EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR DAN MEMBERIKAN PENJELASAN LANJUT PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR DAN

MEMBERIKAN PENJELASAN LANJUT PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh

NOVI AYU SAFIRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR DAN

MEMBERIKAN PENJELASAN LANJUT PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh

NOVI AYU SAFIRA

Rendahnya keterampilan berpikir kritis-kreatif yang dimiliki siswa dikarenakan banyak sekolah menekankan kemampuan tingkat rendah dalam pembelajaran. Peng-gunaan model problem solving dalam pembelajaran merupakan salah satu upaya untuk melatih keterampilan berpikir kritis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrip-sikan efektivitas model problem solving dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan non equivalent control group design. Teknik pemilihan sampel yang digunakan yaitu teknik purposive sam-pling. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Fransiskus Bandar Lampung semester genap tahun ajaran 2012-2013 dengan kelas X4 dan kelas X5 sebagai sampel. Efektivitas model pembelajaran problem soving diukur berdasarkan peningkatan n-Gain yang signifikan.


(3)

Novi Ayu Safira

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata n-Gain keterampilan dasar untuk kelas eks-perimen dan kelas kontrol yaitu 0,64 dan 0,53; serta rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol yaitu 0,75 dan 0,56. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji perbedaan dua rata-rata (uji-t). Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model problem solving lebih tinggi daripada yang diterapkan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan model problem solving efektif dalam meningkat-kan keterampilan dasar dan memberimeningkat-kan penjelasan lanjut pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit.

Kata kunci : model pembelajaran problem solving, keterampilan dasar, keterampilan memberikan penjelasan lanjut


(4)

KETERAMPILATi DASAR DAIY MEMBERIKAh{ PENJELASAFT LANJUT PADA MATERI LARUTANI

ELEK.TROTIT I}AN NON ELEKTROLIT Nama Mabasirwa '

No. Pokok Mahasiswa Program Studi

Falilltas

.

:c.l&$i

z{qrrS+fi,o

091302fi153 ,

Pendiditran

Eiqq

.

':

Pendidiksn

MmA

Dra.

NIP 196608241991II20tr2

2. Kstua Jurnsan Pendidikan

MfA

,,--\

fj

/ri/t

I

IW

Dr. Caswita" M.Si.


(5)

----t

t 1

PERI\TYA.TAAI\I

DEgaD ini saya menluakan bahwa dalam

#ipsi

igi ddak ttrdapar karya yang

pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan

di

suatu perguruan

srgF

dan separdang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atatr

pen-@atyang

pernah di&rlis atau diterbitkan oleh orang

laiq

kecuali yang !rccffia tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalarrr daftar pustaka

Apabita ternyata kelak difte,mudian hari te6ukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di ataq maka saya akan bertmggung jawab sepenuhnya,

Mei 2013

Novi AyuSafira

NPM 0913023053


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Konstruktivisme ... 7

B. Model Problem Solving ... 11

C. Keterampilan Berpikir Kritis ... 13

D. Analisis Konsep... 19

E. Kerangka Pemikiran ... 20

F. Anggapan Dasar ... 21

G. Hipotesis Umum ... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25


(7)

vi

C. Metode dan Desain Penelitian ... 26

D. Variabel Penelitian ... 27

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya ... 27

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 28

G. Hipotesis Statistik ... 30

H. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. ... Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 36

B. ... Pemb ahasan ... 41

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 49

B. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Silabus dan Sistem Penilaian Kelas Eksperimen ... 55

2. Silabus dan Sistem Penilaian Kelas Kontrol ... 60

3. RPP Kelas Eksperimen ... 62

4. RPP Kelas Kontrol ... 79

5. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 89

6. Kisi-Kisi Soal Pretes. ... 104

7. Kisi-Kisi Soal Postes ... 106


(8)

vii

11. Pedoman Penskoran dan Rubrik Penilaian Postes ... 116

12. Perhitungan n-Gain ... 120

13. Perhitungan dan Analisis Data………. 124


(9)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (sains) yang berkem-bang berdasarkan fenomena alam. Ada tiga hal yang berkaitan dengan karak-teristik ilmu kimia yaitu kimia sebagai produk, proses, dan sikap. Produk ilmu kimia adalah pengetahuan yang berupa fakta, teori, prinsip,dan hukum-hukum. Sedangkan proses ilmu kimia berupa kerja ilmiah yang ditekankan pada peng-amatan langsung peserta didik agar dapat melihat dan mengamati sendiri keadaan alam sekitar sehingga tumbuh sikap ilmiah pada diri setiap peserta didik. Pem-belajaran ilmu kimia yang ideal harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai produk, proses, dan sikap tersebut.

Faktanya pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep, hukum-hukum, dan teori saja, tanpa menyuguhkan bagaimana proses ditemukan-nya konsep, hukum-hukum, dan teori tersebut sehingga tidak tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa. Hal ini juga dikemukakan Susanto (2002) yang menjelaskan adanya tiga permasalahan dalam pembelajaran sains. Pertama, pendidikan sains masih berorientasi hanya pada produk pengetahuan, kurang berorientasi pada prosesnya. Kedua, pengajaran sains hanya berupa pengetahuan seperti fakta, konsep, dan prinsip sains melalui ceramah, tanya jawab, atau diskusi tanpa


(10)

didasarkan pada hasil kerja praktek. Ketiga, pengajaran sains berfokus pada menjawab pertanyaan dan guru cenderung untuk menggunakan metode tanya jawab, sementara jawaban yang harus dikemukakan yaitu fakta , konsep , dan prinsip baku yang telah diajarkan guru. Seharusnya siswa menggali masalahnya sendiri dan menemukan jawabannya melalui pengamatan atau percobaan.

Untuk itu, dalam memupuk sikap ilmiah siswa dapat dibangun melalui sikap kritis dan harus ditumbuhkan dalam diri siswa sesuai dengan taraf perkembangannya. Menurut Angelo (1995), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Mengem-bangkan keterampilan berpikir kritis pada siswa merupakan hal yang sangat pen-ting dalam era persaingan global, hal ini dikarenakan pen-tingkat kompleksitas perma-salahan dalam segala aspek kehidupan modern ini yang menyangkut ilmu kimia semakin tinggi. Redhana (2009) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa, bertambahnya wawasan siswa dalam memecahkan suatu masalah, dan terdapat peningkatan pemahaman konsep siswa jika digunakannya keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran.

Namun faktanya, hasil penelitian Rofi’udin (2000) menemukan bahwa rendahnya keterampilan berpikir kritis-kreatif yang dimiliki oleh lulusan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dikarenakan kebanyakan sekolah cenderung menekan-kan kemampuan tingkat rendah dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Siswa menyerap informasi secara pasif dan kemudian hanya mengulanginya atau meng-ingatnya pada saat mengikuti tes.


(11)

3

Hal ini diperkuat dengan observasi yang telah dilakukan di SMA Fransiskus Bandar Lampung pada Oktober 2012, belum pernah dilakukannya pembelajaran kimia yang dapat menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, dalam hal ini kete-rampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan sudah cukup baik yaitu siswa melakukan praktikum pada materi-materi tertentu salah satunya materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Namun pada proses pembelajaran selanjutnya siswa tidak dilibatkan dalam membangun ke-terampilan berpikir kritis, siswa lebih banyak mencatat konsep-konsep yang di-berikan atau mendengarkan penjelasan yang disampaikan guru, proses belajar mengajar seperti ini cenderung berpusat pada guru (teacher centered). Metode pembelajaran yang digunakan juga terbilang konvensional dimana guru dalam menjelaskan pelajaran dengan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan.

Salah satu upaya meningkatkan keterampilan berpikir kritis adalah dengan digu-nakannya model pembelajaran problem solving pada saat pembelajaran. Model ini memiliki ciri-ciri yaitu pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah. Melalui pemberian masalah, siswa akan terlatih untuk mendefinisikan masalah yang tidak lain adalah keterampilan berpikir kritis. Setelah itu, siswa mencari data atau informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dan membuat hipotesis. Selanjutnya siswa membuktikan kebenaran dari jawaban sementara ter-sebut. Pada tahap ini, siswa akan melakukan observasi, eksperimen, dan juga diskusi untuk membuktikan jawaban sementara yang dibuat. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan. Meskipun bukanlah model yang sama sekali baru, penera-pan model tersebut mengalami kemajuan yang pesat di banyak sekolah dari ber-bagai disiplin ilmu di negara-negara maju (Tan, 2003).


(12)

Redhana (2009) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa pembelajaran problem solving dapat menyediakan masalah open-ended yang dapat bertindak sebagai stimulus pembelajaran. Masalah ini membangkitkan keingintahuan siswa dan dapat merangsang siswa menggunakan sejumlah keterampilan berpikir kritis dalam proses pemecahan masalah. Masalah open-ended yang dihadapi oleh siswa merupakan masalah konstektual yang sangat dekat dengan kehidupan nyata siswa sehingga dapat memotivasi untuk memecahkannya. Hal ini berbeda dengan pem-belajaran yang digunakan di SMA Fransiskus yaitu pempem-belajaran konvensional.

Model problem solving diharapkan dapat menjadi salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis, khususnya keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut, maka dilakukan penelitian dengan judul: Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Dasar dan Memberikan Penjelasan Lanjut Pada Materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam mening-katkan keterampilan dasar pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit ? 2. Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

mening-katkan keterampilan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit ?


(13)

5

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

meningkatkan keterampilan dasar pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

2. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu: 1. Siswa

Dapat menarik minat belajar dan memotivasi siswa, membangkitkan perhatian siswa pada materi pelajaran, memudahkan siswa dalam memahami pelajaran, serta merupakan aktivitas menyenangkan yang memecah suasana belajar rutin. 2. Guru

Guru memperoleh model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan kreatif pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

3. Sekolah

Penerapan model problem solving dalam pembelajaran merupakan alternatif untuk meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.


(14)

E. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk membatasi penelitian yang dilakukan, maka ruang lingkup penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Model pembelajaran problem solving yang digunakan pada penelitian ini adalah model problem solving menurut Depdiknas yang terdiri dari 5 fase yaitu fase 1 mengorientasikan siswa pada masalah, fase 2 mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, fase 3 mene-tapkan jawaban sementara dari masalah (hipotesis), fase 4 menguji kebenaran jawaban sementara, dan fase 5 menarik kesimpulan.

2. Keterampilan dasar yang diteliti yaitu dengan indikator mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak yang berfokus pada sub indikator kemampuan untuk memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat. Serta keterampilan memberikan penjelasan lanjut yang diteliti yaitu dengan indika-tor mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi yang ber-fokus pada sub indikator mempertimbangkan definisi (contoh – noncontoh dan klasifikasi), dan indikator mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan suatu definisi yang berfokus pada sub indikator membuat isi definisi.

3. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut apabila secara statistik hasil belajar siswa me-nunjukkan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001) me-nyatakan bahwa: “Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengeta -huan yang menekankan bahwa pengeta-huan kita merupakan hasil konstruksi

(bentukan) kita sendiri”. Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah

suatu tiruan atau gambaran dari kenyataan (realitas) yang ada. Pengetahuan adalah ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman yang dialaminya yang diakibatkan dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Dalam proses kontruksi itu, menurut Glaserfeld diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut :

1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga-laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut. 2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan

mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding-kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaan-nya untuk selanjutperbedaan-nya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengeta-huannya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben-tukan pengetahuannya.


(16)

Filsafat konstruktivisme ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).

1. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget

Menurut Piaget (Dahar, 1989), dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia ber-interaksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisik-nya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengem-bangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut skema atau pola tingkah laku. Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget (Dahar,1989) yaitu struktur, isi dan fungsi.

a. Struktur, memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.

b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang

dihadapinya.

c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.

Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu orga-nisasi dan adaptasi. Orgaorga-nisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk


(17)

9

mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, terhadap lingku-ngan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Lebih lanjut, Piaget (Dahar, 1989) mengemukakan bahwa dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masa-lah yang dihadapinya dalam lingkungannya sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya.

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Ako-modasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rang-sangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequi-librium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.


(18)

2. Teori penemuan Jerome Bruner

Bruner (Trianto, 2010) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pen-carian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip, agar mereka memperoleh pengalaman dan melalui eksperimen-eksperimen yang meng-izinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri.

3. Teori pembelajaran sosial Vygotsky

Vigotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahauan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vigotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulasi respons, faktor sangat penting bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Trianto, 2010).

Teori Vigotsky lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Vigostsky (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Vigotsky mem-perhatikan adanya akibat dari interaksi sosial terlebih bahasa dan budaya dalam proses belajar anak. Lebih lanjut Vigotsky (Trianto, 2010) mengungkapkan bah-wa belajar adalah proses sosial kontruksi yang dihubungkan oleh bahasa dan in-teraksi sosial.


(19)

11

Suparno (Trianto, 2010) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar pandangan kons-truktivis adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial;

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar, siswa aktif mengkonstrukdi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah; dan 3. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar

proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.

B.Model Problem Solving

Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan masalah yang rumit memerlukan langkah-langkah pemecahan yang rumit pula. Masalah pada hakikatnya adalah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila pertanyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan suatu masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak memecahkan masalah tersebut. Pemecahan masalah adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasar-kan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan peserta didik berperan aktif dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri infor-masi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, pemecahan masalah menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006).


(20)

Langkah-langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran dikemukakan oleh John Dewey, yakni :

1. siswa menghadapi masalah, artinya dia menyadari adanya suatu masalah tertentu

2. siswa merumuskan masalah, artinya menjabarkan masalah dengan jelas dan spesifik

3. siswa merumuskan hipotesis, artinya merumuskan kemungkinan-kemungkinan jawaban atas masalah tersebut yang masih perlu diuji kebenarannya

4. siswa mengumpulkan dan mengolah data/informasi

5. siswa menguji hipotesis berdasrkan data/informasi yang telah dikumpulkan dan diolah

6. menarik kesimpulan berdasrkan pengujian hipotesis dan jika ujinya salah maka kembali ke langkah 3 dan 4 dan seterusnya

7. siswa menerapkan hasil pemecahan masalah pada situasi baru

Pemecahan masalah bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks daripada yang diduga. Pemecahan masalah memerlukan keterampilan berpikir yang banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, meng- analisis, mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesim-pulan, dan membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah. Untuk memecahkan masalah kita harus melokasi informasi, menampil-kannya dari ingatan lalu memprosesnya dengan maksud untuk mencari hubungan, pola, atau pilihan baru. Langkah-langkah model problem solving (Depdiknas, 2006) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul - betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban


(21)

13

sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi (Nessinta, 2009).

C. Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan adalah kecakapan untuk melaksanakan tugas, dimana keterampilan tidak hanya meliputi gerakan motorik, tetapi juga melibatkan fungsi mental yang bersifat kognitif, yaitu suatu tindakan mental dalam usaha memperoleh

pengetahuan. Proses berpikir berhubungan dengan pola perilaku yang lain dan membutuhkan keterlibatan aktif pemikir. Pengertian ini mengindikasikan bahwa berpikir adalah upaya yang kompleks dan reflektif bahkan suatu pengalaman yang kreatif (Presseisen dalam Costa, 1985). Berpikir membuat seseorang dapat

mengolah informasi yang diterima dan mengembangkannya sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki. Arifin (2003) menyatakan bahwa berpikir merupakan proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Berpikir juga merupakan kemampuan jiwa taraf tinggi yang dapat dicapai dan dimiliki oleh manusia. Adanya kemampuan berpikir pada manusia merupakan pembeda yang khas antara manusia dengan binatang. Melalui berpikir, manusia dapat mencapai kemajuan yang luar biasa dan selalu berkembang dalam peradaban dan kebudayaan. Berpikir dianggap suatu proses kognitif, suatu proses mental untuk memperoleh pengetahuan (Presseisen dalam Costa, 1985). Walaupun demikian, aspek kognitif berkaitan dengan cara-cara bagaimana mengenal sesuatu seperti persepsi,

penalaran, dan intuisi. Kemampuan berpikir menitikberatkan pada penalaran sebagai fokus utama dalam aspek kognitif.


(22)

Costa dalam Liliasari (2007) membagi keterampilan berpikir menjadi dua, yaitu keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi. Berpikir kompleks atau tingkat tinggi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Diantara proses berpikir tingkat tinggi, salah satu yang digunakan dalam pembentukan sistem konseptual IPA adalah berpikir kritis. Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Berpikir kritis membuat seseorang dapat mengatur, menyesuai-kan, mengubah atau memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih cepat. Seseorang dikatakan berpikir kritis, apabila ia mencoba membuat berbagai pertimbangan ilmiah untuk menentukan pilihan terbaik dengan menggunakan berbagai kriteria. Berpikir kritis berbeda dengan berpikir biasa. Berpikir biasa tidak mempunyai standar dan sederhana, sedangkan berpikir kritis lebih komplek dan berdasarkan standar objektif, kegunaan atau kemantapan.

Presseisen dalam Costa (1985) mengatakan bahwa berpikir kritis diartikan sebagai keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar, untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, me-mahami asumsi yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan.

Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan, sebagai apa yang harus dipercaya atau dilakukan.

Seorang siswa tidak akan dapat mengembangkan berpikir kritis dengan baik, tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam konteks berbagai bidang studi yang dipelajarinya. Berpikir kritis dalam ilmu kimia tidak dapat dilakukan dengan cara mengingat dan menghafal konsep-konsep, tetapi mengintegrasikan


(23)

15

dan mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dimiliki. Terdapat enam kompo-nen atau unsur dari berpikir kritis menurut Ennis (1985) yang disingkat menjadi FRISCO, seperti yang tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Unsur-unsur keterampilan berpikir kritis

No Unsur Keterangan

1 Focus Memfokuskan pemikiran, menggambarkan

poin-poin utama, isu, pertanyaan, atau permasalahan. Hal-hal pokok dituangkan di dalam argumen dan pada akhirnya didapat kesimpulan dari suatu isu, pertanyaan, atau permasalahan tersebut.

2 Reasoning Ketika suatu argumen dibentuk, maka harus

disertai dengan alasan (reasoning). Alasan dari argumen yang diajukan harus dapat

mendukung kesimpulan dan pada akhirnya alasan tersebut dapat diterima sebelum membuat keputusan akhir.

3 Inference Ketika alasan yang telah dikemukakan benar,

apakah hal tersebut dapat diterima dan dapat mendukung kesimpulan

4 Situation Ketika proses berpikir terjadi, hal tersebut

dipengaruhi oleh situasi atau keadaan baik (keadaan lingkungan, fisik, maupun sosial).

5 Clarity Ketika mengungkapkan suatu pikiran atau

pendapat, diperlukan kejelasan untuk membuat orang lain memahami apa yang diungkapkan

6 Overview Suatu proses untuk meninjau kembali apa yang

telah kita temukan, putuskan, pertimbangkan, pelajari, dan simpulkan.

(Ennis dalam Costa, 1985)

Moore dan Parker dalam Liliasari (2011) menyatakan bahwa berpikir kritis memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat. 2. Membedakan klaim yang rasional dan emosional. 3. Memisahkan fakta dari pendapat.

4. Menyadari apakah bukti itu terbatas atau luas.

5. Menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam suatu argumentasi orang lain. 6. Menunjukkan analisis data atau informasi.


(24)

8. Menggambarkan hubungan antara sumber-sumber data yang terpisah dan informasi.

9. Memperhatikan informasi yang bertentangan, tidak memadai atau bermaknaganda.

10. Membangun argumen yang meyakinkan. 11. Memilih data penunjang yang paling kuat. 12. Menghindari kesimpulan yang berlebihan.

13. Mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan menyarankan pengumpulan informasi tambahan.

14. Menyadari ketidakjelasan.

15. Mengusulkan pilihan lain dan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan.

16. Mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya dalam pengambilan keputusan.

17. Menyatakan argumen dan kontek untuk apa argumen itu. 18. Menggunakan bukti secara benar.

19. Menyusun argumen secara logis dan kohesif.

20. Menghindari unsur-unsur luar dalam penyusunan argumen.

21. Menunjukkan bukti untuk mendukung argumen yang meyakinkan.

Menurut Ennis (1989) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis (KBKr) yang dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima kelom-pok keterampilan tersebut adalah: memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan (interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta strategi dan taktik (strategy and tactics). Adapun kedua belas indikator tersebut adalah:

1. Memfokuskan pertanyaan. 2. Menganalisis argumen.

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan. 4. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.

5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi. 6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi. 7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi. 8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan. 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi. 10. Mengidentifikasi asumsi.

11. Memutuskan suatu tindakan. 12. Berinteraksi dengan orang lain.


(25)

17

Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis menurut Ennis

No Kelompok Indikator Sub Indikator

1 Memberikan penjelasan sederhana Memfokuskan pertanyaan

a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan b. Mengidentifikasi atau

merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan

kemungkinan jawaban c. Menjaga kondisi berpikir

Menganalisis argumen

a. Mengidentifikasi kesimpulan b.Mengidentifikasi

kalimat-kalimat pertanyaan c. Mengidentifikasi

kalimat-kalimat bukan bukan pertanyaan

d.Mengidentifikasi dan menangani ketidaktepatan e. Melihat struktur dari suatu

argumen

f. Membuat ringkasan Bertanya dan

menjawab pertanyaan

a. Menyebutkan contoh

b.Mengapa? Apa ide utamamu? Apa yang anda maksud..? Apa yang membuat perbedaan....?

2 Membangun keterampilan dasar Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak

a.Mempertimbangkan keahlian b.Mempertimbangkan

kemenarikan konflik

c.Mempertimbangkan kesesuaian sumber

d.Mempertimbangkan reputasi e.Mempertimbangkan

penggunaan prosedur yang tepat

f. Mempertimbangkan resiko untuk reputasi

g.Kemampuan untuk memberikan alasan h.Kebiasaan berhati-hati

Mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi

a. Melibatkan sedikit dugaan b.Menggunakan waktu yang singkat antara observasi dan laporan

c. Melaporkan hasil observasi d.Merekam hasil observasi e. Menggunakan bukti-bukti yang

benar


(26)

No Kelompok Indikator Sub Indikator g. Menggunakan teknologi h. Mempertanggungjawaban

hasil observasi

3 Menyimpulkan

Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi

a. Siklus logika-Euler b. Mengkondisikan logika c. Menyatakan tafsiran Menginduksi dan

mempertimbangkan hasil induksi

a. Mengemukakan hal yang umum

b. Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis

Membuat dan menentukan hasil pertimbangan

a. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan sesuai latar belakang fakta-fakta

b. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan

berdasarkan akibat c. Menerapkan konsep yang

dapat diterima

d. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan keseimbangan masalah. 4 Memberikan penjelasan lanjut Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi

a. Membuat bentuk

definisi(sinonim, klasifikasi, rentang ekivalen, rasional, contoh, bukan contoh) b. Strategi membuat definisi c. Membuat isi definisi Mengidentifikasi

asumsi-asumsi

a. Penjelasan bukan pernyataan b. Mengkonstruksi argumen

5 Mengatur strategi dan taktik

Menentukan suatu tindakan

a. Mengungkap masalah b. Memilih kriteria untuk

mempertimbangkan solusi yang mungkin

c. Merumuskan solusi alternatif d. Menentukan tindakan

sementara

e. Mengulang kembali f. Mengamati penerapannya

Berinteraksi denganorang lain

a. Menggunakan argumen b. Menggunakan strategi logika c. Menggunakan strategi retorika d. Menunjukkan posisi, orasi,

atau tulisan (Ennis dalam Costa, 1989)


(27)

19

Pada penelitian ini, indikator yang dikembangkan adalah :

No Kelompok Indikator Sub Indikator

1 Membangun keterampilan dasar

mempertimbangkan apakah indikator sumber dapat dipercaya atau tidak

kemampuan untuk memberikan alasan 2 Memberikan

penjelasan lanjut

mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi

mempertimbangkan definisi (contoh dan non contoh)

3 Memberikan penjelasan lanjut

mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi

mempertimbangkan definisi (klasifikasi) 4 Memberikan

penjelasan lanjut

mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi

membuat isi definisi

D. Analisis Konsep

Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) berpendapat bahwa belum ada defi-nisi tentang konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya konsep disamakan dengan ide. Markle dan Tieman dalam Fadiawati (2011) mendefinisi-kan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak ada satu-pun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu diperlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.

Herron et al. (1977) mengemukakan bahwa analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Analisis konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu menentukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut variabel, posisi konsep, contoh, dan non contoh.


(28)

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada tahap pertama model pembelajaran problem solving, siswa dihadapkan pada masalah untuk diselesaikan. Misalnya pada pertemuan pertama siswa diorientasi pada

masalah “Pernahkah kamu melihat orang mencari ikan dengan menyetrum? Apa

yang terjadi setelah beberapa saat ujung alat yang telah dialiri listrik tersebut dicelupkan ke dalam air sungai? Ternyata ikan-ikan yang berada di sekitar alat tersebut terkena aliran listrik sehingga menjadi mati, Apakah itu berarti dapat menghantarkan arus listrik? Bagaimana dengan air garam, urea, alkohol, asam

cuka, dan larutan gula?” Pada tahap tersebut, diharapkan siswa terstimulus untuk

mendefinisikan masalah yang mereka hadapi. Pada tahap kedua yakni mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, siswa mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang sedang dihadapi sehingga siswa pun diharapkan dapat membuat isi definisi dalam bentuk contoh dan non contoh. Kemudian, pada tahap ketiga yakni menetapkan jawaban semen-tara dari permasalahan yang diberikan, siswa dilatih untuk dapat mengemukakan hipotesis. Pada tahap keempat yakni menguji kebenaran dari jawaban sementara, siswa terpacu untuk melakukan eksperimen dalam rangka untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dalam eksperimen tersebut. Dengan eksperimen ini, maka siswa dapat memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat. Selain itu, siswa terlatih dengan prosedur percobaan atau eksperimen yang merupakan keterampilan dasar. Pada tahap kelima yakni menarik kesimpulan, ketika siswa telah mendapatkan kesimpulan dari permasalahan diharapkan siswa dapat


(29)

21

dari data yang didapat untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, berdasarkan uraian langkah-langkah di atas, diharapkan model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut.

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Siswa kelas X4 dan X5 semester genap SMA Fransiskus Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi sampel penelitian mempunyai pengetahuan awal yang sama.

2. Faktor - faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut materi larutan elektrolit dan non elektrolit siswa kelas X semester genap SMA Fransiskus Bandar Lampung TP 2012-2013 pada kedua kelas diusahakan sekecil mungkin sehingga dapat diabaikan.

3. Perbedaan n-Gain keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut di kelas kontrol dan eksperimen pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit semata-mata karena perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

G. Hipotesis Umum

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan dasar dan keterampilan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.


(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan (Margono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Fransiskus Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 180 siswa. Siswa tersebut merupakan satu kesatuan populasi, karena adanya kesamaan sebagai berikut:

a. Siswa-siswa tersebut berada dalam semester yang sama, yaitu semester genap. b. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, siswa-siswa tersebut diajar dengan

kurikulum yang sama (KTSP), dan jumlah jam belajar yang sama (tiga jam pelajaran dalam setiap minggu).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, sebagai contoh yang diambil dengan meng-gunakan cara tertentu (Margono, 2010). Jadi sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui


(31)

26

sebelumnya. Adapun pertimbangannya yaitu kemampuan akademik siswa yang tidak jauh berbeda atau dianggap sama. Setelah diperoleh dua kelas sampel maka ditentukan kelas kontrol dan kelas eksperimen yaitu X4 sebagai kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional dan X5 sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran problem solving.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil tes sebelum penerapan pembelajaran (pretes) dan hasil tes setelah penerapan pem-belajaran (postes). Adapun sumber data dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 1. Seluruh siswa kelas eksperimen; dan

2. Seluruh siswa kelas kontrol.

C. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian yang digunakan adalah Non Equivalence Control Group Design (Creswell, 1994). Desain penelitiannya yaitu :

Tabel 4 . Desain penelitian

Pretes Perlakuan Postes

Kelas kontrol O1 - O2

Kelas eksperimen O1 X O2


(32)

O1 adalah pretes yang diberikan sebelum diberikan perlakuan, O2 adalah postes yang diberikan setelah diberikan perlakuan. X adalah perlakuan berupa penerapan model problem solving. Soal pada pretes dan postes berbeda tetapi indikator yang diukur pada masing-masing nomor sama.

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Sebagai variabel bebas adalah pembelajaran yang menggunakan model problem solving dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara obyektif (Hadjar, 1999). Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa silabus, RPP, LKS, ana-lisis konsep, serta soal pretes dan postes yang masing-masing terdiri dari 5 soal uraian. Dalam pelaksanaannya, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan soal pretes yang sama. Agar data yang diperoleh dapat dipercaya, maka instrumen yang digunakan harus valid. Dengan kata lain suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen yang akan digunakan. Pengujian instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah vailditas isi. Adapun pengujian validitas isi dilakukan dengan cara judgment. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan


(33)

kete-28

litian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing yaitu Dra. Chansyanah Diawati M.Si dan Dra. Ila Rosilawati, M.Si untuk memvalidasinya dengan menelaah kisi-kisi terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Fransiskus Bandar Lampung. Secara garis besar tahap-tahap penelitian dikelompokkan menjadi lima langkah yaitu memilih masalah yang akan dikaji, studi literatur, penyusunan instrumen, implementasi metode problem solving serta konvensional dan terakhir adalah analisis data dan kesimpulan. Penelitian diawali dengan melaksanakan pretes pada kelas ekspe-rimen dan kelas kontrol. Adapun tujuan pelaksanaan pretes sebelum pembelaja-ran dilakukan adalah untuk mengetahui keterampilan dasar dan memberikan pen-jelasan lanjut awal siswa pada kedua kelas tersebut. Selanjutnya pada kelas kontrol pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional sedangkan pada kelas eksperimen pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model problem

solving. Pada kelas eksperimen akan diberikan media LKS yang berbasis problem solving. Selanjutnya setelah pembelajaran berlangsung dilakukan postes pada kelas kontrol dan juga kelas eksperimen. Adapun tujuan pelaksanaan postes sete-lah pembelajaran dilakukan adasete-lah untuk mengetahui perbedaan hasil dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Langkah penelitian yang terakhir adalah


(34)

melaku-kan tabulasi dan analisis data. Langkah-langkah penelitian tersebut ditunjukmelaku-kan pada alur penelitian yang ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 1. Alur Penelitian

G. Hipotesis Statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Adapun hipotesisnya yaitu:

Analisis konsep-konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Validasi instrumen

Rencana pembelajaran problem solving

Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes

Pembelajaran konvensional Problem Solving

Pretes Pretes

Validasi instrumen Rencana pembelajaran

konvensional

Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes

Postes Postes

Analisis data


(35)

30

1. Keterampilan Dasar H0 : µ1x < µ2x

Rata-rata n-gain keterampilan dasar pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan pembelajaran model problem solving lebih rendah daripada rata-rata n-gain keterampilan dasar dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

H1 : µ1x > µ2x

Rata-rata n-gain keterampilan dasar pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan pembelajaran model problem solving lebih tinggi daripada rata-rata n-gain keterampilan dasar dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

2. Keterampilan Memberikan Penjelasan Lanjut H0 : µ1y < µ2y

Rata-rata n-gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan pembelajaran model problem solving lebih rendah daripada rata-rata n-gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

H1 : µ1y > µ2y

Rata-rata n-gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dengan pembelajaran meng-gunakan model problem solving lebih tinggi daripada rata-rata n-gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.


(36)

Keterangan:

µ1 : Rata-rata (x,y) pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving.

µ2 : Rata-rata (x,y) pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

x: keterampilan dasar.

y : keterampilan penjelasan lanjut.

H.Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Analisis data

Tujuan analisis adalah untuk memberikan makna atau arti untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Hal-hal yang diperlukan dalam menganalisis data setelah melakukan pretes dan postes pada siswa SMA Fransiskus adalah : a. Penentuan nilai siswa

Nilai siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:

Nilai siswa = jumlah skor jawaban yang diperoleh x 100 …………..(1) jumlah skor maksimal

Dari data yang diperoleh kemudian dicari gain ternormalisasinya, dan selanjutnya digunakan untuk menguji hipotesis.

b. Perhitungan gain ternormalisasi

Untuk mengetahui efektifitas model problem solving dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut, maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui


(37)

32

peningkatan nilai pretes dan postes dari kedua kelas. Menurut Meltzer besarnya peningkatan dihitung dengan rumus n-Gain ( normalized gain), yaitu :

... (2)

Tabel 5. Klasifikasi gain ( g )

Data gain ternormalisasi yang diperoleh diuji normalitas dan homogenitasnya kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

2. Pengujian hipotesis

a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis untuk uji normalitas : Ho = data penelitian berdistribusi normal

H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal

Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan : = uji Chi- kuadrat fo = frekuensi observasi fe = frekuensi harapan

Data akan berdistribusi normal jika χ2 hitung ≤ χ2

tabel dengan taraf signifikan 5% dan derajat kebebasan dk = k – 3 (Sudjana, 2005).

Besarnya g Interpretasi

g > 0.7 Tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 Sedang


(38)

b. Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua varians dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian berawal dari kondisi yang sama atau homogen, yang selanjutnya untuk menentukan statistik t yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam uji homogenitas adalah sebagai berikut:

H0 = 12 22 (data penelitian mempunyai varians yang homogen)

H1 = 12 22 (data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen)

Untuk menguji kesamaan dua varians, dalam Sudjana (2005)

digunakan rumus sebagai berikut: ………….(3)

Kriteria : Pada taraf 0,05, tolak H0hanya jika F hitung ≥ F ½α (υ1, υ2)

Untuk menguji apakah kedua varians tersebut sama atau tidak, maka Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel. Menggunakan α = 5 % dengan dk pembilang = banyaknya data terbesar dikurangi satu dan dk penyebut = banyaknya data yang terkecil dikurangi satu. Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Yang berarti kedua kelompok tersebut mempunyai varians yang sama atau dikatakan homogen.

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif

perlakuan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit yang lebih tinggi antara pembelajaran dengan model problem solving dengan pembelajaran konvensional dari siswa Fransiskus Bandar Lampung. Jika data


(39)

34

yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen, maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji-t (Sudjana, 2005):

2 1 2 1 1 1 n n s X X

thitung ...(4)

dan 2 ) 1 ( ) 1 ( 2 1 2 2 2 2 1 1 2 n n s n s n s Keterangan :

thitung = Kesamaan dua rata-rata

1

X = Rata-rata n-Gain kelas eksperimen

2

X = Rata-rata n-Gain kelas kontrol s2 = Varians

n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen n2 = Jumlah siswa kelas kontrol

2 1

s = Varians kelas eksperimen 2

2

s = Varians kelas kontrol

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika t< t1-α dengan derajat kebebasan d(k) = n1 + n2– 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf

signifikan α = 5% peluang (1- α ).


(40)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata n-Gain keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional siswa SMA Fransiskus Bandar Lampung.

2. Model pembelajaran problem solving lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena pada setiap tahap pembelajarannya siswa dilatih untuk terbiasa memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat serta dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam mempertimbangkan definisi yang berupa contoh noncontoh, klasifikasi, dan membuat isi definisi.


(41)

50

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut.

2. Untuk meningkatkan efisien waktu sebaiknya dalam melakukan penelitian agar mempersiapkan lebih awal hal-hal yang menunjang proses pembelajaran serta lebih memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran lebih maksimal.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Angelo, Thomas. 1995. Classroom assessment techniques. Diakses tanggal 22 Oktober 2012 dari http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/10/22-definisi-berfikir-kritis.html

Arikunto, S. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta Costa, A. L. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.

Association for Supervision and Curriculum Development. Virginia. Dahar, R.W. 1989. Teori–Teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Kurikulum 2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Djamarah dan Zain, A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Ennis, R.H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed).

Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Assosiation for Supervisions and Curriculum Development (ASCD). Alexandra, Virginia. Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran Tentang Struktur

Atom Dari SMA Hingga Perguruan Tinggi. Disertasi. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Hidayati. 2006. Pengembangan Pendidikan IPS di SD. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Liliasari. 1996. Beberapa Pola Berpikir dalam Pembentukan Pengetahuan oleh Siswa SMA. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IKIP. Bandung.

Nessinta, N. 2009. Penerapan Metode Problem Solving Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Asam Basa. Skripsi. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.


(43)

52

Redhana dan Liliasari. 2009. Program Pembelajaran Keterampilan Berpikir Kritis Pada Topik Laju Reaksi Untuk Siswa SMA. Proseding Seminar Nasional LS IV: Universitas Negeri Malang. Malang.

Rofi’uddin, A. 2000. Model Pendidikan Berpikir Kritis. Skripsi. Universitas Negeri Malang. Diakses tanggal 22 Oktober 2012 dari http://www.info- diknas.com/2012/10/22-model-pendidikan-berpikir-kritis-kreatif-untuk-siswa.html

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.

Suparno. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Kanisius. Yogyakarta. Susanto, P. 2002. Keterampilan Dasar Mengajar IPA Berbasis Konstruktivisme.

Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Malang Tan, O.S. 2003. Problem-Based Learning Innovation. Thomson Learning.

Singapore.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana. Jakarta.

Tim Penyusun. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.


(1)

b. Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua varians dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian berawal dari kondisi yang sama atau homogen, yang selanjutnya untuk menentukan statistik t yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan menyelidiki apakah kedua sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam uji homogenitas adalah sebagai berikut:

H0 = 12 22 (data penelitian mempunyai varians yang homogen)

H1 = 2 2

1 2 (data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen) Untuk menguji kesamaan dua varians, dalam Sudjana (2005)

digunakan rumus sebagai berikut: ………….(3)

Kriteria : Pada taraf 0,05, tolak H0hanya jika F hitung ≥ F ½α (υ1, υ2)

Untuk menguji apakah kedua varians tersebut sama atau tidak, maka Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel. Menggunakan α = 5 % dengan dk pembilang = banyaknya data terbesar dikurangi satu dan dk penyebut = banyaknya data yang terkecil dikurangi satu. Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Yang berarti kedua kelompok tersebut mempunyai varians yang sama atau dikatakan homogen.

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif

perlakuan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit yang lebih tinggi antara pembelajaran dengan model problem solving dengan pembelajaran konvensional dari siswa Fransiskus Bandar Lampung. Jika data


(2)

34

yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen, maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji-t (Sudjana, 2005):

2 1 2 1 1 1 n n s X X

thitung ...(4)

dan 2 ) 1 ( ) 1 ( 2 1 2 2 2 2 1 1 2 n n s n s n s Keterangan :

thitung = Kesamaan dua rata-rata 1

X = Rata-rata n-Gain kelas eksperimen 2

X = Rata-rata n-Gain kelas kontrol s2 = Varians

n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen n2 = Jumlah siswa kelas kontrol

2 1

s = Varians kelas eksperimen 2

2

s = Varians kelas kontrol

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika t< t1-α dengan derajat kebebasan d(k) = n1 + n2 – 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf

signifikan α = 5% peluang (1- α ).


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Rata-rata n-Gain keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran

problem solving lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional siswa SMA

Fransiskus Bandar Lampung.

2. Model pembelajaran problem solving lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena pada setiap tahap pembelajarannya siswa dilatih untuk terbiasa memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat serta dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam mempertimbangkan definisi yang berupa contoh noncontoh, klasifikasi, dan membuat isi definisi.


(4)

50

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan dasar dan memberikan penjelasan lanjut.

2. Untuk meningkatkan efisien waktu sebaiknya dalam melakukan penelitian agar mempersiapkan lebih awal hal-hal yang menunjang proses pembelajaran serta lebih memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran lebih maksimal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Angelo, Thomas. 1995. Classroom assessment techniques. Diakses tanggal 22 Oktober 2012 dari http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2012/10/22-definisi-berfikir-kritis.html

Arikunto, S. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta Costa, A. L. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.

Association for Supervision and Curriculum Development. Virginia. Dahar, R.W. 1989. Teori–Teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian

Kurikulum 2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Djamarah dan Zain, A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Ennis, R.H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed).

Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Assosiation for

Supervisions and Curriculum Development (ASCD). Alexandra, Virginia. Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran Tentang Struktur

Atom Dari SMA Hingga Perguruan Tinggi. Disertasi. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Hidayati. 2006. Pengembangan Pendidikan IPS di SD. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Liliasari. 1996. Beberapa Pola Berpikir dalam Pembentukan Pengetahuan oleh Siswa SMA. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IKIP. Bandung.

Nessinta, N. 2009. Penerapan Metode Problem Solving Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Asam Basa. Skripsi. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme Dalam


(6)

52

Redhana dan Liliasari. 2009. Program Pembelajaran Keterampilan Berpikir Kritis Pada Topik Laju Reaksi Untuk Siswa SMA. Proseding Seminar Nasional LS IV: Universitas Negeri Malang. Malang.

Rofi’uddin, A. 2000. Model Pendidikan Berpikir Kritis.Skripsi. Universitas Negeri Malang. Diakses tanggal 22 Oktober 2012 dari http://www.info- diknas.com/2012/10/22-model-pendidikan-berpikir-kritis-kreatif-untuk-siswa.html

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.

Suparno. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Kanisius. Yogyakarta. Susanto, P. 2002. Keterampilan Dasar Mengajar IPA Berbasis Konstruktivisme.

Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang. Malang Tan, O.S. 2003. Problem-Based Learning Innovation. Thomson Learning.

Singapore.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana. Jakarta.

Tim Penyusun. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Badan Standar


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

1 22 43

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

0 10 48

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI DAN MEMPREDIKSI

0 6 45

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PREDIKSI DAN INFERENSI PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

2 45 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN

0 6 42

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DISERTAI MEDIA ANIMASI PADA MATERI LARUTAN NON-ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMPULKAN DAN PENGUASAAN KONSEP

1 28 56

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

1 17 48

EFEKTIVITAS MODEL PLGI PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT NON-ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENYIMPULKAN

1 14 49

Model Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Berpikir Orisinil pada Materi Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit

2 27 198

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR ORISINIL

6 28 47