengelompokkan
atau penggolongan (Dimyati dan Mudjiono, 2002).
5. Keterampilan mengkomunikasikan meliputi kemampuan membaca dan
mengkompilasi informasi dalam grafik atau diagram, menggambar data
empiris dengan grafik, tabel atau diagram, menjelaskan hasil percobaan,
menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas (Dimyati
dan Mudjiono, 2002).

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan
tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Menurut Nuraeni (2010),
model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila
secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran (ditunjukkan dengan
gain yang signifikan).

Menurut Wicaksono (2008), kriteria keefektifan dalam suatu penelitian adalah
Model pembelajaran di-katakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila
secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara pemahaman awal sebelum pembelajaran dan pemahaman setelah pembelajaran
(gain yang signifikan).

Selain itu juga, menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik Kurikulum
IKIP Surabaya (Trianto, 2010) bahwa keefektifan mengajar dalam proses interaksi
belajar yang baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para siswa agar
bisa belajar dengan baik. Untuk mengetahui kefektifan mengajar, dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses pengajaran.

8

Kriteria keefektifan menurut Wicaksono (2008) mengacu pada:
a. Ketuntasan belajar, pembelajaran, dapat dikatakan tuntas apabila sekurangkurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 60 dalam
peningkatan hasil belajar.
b. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa
apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran
(gain yang signifikan).
c. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan
motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk
belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa
belajar dalam keadaan yang menyenangkan

Jadi, efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan
dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran
dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik
hasil belajar siswa menunjukan perbedaan yang signifikan antara pemahaman
awal dengan pemahaman setelah pembelajaran.

B. Pembelajaran Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pe-

9

ngalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak
akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi
milik sendiri (Trianto, 2007).
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ’mengkonstruksi’
bukan ’menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan
mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pengetahuan bukanlah
suatu barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan
kepada orang yang belum mempunyai pengetahu-an. Bahkan, bila seorang guru
bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada siswa, pemindahan
itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa itu lewat
pengalamannya (Trianto, 2007).

Menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), agar
siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:
1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

10

2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan
mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membandingkan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang
lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul
penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya.
Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;
2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa;
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar;
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir;
5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa;
6. Guru adalah fasilitator.

Secara keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme
adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru hanya berperan sebagai
penghubung yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan
suatu masalah dan guru berperan sebagai pembimbing pada proses pembelajaran.
Perspektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Problem
Solving, Perspektif ini mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat

11

secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara
konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang
memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan
sebelumnya.

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah pemaduan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penyesuaian
stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyesuaian kembali
yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994).

C. Model Pembelajaran Problem Solving
Salah satu pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran problem solving. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar untuk memecahkan masalah
baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena itu dalam pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru.

Problem solving adalah suatu langkah pembelajaran yang dilaksanakan dengan
cara siswa mencari kebenaran pengetahuan dan informasi tentang konsep, hukum,
prinsip, kaidah, dan sejenisnya, mengadakan percobaan, bertanya secara tepat
serta mencari jawaban masalah berdasarkan pemahaman konsep, prinsip dan
kaidah yang telah dipelajari.

12

Nasution (2006) menyatakan, :
“memecahkan masalah memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah kita kenal menurut kombinasi yang
berlainan. Dalam memecahkan masalah sering harus dilalui berbagai langkah
seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang
berkenaan dengan masalah itu dan dalam segala langkah perlu ia berpikir”.
Menurut Nasution (2006) mempelajari aturan perlu terutama untuk memecahkan
masalah. Pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar aturan. Dalam pemecahan masalah prosesnya terletak dalam diri siswa. Variabel dari
luar hanya berupa instruksi verbal yang membantu atau membimbing siswa untuk
memecahkan masalah itu. Namun memecahkan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan pelajaran baru.

Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :
1.

Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh
dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2.

Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti,
bertanya dan lain-lain.

3.

Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban
ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap
kedua di atas.

4.

Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa
harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa
jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban
sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran

13

jawaban ini tentu saja diperlukan modelmodel lainnya seperti
demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.
5.

Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan
terakhir tentang jawaban dari masalah tadi

Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan
kekurangan model problem solving menurut Djamarah dan Zain (2002) adalah
sebagai berikut:
1. Kelebihan model problem solving
a. Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan
kehidupan.
b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan
para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil.
c. Merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan
menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan
mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka
mencari pemecahannya.
2. Kekurangan model problem solving
a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berfikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan
keterampilan guru

14

b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain
c. mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima
informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan
permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.

D. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran tradisional, karena sejak dulu
model pembelajaran ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara
guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran (Djamarah dan
Zain , 2006).

Mendeskripsikan bahwa pembelajaran konvensional ditandai dengan guru lebih
banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah
siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat
proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa
pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebih
banyak didominasi gurunya sebagai pentransfer ilmu, sementara siswa lebih pasif
sebagai penerima ilmu (Sukardi, 2003).

Burrowes (Juliantara, 2009) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional
menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada
siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya

15

dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive
learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok
kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis.

Menurut Brooks dan Brooks (Juliantara, 2009) Penyelenggaraan pembelajaran
konvensional lebih menekan-kan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan
pengetahuan, sehingga bela-jar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut
untuk dapat mengungkap-kan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui
kuis atau tes terstandar.

Metode yang digunakan dalam pembelajaran konvensional adalah metode ceramah, tanya jawab, latihan, diskusi dan pemberian tugas. Dalam hal ini yang sering
digunakan adalah metode ceramah.

Metode ceramah yaitu metode yang dapat dikatakan metode tradisional, karena
sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara
guru dengan anak didik dalam proses belajar mengajar. Penyampaian materi pelajaran secara lisan sangat berbeda dengan penyampaian secara tertulis, karena
dalam cara ini siswa sangat tergantung pada cara guru mengajar. Kecepatan bicara serta volume bicara atau suara yang diucapkan guru. Oleh karena itu menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah harus dengan
prosedur.

16

Menurut Jusuf Djajadisastra (Sudaryo, 1991), prosedur penggunaan ceramah
antara lain:

a. Merumuskan tujuan khusus pemgajaran yang akan dipelajari siswa. Dengan
tujuan tersebut dapat ditetapkan apakah metode ceramah benar-benar
merupakan metode yang tepat.
b. Menyusun bahan ceramah secara sistematis.
c. Mengidentifikasi istila-istilah yang sukar dan perlu diberi penjelasan dalam
ceramah.
d. Melaksanakan ceramah dengan memperhatikan:
1) Sajikan kerangka materi dan pokok-pokok yang akan diuraikan dalam
ceramah.
2) Uraikan pokok-pokok tersebut dengan jelas dan usahakan istilah yang sukar
dijelaskan secara khusus.
3) Diupayakan bahan pengait atau advance organizer agar pengajaran lebih
bermakna.
4) Dapat dilakukan dengan pendikator deduktif atau induktif.
5) Gunakan multi metode dan multi media.
e. Menyimpulkan pokok-pokok isi materi yang diceramahkan dikaitkan dengan
tujuan pengajaran.

Menurut Djamarah dan Zain (2006) Kelebihan metode ceramah :
a. Guru mudah menguasai kelas.
b. Mudah mengorganisasikan tempat duduk/kelas .
c. Dapat diikuti oleh jumlah siswa yang besar.

17

d. Mudah mempersiapkan dan melaksanakannya.
e. Guru mudah menerangkan pelajaran dengan baik.

Kelemahan metode ceramah :
a. Mudah menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
b. Bila selalu digunakan dan terlalu lama akan membosankan.
c. Guru sukar sekali menyimpulkan bahwa siswa mengerti dan tertarik pada
ceramahnya ini.
d. Menyebabkan siswa menjadi pasif.

E. Keterampilan Proses Sains

Hakikat IPA secara utuh, yakni IPA sebagai proses, produk, dan aplikasi, siswa
harus memiliki kemampuan KPS (Keterampilan Proses Sains). Dalam pembelajaran IPA aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir
benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain
bila seseorang telah memiliki KPS, IPA sebagai produk akan mudah dipahami,
bahkan mengaplikasikan dan mengembangkannya. KPS adalah semua keterampilan yang terlibat pada saat proses berlangsungnya sains. KPS penting dimiliki
guru untuk digunakan sebagai jembatan untuk menyampaikan penge-tahuan/
informasi baru kepada siswa atau mengembangkan pengetahuan atau informasi
yang telah dimiliki siswa.

KPS adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi
setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam

18

mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki (Cartono, 2007).

Menurut Gagne dalam Dahar (1998) keterampilan proses sains adalah kemampuan-kemampuan dasar tertentu yang dibutuhkan untuk menggunakan dan memahami sains. Setiap keterampilan proses merupakan keterampilan yang khas yang
digunakan oleh semua ilmuwan, serta dapat digunakan untuk memahami fenomena apapun juga. KPS mempunyai cakupan yang sangat luas, sehingga aspekaspek keterampilan proses sains dapat digunakan dalam beberapa pendekatan dan
model pembelajaran. Demikian halnya dalam model pembelajaran yang dikembangkan yaitu Problem Solving, KPS menjadi bagian yang tidak terpisah
dalam kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan.

Menurut Funk (Dimyati dan Mudjiono, 2002) ada berbagai keterampilan dalam
keterampilan proses sains, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan terintegrasi (integrated skills).
Keterampilan dasar terdiri dari enam keterampilan yaitu mengamati (mengobservasi), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan yang termasuk dalam keterampilan terintegrasi yaitu mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk
grafik, menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah
data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara
operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen.

Cartono (2007) menyusun indikator keterampilan proses sains dasar seperti pada
Tabel 1 berikut:

19

Tabel 1. Indikator keterampilan proses sains dasar
Keterampilan dasar

Indikator

Mengamati(observing)

Mampu menggunakan semua indera untuk
mengamati, mengidentifikasi, dan menamai
sifat benda dan kejadian secara teliti dari
hasil pengamatan.
Mampu membuat suatu kesimpulan tentang
suatu benda atau fenomena setelah
mengumpulkan, menginterpretasi data dan
informasi.
Mampu menentukan perbedaan,
mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan,
membandingkan dan menentukan dasar
penggolongan terhadap suatu obyek.

Inferensi (inferring)

Klasifikasi(classifying)

Meramalkan (prediksi)

Berkomunikasi
(Communicating)

Menggunakan pola/pola hasil pengamatan,
mengemukakan apa yang mungkin terjadi
pada keadaan yang belum diamati.
Memberikan/menggambarkan data empiris
hasil percobaan atau pengamatan dengan
grafik/ tabel/ diagram, menyusun dan
menyampaikan laporan secara sistematis,
menjelaskan hasil percobaan atau penelitian,
membaca grafik/ tabel/ diagram,
mendiskusikan hasil kegiatan suatu masalah
atau suatu peristiwa.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2002), tiap-tiap keterampilan proses dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengamati
Melalui kegiatan mengamati, kita belajar tentang dunia sekitar kita yang fantastis. Manusia mengamati objek-objek dan fenomena alam dengan pancaindra: penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa/pencecap. Informasi yang kita peroleh, dapat menuntut keingintahuan, mempertanyakan, memikirkan, melakukan interpretasi tentang lingkungan kita, dan
meneliti lebih lanjut. Selain itu, kemampuan mengamati merupakan

20

keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan
serta merupakan hal terpenting untuk mengembangkan keterampilanketerampil-an proses yang lain. Mengamati memiliki dua sifat yang utama,
yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif
apabila dalam pelaksanaannya hanya menggunakan pancaindra untuk
memperoleh informasi. Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam
pelaksanaannya selain menggunakan pancaindra, juga menggunakan
peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat.

2. Mengklasifikasikan
Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilah berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga didapatkan golongan/ kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud. Contoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengklasifikasikan adalah
mengklasifikasikan makhluk hidup selain manusia menjadi dua kelompok:
binatang dan tumbuhan , mengklasifikasikan cat berdasarkan warna dan
kegiatan lain yang sejenis.

3. Mengkomunikasikan
Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara, visual,
atau suara visual. Contoh-contoh kegiatan dari keterampilan
mengkomunikasikan adalah mendiskusikan suatu masalah, membuat
laporan, membaca peta dan kegiatan lain yang sejenis.

21

4. Mengukur
Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur dengan
satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Contoh-contoh
kegiatan yang menampakkan ketermpilan mengukur antara lain: mengukur
panjang garis, mengukur berat badan, mengukur temperature kamar, dan
kegiatan sejenis yang lain.

5. Memprediksi
Memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan
tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan
perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan.

6. Menyimpulkan
Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep dan
prinsip yang diketahui.

Keterampilan proses bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak didik menyadari, memahami, dan menguasai rangkaian bentuk kegiatan yang berhubungan
dengan hasil belajar yang telah dicapai anak didik.

Keterampilan proses sebagaimana disebutkan di atas merupakan KPS yang diaplikasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan keterampilan dalam memperoleh
pengetahuan merupakan salah satu penekanan dalam pembelajaran sains.

22

Oleh karena itu, penilaian terhadap keterampilan proses siswa harus dilakukan
terhadap semua keterampilan proses sains baik secara parsial maupun secara utuh.

Salah satu KPS adalah keterampilan mengkomunikasikan. Komunikasi adalah
suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain
agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Adapun keterampilan
komunikasi menurut Dimyati dan Mudjiono (2002) adalah sebagai berikut.
”Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain merupakan dasar untuk segala
yang kita kerjakan. Grafik, bagan, peta, lambang-lambang, diagram, persamaan
matematik, dan demonstrasi visual, sama baiknya dengan kata-kata yang ditulis
atau dibicarakan, semuanya adalah cara-cara komunikasi yang seringkali digunakan dalam ilmu pengetahuan. Komunikasi efektif yang jelas, tepat, dan tidak
samar-samar menggunakan keterampilan-keterampilan yang perlu dalam komunikasi, hendaknya dilatih dan dikembangkan pada diri siswa. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa semua orang mempunyai kebutuhan untuk mengemukakan
ide, pearasaan, dan kebutuhan lain pada diri kita. Manusia mulai belajar pada
awal-awal kehidupan bahwa komunikasi merupakan dasar untuk memecahkan
masalah. Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai pengetahuan dalam bentuk
suara, visual, atau suara visual. Contoh-contoh kegiatan dari keterampilan
mengkomunikasikan adalah mendiskusikan suatu masalah, membuat laporan,
membaca peta, dan kegiatan lain yang sejenis”
F. Kerangka Pemikiran
Model problem solving adalah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar
untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Dalam proses pembelajaran yang menggunakan model ini, siswa dapat menyeimbangkan
pemanfaatan otak kanan dan otak kirinya. Model ini terdiri dari 5 tahap, pada
tahap satu, siswa diorientasikan pada masalah. Pada tahap ini terjadi proses asimilasi yaitu terjadi perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada. Siswa
akan mengalami kebingungan dan mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi
terhadap fakta baru yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi
yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Lalu pada tahap

23

dua siswa diminta mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini terjadi proses akomodasi yaitu terjadi penyesuaian stuktur kognitif siswa terhadap situasi baru. Siswa ingin memahami konsep baru atau permasalahan yang timbul melalui kegiatan akomodasi ini. Pada
tahap tiga siswa diminta menetapkan jawaban sementara dari masalah. Pada
tahap ini, setelah melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi siswa akan mengalami ketidakseimbangan struktur kognitif yaitu ada fakta-fakta yang telah dimiliki siswa sebelumnya (pengetahuan lama siswa) yang tidak sesuai dengan pengetahuan baru siswa. Pada tahap empat siswa diminta menguji kebenaran jawaban sementara. Pada tahap ini siswa akan mencari tahu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana dengan cara membuktikannya melalui praktikum dan
menjawab pertanyaan yang ada pada LKS. Sehingga terjadi proses menuju keseimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsepkonsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi keseimbangan
antara struktur kognitif dengan pengetahuan yang baru (ekuilibrasi). Pada tahap
lima siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari pemecahan masalah. Pada
tahap ini terlihat apakah siswa sudah mencapai proses ekuilibrasi atau belum.

Pada tahap empat siswa melakukan praktikum yang bertujuan memberi kesempatan siswa untuk memanfaatkan panca indera semaksimal mungkin untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi. Kegiatan ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya sehingga dapat meningkatkan keterampilan afektif khususnya keterampilan bertanya siswa. Kemudian siswa diminta mengkomunikasikan setiap hasil pengamatan; mencari

24

perbedaan serta persamaan (membandingkan) data hasil pengamatan;
mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat; serta mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan. Selain itu siswa juga diminta menjelaskan hasil
percobaan; menggambarkan data empiris dengan tabel/diagram; menyusun dan
menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan proses sains yaitu keterampilan mengelompokkan dan
mengkomunikasikan.

G. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi Larutan Elektrolit dan Non
elektrolit siswa kelas X semester genap SMAN 1 Talang Padang Tahun
Pelajaran 2012/2013 diabaikan.
2. Perbedaan gain keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada
materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

H. Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah:
Model Problem Solving pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit efektif
dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
dari pada pembelajaran konvensional.

25

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMAN 1 Talang Padang
tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 256 siswa dan tersebar dalam delapan
kelas. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah siswa kelas X2 dan
X3 SMAN 1 Talang Padang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel
purposif, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya, maka ditentukan kelas X2 dan X3 sebagai sampel.
Kelas X2 sebagai kelas eksperimen yang mengalami pembelajaran Problem Solving,
sedangkan kelas X3 sebagai kelas kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa data
hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah pembelajaran diterapkan (posttest) siswa. Sedangkan sumber data adalah siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol.

26

C. Desain dan Metode Penelitian

1.

Desain penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent control group design
yaitu desain kuasi eksperimen dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 2. desain penelitian
Pretest

Perlakuan

Posttest

Kelas eksperimen

O1

X1

O2

Kelas kontrol

O1

X2

O2

Keterangan:
X1 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran problem
solving.
X2

:

Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran non problem
solving (konvensional).

O1 :

Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest.

O2 :

Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest.

2.

Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen. Pada penelitian ini
dikembangkan alur penelitian dengan langkah-langkah penelitian seperti pada
Gambar 1.

27

Persiapan dan Observasi

Penetapan popilasi dan sampel

Penyusunan Instrumen Penelitian

Validasi instrumen penelitian
Kelas Eksperimen
Pretest

Kelas
Kontrol

Konvensional
Pembelajaran

Pembelajaran
Problem solving
Problem

Konvensional

solving
Postest

Analisis Data

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 1. Alur penelitian

D. Variabel Penelitian

Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu model
Problem Solving dan konvensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan

28

mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi elektrolit dan non elektrolit
siswa SMAN 1 Talang Padang.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.
Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data
untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa soal-soal pretest dan posttest keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan dalam bentuk soal uraian.

Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang
sama. Soal pretest adalah materi elektrolit dan non elektrolit yang terdiri dari 6 soal
uraian untuk mengukur keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan sebelum penerapan pembelajaran. Sedangkan soal posttest sama dengan soal pretest
terdiri dari 6 soal uraian untuk mengukur keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan setelah penerapan pembelajaran.

Agar data yang diperoleh sahih atau dapat dipercaya, maka instrumen yang digunakan harus valid. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa
yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat.
Dalam konteks pengujian kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam
cara, yaitu cara judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.
Pengujian instrumen penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah
kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, 1992).

29

Adapun pengujian kevalidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini
pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan
penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara
unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap
valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang
bersangkutan. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan
keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini
dilakukan oleh dua dosen pembimbing.

F. Pelaksanaan Penelitian

1) Tahap Prapenelitian
a. Membuat surat izin pendahuluan penelitian ke sekolah.
b. Meminta izin kepada kepala sekolah SMAN 1 Talang Padang dan
menyampaikan surat izin penelitian yang telah dibuat.
c. Mengadakan observasi ke sekolah untuk mendapatkan informasi tentang
keadaan sekolah, data siswa, data nilai, jadwal dan tata tertib sekolah, serta
sarana prasarana di sekolah.
d. Menentukan dua kelas yang akan dijadikan sampel penelitian.
e. Menyiapkan perangkat pembelajaran yang digunakan selama proses pembelajaran di kelas.
f. Menyusun Silabus, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
sesuai dengan materi pokok yang diteliti yaitu materi Larutan Elektrolit dan
Non elektrolit

30

g. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan materi pokok yang diteliti yaitu
materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit
h. Membuat soal pretest dan posttest

2) Tahap Penelitian
Prosedur pelaksanaan di kelas dikelompokkan menjadi dua yaitu pembelajaran
Problem Solving dan pembelajaran konvensional. Pada kelas X2 diterapkan
model Problem Solving dan kelas X3 diterapkan pembelajaran konvensional.
Prosedur pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Melakukan pretest dengan soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
b. Melaksanakan pembelajaran pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit
sesuai model pembelajaran yang ditetapkan pada masing-masing kelas.
c. Melakukan posttest dengan soal yang sama pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol.

G. Analisis Data Penelitian

1) Hipotesis kerja

1. Hipotesis pertama (keterampilan mengelompokkan)
Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi Larutan Elektrolit
dan Non Elektrolit di kelas yang diterapkan model Problem Solving lebih tinggi
dari rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan di kelas yang diterapkan
pembelajaran konvensional.

31

2. Hipotesis kedua (keterampilan mengkomunikasikan)
Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi Larutan
Elektrolit dan Non Elektroli di kelas yang diterapkan model Problem Solving
lebih tinggi dari rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan di kelas yang
diterapkan pembelajaran konvensional.

2) Hipotesis statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis
dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1).
Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah:

1. Hipotesis pertama (keterampilan mengelompokkan)
H0

:

Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit dengan model Problem Solving lebih rendah
atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan
pembelajaran konvensional.
H0: µ 1x ≤ µ2x

H1 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrlit dengan pembelajaran Problem Solving lebih
tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan dengan
pembelajaran konvensional.
H1 : µ 1x > µ 2x
2. Hipotesis kedua (keterampilan mengkomunikasikan)
H0

:

Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit dengan model Problem Solving lebih rendah

32

atau sama dengan rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan
dengan pembelajaran konvensional.
H0: µ 1x ≤ µ2x
H1

: Rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit dengan model Problem Solving lebih tinggi
daripada rata-rata n-Gain keterampilan mengkomunikasikan dengan
pembelajaran konvensional.
H1 : µ 1x > µ 2x

Keterangan:
µ 1 : Rata-rata (x) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada kelas yang
diterapkan model Problem Solving.
µ 2 : Rata-rata (x) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada kelas dengan
pembelajaran konvensional.
x : Keterampilan mengelompokkan/mengkomunikasikan.

3) Teknik Analisis Data

Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti
yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,
tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

Nilai akkhir pretest atau posttest dirumuskan sebagai berikut:

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung n-Gain yang
selanjutnya digunakan untuk menguji kenormalan dan homogenitas dua varians.

33

a) Perhitungan Gain Ternormalisasi
Gain ternormalisasi (n-Gain) merupakan perbandingan antara selisih skor pretest dan
skor posttest dengan selisih skor maksimum dan skor pretest, n-Gain digunakan untuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran. Melalui perhitungan ini didapatkan
data n-Gain sejumlah siswa yang mengikuti tes tersebut. Dalam hal ini 20 data pada
kelas X2 (kelas eksperimen) dan 30 data pada kelas X3 (kelas kontrol). n-Gain
dirumuskan sebagai berikut:
Rumus

...................(2)

Data gain ternormalisasi yang diperoleh kemudian diuji homogenitasnya yang
kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.
b) Uji normalitas
Hipotesis untuk uji normalitas :
Ho = data penelitian berdistribusi normal
H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal
Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :



...…………(3)

= uji Chi- kuadrat

fo = frekuensi observasi
fe = frekuensi harapan
Kriteria : Terima Ho jika

hitung 

tabel

34

c)

Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua va

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN PENGUASAAN KONSEP PADA MATERI LARUTAN NONELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT SERTA REDOKS

0 3 56

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENGELOMPOKKAN

0 9 33

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

1 22 43

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

0 10 48

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PREDIKSI DAN INFERENSI PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

2 45 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI LARUTAN NON-ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKANKETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN INFERENSI

0 7 47

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN

0 6 42

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DISERTAI MEDIA ANIMASI PADA MATERI LARUTAN NON-ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMPULKAN DAN PENGUASAAN KONSEP

1 28 56

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR DAN MEMBERIKAN PENJELASAN LANJUT PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

0 3 43

EFEKTIVITAS MODEL PLGI PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT NON-ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENYIMPULKAN

1 14 49