EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENGELOMPOKKAN

(1)

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS

DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN

MENGELOMPOKKAN

Oleh

AHMAD UNTORO

Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga dan hidrolisis dalam mening-katkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Bandar Lampung semester Genap Tahun Ajaran 2011-2012 dengan kelas XI IPA1 dan kelas XI IPA3 sebagai sampel. Efektivitas pembelajaran problem solving diukur berdasarkan perbedaan N-gain keterampilan mengkomu-nikasikan dan mengelompokkan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata N-gain keterampilan mengkomunikasikan untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,36 dan 0,46; dan rerata N-gain keterampilan mengelompokkan untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,29 dan 0,55. Pengujian hipotesis pada penelitian ini meng-gunakan uji perbedaan dua rata-rata dengan rumus statistik uji-t. Hasil pengujian


(3)

hipotesis menunjukkan bahwa keterampilan mengkomunikasikan dan mengelom-pokkan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis yang diterapkan model pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keteram-pilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

ABSTRAK ... ii

COVER DALAM ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

SANCAWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5


(7)

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Konstruktivisme ... 8

1. Teori perkembangan Kognitif Jean Piaget ... 9

2. Teori Penemuan Jeremo Bruner ... 11

3. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky ... 11

B. Model Problem Solving ... 12

C. Keterampilan Proses Sains ... 15

D. Hasil Penelitian Yang Relevan ... 19

E. Kerangka Pemikiran ... 20

F. Anggapan Dasar ... 21

G. Hipotesi Umum ... 22

III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sample ... 23

B. Metode dan Desains Penelitian ... 23

C. Jenis dan Sumber Data ... 24

D. Variabel Penelitian ... 24

E. Instrumen Penelitian ... 24

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 25

G. Analisis Data Penelitioan dan Pengujian Hipotesis ... 28

1. Analisis Data ... 28

2. Pengujian Hipotesis ... 28

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 33


(8)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 45

B. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1. Silabus Kelas Eksperimen ... 49

2. Silabus Kelas Kontrol ... 54

3. RPP Kelas Eksperimen ... 57

4. RPP Kelas Kontrol ... 92

5. Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 102

6. Kisi-kisi, Soal dan Rubrik Penilaian Pretes ... 135

7. Kisi-kisi, Soal dan Rubrik Penilaian Postes ... 152


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan penge-tahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat men-jadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. (Badan Standar Nasional Pendidikan,2006).

Ilmu kimia merupakan bagian dari IPA, dimana dalam membelajarkannya men-cakup dua bagian yakni kimia sebagai produk dan kimia sebagai proses (BSNP, 2006). Kimia sebagai produk meliputi sekumpulan pengetahuan yang terdiri dari fakta-fakta, konsep-konsep, teori, dan prinsip-prinsip ilmu kimia. Kimia sebagai proses adalah dalam pembelajaran kimia dituntut kerja ilmiah yang dibangun melalui pengembangan keterampilan-keterampilan proses sains seperti mengamati (observasi), inferensi, mengelompokkan, meramalkan (prediksi), dan mengkomu-nikasikan. Keterampilan proses sains (KPS) pada pembelajaran sains lebih mene-kankan pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan meng-komunikasikan hasilnya. KPS dimaksudkan untuk melatih dan mengembangkan


(10)

keterampilan intelektual atau kemampuan berfikir siswa. Selain itu juga mengem-bangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan

mengembangkan fakta, konsep, dan prinsip ilmu atau pengetahuan yang selan-jutnya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah. Pembelajaran dengan keterampilan proses sains berarti memberi kesempatan kepada siswa bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak sekedar menceritakan atau mendengarkan cerita tentang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, siswa perlu dilatih menggunakan keterampilan mengkomunikasikan dan menge-lompokkan sebagai komponen dari KPS.

Akan tetapi pada kenyatannya proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal, Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber utama penge-tahuan dan ceramah, penugasan, dan latihan menjadi strategi mengajar yang paling favorit dikalangan guru-guru kimia. Akibatnya pembelajaran kimia men-jadi kehilangan daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya menjadi objek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2008). Berdasarkan hasil studi PISA-OECD (Programme for International Student Assessment- Organization for Economic Coorperation and Development) tahun 2006, peringkat capaian sains untuk Indonesia berada pada tingkat 50 dari 57 negara yang mengikuti. Pencapian siswa Indonesia masih banyak yang berada pada level kemampuan dasar, level 1 dan level 2 sebanyak 61,60% belum sampai pada kemampuan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena rendahnya


(11)

menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem kehidupan dan memahami peng-gunaan peralatan sains (Firman, 2007).

Hal itu diperkuat dengan observasi yang telah dilakukan di SMA Negeri 14 Bandar Lampung, yang mana mayoritas proses pembelajarannya menggunakan metode ceramah, penugasan dan terkadang dilakukan praktikum pada materi tertentu saja. Oleh karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat, inovatif, dan tidak membosankan yang dapat meningkatkan Keterampilan Proses Sains (KPS) pada siswa.

Pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berfilosofi konstruktivisme yang diharapkan mampu meningkatkan KPS siswa, terutama pada materi larutan penyangga dan hidrolisis. Model pembelajaran problem solving memiliki ciri-ciri yaitu pembelajaran dimulai dengan adanya pemberian masalah. Melalui pemberian masalah, siswa akan terlatih untuk meru-muskan masalah. Setelah itu, siswa mencari data atau informasi yang dapat digu-nakan untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap ini siswa mencari sebanyak-banyaknya informasi. Tahap berikutnya siswa membuat jawaban sementara (hipotesis) dari permasalahan. Berikutnya siswa akan membuktikan kebenaran dari jawaban sementara tersebut. Pada tahap ini, siswa akan melakukan observasi, eksperimen, tugas, diskusi dan lain-lain untuk membuktikan jawaban sementara yang mereka kemukakan. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan. Pada tahap ini siswa dituntut untuk mengkomunikasikan hasilnya kepada siswa yang lain. Meskipun bukanlah model yang sama sekali baru, penerapan model tersebut


(12)

mengalami kemajuan yang pesat di banyak sekolah dan perguruan tinggi dari ber-bagai disiplin ilmu di negara-negara maju (Tan, 2003).

Beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa kelas XI IPA semester genap adalah mendeskripsikan sifat larutan penyangga dan peranan larutan

penyangga dalam tubuh makhluk hidup serta menentukan jenis garam yang dapat menghidrolisis air dan mengukur serta menghitung pH larutan garam tersebut. Pada materi larutan penyangga dan hidrolisis terdapat sub materi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya peranan larutan penyangga dan garam menghidrolisis, sifat-sifat larutan penyangga dan garam menghidrolisis, dan lain sebagainya. Pada materi ini dapat dilatihkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan. Siswa dapat mengkomunikasikan data yang diperoleh dari hasil pratikum larutan penyangga dan hidrolisis dalam bentuk tabel lalu siswa dapat mengelompokkan larutan penyangga dan bukan penyangga, mengelom-pokkan larutan penyangga asam dan basa, mengelommengelom-pokkan garam yang hidrolisis air dan garam yang bukan menghidrolisis air, serta garam yang meng-hidrolisis parsial dan total.

Beberapa hasil penelitian yang mengkaji penerapan model problem solving adalah Magfiroh, Mahanah, dan Zubaidah (2010) melakukan penelitian di MTS Surya Buana dengan menggunakan Model Pembelajaran Problem Solving Dipadu Model Think Pair Share (TPS). Dari hasil, model Problem solving dipadu TPS dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan hasil belajar siswa. Basori (2010) melakukan penelitian di SMP N 12 Bandung dengan menggunakan Model Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving pada Pembelajaran Konsep


(13)

Cahaya Untruk Mengembangkan KPS ). Dari hasil, model tersebut dapat mening-katkan KPS siswa.

Dalam upaya meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelom-pokkan belajar siswa tersebut, khususnya pada materi pokok Larutan Penyangga dan Hidrolisis, maka akan dilaksanakan penelitian yang berjudul : Efektivitas Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis dalam Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Mengelompokkan”. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga dan hidrolisis dalam meningkatkan keterampilan meng-komunikasikan?

2. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga dan hidrolisis dalam meningkatkan keterampilan menge-lompokkan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mendes- kripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis.


(14)

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a. Bagi Siswa

Melalui penerapan model pembelajaran problem solving dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa, mempermudah siswa dalam mengkonstruksi dan memahami konsep pada materi larutan penyangga dan hidrolisis selama proses pembelajaran berlangsung.

b. Bagi Guru dan Calon Guru

Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan dan penerapan model pembe-lajaran yang sesuai dengan materi pembepembe-lajaran kimia, terutama pada materi larutan penyangga dan hidrolisis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan yang dimiliki siswa ditunjukkan oleh nilai pretes dan postes.

2. Indikator-Indikator keterampilan mengkomunikasikan dalam penelitian ini adalah mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel dan mengubah data dalam bentuk tabel ke dalam bentuk narasi.

3. Indikator- Indikator keterampilan mengelompokkan dalam penelitian ini adalah menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan, dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek. 4. Pembelajaran dikatakan efektif apabila secara statistik terjadi perbedaan


(15)

5. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang umumnya diterap- kan di SMA Negeri 14 Bandar Lampung. Pembelajaran ini menggunakan metode ceramah dengan sesekali diselingi latihan soal dan tanya jawab, serta melakukan kegiatan praktikum hanya pada materi tertentu saja, misalnya asam basa.

6. Langkah-langkah pembelajaran problem solving yang digunakan pada peneli-tian ini mengacu pada Depdiknas, 2008.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekan-kan bahwa pengetahuan kita merupamenekan-kan hasil konstruksi (bentumenekan-kan) kita sendiri. Konstruktivisme menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan

Sekarwinahyu (2001) "konstruktivisme juga menyatakan bahwa semua

pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain”. Menurut Von Glasersfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001), agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan:

1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga-laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut. 2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan

mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan memban-dingkan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbe-daannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.

3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.


(17)

Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997), antara lain: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif;

(2) tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; (3) mengajar adalah membantu siswa belajar;

(4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa;

(6) guru adalah fasilitator.

Secara keseluruhan pengertian atau maksud pembelajaran secara konstruktivisme adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru hanya berperan sebagai penghubung yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah dan guru berperan sebagai pembimbing pada proses pembelajaran yang menyediakan peluang kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan baru. Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan men-transformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan-aturan-aturan itu tidak sesuai. Teori ini ber-kembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010). 1. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget

Menurut Piaget (Dahar 1988), dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia ber-interaksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisik-nya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengem-bangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang


(18)

lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku. Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi.

a. Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkem-bangan struktur-struktur.

b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang

dihadapinya.

c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.

Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, ter-hadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Lebih lanjut, Piaget (Dahar, 1988) mengemukakan bahwa dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk

menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons terhadap tantangan lingkungannya.

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang


(19)

telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Ako-modasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adap-tasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertum-buhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

2. Teori penemuan Jeremo Bruner

Bruner (Trianto, 2010) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pen-carian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip, agar mereka memperoleh pengalaman dan melalui eksperimen-eksperimen yang meng-izinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri.

3. Teori pembelajaran sosial Vygotsky

Vigotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahauan se-bagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vigotsky


(20)

berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elelmenter memori, atensi, persepsi, dan stimulasi respons, faktor sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Trianto, 2010).

Teori Vigotsky lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Vigostsky (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Vigotsky memperhatikan adanya akibat dari interaksi sosial terlebih bahasa dan budaya dalam proses belajar anak. Lebih lanjut Vigotsky (Trianto, 2010)

mengungkapkan bahwa belajar adalah proses sosial kontruksi yang dihubungkan oleh bahasa dan interaksi sosial.

Suparno (Trianto, 2010) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar pandangan kons-truktivis adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar, siswa aktif mengkonstrukdi terus- menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

3. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.

B. Model Problem Solving

Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan masalah yang rumit memerlukan langkah-langkah pemecahan yang rumit pula.


(21)

Masalah pada hakikatnya adalah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila pertanyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan suatu masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak memecahkan masalah tersebut. Pemecahan masalah adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berda-sarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan peserta didik berperan aktif dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri infor-masi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, pemecahan masalah menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006).

Menurut Sukarno (1981) dengan menggunakan pembelajaran problem solving, anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih mengemu-kakan hipotesis, melatih merencanakan suatu eksperimen untuk menguji hipotesis itu, melatih mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data yang diperoleh anak-anak dari pelajaran sains itu, juga segi-segi lainnya yang terdapat pada sains. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran dikemukakan

oleh John Dewey (Nasution, 2009), yakni :

1. Siswa menghadapi masalah, artinya dia menyadari adanya suatu masalah tertentu.

2. Siswa merumuskan masalah, artinya menjabarkan masalah dengan jelas dan spesifik.

3. Siswa merumuskan hipotesis, artinya merumuskan kemungkinan-kemungkinan jawaban atas masalah tersebut yang masih perlu diuji kebenarannya.


(22)

5. Siswa menguji hipotesis berdasrkan data/informasi yang telah dikumpulkan dan diolah.

6. Menarik kesimpulan berdasrkan pengujian hipotesis dan jika ujinya salah maka kembali ke langkah 3 dan 4 dan seterusnya.

7. Siswa menerapkan hasil pemecahan masalah pada situasi baru. Langkah-langkah model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa

jawaban tersebut itu betu-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Kelebihan dan kekurangan pembelajaran problem solving menurut Djamarah dan

Zain (2010) adalah sebagai berikut:

1. Kelebihan pembelajaran problem solving

a. Pembelajaran ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.

b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membia-sakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil.

c. Pembelajaran ini merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

2. Kekurangan pembelajaran problem solving

a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berfikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemam-puan dan keterampilan guru.


(23)

b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan pembelajaran ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain.

c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan meneri-ma informeneri-masi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir meme-cahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memer-lukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.

C. Keterampilan Proses Sains

Menurut Dimyati dan Moedjiono (2002), keterampilan proses sains dapat diarti-kan sebagai keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang terkait dengan kemampuan-kemampuan mendasar yang telah ada dalam diri siswa. Ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses sains, keterampilan-keteram-pilan tersebut terdiri dari keteramketerampilan-keteram-pilan-keteramketerampilan-keteram-pilan dasar (basic skills) dan keterampilan-keterampilan terintegrasi (integrated skills). Keterampilan-keteram-pilan dasar terdiri dari enam keteramKeterampilan-keteram-pilan, yakni: mengamati (mengobservasi), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan mengkomuni-kasikan.

1. Mengamati

Melalui kegiatan mengamati, kita belajar tentang dunia sekitar kita yang fan-tastis. Manusia mengamati objek-objek dan fenomena alam dengan panca-indra: penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa/pencecap. Informasi yang kita peroleh, dapat menuntut keingintahuan, mempertanyakan, memikirkan, melakukan interpretasi tentang lingkungan kita, dan meneliti lebih lanjut. Selain itu, kemampuan mengamati merupakan keterampilan paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu pengetahuan serta merupakan hal


(24)

terpenting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan proses yang lain. Mengamati memiliki dua sifat yang utama, yakni sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Mengamati bersifat kualitatif apabila dalam pelaksanaannya hanya menggunakan pancaindra untuk memperoleh informasi. Mengamati bersifat kuantitatif apabila dalam pelaksanaannya selain menggunakan pancaindra, juga menggunakan peralatan lain yang memberikan informasi khusus dan tepat. 2. Mengklasifikasikan

Mengklasifikasikan merupakan keterampilan proses untuk memilah berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya, sehingga di dapatkan golo-ngan/ kelompok sejenis dari objek peristiwa yang dimaksud. Contoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengklasifikasikan antara lain: mengklasifi-kasikan cat berdasarkan warna, mengklasifimengklasifi-kasikan binatang menjadi binatang beranak dan bertelur dan kegiatan lain yang sejenis.

3. Mengukur

Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Contoh-contoh kegiatan yang menampakkan keterampilan mengukur antara lain: mengukur panjang garis, mengukur berat badan, mengukur temperatur, dan kegiatan sejenis yang lain.

4. Memprediksi

Memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan per-kiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu pengetahuan.


(25)

5. Mengkomunikasikan

Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan dan memperoleh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk tulisan, gambar, gerak, tindakan, atau penampilan misalnya dengan berdiskusi, mendekla-masikan, mendramakan, mengungkapkan, melaporkan (dalam bentuk lisan, tulisan gerak, atau penampilan).

6. Menyimpulkan

Menyimpulkan dapat diartikan sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan fakta, konsep dan prinsip yang diketahui.

Menurut Esler & Esler dalam Cartono (2007) KPS dikelompokkan kedalam kete-rampilan proses dasar dan ketekete-rampilan proses terpadu yang disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Keterampilan Proses Sains

Keterampilan Proses Dasar Keterampilan Proses Terpadu Mengamati (observasi)

Mengelompokkan (klasifikasi) Melakukan pengukuran

Mengkomunikasikan

Menarik kesimpulan (inferring) Meramalkan (prediksi) Merumuskan hipotesis Menyatakan variabel Mengontrol variabel Mendefinisikan operasional Eksperimen Menginterpretasi data Penyelidikan Aplikasi konsep

KPS pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya. KPS dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa.


(26)

Dimyati dan Mudjiono (2002) memuat ulasan pendekatan keterampilan proses sains yang diambil dari pendapat Funk dalam Cartono (2007) sebagai berikut: (1) Pendekatan KPS dapat mengembangkan hakikat ilmu pengetahuan siswa. Siswa terdorong untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan baik karena lebih

memahami fakta dan konsep ilmu pengetahuan; (2) Pembelajaran melalui KPS akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan ilmu

pengetahuan, tidak hanya menceritakan, dan atau mendengarkan sejarah ilmu pengetahuan; (3) KPS dapat digunakan oleh siswa untuk belajar proses dan sekaligus produk ilmu pengetahuan. Pendekatan keterampilan proses sains dirancang dengan beberapa tahapan yang diharapkan akan meningkatkan penguasaan konsep. Tahapan-tahapan pendekatan pembelajaran KPS menurut Dimyati dan Mudjiono (2002):

Pendekatan keterampilan proses lebih cocok diterapkan pada pembelajaran sains. Pendekatan pembelajaran ini dirancang dengan tahapan: (1) Penam-pilan fenomena. (2) Apersepsi, (3) Menghubungkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. (4) Demonstrasi atau eksperimen, (5) Siswa mengisi lembar kerja. (6) Guru memberikan penguatan materi dan penanaman konsep dengan tetap mengacu kepada teori permasalahan. Dari uraian di atas dapat diutarakan bahwa dengan penerapan pendekatan KPS menuntut adanya keterlibatan fisik dan mental-intelektual siswa. Hal ini dapat digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan intelektual atau kemapuan berfikir siswa. Selain itu juga mengembangkan sikap-sikap ilmiah dan kemampuan siswa untuk menemukan dan mengembangkan fakta, konsep, dan prinsip ilmu atau pengetahuan. Selanjutnya dapat digunakan untuk menyelsaikan masalah-masalah. Cartono (2007) menyusun indikator-indikator KPS dasar dan KPS terpadu yang uraiannya disajikan seperti pada Tabel 2.


(27)

Tabel 2. Indikator keterampilan proses sains dasar

Keterampilan Dasar Indikator

Observasi (observing) Mampu menggunakan semua indera (penglihatan, pembau, pendengaran, pengecap, dan peraba) untuk mengamati, mengidentifikasi, dan menamai sifat benda dan kejadian secara teliti dari hasil penga-matan.

Klasifikasi (Classifying) Mampu menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentukan dasar penggolongan terhadap suatu obyek.

Pengukuran (measuring) Mampu memilih dan menggunakan peralatan untuk menentukan secara kuantitatif dan kualitatif ukuran suatu benda secara benar yang sesuai untuk panjang, luas, volume, waktu, berat dan lain-lain. Dan

mampu mendemontrasikan perubahan suatu satuan pengukuran ke satuan pengukuran lain.

Pengomunikasian (communicating)

Mampu membaca dan mengkompilasi informasi dalam grafik atau diagram, menggambar data empiris dengan grafik, tabel atau diagram, men-jelaskan hasil percobaan, menyusun dan menyam-paikan laporan secara sistematis dan jelas.

Menarik Kesimpulan (inferring)

Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda atau fenomena setelah mengumpulkan, menginterpretasi data dan informasi.

D. Hasil Penelitian Yang Relavan

Magfiroh, Mahanah, dan Zubaidah (2010) melakukan penelitian di MTS Surya Buana dengan menggunakan Model Pembelajaran Problem Solving Dipadu Model Think Pair Share (TPS). Metode yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari 2 siklus. Dari hasil, model Problem solving dipadu TPS dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan hasil belajar siswa.

Basori (2010) melakukan penelitian di SMP N 12 Bandung dengan menggunakan Model Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving pada Pembelajaran


(28)

Konsep Cahaya Untruk Mengembangkan KPS ). Metode yang digunakan adalah kuasi ekperimen dengan desain penelitian the randomized pretest postest control group design. Dari hasil, model tersebut dapat meningkatkan KPS siswa. Saputra (2012) melakukan penelitian Di SMAN 9 Bandar Lampung dengan menggu-nakan Model Pembelajaran Problem Solving pada materi pokok kesertimbangan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis siswa. Metode Penelitian yang digunaakan adalah Kuasi Eksperimen dengan desain penelitian Non Eqivalence Control Group Design. Dari hasil, model Problem Solving dapat meningkatkan keterampilan berfikir siswa pada materi kesetimbangan kimia.

E. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran problem solving merupakan pembelajaran yang memberikan kesem-patan kepada siswa untuk lebih aktif. Kegiatan pembelajaran dengan menggu-nakan model problem solving melalui beberapa tahapan kegiatan, yakni pada tahap pertama adanya masalah yang jelas. Dari uraian permasalahan yang diberikan guru meminta siswa untuk merumuskan permasalahan yang ada. Pada tahap ini terlebih dahulu siswa akan mencermati uraian permasalahan yang diberikan guru, dan setelah itu siswa merumuskan masalah.

Pada tahap kedua siswa diminta untuk mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Ditahap ini siswa dituntut aktif dalam mencari informasi sebanyak-banyaknya baik dari membaca buku, berdiskusi dengan teman ataupun browsing internet tentang masalah yang sedang dihadapi.


(29)

Pada tahap ketiga yakni menetapkan jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan, siswa dilatih untuk dapat mengemukakan hipotesis. Setelah men-dapatkan data atau informasi, siswa menghubungkan hasil temuannya dengan permasalahan yang ada sehingga memperoleh jawaban sementara atas perma-salahan tersebut. Tahap selanjutnya adalah siswa menguji kebenaran dari jawaban sementara. Pada tahap ini siswa melakukan pratikum atau pun mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh hasil pratikum siswa mengkomunikasikan data tersebut dalam bentuk tabel lalu siswa mengelompokkan larutan penyangga dan bukan penyangga, mengelompokan larutan penyangga asam dan basa, mengelom-pokkan larutan garam menghidrolisis dan bukan garam menghidrolisis, serta mengelompokkan larutan yang mengalami hidrolisis parsial dan total. Pada tahap inilah

keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan dilatihkan kepada siswa. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan, ketika siswa telah mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan, siswa dapat mengkomunikasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana dari data yang didapat untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan siswa.

F. Anggapan Dasar

Beberapa hal yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(30)

1. Siswa kelas XI IPA SMAN 14 Bandar Lampung Tahun 2011-2012 yang menjadi subjek penelitian mempunyai kemampuan dasar yang sama.

2. Perbedaan N-gain keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan siswa terjadi karena perbedaan perlakuan selama proses belajar.

3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengkomu-nikasikan dan mengelompokkan pada materi larutan penyangga dan hidro-lisis siswa kelas XI IPA semester genap SMA Negeri 14 Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012 diabaikan.

G. Hipotesis Umum

Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum dengan perumusan sebagai berikut:

Model problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomuni-kasikan dan mengelompokkan pada materi pokok Larutan Penyangga dan Hidrolisis.


(31)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam pene-litian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis. 2. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelompokkan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis.

3. Pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga dan hidrolisis dapat meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan terutama pada tahapan menguji kebenaran jawaban sementara, siswa dilatihkan mengkomunikasikan data dari bentuk narasi kebentuk tabel, dan mengelom-pokkan larutan berdasarkaskan kesamaan sifat.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan penyangga dan hidrolisis karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1997. Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara. Jakarta.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA. BSNP. Jakarta.

Cartono. 2007. Seminar Proseeding of The International Seminar of Science Education, 27 Oktober 2007. Universitas Sriwijaya. Bandung.

Creswell, J. W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publications. London.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori belajar. Erlangga. Jakarta.

Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Djamarah dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Firman, H. (2007). Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA

Nasional. Puspendik.

Hidayati, M. 2006. Model Problem Solving Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kalor dan Perpindahannya Pada Siswa MTsN 1 Tanjung Karang.

(Skripsi). Tidak diterbitkan.

Magfiroh, Mahanah, dan Zubaidah. 2010. Prosiding LS IV Peran Lesson study Dalam Mengembangkan Keprofesionalan Pendidik dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran Secara Berkelanjutan ( Continuing Professional Development). FMIPA Universitas Negeri Malang. Malang.

Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara. Jakarta.

Panen, Paulina, D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.


(33)

Rohman, Ijang, dkk. 2011. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Volume 5 No.3. Pascasarjana UPI. Bandung.

Saputra, A. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Keterampilan

Berfikir Kritis Siswa. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung. Sukarno, dkk. 1981. Dasar-dasar Pendidikan Sains. Graha Ilmu. Yogyakarta. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Tan, QS. 2003. Problem-Based Learning Innovation. Singapore. Thomson

Learning

Tim Penyusun. 2011. Format Penulisan Karya Ilmia Universitas Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(1)

Konsep Cahaya Untruk Mengembangkan KPS ). Metode yang digunakan adalah kuasi ekperimen dengan desain penelitian the randomized pretest postest control group design. Dari hasil, model tersebut dapat meningkatkan KPS siswa. Saputra (2012) melakukan penelitian Di SMAN 9 Bandar Lampung dengan menggu-nakan Model Pembelajaran Problem Solving pada materi pokok kesertimbangan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis siswa. Metode Penelitian yang digunaakan adalah Kuasi Eksperimen dengan desain penelitian Non Eqivalence Control Group Design. Dari hasil, model Problem Solving dapat meningkatkan keterampilan berfikir siswa pada materi kesetimbangan kimia.

E. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran problem solving merupakan pembelajaran yang memberikan kesem-patan kepada siswa untuk lebih aktif. Kegiatan pembelajaran dengan menggu-nakan model problem solving melalui beberapa tahapan kegiatan, yakni pada tahap pertama adanya masalah yang jelas. Dari uraian permasalahan yang diberikan guru meminta siswa untuk merumuskan permasalahan yang ada. Pada tahap ini terlebih dahulu siswa akan mencermati uraian permasalahan yang diberikan guru, dan setelah itu siswa merumuskan masalah.

Pada tahap kedua siswa diminta untuk mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Ditahap ini siswa dituntut aktif dalam mencari informasi sebanyak-banyaknya baik dari membaca buku, berdiskusi dengan teman ataupun browsing internet tentang masalah yang sedang dihadapi.


(2)

Pada tahap ketiga yakni menetapkan jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan, siswa dilatih untuk dapat mengemukakan hipotesis. Setelah men-dapatkan data atau informasi, siswa menghubungkan hasil temuannya dengan permasalahan yang ada sehingga memperoleh jawaban sementara atas perma-salahan tersebut. Tahap selanjutnya adalah siswa menguji kebenaran dari jawaban sementara. Pada tahap ini siswa melakukan pratikum atau pun mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh hasil pratikum siswa mengkomunikasikan data tersebut dalam bentuk tabel lalu siswa mengelompokkan larutan penyangga dan bukan penyangga, mengelompokan larutan penyangga asam dan basa, mengelom-pokkan larutan garam menghidrolisis dan bukan garam menghidrolisis, serta mengelompokkan larutan yang mengalami hidrolisis parsial dan total. Pada tahap inilah

keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan dilatihkan kepada siswa. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan, ketika siswa telah mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan, siswa dapat mengkomunikasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana dari data yang didapat untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan siswa.

F. Anggapan Dasar

Beberapa hal yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(3)

1. Siswa kelas XI IPA SMAN 14 Bandar Lampung Tahun 2011-2012 yang menjadi subjek penelitian mempunyai kemampuan dasar yang sama.

2. Perbedaan N-gain keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan siswa terjadi karena perbedaan perlakuan selama proses belajar.

3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan keterampilan mengkomu-nikasikan dan mengelompokkan pada materi larutan penyangga dan hidro-lisis siswa kelas XI IPA semester genap SMA Negeri 14 Bandar Lampung tahun pelajaran 2011/2012 diabaikan.

G. Hipotesis Umum

Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum dengan perumusan sebagai berikut:

Model problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomuni-kasikan dan mengelompokkan pada materi pokok Larutan Penyangga dan Hidrolisis.


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam pene-litian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis. 2. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelompokkan pada materi larutan penyangga dan hidrolisis.

3. Pembelajaran problem solving pada materi larutan penyangga dan hidrolisis dapat meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan terutama pada tahapan menguji kebenaran jawaban sementara, siswa dilatihkan mengkomunikasikan data dari bentuk narasi kebentuk tabel, dan mengelom-pokkan larutan berdasarkaskan kesamaan sifat.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:

Pembelajaran problem solving hendaknya diterapkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan penyangga dan hidrolisis karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan mengelompokkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1997. Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara. Jakarta.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA. BSNP. Jakarta.

Cartono. 2007. Seminar Proseeding of The International Seminar of Science Education, 27 Oktober 2007. Universitas Sriwijaya. Bandung.

Creswell, J. W. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. Sage Publications. London.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori belajar. Erlangga. Jakarta.

Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Depdiknas. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Djamarah dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. Firman, H. (2007). Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA

Nasional. Puspendik.

Hidayati, M. 2006. Model Problem Solving Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kalor dan Perpindahannya Pada Siswa MTsN 1 Tanjung Karang.

(Skripsi). Tidak diterbitkan.

Magfiroh, Mahanah, dan Zubaidah. 2010. Prosiding LS IV Peran Lesson study Dalam Mengembangkan Keprofesionalan Pendidik dan Peningkatan Kualitas Pembelajaran Secara Berkelanjutan ( Continuing Professional Development). FMIPA Universitas Negeri Malang. Malang.

Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Bumi Aksara. Jakarta.

Panen, Paulina, D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.


(6)

Rohman, Ijang, dkk. 2011. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA Volume 5 No.3. Pascasarjana UPI. Bandung.

Saputra, A. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Keterampilan

Berfikir Kritis Siswa. Skripsi. Tidak diterbitkan.

Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung. Sukarno, dkk. 1981. Dasar-dasar Pendidikan Sains. Graha Ilmu. Yogyakarta. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Tan, QS. 2003. Problem-Based Learning Innovation. Singapore. Thomson

Learning

Tim Penyusun. 2011. Format Penulisan Karya Ilmia Universitas Lampung. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN INFERENSI DAN MENGKOMUNIKASIKAN

3 29 52

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN PENGUASAAN KONSEP PADA MATERI LARUTAN NONELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT SERTA REDOKS

0 3 56

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI ASAM-BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

1 24 261

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN PENGUASAAN KONSEP PADA MATERI KOLOID

0 10 74

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN OBSERVASI DAN INTERPRETASI

0 5 31

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI REAKSI REDOKS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN MENYIMPULKAN

0 21 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

1 22 43

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN

0 6 42

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

1 17 48

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI ASAM BASA

0 6 46