ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA TIDAK LANGSUNG 10 KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2009-2013

(1)

ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA TIDAK LANGSUNG

KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2009-2013

Oleh

ELY ULFA SARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung

kabupaten/kota di Provinsi lampung tahun 2009-2013. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan dana Alokasi Khusus, serta variabel bebas lainnya berupa Pendapatan Asli Daerah. Penelitian ini menggunakan data panel (data time series selama 5 tahun yaitu tahun 2009-2013 dan data cross-section sebanyak 50 yaitu 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung) dan metode alat analisis yang digunakan adalah analaisis regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa komponen variabel Dana Perimbangan Kabupaten/Kota tahun berjalan masing-masing memiliki koefisien sebagai berikut: Dana Bagi Hasil memiliki koefisien regresi sebesar (0.769759). Dana Alokasi Umum memiliki koefisien regresi sebesar (0.767464). Dana Alokasi Khusus memiliki koefisien regresi sebesar (0.618092). Dari ketiga komponen Dana Perimbangan tersebut, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung tahun berjalan. Sedangkan Dana Alokai Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung. Variabel Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/kota tahun berjalan memiliki koefisien regresi sebesar (0.387330) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung tahun berjalan.

Kata kunci: Alokasi Belanja Tidak Langsung, Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota Provinsi Lampung


(2)

ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA TIDAK LANGSUNG

10 KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2009-2013

Skripsi

Oleh

ELY ULFA SARI

Sebagai

Salah Satu Syarat Untuk mencapai gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ely Ulfa Sari lahir pada tanggal 29 Agustus 1991 di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat. Penulis lahir sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Hawari dan Ibu Wahyuni.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Pertiwi Kotagajah pada tahun 1996 dan tamat pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Purworejo yang diselesaikan pada tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 02 Kotagajah, Lampung Tengah dan tamat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis meneruskan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kotagajah, Lampung Tengah dan tamat pada tahun 2009.

Pada tahun 2009 penulis diterima di perguruan tinggi Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi yang sekarang berganti nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Penulis menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung pada tahun 2015.


(7)

MOTO

“Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah memberikan jalan keluar kepadanya dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertaqwa pada Allah, maka Allah jadikan urusannya menjadi

mudah. Barangsiapa yang bertaqwa pada Allah akan dihapuskan dosa-dosanya

dan mendapatkan pahala yang agung”

(QS. Ath-Thalaq: 2, 3, 4)

“Maju adalah jalan terbaik dan Berkarya adalah hal terindah.” (Ely Ulfa Sari)


(8)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

Kedua orang tuaku, yang selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya, dukungan

do’a, moril, dan materi yang tak terbatas serta didikannya agar aku menjadi pribadi yang mandiri dan disiplin.

Almamater tercinta jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.


(9)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Hi. Satria Bangsawan, S.E., M.Si selaku Dekan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.Si., sebagai Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung yang juga sebagai Dosen Pembimbing. Terimakasih banyak atas bimbingan, nasihat, ilmu dan juga dukungannya kepadaku selama menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E. sebagai Sekertaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung yang juga


(10)

4. Bapak dan ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama menuntut ilmu di Universitas Lampung.

5. Bu Mar, Bu Yati, Bu Hudaiyah, Pak Ikhman, Pak Feri, Pakde Heriyanto, Mas Makruf, Mas Kus serta pegawai jurusan lainnya yang telah banyak membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua Orang Tuaku Terkasih, Ayahku Bapak Hawari dan juga Ibuku Ibu Wahyuni. Terimakasih atas cinta, kasih sayang, didikan, doa, dukungan, pengorbanan dan nasihatnya

7. Keluargaku di Kotagajah Bude Amanah, Bang Ali, Om Bani, Minan Mut juga dua sepupuku Dini dan Mega. Terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan dan canda tawa bersama.

8. Terimakasih kepada keluargaku di Garuntang. Bapak Roflin Zakaria, M.Pd. dan Ibu Lelawati, S.Pd. Terimakasih atas kasih sayang, doa, dukungan, ilmu, nasihat dan kepercayaannya. Kepada ayunda dan abang tersayang. Ngah Leli Noviana, A.Md.Kep., Nurse dan Abang Bripka Afriadi. Terimakasih telah menghadirkan dua malaikat kecil yang manis dan lucu: Keyla Sifta Aflizia dan Karisa Alana Aflizia.

9. Kepada adik-adik sepupuku: Oka, Selvi, Eka, Lida, Adel, Nanda, Edo, Ari, Aak Algi, Pasha, Fais, Adit dan Nakan Serli: rajinlah belajar.

10.Sahabat terbaik SMA Odi, Marlin, Desi, Siska, Dian, Arum dan Orin. Terimakasih atas canda tawa dan diskusi bermanfaatnya.


(11)

contact ya, princess-princess. Kalian istimewa!

12.Terimakasih kepada teman-teman EP Konsentrasi Ekonomi Publik dan Fiskal: Mira, Ucil, Ridho, Yuri, Bang Bangun, Ezar, Renita, Lena, Ari Teguh, Tante Ayu, Nela, Nora, Bukit, Taufiq, Desty, Eva, Novia, Poppy. Terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.

13.Kepada teman-teman bimbingan Citra Afnofinsa, Andhyka Rizki, Irfansyah, Putri Ayuningtyas, Lina Maulina, Nurmala, perjuangan belum berakhir, teman. Tetap semangat, anak-anak bapak!

14.Sahabat seperjuangan di KAMMI Komisariat Unila Martini, Wiwin, Nurhalimah, Mbak Serli, Mbak Septi, Mbak Zahra, Kak Dhani, Kak Rusli, Kak Nofra, Kak Arjun, Ari, Putra, Yose, Ageng, Deni, Sani dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu per satu. Terimakasih atas ilmu dan kebersamaannya.

15.Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di DPM UKBM Unila Periode 2012/2013 Andhika, Kak Nofra Aak Roni, Ahun, Yudho, Kak Duo Gamal Rizka dan Rizki, Kak Dwi, Rulio, Kak Budi, Kak Gigih, Kopral Riko, Nurul, Vita, Ipeh, Anna, Tika, Chusna, Mbak Wirna, Martini, Nurhalimah. Sampai jumpa di puncak kesuksesan, sobat!

16.Kepada teman-teman pimpinan BEM U KBM Unila Kabinet Cinta dan Kebanggaan Periode 2013/2014. Nanda, Bowo, Melita, Wiwi, Lia, Ade, Melly, Ridwan, Tari, Ervan, Nida, Handoko, Dwi Taria, Julian, Nivo, Rudi,


(12)

17.Terimakasih kepada Sospol Genks BEM U KBM Unila Kabinet Cinta dan Kebanggaan. Kepada partner kerjaku Andi Kusnadi maaf atas semuanya dan juga terimakasih atas segalanya. Kepada Adik-adikku yang manis: Eko, Johan, Imah, Agung, Oci, Yona dan Yuyun: Maju adalah jalan terbaik dan Berkarya adalah hal terindah. Tetaplah berproses!

18.Kepada adik-adikku: Ratih, Erika, Havez, Doan, Desi sayang, Desti, Jajang, Erma, Annisa, Isah, Hilya, Marel, Deni, Ari, Anggi, Dina, Khoirudin, Rahmat, Triban, Agung, Imbron, Lina, Rizka, Evi, Ria, Rizki, Mona, Yunita, Ajeng, Nurul dan Uci: bersama kalianlah optimisme bangsa ini tumbuh.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bandar Lampung, Februari 2015 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Kerangka Pemikiran ... 17

F. Hipotesis ... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21

A. Anggaran Daerah ... 21

B. Pendapatan Asli Daerah ... 25

C. Dana Perimbangan ... 33

D Dana Bagi Hasil ... 35

E. Dana Alokasi Umum ... 40

F. Dana Alokasi Khusus ... 43

G Belanja Daerah ... 46

H. Belanja Langsung ... 51

I. Belanja Tidak Langsung ... 52

J. Penelitian Terdahulu ... 55

III. METODE PENELITIAN ... 58

A. Jenis dan Sumber Data ... 58

B. Analisis Data ... 61

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 71

1. Geografi ... 71

2. Topografi ... 74

3. Administrasi ... 74

B. Analisis Data ... 75

1. Dana Perimbangan ... 75

a. Dana Bagi Hasil ... 75

b. Dana Alokasi Umum ... 76

c. Dana Alokasi Khusus ... 78


(14)

3. Alokasi Belanja Tidak Langsung ... 81

C. Hasil Estimasi Data Panel ... 83

1. Hasil Pemilihan Teknik Estimasi Regresi Data Panel Alokasi Belanja Tidak langsung ... 83

2. Estimasi Hasil Regresi Data Panel dengan Pendekatan Random Effect... 84

3. Uji Hipotesis ... 88

1. Uji Parsial (t statistik) ... 88

a. Variabel Dana Bagi Hasil ... 88

b. Variabel Dana Alokasi Umum ... 89

c. Variabel Dana Alokasi Khusus ... 89

d. Variabel Pendapatan Asli Daerah ... 90

2. Uji F ... 90

D. Pembahasan Hasil Estimasi ... 91

1. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung ... 91

a. Dana Bagi Hasil ... 91

b. Dana Alokasi Umum ... 92

c. Dana Alokasi Khusus ... 93

2. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung ... 94

3. Analisis Intersept Hasil Estimasi ... 95

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Simpulan ... 99

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(15)

Tabel Halaman 1. Jumlah Dana Perimbangan (dalam juta rupiah) dan

Rata-rata Pertumbuhan dana Perimbangan (dalam persen)

Kabupaten/kota Di Provinsi lampung Tahun 2009-2013 ... 3 2. Jumlah Pendapatan Asli Daerah (dalam juta rupiah) dan

Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (dalam persen) Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013... 5 3. Kontribusi dan Rata-rata Dana Perimbangan terhadap

Total Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen) ... 6 4. Kontribusi dan Rata-rata Pendapatan Asli Daerah terhadap Total

Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung

Tahun 2009-2013 (dalam Persen) ... 7 5. Kontribusi dan Rata-rata Dana Perimbangan terhadap Total

Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung

Tahun 2009-2013 (dalam persen) ... 9 6. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja

Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun

2009-2013 (dalamPersen) ... 11 7. Rasio dan Rata-rata Belanja Tidak Langsung terhadap Total

Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung

Tahun 2009-2013 ... 13 8. Presentase Pembagian Dana Bagi Hasil ... 41 9. Luas Ibukota Kabupaten Di Provinsi Lampung ... 75 10.Jumlah Dana Bagi Hasil (dalam juta rupiah) dan Rata-rata

Pertumbuhan Dana Bagi Hasil (dalam persen)


(16)

11.Jumlah Dana Alokasi Umum (dalam juta rupiah) dan

Rata-rata Pertumbuhan Dana Alokasi Umum (dalam persen)

Kabupaten/kota Di Provinsi lampung Tahun 2009-2013 ... 78

12.Jumlah Dana Alokasi Khusus (dalam juta rupiah) dan Rata-rata Pertumbuhan Dana AlokasiKhusus (dalam persen) Kabupaten/kota Di Provinsi lampung Tahun 2009-2013 ... 80

13.Jumlah Belanja Tidak Langsung (dalam juta rupiah) dan Rata-rata Pertumbuhan Belanja Tidak Langsung (dalam persen) Kabupaten/kota Di Provinsi lampung Tahun 2009-2013 ... 83

14.Hasil Uji Hausman ... 85

15.Rangkuman Hasil Regresi ... 86

16.Hasil Uji Parsial (t-statistik) ... 89

17.Hasil Uji F Data Panel ... 91


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal


(18)

Lampiran

1a. Jumlah APBD (dalam juta rupiah) 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013

1b. Rasio Penerimaan daerah terhadap Total Penerimaan Daerah (dalam persen) dan Rasio Belanja terhadap Total Belanja (dalam persen) 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013

1c. Pertumbuhan Dana Bagi Hasil 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

1d. Pertumbuhan Dana Alokasi Umum 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

1e. Pertumbuhan Dana Alokasi Khusus 10 Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

2. Data Estimasi Panel 3. Hasil Uji Hausman


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami Indonesia pasca era pemerintahan Orde Baru telah membuka jalan bagi reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa. Di samping itu, reformasi juga memunculkan sifat keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan (Siddik, 2002).

Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Otonomi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Hal tersebut kemudian dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Misi utama kedua undang-undang

tersebut adalah desentralisasi. Desentralisasi ini tidak hanya berarti

pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintah ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi. Desentralisasi diharapkan akan mendorong peningkatan


(20)

partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kemudian memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi paling lengkap. Salah satu konsekuensi dari lahirnya

desentralisasi kemudian tertuang dalam UU No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Inti dari undang-undang ini adalah desentralisasi fiskal.

Sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan dan pengeluaran daerah yang dimilikinya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sumber-sumber penerimaan keuangan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah serta Lain-lain Pendapatan yang sah. Sumber penerimaan daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi saat ini masih didominasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana

Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Pemerintah daerah diharapkan memiliki

kemandirian yang lebih besar dengan meningkatkan penerimaan daerahnya. Aspek utama manajemen penerimaan daerah yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah manajemen pendapatan asli daerah dan manajemen dana perimbangan agar jumlah dana perimbangan dapat


(21)

ditekan dengan menggali seluruh potensi pendapatan asli daerah

(Mardiasmo, 2002). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah dana perimbangan yang diperoleh kabupaten/kota di Provinsi Lampung justru terus meningkat, rata-rata meningkat 7%. Berikut disajikan data

perkembangan jumlah Dana Perimbangan yang diperoleh 10 kabupaten/kota di Provisi Lampung tahun 2009-2013:

Tabel 1. Jumlah Dana Perimbangan (dalam juta rupiah) dan Rata- rata Pertumbuhan Dana Perimbangan (dalam persen) Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 No Nama Daerah

Jumlah Dana Perimbangan Rata-Rata Pertumbu

han 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 432,921 421,384 503,517 594,663 694,020 11% 2 Kab. Lampung Selatan 596,677 642,321 690,616 841,214 888,534 9% 3 Kab. Lampung Tengah 852,154 850,075 955,389 1,144,251 1,247,258 9% 4 Kab. Lampung Utara 592,465 600,617 672,736 790,380 899,609 10% 5 Kab. Lampung Timur 710,492 736,432 806,197 973,372 1,076,369 10% 6 Kab. Tanggamus 669,936 445,261 561,462 670,459 715,670 -2% 7 Kab. Tulang Bawang 586,301 333,705 520,205 529,805 585,599 -7% 8 Kab. Way Kanan 430,700 467,900 482,849 576,940 643,879 9% 9 Kota Bandar Lampung 674,336 649,912 726,511 852,029 995,047 9% 10 Kota Metro 300,676 277,861 357,003 396,716 451,840 9%

Rata-rata Seluruh Daerah 7%

Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data diolah)

Dari Tabel 1 di atas, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan terbesar diperoleh Kabupaten Lampung Barat, yakni sebesar 11%. Sedangan rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan terendah diperoleh Kabupaten Tulang Bawang yakni -7% kemudian disusul oleh Kabupaten Tanggamus degan persentase pertumbuhan Dana Perimbangan sebesar -2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemekaran daerah yang terjadi pada kedua kabupaten tersebut membawa dampak bagi perubahan alokasi APBD dan


(22)

juga jumlah penduduk kabupaten tersebut sehingga transfer pemerintah terus menurun. Namun secara keseluruhan, penerimaan atas Dana Perimbangan ini cenderung meningkat.

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Implikasi dari besarnya nilai transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk Dana Perimbangan seharusnya menjadi insentif untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan fungsinya, PAD seharusnya merupakan aspek penting dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi. Kenyataan yang terjadi adalah dana transfer justru dijadikan sebagai sumber penerimaan utama daerah dibandingkan dengan PAD. Kondisi ini ditunjukkan dengan besarnya Dana Perimbangan yang diterima pemerintah daerah yang tidak sebanding dengan nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mampu dikumpulkan oleh daerah. Pendapatan Asli Daerah di 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung selama lima tahun terakhir masih sangat rendah. Berikut disajikan data perkembangan Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.


(23)

Tabel 2. Pendapatan Asli Daerah (dalam juta rupiah) dan Rata-rata Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (dalam persen) Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung 2009-2013

No Nama Daerah

Jumlah Pendapatan Asli Daerah Rata-rata Pertumb

uhan 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 11,580 13,007 15,243 14,329 28,526 19% 2 Kab. Lampung Selatan 87,650 36,253 58,619 58,998 74,062 -2% 3 Kab. Lampung Tengah 23,400 32,501 37,682 43,802 65,374 19% 4 Kab. Lampung Utara 17,375 14,747 12,065 13,523 17,613 1% 5 Kab. Lampung Timur 18,572 20,000 20,000 25,160 40,261 11% 6 Kab. Tanggamus 15,587 10,080 13,028 14,409 20,000 3% 7 Kab. Tulang Bawang 12,804 6,306 22,442 25,203 27,512 0% 8 Kab. Way Kanan 10,423 15,600 17,206 13,592 15,909 11% 9 Kota Bandar Lampung 69,909 75,032 118,044 230,920 374,096 30% 10 Kota Metro 18,580 25,179 28,622 32,760 52,248 17% Rata-rata Seluruh Daerah 11% Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data

diolah)

Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa pertumbuhan PAD antar kabupaten/kota cukup timpang. Dua daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD sangat tinggi, yakni Kota Bandar Lampung dan

Kabupaten Lampung Tengah masing-masing memiliki persentase rata-rata pertumbuhan sebesar 30% dan 19%. Sedangkan untuk Kabupaten

Lampung Selatan memiliki rata-rata pertumbuhan PAD yang paling rendah, yakni -2%. Artinya dari tahun ke tahun, PAD Kabupaten Lampung Selatan terus menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah Lampung Selatan belum secara optimal menggali sumber Pendapatan Asli Daerah.

Besarnya jumlah Dana Perimbangan berimplikasi pada Total Penerimaan Daerah yang hingga tahun 2013 terus meningkat. Menurut Mardiasmo (2002) secara rata-rata nasional, PAD hanya memberi kontribusi 12-15%


(24)

dari total penerimaan daerah, sedangkan 70% lainnya masih

menggantungkan sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat. Hal ini pun terjadi pada kabupaten/kota di Provinsi Lampung dimana kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Penerimaan masih sangat tinggi, yakni sebesar 81.14%.

Berikut disajikan data perkembangan kontribusi Dana Perimbangan terhadap penerimaan daerah 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung selama selama tahun 2009-2013:

Tabel 3 Kontribusi dan Rata-rata Dana Perimbangan terhadap Total Penerimaan Daerah Kbupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

No Nama Daerah Kontribusi Dana Perimbangan Rata-Rata 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 93.72 85.64 77.67 83.73 82.14 84.58 2 Kab. Lampung Selatan 72.5 81.7 73.2 81.9 78.45 77.55 3 Kab. Lampung Tengah 90.19 89.76 79.16 84.8 80.24 84.83 4 Kab. Lampung Utara 90.1 86.16 79 87.94 84.61 85.56 5 Kab. Lampung Timur 94.15 94.57 86.74 86.36 83.02 88.97 6 Kab. Tanggamus 89.76 86.19 76.43 80.74 82.06 83.03 7 Kab. Tulang Bawang 85.66 75.58 81.33 82.93 82.55 81.61 8 Kab. Way Kanan 75.13 70.73 75.68 81.63 82.18 77.07 9 Kota Bandar Lampung 83.29 75.89 69.57 62.92 60.61 70.46 10 Kota Metro 76.51 78.12 80.23 77.82 75.78 77.69 Rata-rata Seluruh Daerah 81.14 Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data

diolah)

Dari Tabel 3 di atas, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Penerimaan yang paling tinggi adalah di Kabupaten Lampung Timur, yakni sebesar 88.97%. Kontribusi Dana Perimbangan yang paling rendah diperoleh Kota Bandar Lampung, sebesar 70.46%.


(25)

Secara empiris, besarnya Pendapatan Asli Daerah juga berimplikasi pada Total Penerimaan Daerah sebab dalam era desentralisasi fiskal, PAD diharapkan mampu menjadi komponen utama Penerimaan daerah. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung masih sangat rendah, yakni hanya 4.44% dari Total Penerimaan Daerah. Hal ini bertentangan dengan misi desentralisasi fiskal itu sendiri yang menitikberatkan pada optimalisasi nilai Pendapatan Asli Daerah. Berikut disajikan data perkembangan kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013:

Tabel 4 Kontribusi dan Rata-rata Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupatan/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

No Nama Daerah Kontribusi Pendapatan Asli daerah Rata-Rata 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 2.5 2.64 2.35 2.01 3.37 2.57 2 Kab. Lampung Selatan 10.65 4.61 6.21 5.74 6.53 6.75 3 Kab. Lampung Tengah 2.47 3.43 3.12 3.24 4.2 3.29 4 Kab. Lampung Utara 2.64 2.11 1.41 1.5 1.65 1.86 5 Kab. Lampung Timur 2.46 2.56 2.15 2.23 3.1 2.5 6 Kab. Tanggamus 2.08 1.95 1.77 1.73 2.29 1.96 7 Kab. Tulang Bawang 1.87 1.42 3.5 3.94 3.87 2.92 8 Kab. Way Kanan 1.81 2.35 2.69 1.92 2.03 2.16 9 Kota Bandar Lampung 8.63 8.76 11.3 17.05 22.78 13.7 10 Kota Metro 4.72 7.07 6.43 6.42 8.76 6.68 Rata-rata Seluruh Daerah 4.44

Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data diolah)

Dari Tabel 4 d iatas, terlihat bahwa rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah yang paling tinggi dicapai oleh Kota Bandar Lampung yakni sebesar 13.7%. Hal ini sejalan dengan diberlakukannya beberapa peraturan


(26)

daerah tentang optimalisasi beberapa basis pajak dan retribusi daerahnya. Kemudian rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah yang terendah dicapai oleh Kabupaten Lampung Utara yakni 1.86%.

Meski upaya perluasan basis pajak dan peningkatan tarif pajak telah dilakukan, kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah adalah kecilnya pendapatan yang

bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak, juga menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik langsung maupun tidak langsung, dibiayai dari dana perimbangan. Menurut Boediono (2002) menyebutkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih ditekankan pada aspek pengeluaran atau belanja dengan memperbesar porsi di daerah. Hal ini memiliki berbagai alasan yang secara akademis dapat

dipertanggungjawabkan, yaitu kondisi antar daerah yang sangat heterogen, antara lain dapat dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk, kondisi geografis, kondisi dan potensi perekonomian daerah. Pada dasarnya belanja pemerintah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya penerimaan daerah akan menjadi kurang bermakna apabila dalam pola belanjanya masih terjadi pemborosan-pemborosan dan tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, belanja daerah memiliki peranan yang cukup krusial sebagai stimulus pembangunan ekonomi. Untuk mendapatkan efek positif yang optimal bagi perekonomian, maka


(27)

diperlukan suatu sistem perencanaan belanja pemerintah yang baik dan tepat sasaran (Siddik, 2002).

Namun faktanya, Dana Perimbangan merupakan sumber penerimaan utama daerah yang digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintah daerah (Mardiasmo, 2002). Hal tersebut juga terjadi pada kabupaten/kota di Provinsi Lampung, peningkatan penerimaan Dana Perimbangan yang terus terjadi juga berpengaruh pada pola Alokasi Belanja Daerah. Berikut ini disajikan data kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Blanja Daerah di 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung dalam kurun waktu 2009-2013.

Tabel 5 Kontribusi dan Rata-rata Dana Perimbangan terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

No Nama Daerah Kontribusi Dana Perimbangan

rata-rata Pertumbuhan 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 79.79 76.19 74.42 80.77 78.89 78.01 2 Kab. Lampung Selatan 77.24 83.22 73.65 79.31 78.47 78.38 3 Kab. Lampung Tengah 90.30 91.13 75.55 82.83 78.21 83.60 4 Kab. Lampung Utara 89.97 87.18 78.57 85.68 82.66 84.81 5 Kab. Lampung Timur 81.99 76.51 77.98 77.46 76.65 78.12 6 Kab. Tanggamus 93.60 84.05 77.05 77.42 77.45 81.91 7 Kab. Tulang Bawang 86.17 72.36 81.11 79.38 82.10 80.22 8 Kab. Way Kanan 67.33 70.26 82.05 83.11 80.65 76.68 9 Kota Bandar Lampung 80.60 75.21 68.62 57.25 56.96 67.73 10 Kota Metro 74.89 74.54 76.81 74.07 71.66 74.39

Rata-rata Seluruh Daerah 78.39 Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data

diolah)

Dari Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kontribusi Dana Perimbangan terhadap Total Belanja masih sangat besar, rata-rata 78.39%. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah pada kabuaten/kota di Provinsi Lampung


(28)

dilihat dari sisi kuantitatif masih menimbulkan permasalahan, yaitu relatif tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap transfer dana perimbangan.

Pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk

mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Menurut Koswara (2000) dalam Masdjojo dan Sukartono (2009), daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Ketergantungaan kepada pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Namun faktanya, keterbatasan otoritas pajak daerah menyebabkan kontribusi PAD terhadap Total Belanja Daerah masih sangat rendah. Rendahnya kontribusi PAD terhadap Total Belanja Daerah juga telah diidentifikasi oleh beberapa peneliti, antara lain: Maimunah (2006) dan Gregorius Masdjojo dan Sukartono (2009) tentang pengaruh PAD dan DAU terhadap Alokasi Belanja Daerah kabupaten/kota di Pulau Sumatera dan Jawa Tengah menyimpulkan bahwa tidak semua PAD memiliki pengaruh terhadap Balanja Daerah. Berikut disajikan data perkembangan kontribusi PAD terhadap Total Belanja kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.


(29)

Tabel 6 Kontribusi dan Rata-rata Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

No Nama Daerah Kontribusi Pendapatan Asli Daerah

Rata-rata Pertumbuhan 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 2.13 2.35 2.25 1.94 3.24 2.38 2 Kab. Lampung Selatan 11.34 4.69 6.25 5.56 6.54 6.87 3 Kab. Lampung Tengah 2.47 3.48 2.97 3.17 4.09 3.24 4 Kab. Lampung Utara 2.63 2.14 1.4 1.46 1.61 1.85 5 Kab. Lampung Timur 2.14 2.07 1.93 2 2.86 2.2 6 Kab. Tanggamus 2.17 1.9 1.78 1.66 2.16 1.93 7 Kab. Tulang Bawang 1.88 1.36 3.49 3.77 3.85 2.87 8 Kab. Way Kanan 1.62 2.34 2.92 1.95 1.99 2.16 9 Kota Bandar Lampung 8.35 8.68 11.14 15.51 21.41 13.02 10 Kota Metro 4.62 6.75 6.15 6.11 8.28 6.38

Rata-rata Seluruh Daerah 4.29

Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data diolah)

Dari Tabel 6 di atas, diketahui bahwa kontribusi PAD terhadap Total Belanja Daerah seluruh daerah rata-rata berkisar 4.29%. Hanya Kota Bandar Lampung saja yang memiliki peningkatan kontribusi PAD yang cukup signifikan, yakni rata-rata 13.02%. Sedangkan Kabupaten Lampung Utara memiliki kontribusi PAD yang terendah, yakni sebesar 1.85%.

Pendapatan Asli Daerah memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kemampuan daerah untuk melakukan aktivitas pemerintah dan program-program pembangunan daerah. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat serta menjaga dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Menurut Mardiasmo (2002), indikasi keberhasilan otonomi daerah dan

desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social walfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju,


(30)

keadilan, pemerataan, serta hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Selama ini kapabilitas dan efektifitas Pemerintah Daerah dirasakan masih terlalu lemah. Pengalaman masa lalu

menunjukkan bahwa pada umumnya, unit kerja Pemerintah Daerah belum menjalankan fungsi dan perannya secara efisien. Pemborosan adalah fenomena umum yang terjadi di unit kerja Pemerintah Daerah. Dalam situasi seperti ini, menyebabkan banyak layanan publik dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik, sementara dana pada Anggaran Daerah yang pada dasarnya merupakan dana publik (public money), habis dibelanjakan seluruhnya.

Di daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, proporsi Belanja Daerah masih didominasi oleh Belanja Tidak Langsung. Belanja Tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Belanja Tidak Langsung terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bagi Hasil, Belanja Sosial, Bantuan Keuangan dan Belanja Tidak Terduga. Sedangkan Belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja Langsung terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa serta Belanja Modal. Berikut ini disajikan data rasio belanja tidak langsung terhadap total belanja 10 kabupaten/kota di Provinsi lampung tahun 2009-2013.


(31)

Tabel 7 Rasio dan Rata-rata Belanja Tidak Langsung terhadap Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013 (dalam persen)

No Nama Daerah Rasio Belanja Tidak Langsung Rata-rata 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kab. Lampung Barat 60.61 60.36 57.47 57.13 55.36 58.18 2 Kab. Lampung Selatan 65.03 73.78 60.15 57.12 59.56 63.13 3 Kab. Lampung Tengah 68.88 86.58 67.31 66.64 62.91 70.46 4 Kab. Lampung Utara 64.45 72.59 62.53 64.26 62.48 65.26 5 Kab. Lampung Timur 65.31 71.61 66.89 60.4 61.96 65.23 6 Kab. Tanggamus 71.79 74.47 58.16 62.54 55.18 64.43 7 Kab. Tulang Bawang 29.19 62.21 50.58 47.47 54.44 48.78 8 Kab. Way Kanan 35.53 43.72 56.95 57.73 57.62 50.31 9 Kota Bandar Lampung 63.25 70.59 65.57 53.17 51.11 60.74 10 Kota Metro 55.02 64.68 58.74 58.89 57.47 58.96

Rata-rata Seluruh Daerah 60.55 Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2009-2013 (data

diolah)

Dari Tabel 7 di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata rasio belanja tidak langsung seluruh daerah adalah 60.55%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar belanja daerah dialokasikan untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah yang tidak berkaitan langsung dengan proses

pembangunan yang tertuang dalam belanja langsung. Alokasi belanja tidak langsung cenderung digunakan untuk membiayai belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang tiap tahun terjadi kenaikan gaji pegawai.

Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, hal tersebut bertentangan dengan tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal, yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang tertuang dalam program dan kinerja pembangunan daerah .

Timbulnya kesenjangan (Gap) antara pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan dengan kenyataan yang terjadi inilah yang kemudian menjadi daya tarik penulis untuk melakukan penelitian


(32)

dengan judul “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa besarnya

kontribusi Dana Perimbangan yang ditunjukkan pada Tabel 3 juga berdampak secara langsung pada pola Belanja Daerah yang hampir keseluruhannya dibiayai oleh Dana Perimbangan yang ditunjukkan oleh Tabel 5. Di lain sisi, kontribusi PAD terhadap Total Penerimaan yang ditunjukkan oleh Tabel 4 juga berpengaruh pada pola Belanja Daerah yang ditunjukkan Tabel 6. Sedangkan proporsi Belanja Daerah masih didominasi oleh Belanja Tidak Langsung yang ditunjukkan oleh Tabel 7.

Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah daerah seringkali dihadapkan dengan masalah tingginya kebutuhan fiskal (fiscal need) sementara kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah tidak mencukupi. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Kesenjangan fiskal inilah yang menjadi cikal bakal munculnya sumber pembiayaan dengan sistem pembagian (sharing) dari pemerintah pusat yang dikenal sebagai Dana Perimbangan. Adalah ironis, kendati


(33)

tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat

ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Mudrajad Kuncoro, 2004: 18).

Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Mudrajad Kuncoro, 2004: 13), yaitu:

1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.

2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.

3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.

4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan Separatisme.

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013?

2. Bagaimanakah pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013?


(34)

3. Bagaimana pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah secara bersama-sama terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.

2. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.

3. Untuk mengetahui pengaruh dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah secara bersama-sama terhadap Alokasi Belanja Tidak

Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi lampung tahun 2009-2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan mampu membantu para civitas akademika untuk menakar sejauh mana pengaruh Dana Perimbangan dan

Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(35)

2. Bagi Praktisi

Penelitian ini diharapkan mampu membantu para praktisi ekonomi pembangunan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu membantu memberikan catatan dan informasi bagi masyarakat luas yang ingin mengetahui sejauh mana pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.

E. Kerangka Pemikiran

PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain Pendapatan Yang Sah. Dana Perimbangan adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode

anggaran. Alokasi belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan


(36)

kegiatan, terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Dana Perimbangan

Alokasi Belanja Tidak Langsung Pendapatan Asli Daerah

a. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung

Berdasarkan Peraturam Mentri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman penyusunan APBD, Dana

Perimbangan khususnya Dana Bagi Hasil Pajak dialokasikan untuk mendanai perbaikan lingkungan pemukiman diperkotaan dan diperdesaan, pembangunan irigasi, jaringan jalan dan jembatan. Sedangkan Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

diutamakan pengalokasiannya untuk mendanai pelestarian lingkungan areal pertambangan, perbaikan dan penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk tercapainya standar pelayanan minimal yang ditetapkan peraturan


(37)

perundang-undangan. Dana Alokasi Umum diprioritaskan penggunaannya untuk mendanai gaji dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat. Dan untuk Dana Alokasi Khusus digunakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah. Secara keseluruhan, Dana Perimbangan digunakan untuk membiayai Belanja Tidak Langsung.

b. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja tidak langsung, karena belanja tidak langsung dialokasikan untuk membiayai Belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan, Belanja hibah, Belanja bantuan sosial, Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa, Belanja Bantuan Keuangan kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa, Belanja tidak terduga. Peningkatan penerimaan daerah yang diperoleh dari PAD mengalami pertambahan karena alokasi belanja tidak langsung cenderung digunakan untuk membiayai belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang tiap tahun terjadi kenaikan gaji pegawai, dibanding untuk pengalokasian belanja tidak langsung lainnya. Dengan adanya kenaikan belanja pegawai


(38)

F. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian karena jawaban yang diberikan adalah berdasarkan teori-teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Hipotesis dapat juga dipandang sebagai konklusi yang bersifat sangat sementara.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Diduga variabel Dana Perimbangan berpengaruh secara signifikan

terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.

2. Diduga Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.

3. Diduga variabel Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secar signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anggaran daerah

Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapatan yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. Anggaran merupakan alat penting di dalam penyelenggaran pemerintahan Arif (2002) dalam Rahmwati (2010). Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk

pengalokasian sumber daya.

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.

Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(40)

Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yakni perumusan proposal anggaran, pengesahan proposal anggaran, pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum Samuels (2000) dalam Sheila (2013). Menurut Hagen (2002) dalam Sheila (2013) menyatakan bahwa penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan, yakni excecutive planning, legislative approval, excecutive implementation, dan ex post

accountability.

Faktor dominan yang terdapat dalam proses penganggaran adalah tujuan yang hendak dicapai, ketersediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimiliki pemerintah), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target, faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti: munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya (Mardiasmo, 2002).

Menurut Mardiasmo (2002), anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Anggaran Operasional

Anggaran operasional merupakan anggaran yang digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan

Pemerintahan. Pengeluaran yang termasuk anggaran operasional antara lain belanja umum, belanja operasi dan belanja pemeliharaan.

2. Anggaran modal

Anggaran modal merupakan anggaran yang menunjukkan anggaran jangka panjang dan pembelajaran atas aktiva tetap seperti gedung,


(41)

peralatan, kendaraan, perabot dan sebagainya. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, selanjutnya akan

menambah anggaran rutin untukbiaya operasional dan biaya pemeliharaan

Arti penting anggaran daerah dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini: a. Anggaran merupakan alat bagi Pemda untuk mengarahkan dan

menjamin kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yangada terbatas.

Di samping itu, Anggaran Daerah mempunyai peran penting dalam sistem keuangan daerah. Peran anggran daerah dapat dilihat berdasaran fungsi utamanya sebagai berikut:

a. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk:

1) Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan,

2) Merencanakan berbagaiprogram dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya,


(42)

3) Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi padaberbagai program dan kegiatan yang telah disusun,

4) Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.

b. Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk:

1) Mengendalikan efisiensi pengeluaran 2) Membatasi kekuasaan pemda

3) Mencegah adanya overspending, underspending, dan salah sasaran (missapropriation) dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas

4) Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah.

c. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal digunakan untuk

menyetabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan, dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.

d. Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggaran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif dan legislatif ata penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.


(43)

e. Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi Pemda yang terlibat dalam penyusunan anggaran.

f. Anggaran sebagai alat evaluasi kerja.

g. Anggaran sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target kinerja.

h. Anggaran dapat juga sebagai alat untuk menciptaan ruang publik (public sphere), dalam arti kata bahwa proses penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat.

B. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 79 disebutkan bahwa PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan milik daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang dipisahkan. Pasal 3 UU Nomor 33 Tahun 2004, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada


(44)

pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Kemampuan melaksanakan otonomi daerah diukur dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh PAD terhadap total APBD. PAD idealnya menjadi sumber utama pendapatan lokal. Sumber pendapatan lain relatif fluktuatif dan cenderung di luar kontrol pemerintah daerah.

1. Sumber-sumber pendapatan asli daerah

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 26 disebutkan bahwa kelompok PAD dibagi menurut jenis pendapatan terdiri atas:

a) Pajak daerah

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pasal 1: pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pembangunan daerah. Menurut Halim (2004: 67), pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Jadi pajak dapat diartikan biaya yang harus dikeluarkan seseorang atau suatu badan untuk menghasilkan pendapatan disuatu negara, karena


(45)

ketersediaan berbagai sarana dan prasarana publik yang dinikmati semua orang tidak mungkin ada tanpa adanya biaya yang

dikeluarkan dalam bentuk pajak tersebut. Pajak merupakan

pungutan yang bersifat memaksa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan tidak ada timbal balik langsung kepada para pembayar pajak.

Menurut Mardiasmo (2002), pajak objektif dilihat pada objeknya (benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak) kemudian baru dicari subjeknya baik yang berkediaman di Indonesia maupun tidak. Golongan pajak objektif diantaranya: (a) Pajak yang dipungut karena keadaan. diantaranya pajak kekayaan, pajak pendapatan, pajak karena menggunakan benda yang kena pajak; (b) Pajak yang dipungut karena perbuatan diantaranya pajak lalu lintas kekayaan, pajak lalu lintas hukum, pajak lalu lintas barang, serta pajak atas pemakaian; (c) Pajak yang dipungut karena peristiwa diantaranya bea pemindahan di Indonesia contohnya pemindahan harta warisan.

Pajak daerah terdiri dari pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota. Dalam UU RI No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 2, jenis pajak provinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. d. Pajak Air Permukaan.


(46)

Jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: a. Pajak Hotel.

b. Pajak Restoran. c. Pajak Hiburan. d. Pajak Reklame.

e. Pajak Penerangan Jalan.

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. g. Pajak Parkir.

h. Pajak Air Tanah

i. Pajak Sarang Burung Walet.

j. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 2 menyebutkan bahwa, daerah dilarang memungut pajak selain jenis pajak di atas. Jenis pajak tersebut dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

b) Retribusi daerah

Pengertian retribusi daerah dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut Halim (2004: 67), retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi daerah. Menurut Kaho dalam Hasrina (2012), secara umum keunggulan utama sektor retribusi atas sektor pajak adalah karena pemungutan retribusi berdasarkan kontraprestasi, dimana tidak ditentukan secara limitatif seperti halnya sektor pajak. Pembatas utama bagi sektor retribusi adalah terletak pada ada tidaknya jasa yang disediakan pemerintah daerah. Daerah kabupaten/kota diberi


(47)

peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Pasal 108 UU Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan objek retribusi terdiri dari:

a. Jasa Umum

Kriteria retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum, jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya, dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang potensial dan pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat

dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik. Jenis retribusi jasa umum dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 110 adalah retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan

persampahan/kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil, retribusi pelayanan


(48)

pemakaman dan pengabuan mayat, retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, retribusi pelayanan pasar, retribusi pengujian kendaraan bermotor, retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, retribusi penggantian biaya cetak peta, retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus, retribusi pengolahan limbah cair, retribusi pelayanan tera/tera ulang, retribusi pelayanan pendidikan dan retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Jenis Retribusi tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan

nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cumacuma.

b. Jasa Usaha

Pada Pasal 126 UU Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan bahwa objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi pelayanan dengan

menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan/atau pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Jenis retribusi jasa usaha adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi terminal, retribusi tempat khusus parkir, retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa,


(49)

retribusi rumah potong hewan, retribusi pelayanan

kepelabuhanan, retribusi tempat rekreasi dan olahraga, retribusi penyeberangan di air dan retribusi penjualan produksi usaha daerah.

c. Retribusi Perizinan Tertentu

Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi, perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum dan biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.

c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Menurut Halim (2004: 68), hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan menurut obyek pendapatan mencakup:

a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.

b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN.


(50)

c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

Menurut Halim (2004: 68), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: 1) bagian laba perusahaan milik daerah, 2) bagian laba lembaga keuangan bank, 3) bagian laba lembaga keuangan non bank, 4) bagaian laba atas penyertaan

modal/investasi. Menurut Mardiasmo (2002: 154), pemerintah daerah juga dapat melakukan upaya peningkatan PAD melalui optimalisasi peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

d) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Menurut Halim (2004: 69), pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut: 1) hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, 2) penerimaan jasa giro, 3) penerimaan bunga deposito, 4) denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 5) penerimaan ganti rugi atas

kerugian/kehilangan kekayaan daerah.

Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:


(51)

b. Jasa giro.

c. Pendapatan bunga.

d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.

e. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

f. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. h. Pendapatan denda pajak.

i. Pendapatan denda retribusi.

j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. k. Pendapatan dari pengembalian.

l. Fasilitas sosial dan fasilitas umum.

m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan

n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

C. Dana Perimbangan

Sejak diberlakukannya sistem desentralisasi dengan sistem otonomi daerahnya, maka dana transfer ke daerahnya dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Suparmoko, 2011:363 dalam Hasrina, 2012). Pada Undang


(52)

– Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah, disebutkan bahwa:

“Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi.”

Dengan tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturam Mentri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman penyusunan APBD, Dana Perimbangan khususnya Dana Bagi Hasil Pajak dialokasikan untuk mendanai perbaikan lingkungan

pemukiman diperkotaan dan diperdesaan, pembangunan irigasi, jaringan jalan dan jembatan. Sedangkan Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam diutamakan pengalokasiannya untuk mendanai pelestarian

lingkungan areal pertambangan, perbaikan dan penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan untuk tercapainya standar pelayanan minimal yang ditetapkan peraturan

perundang-undangan. Dana Alokasi Umum diprioritaskan penggunaannya untuk mendanai gaji dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat. Dana Alokasi Khusus digunakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah. Secara keseluruhan, Dana Perimbangan digunakan untuk membiayai Belanja Tidak Langsung.


(53)

D. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana bagi hasil atau disebut juga dengan dana bagian daerah merupakan sumber penerimaan yang ada pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil (Djaenuri, 2012:100). Dana Bagi Hasil dibagi

berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten. Penerimaan negara yang dibagihasilkan terdiri atas: 1. Penerimaan Pajak

a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah. Bagian daerah atas PBB dibagi sebagai berikut:

- 16,2 % untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas daerah provinsi.

- 64,8 % untuk daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas daerah kabupaten/ kota. - 9 % untuk biaya pemungutan dan disalurkan ke rekening


(54)

b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20 % untuk pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah, dengan rincian sebagai berikut:

- untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas daerah provinsi.

- 64 % untuk daerah kabupaten/ kota penghasil, dan disalurkan ke rekening kas daerah kabupaten/ kota.

Bagian pemerintah pusat dari penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Alokasi pembagian didasarkan atas realisasi penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan tahun anggaran berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. PPh Orang Pribadi

Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 yang

merupakan bagian dari daerah adalah sebesar 20% dengan rincian 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi

2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA)

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.

a. Sektor Kehutanan

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan terdiri atas:


(55)

- Penerimaan iuran hak pengusahaan hutan. - Penerimaan provisi sumber daya hutan.

Bagian daerah dari penerimaan negara iuran hak pengusahaan hutan dibagi dengan perincian:

- 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan. - 64% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil.

Bagian daerah dari penerimaan negara provinsi sumber daya hutan dibagi dengan perincian:

- 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan. - 32% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil.

- 32% untuk daerah kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten/ kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

b. Sektor Pertambangan Umum

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan umum terdiri atas berikut ini:

- Penerimaan iuran tetap (land – rent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan umum, eksplorasi, dan eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan.

- Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi mendapat hasil


(56)

berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan

eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (royalty) satu atau lebih bahan galian.

Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap (land – rent) dibagi dengan perincian:

- 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan. - 64% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil.

Bagian daerah dari penerimaan negara iuran eksplorasi dan iuran eksploitsai (royalty) dibagi dengan perincian:

- 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan. - 32% untuk daerah kabupaten/ kota penghasil.

- 32% untuk daerah kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Bagian kabupaten/ kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan. c. Sektor Perikanan

Penerimaan negara dari sumber daya sektor perikanan terdiri atas: - Penerimaan pungutan pengusahaan perikanan.

- Penerimaan pungutan hasil perikanan.

Bagian daerah dari penerimaan negara sektor perikanan dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/ kota di seluruh Indonesia.


(57)

d. Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Alam

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Penerimaan negara berasal dari kontrak bagi hasil (production sharing contract) dan kontrak kerja sama yang lain selain kontrak bagi hasil. Komponen pajak adalah pajak – pajak dalam kegiatan pertambangan minyak bumi dan gas alam dan pungutan – pungutan lain sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan gas alam dibagi sebagai berikut.

Daerah imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk daerah. Bagian daerah dibagi dengan rincian:

- 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan. - 6% dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil. - 6% dibagikan untuk kabupaten/ kota lainnya dalam

provinsi bersangkutan.

Penerimaan negara dari pertambangan gas alam dibagi dengan imbangan 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk daerah. Bagian daerah dibagi dengan rincian:

- 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan. - 12% dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil.


(58)

- 12% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk

kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Bagian kabupaten/ kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan. Tabel 8. Persentase Pembagian Dana Bagi Hasil

Perimbangan PBB BPH TB

Kehutanan

perik Minyak Bumi Gas Bumi Panas Bumi PU

IHPH PSDH Reb

Iuran

Tetap Royalti Pusat 10 20 20 60 20 84,5 69,5 20 20 20 Provinsi 16,2 16 16 16 3 6 16 16 16 Kab/Kota

Penghasil 64,8 64 64 32 40 6 12 32 64 32 Kab/Kota dlm

satu prov 32 6 12 32 32 Biaya

Pungutan 9

Kab/Kota seluruh

Indonesia 20 80 Dana

Pendidikan 0,5 Sumber : PP No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

E. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum merupakan block grants yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya. Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004, dana alokasi umum ditentukan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan APBN yang menekankan pada aspek

pemerataan dan kealidan. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara


(59)

provinsi dan kabupaten/kota. Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Kepres). Dalam Pasal 36 PP No. 25 Tahun 2005, Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU daerah yang bersangkutan.

Dana alokasi umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah (Djaenuri, 2012:103). Termasuk di dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan satu kesatuan dengan penerimaan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan public antar pemda di Indonesia. Secara defenisi, DAU dapat diartikan sebagai berikut (Sidik, 2002) :

1. Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.

2. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.

3. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah.


(60)

Penggunaan dana alokasi umum ditetapkan oleh daerah. Penggunaan dana alokasi umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap dalam kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan. Dana alokasi umum terdiri atas berikut ini:

1. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi

Jumlah dana alokasi bagi semua daerah provinsi dan jumlah dana alokasi umum bagi semua daerah kabupaten/kota masing-masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Daerah Provinsi Lampung sebagai daerah provinsi dapat menerima kedua jenis dana alokasi umum tersebut.

2. Dana alokasi umum untuk daerah kabupaten/kota

Dana alokasi umum ini merupakan jumlah seluruh dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota. Perubahan dana alokasi umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka

desentralisasi.

Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Dana alokasi umum untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/ kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum. Dana alokasi


(61)

umum bagi masing-masing daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah dana alokasi umum bagi seluruh daerah, dengan bobot daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh daerah di seluruh Indonesia. Dana alokasi umum baik untuk daerah provinsi maupun untuk daerah

kabupaten/ kota dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: DAU = jumlah alokasi untuk daerah X

F. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Pengalokasian DAK memperhatikan ketersedian dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran DAK tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. (Djaenuri, 2012:106) DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi;

3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai;

4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.


(62)

Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut :

1. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

2. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK dari Dana

Reboisasi).

3. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan ditetapkan oleh menteri /instansi terkait.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 kriteria pengalokasian DAK meliputi: 1. Kriteria Umum

Sesuai dengan pasal 40 UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan–kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai.

2. Kriteria Khusus

Ditetapkan dengan memperhatikan Peraturan Perundang–undangan dan karakteristik daerah. Karakteristik daerah yang meliputi: untuk Provinsi (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah


(63)

ketahanan pangan, dan daerah pariwisata), untuk Kabupaten/Kota (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata.

3. Kriteria Teknis

Kriteria teknis dirumuskan oleh kementrian negara atau departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator– indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saran prasarana pada masing–masing bidang/kegiatan yang akan di danai oleh DAK. Kriteria teknis berdasarkan lingkup kegiatanyaitu,

Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan&perikanan, pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan, keluarga berencana, kehutanan, perdagangan, perumahan&pemukiman, listrik pedesaan, sarana kawasan, transportasi pedesaan, keselamatan transportasi, dansarana prasarana.

G. Belanja Daerah

Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode anggaran. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang, “Belanja Daerah didefenisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih”. Belanja Daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai


(64)

pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pendapatan Daerah yang diperoleh baik dari Pendapatan Asli Daerah maupun dari dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai Belanja Daerah.

Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, pemerintahan daerah memiliki peranan penting dalam pemberian pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa permintaan terhadap pelayanan publik dapat berbeda-beda antar daerah. Sementara itu, Pemerintah Daerah juga memiliki yang paling dekat dengan publik untuk mengetahui dan

mengatasi perbedaan-perbedaan dalam permintaan dan kebutuhan

pelayanan publik tersebut. Satuhal yang sangat penting adalah bagaimana memutuskan untuk mendelegasikan tanggung jawab pelayanan publik atau fungsi belanja pada berbagai tingkat pemerintahan.

Secara teori, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam fungsi belanja, yaitu pendekatan “pengeluaran” dan pendekatan “pendapatan”. Menurut pendekatan “pengeluaran”, kewenangan sebagai tanggung jawab antar tingkat pemerintahan dirancang sedemikian rupa agar tidak saling timpang tindih. Pendelegasian ditentukan berdasarkan kriteria yang bersifat


(65)

pertimbangan keseragaman kebijakan dan penyelenggaraan, kemampuan teknik dan manajerial pada umumnya, pertimbangan faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kewilayahan, efiensi dan skala ekonomi, sedangkan menurut pendekatan “pendapatan” , sumber pendapatan publik

dialokasikan antar berbagai tingkat pemerintah yang merupakan hasil dari tawar-menawar politik. Pertukaran politik sangat mempengaruhi dalam pengalokasian sumber dana antar tingkat pemerintahan. Selanjutnya, meskipun pertimbangan prinsip di atas relevan, namun kemampuan daerah menajadi pertimbangan yang utama.

Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja memberikan implikasi bagi Pemerintah Daerah untuk mlakukan efisiensi dalam pengeluaran daerah. menurut Mardiasmo (2002), Pemerintah Daerah dituntut untuk menerapkan manajemen biaya strategik dengan

memfokuskan pengurangan biaya secara signifikan. pendekatan straategik dalam pegurangan biaya (manajemen biaya strategik)memiliki

karakteristik sebagai berikut:

1. Berjangka panjang. Manajemen biaya strategik merupakan usaha jangka panjang yang membentuk kultur organisasi agar penurunan biaya menjadi budaya yang mampu bertahan lama.

2. Berdasarkan kultur perbaikan berkelanjutan (continous improvement) dan berfokus pada pelayanan masyarakat.


(1)

70

Jika t hitung > t tabel : Ho ditolak dan Ha diterima berarti koefesien Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Tidak Langsung.

2. Uji F

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Adapun tahap-tahap Uji F dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha).

H0: β1 = β2 = β3 = 0

Dimana H0 artinya secara bersama DBH, DAU, DAK, dan PAD sebagai variabel bebas tidak berpengaruh terhadap Belanja Tidak Langsung.

Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠0

Ha artinya secara bersama DBH, DAU, DAK, dan PAD sebagai variabel bebas berpengaruh terhadap Belanja Tidak Langsung.

2. Menentukan tingkat signifikansi α sebesar 5% dan degree of

freedom (df) = (n-k-1) dalam menentukan F tabel. 3. Menghitung F hitung

4. Kriteria (F hitung > F tabel) = H0 ditolak (signifikan) 5. (F hitung < F tabel) = H0 diterima (Tidak Signifikan).


(2)

99

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil,Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, masing-masing berpengaruh sebagai berikut : Dana Bagi Hasil berpengaruh posisit dan signifikan terhadap Alokasi Belanja Tidak langsung kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung kabupaten/kota di provinsi Lampung. Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.

2. Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2009-2013.


(3)

100

3. Secara bersama-sama, Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Tidak Langsung 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

B. Saran

Berdasarkan temuan dari hasil pembahasan sebelumnya, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pada saat melakukan penyusunan rencana dan anggaran, pemerintah kabupaten / kota di Provinsi Lampung agar mengoptimalkan target PAD yang disertai dengan upaya meningkatkan skala prioritas kegiatan dan alokasi belanja daerah dengan menigkatkan pengeluaran pemerintah dari segi Belanja Langsung agar pembanguan kabupatn/kota di Provinsi Lampung dapat dilakukan dengan optimal.

2. Sebaiknya pengelolaan Belanja Tidak Langsung lebih diefisienkan dengan cara menerapkan penggunaan Tolak Ukur kinerja dan Standar Analisa Biaya dengan baik, mengingat penyerapan Belanja Pegawai masih cukup tinggi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK). White Paper. Jakarta. Bappenas.

Boediono. 2002. Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta. Penerbit BPFE. Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Perimbangan

Keuangan Laporan dan Realisasi APBD, Tahun 2009-2013. www.djpk.depkeu.go.id.

Djaenuri, Aries 2012. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Penerbit Ghalia Indonesia.

Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Revisi. Jakarta. Salemba Empat.

Handayani, Dwi dan Elva Nuraini. 2012. Pengaruh Pajak Daerah dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Madiun. Jurnal Akuntasi dan Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2012. Madiun. IKIP PGRI Madiun.

Kirana, Wihana. 2010. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi Kelembagaan. Yogyakarta. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah. Penerbit Erlangga.

Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect Pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera. Padang. Simposium Nasional Akuntansi.

Mangkoesubroto, Guritno. 1993. Ekonomi Publik Edisi Ketiga. BPFE- YOGYAKARTA, Yogyakarta.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Masdjojo, Gregorius & Sukartono. 2009. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Daerah serta analisis Flypaper Effect kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2006-2008. Telaah


(5)

Manajemen Volume 6, Maret 2009, Hal 32-50. Jawa Tengah. Universitas Stikubank.

Novita, Devi. 2014. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Alokasi Belanja Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2000-2013. Skripsi. Universitas Lampung.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi

Pemerintah.

Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD. Permendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah.

Puspita Sari, Noni dan Idhar Yahya. 2009. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendaptan Asli Daerah (PAD) terhadap belanja langsung. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Rahmawati, Nur. 2010. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Daerah (Studi Pada Pemerintah Kbaupaten/Kota di Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Diponegoro.

Rido, Affuad. 2014. Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal dan PDRB terhadap Tingkat Kemiskinan Kbupaten/Kota Di Provinsi Lampung Tahun 2007-2011. Skripsi. Universitas Lampung.

Sasana, Hadi. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat dalam Era Desentralisasi Fiskal. Jurnl Bisnis dan Ekonomi, Volume 18, Nomor 1, Maret 2011, Hal 46-58. Semarang. Universitas Diponegoro.

Sianturi, Simonsen. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Sumatera Utara. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Sheila, Nuarisa. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Kasus Kbupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Siddik, Machfud & Robert Simanjuntak. 2002. Dana Alokasi Umum-Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Sitorus, Bangun. 2014. Pengaruh Dana Alokai Umum, Dana Alokai Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Provinsi Lampung (Tahun 2001-2012). Skripsi. Universitas Lampung.


(6)

Sukriy dan Halim Abdullah (c), Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadapBelanja Pemerintah

Daerah:Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Jawa dan Bali.

Simposium Nasional Akuntansi VI:1140-1159, 16-17 Oktober 2003. Surabaya.

UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Wibisono, Yusuf. 2005. Metode Statistik. Penerbit Gadjah Mada University Press. Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan

Bisnis. Yogyakarta. Ekonisia.

World Bank. 2000. Entering the 21 st Century. World Development Report


Dokumen yang terkait

FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

2 15 16

FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

0 5 13

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA PERIMBANGAN DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG

0 6 17

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA PERIMBANGAN DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG

0 19 74

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP FISCAL STRESS PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG

0 33 73

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA MODAL TERHADAP FISCAL STRESS PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG

1 45 71

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA DAERAH DI PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG (TAHUN 2001-2012)

0 19 77

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH Di KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

1 32 60

ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP ALOKASI BELANJA TIDAK LANGSUNG 10 KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2009-2013

1 19 93

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP BELANJA DAERAH PADA KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH

0 0 7