3. Menganalisis hubungan lama perawatan terhadap kematian penderita sepsis akibat infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU RSUP H. Adam Malik
Medan, 2011 – 2013. 4. Menganalisis hubungan lama perawatan terhadap mortalitas penderita sepsis
akibat selain infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU RSUP H. Adam Malik Medan, 2011 – 2013.
5. Menganalisis hubungan tingkat derajat sepsis sebelumnya terhadap kematian pada penderita sepsis akibat infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU
RSUP H. Adam Malik Medan, 2011 – 2013. 6. Menganalisis hubungan tingkat derajat sepsis sebelumnya terhadap kematian
pada penderita sepsis akibat selain infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU RSUP H. Adam Malik Medan, 2011 – 2013.
7. Menganalisis hubungan penggunaan ventilator terhadap kematian penderita pada sepsis akibat infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU RSUP H.
Adam Malik Medan, 2011 – 2013. 8. Menganalisis hubungan penguunaan ventilator terhadap kematian penderita
pada sepsis selain akibat infeksi Acinetobacter sp. yang dirawat di PICU RSUP H. Adam Malik Medan, 2011 – 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1.4.1 Manfaat bagi peneliti
1. Menambah keterampilan peneliti dalam melaksanakan sebuah penelitian. 2. Sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan peneliti
mengenai sepsis anak. 3. Mengaplikasikan ilmu yang didapat selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara 1.4.2
Manfaat bagi RSUP H. Adam Malik Medan
1. Memberikan gambaran hubungan antara sepsis akibat Acinetobacter baumannii dan mortalitas pada pasien anak dengan penyakit kritis di PICU
RSUP H. Adam Malik Medan, 2011 – 2013. 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan dalam
upaya perencanaan pencegahan sepsis anak dengan pengenalan secara dini faktor risiko.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi data dasar pada program rumah sakit dalam mengurangi jumlah angka kematian akibat kejadian sepsis anak di
wilayah kerja di RSUP H. Adam Malik Medan. 4. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan program
kesehatan anak yang dilaksanakan oleh RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.3 Manfaat bagi masyarakat
1. Memberikan gambaran hubungan antara sepsis akibat Acinetobacter baumannii dan mortalitas pada pasien anak dengan penyakit kritis di PICU
RSUP H. Adam Malik Medan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kematian penderita sepsis anak. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan atau
melanjutkan penelitian tentang sepsis anak.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sepsis
2.1.1. Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi sebagai manifestasi proses inflamasi imunologi karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap
rangsangan produk mikroorganisme Guntur, 2007. Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara mikroorganisme penyebab infeksi, imun
tubuh, inflamasi, dan respon koagulasi Hotchkiss et.al., 1999. Untuk mencegah timbulnya kerancuan, disepakati standarisasi terminologi.
Pada bulan Agustus 1991, telah dicapai konsensus oleh ACCPSCCM yang
menghasilkan beberapa pengertian di bawah ini , antara lain:
1. Infeksi, respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme pada jaringan yang
seharusnya steril. 2. Bakteriemia, adanya bakteri hidup dalam darah.
3. Systemic Inflammatory Response Syndrome sindroma reaksi inflamasi sistemik = SIRS, merupakan reaksi inflamasi masif sebagai akibat dilepasnya
berbagai mediator secara sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi
organ atau Multiple Organ Dysfunction MOD. 4. Sepsis, yaitu keadaan SIRS yang disertai dengan positif infeksi.
5. Severe sepsis sepsis berat, sepsis disertai disfungsi organ, yaitu kelainan hipotensi tekanan sistolik 90mmHg atau terjadi penurunan 40mmHg dari
keadaan sebelumnya tanpa disertai penyebab dari penurunan tekanan darah yang lain. Hipoperfusi atau kelainan perfusi ini meliputi timbulnya asidosis
laktat, oligouria atau perubahan akut status mental.
6. Syok septik, sepsis dengan hipotensi walaupun sudah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat tetapi masih didapatkan gangguan perfusi jaringan.
7. Multiple Disfunction Organ Syndrome MODS .
Universitas Sumatera Utara 2.1.2.
Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif. Dengan persentase 60-70 kasus menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun
sehingga terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Sepsis sampai syok septik secara klasik telah diakui penyebabnya adalah bakteri gram negatif, tetapi mungkin
juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, gram positif, jamur, virus bahkan parasit. Timbulnya syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome ARDS sangat
dipengaruhi oleh bakteriemia gram negatif. Syok terjadi pada 20-35 penderita bakteriemia gram negatif John, 1994.
2.1.3. Patofisiologi
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi pelepasan mediator- mediator inflamasi termasuk di antaranya sitokin. Sitokin terbagi menjadi sitokin
pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi. Sitokin yang termasuk pro-inflamasi seperti TNF, IL-
1, dan interferon γ, bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin anti-inflamasi
yaitu IL-1-reseptor antagonis IL-1ra, IL-4, dan IL-10, bertugas untuk memodulasi, mengoordinasi atau merepresi terhadap respon yang berlebihan.
Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dalam proses penyembuhan Chamberlain,
2004. Namun ketika keseimbangan tersebut hilang, maka respon pro-inflamasi
akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endotelial, disfungsi mikrovaskuler, dan kerusakan jaringan akibat gangguan
oksigenasi, serta kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan, konsekuensi dari kelebihan respon anti-inflamasi adalah alergi dan
immunosupresi. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidakharmonisan imunologi yang merusak Chamberlain,
2004.
Gambar 2.1. Patogenesis Sepsis Chamberlain, 2004 Skema patogenesis sepsis secara umum dapat dilihat di gambar atas
gambar 2.1. Penyebab tersering sepsis adalah bakteri, terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan
endotoksin dengan lipopolisakarida LPS yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipopolisakarida
antibodi LPSab. LPSab yang beredar di dalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan
mengekspresikan imunomodulator Chamberlain, 2004. Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus, atau parasit, mereka
dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai
Antigen Presenting Cell APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex MHC. Antigen yang
bermuatan MHC akan berikatan dengan CD4+ Limfosit Th1 dan Limfosit Th2 dengan perantara T-cell Reseptor Chamberlain, 2004.
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis, maka terjadi aktivasi
Universitas Sumatera Utara
sistem komplemen dan sitokin gambar 2.2. Limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan
mengeluarkan IFN- γ, IL2, dan M-CSF Macrophage Colony Stimulating Factor,
sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN- g, IFN 1β, dan
TNF α yang merupakan sitokin pro-inflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imunoregulator utama juga memiliki efek pada sel endotelial termasuk di
dalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 PG-E2 dan merangsang ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 ICAM-1 yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor GM-CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim
yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang
termasuk ke dalam radikal bebas nitrat oksida sehingga memengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah
kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi
kerusakan organ multipel Chamberlain, 2004.
Gambar 2.2. Aktivasi Komplemen dan Sitokin pada Sepsis Chamberlain, 2004 Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-
α, IL-8, dan IL-6 yang dapat menimbulkan respon fase akut dan peningkatan permeabilitas
epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah Reactive Oxygen Specific ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh
xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan
kerusakan jaringan. ROS penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot
polos pembuluh darah. Namun, bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga
menambah kerusakan jaringan gambar 2.3 dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal
dan hematologi Chamberlain, 2004.
Gambar 2.3. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ LaRosa dan Steven, 2010
Sepsis akan mengaktifkan tissue factor yang memproduksi trombin yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu
gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, juga mengganggu proses fibrinolisis melalui pengaktivan IL-1 dan TNF-
α dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat
fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi juga mengaktifkan Activated Protein Cell APC dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif
tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme- activated protein C . Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi
trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator
inhibitor-1 yang menghambat pembentukan plasminogen menjadi plasmin yang
Universitas Sumatera Utara
sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin Vervloet, Thijs, dan Hack, 1998
Gambar 2.4. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi LaRosa dan Steven, 2010
Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi gambar 2.4 yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular
diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa LaRosa dan Steven, 2010.
2.1.4. Diagnosis
Menurut Griffiths dan Iain 2009, berdasarkan tanda klinis seperti yang telah disebutkan di atas, maka untuk menyatakan seseorang mengalami sepsis
adalah bila ditemukan adanya positif infeksi dan terdapat dua atau lebih gejala umum sebagai berikut:
1. Hipertermia 38°C atau hipotermia 36°C; 2. Takikardia 90 kalimenit;
3. Takipnea 20 kalimenit atau PaCO
2
4,3 kPa; 4. Neutrofilia 12 x 10
-9
1
-1
atau neutropenia 4 x 10
-9
1
-1
. Sedangkan untuk Nilai Tanda Vital dan Variabel Laboratorium untuk Diagnosis
SIRS sesuai usia pada anak-anak, dibagi berdasarkan tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Nilai Tanda Vital dan Variabel Laboratorium untuk Diagnosis SIRS Goldstein et al., 2005
Keterangan: TA tidak ada keterangan
2.1.5. Prognosis
Walaupun insidensi sepsis meningkat, semakin berkembang ilmu pengetahun, maka tingkat mortalitas akan terbukti semakin menurun setiap
tahunnya. Namun ternyata, angka kejadiannya masih cukup tinggi. Pada penelitian yang dilakukan secara kohort mengenai sepsis, mortalitasnya adalah 24,4. Usia
merupakan faktor risiko bebas yang menentukan angka kesembuhan dan kematian dari kondisi sepsis ini. Pada pasien kategori bayi-anak, semakin muda usia maka
survival ratenya akan semakin kecil, sebaliknya pada pasien kategori dewasa, semakin tinggi usia maka angka mortalitas akan semakin tinggi yaitu 27,7
berbanding 17,7 LaRosa dan Steven, 2010.
2.2 Acinetobacter sp.
Acinetobacter sp. adalah genus gram negatif koko-basil dan cenderung membentuk kristal bewarna violet pada pewarnaan Gram. Oleh karena itu, spesies
ini sering salah diidentifikasikan sebagai bakteri gram positif. Ia merupakan spesies non-motil dan menghasilkan oksidase negatif dan tersebar luas di alam
baik pada air yang jernih, maupun permukaan tanah Webster,2000. Mereka mampu bertahan hidup pada permukaan benda mati yang basah dan kering dalam
waktu yang cukup lama 3 hari sampai dengan 5 bulan dan sering ditemukan Kelompok
Usia Denyut jantung
denyutmenit Frekuensi
pernapasan Hitung
Leukosit leukosit x
10
3
mm
3
Tekanan Darah
Sistolik mmHg
Takikardi Bradikardi
0 hari- 1 minggu
180 100
50 34
65 1 minggu–
1 bulan 180
100 40
19,5 atau 5 75 1 bulan–
1 tahun 180
90 34
17,5 atau 5
100 2-5 tahun
140 TA
22 15,5 atau 6 94
6-12 tahun 130 TA
18 13,5 atau
4,5 105
13 hingga 18 tahun
110 TA
14 11 atau 4,5 117
Universitas Sumatera Utara
dalam lingkungan rumah sakit misalnya kantong ventilator atau ambu dan penyaring ventilasi Kamer, Schwobke, dan Kampf, 2006.
Normalnya, bakteri ini merupakan flora normal kulit yang berkolonisiasasi di kavitas oral, traktus respiratorius, dan traktus gastrointestinal. Tetapi, dalam
pasien immunocompromised , Acinetobacter baumannii mampu menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa. Rute transmisi dari bakteri ini mencakup
kontaminasi tindakan medik berupa peralatan pernapasan, intubasi, dan ventilasi. Dan organisme ini juga menunjukkan tingkat yang relatif luas resistensi terhadap
antibiotika. Sunenshine, 2007.
2.3. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kejadian Kematian pada
Penderita Sepsis 2.3.1.
Faktor demografi
Adapun faktor demografi yang memengaruhi kejadian kematian pada penderita sepsis adalah sebagai berikut:
a. Usia
Sebuah studi mengenai hubungan variasi penyakit dengan faktor usia akan memberikan gambaran tentang penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena usia
menjadi faktor sekunder yang harus diperhitungkan dalam mengamati perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel lainnya. Selain itu, frekuensi penyakit
menurut usia akan behubungan dengan adanya perbedaan tingkat paparan, perbedaan dalam patogenesis, serta perbedaan dalam pengalaman suatu penyakit
Nugroho, 2012.
b. Jenis Kelamin
Adanya perbedaan secara anatomis, fisiologis dan sistem hormonal akan menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit menurut jenis kelamin.
Perbedaan frekuensi ini dapat pula disebabkan terjadinya perbedaan peran kehidupan dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat seperti
perbedaan pekerjaan, kebiasaan, dan lain-lain Nugroho, 2012.
c. Alamat
Perbedaan frekuensi terhadap suatu penyakit karena pengaruh tempat tinggal dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam hal letak geografis,
administrasi, keadaan urban maupun keadaan kultural, perbedaan ruang lingkup, dan perbedaan dalam sistem pelayanan kesehatan terutama dalam tingkat
kesehatan primer lingkungan sekitar tempat tinggal pasien Nugroho, 2012.
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi
Adapun faktor lain yang memengaruhi kejadian kematian pada penderita sepsis adalah sebagai berikut:
a. Banyaknya Penyakit Primer
Penyakit primer yang diderita tentu sangat berpengaruh terhadap keadaan sepsis yang dialamai pasien. Dan setiap pasien dapat memiliki lebih dari satu
penyakit primer, seperti penyakit pada sistem respiratorius, sistem saraf pusat, dan traktus urinarius Dewi, 2011.
b. Lama Perawatan
Lama perawatan atau yang biasa disebut dengan Length of Stay LOS adalah durasi waktu seseorang ketika dirawat di rumah sakit dalam hitungan hari,
terhitung mulai dari pasien masuk dan dirawat sampai pasien tersebut keluar dari rumah sakit. Adanya LOS yang semakin panjang maka risiko terjadinya paparan
sumber infeksi pada pasien akan semakin tinggi Nugroho, 2012.
c. Tindakan Medik Pengunaan Ventilator
Infeksi oleh karena kuman di rumah sakit terutama disebabkan oleh infeksi berupa dari pemasangan kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas,
infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Dan beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena dapat berupa jenis
kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui vena seksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipakai di bawah tungkai, tidak mengindahkan
prinsip antisepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat
infus untuk pengaturan tetes obat, dan manipulasi yang terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan
bakteriemia. Selain itu banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga