Gambaran Rinosinusitis Kronis Di Rsup Haji Adam Malik Pada Tahun 2011.

(1)

GAMBARAN RINOSINUSITIS KRONIS

DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2011.

Oleh :

PRIVINA ARIVALAGAN

NIM: 090100390

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

GAMBARAN RINOSINUSITIS KRONIS

DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2011.

ʽ̔

Karya Tulis Ilmiah ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh Sarjana Kedokteran”

Oleh :

PRIVINA ARIVALAGAN

NIM : 090100390

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : GAMBARAN RINOSINUSITIS KRONIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2011.

Nama : Privina Arivalagan NIM : 090100390

Pembimbing Penguji

(dr.Andrina Rambe, Sp.THT) (dr.Riri Andri Muzasti, M.Ked, Sp.PD)

(dr.Sarma N.Lumbanraja, Sp.OG)

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulisan karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak bimbingan, arahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. dr.Andrina Rambe, sp.THT selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

2. Kedua orang tua yaitu ayah Arivalagan serta ibu Malathy yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang, dan mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

3. Seluruh teman-teman penulis dan teman sekelompok yang ikut membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.Untuk seluruh bantuan baik moril atau materi yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.Terima kasih.

Medan, 5 Disember 2012

PRIVINA ARIVALAGAN 090100390


(5)

ABSTRAK

Penyakit rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala. Rinosinusitis adalah suatu penyakit dengan peradangan pada mukosa yang melapisi hidung serta sinus paranasal. Etiologi dari rinosinusitis kronis adalah multifaktorial.

Adalah untuk mengetahui gambaran rinosinusitis kronis yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik pada bulan Oktober dengan jumlah sampel sebanyak 190 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling, yaitu penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden dan data-data diambil dari rekam medis pasien rinosinusitis kronis.

Dari 190 sampel rinosinusitis kronis, diperoleh insidensi penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%) dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat (56,8%). Faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk memicu kejadian ini menempati tempat paling sering (63,2%), manakala sinus maksilaris (54,6%) merupakan sinus yang paling sering mengalami kelainan dalam penyakit rinosinusitis kronis. Kejadian sinusitis secara unilateral adalah yang paling sering terjadi (48,4%)

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini membantu pihak rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan terutama pada penderita rinosinusitis kronis. Kata kunci: rinosinusitis kronis.


(6)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is one of the common disease that is frequently complained with variant degree of symptoms. Rhinosinusitis is inflammation of mucosa that surrounds the nose and sinuses. The etiology of chronic rhinosinusitis is multifactorial.

This study was aimed to find the picture of chronic rhinosinusitis that occurred in RSUP Haji Adam Malik in the year of 2011. Descriptive method have been used in this study. This study had been carried out in RSUP Haji Adam Malik during October with total of 190 samples. The samples are chosen through total sampling method, where the whole population is taken as respondents and the datas are taken from medical records of chronic rhinosinusitis patients.

Out of 190 samples of chronic rhinosinusitis, patients between age 31-45 years old (31,6%) has the highest frequency of acquiring the disease, girls are more prone to acquire chronic rhinosinusitis (54,2%) and the highest discomfort from the patient is blocked nostrils (56,3%). Unattached predispositiom factor places the highest rank (60,5%) to initiate the incidence of chronic rhinosinusitis, while maxillary sinus have the most frequent changes among the patients. Incidence of unilateral chronic rhinosinusitis have higher frequency (48,4%) compared to bilateral.

Hope this study will help the hospitals to further maximize their service in providing good health services, especially to chronic rhinosinusitis patients. Keyword: chronic rhinosinusitis.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN.....……...………...……...i

ABSTRAK...ii

ABSTRACT...iii

KATA PENGHANTAR...iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL …………...………...viii

DAFTAR GAMBAR...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang……….1

1.2.RumusanMasalah………....2

1.3.TujuanPenelitia..……….3

1.4.ManfaatPenelitian…….………..3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus ... ….5

2.1.1 Sinus Frontalis... ... ….5

2.1.2 Sinus Maksilaris………….……….5

2.1.3 SinusEtmoidalis………...………6

2.1.4 Sinus Sfenoidalis ... ….6

2.2. Rinosinusitis…………..……….8

2.2.1 Definisi... ... ….8

2.2.2 Etiologi dan faktor predisposisi……….8

2.2.3 Patofisiologi………...………..10

2.2.4 Klasifikasi………...……….11

2.2.5 Gejala Klinis……….12

2.2.6 Diagnosa………. ... ...16


(8)

2.2.8 Tindakan Operasi……….20

2.2.9 Komplikasi……… ... ...20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASi 3.1. Kerangka Konsep Penelitian...23

3.2. Defenisi Operasional...23

3.3 Cara Ukur………23

3.4 Alat Ukur……….23

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian………...……….26

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian……….………26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………..26

4.4. Metode Pengumpulan...27

4.5. Metode Pengolahan dan Analisis………....27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian……….28

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….28

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……….……….28

5.1.2.1. Golongan Umur Responden………..29

5.1.2.2. Jenis Kelamin Responden………...……..29

5.1.2.3. Keluhan Utama Responden………...30

5.1.2.4. Faktor Predisposisi Responden………...…..31

5.1.2.5. Jenis Sinus Responden Yang Terinfeksi……….……...32

5.1.2.6. Sisi Sinus Responden Yang Terinfeksi………...…..33

5.2. Pembahasan……….34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan………..………...37


(9)

DAFTAR PUSTAKA………...39


(10)

Daftar Tabel

Nomor Judul Halaman

2.1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak 16

dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004.

5.1 Distribusi responden menurut kelompok umur 29

pada tahun 2011.

5.2 Distribusi responden menurut jenis kelamin 29

pada tahun 2011.

5.3 Distribusi responden menurut keluhan utama 30 pada tahun 2011.

5.4 Distribusi responden menurut faktor predisposisi 31 pada tahun 2011.

5.5 Distribusi responden menurut jenis sinus yang 32 terinfeksi pada tahun 2011.

5.6 Distribusi responden menurut sisi sinus yang 33 terinfeksi pada tahun 2011.


(11)

Daftar Gambar

Nomor Judul Halaman

Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus……….….7

Gambar 2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang…………...8

Gambar 3. Kompleks Osteo Meatal………...11


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 4 Data Induk


(13)

ABSTRAK

Penyakit rinosinusitis merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala. Rinosinusitis adalah suatu penyakit dengan peradangan pada mukosa yang melapisi hidung serta sinus paranasal. Etiologi dari rinosinusitis kronis adalah multifaktorial.

Adalah untuk mengetahui gambaran rinosinusitis kronis yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik pada bulan Oktober dengan jumlah sampel sebanyak 190 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling, yaitu penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden dan data-data diambil dari rekam medis pasien rinosinusitis kronis.

Dari 190 sampel rinosinusitis kronis, diperoleh insidensi penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%) dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat (56,8%). Faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk memicu kejadian ini menempati tempat paling sering (63,2%), manakala sinus maksilaris (54,6%) merupakan sinus yang paling sering mengalami kelainan dalam penyakit rinosinusitis kronis. Kejadian sinusitis secara unilateral adalah yang paling sering terjadi (48,4%)

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini membantu pihak rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan terutama pada penderita rinosinusitis kronis. Kata kunci: rinosinusitis kronis.


(14)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is one of the common disease that is frequently complained with variant degree of symptoms. Rhinosinusitis is inflammation of mucosa that surrounds the nose and sinuses. The etiology of chronic rhinosinusitis is multifactorial.

This study was aimed to find the picture of chronic rhinosinusitis that occurred in RSUP Haji Adam Malik in the year of 2011. Descriptive method have been used in this study. This study had been carried out in RSUP Haji Adam Malik during October with total of 190 samples. The samples are chosen through total sampling method, where the whole population is taken as respondents and the datas are taken from medical records of chronic rhinosinusitis patients.

Out of 190 samples of chronic rhinosinusitis, patients between age 31-45 years old (31,6%) has the highest frequency of acquiring the disease, girls are more prone to acquire chronic rhinosinusitis (54,2%) and the highest discomfort from the patient is blocked nostrils (56,3%). Unattached predispositiom factor places the highest rank (60,5%) to initiate the incidence of chronic rhinosinusitis, while maxillary sinus have the most frequent changes among the patients. Incidence of unilateral chronic rhinosinusitis have higher frequency (48,4%) compared to bilateral.

Hope this study will help the hospitals to further maximize their service in providing good health services, especially to chronic rhinosinusitis patients. Keyword: chronic rhinosinusitis.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis (Dorland, 2002). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit ini (Herawati, 2004). Rinosinusitis diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronik. Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa. Menurut American Academy of

Otolaringology, kondisi ini menghabiskan langsung dana kesehatan sebesar 3,4

milyar dolar per tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga (Ryan, 2006).

Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang bronkus dan paru, dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal.

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM


(16)

Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi di Bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi rinoinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.

Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 – 8 kali per tahun dan diperkirakan 5%– 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis. Menurut Rachelevsky 1994, 37% anak dengan rinosinusitis kronis didapatkan tes alergi positif sedangkan Van der Veken dkk 1997 mendapatkan tidak ada perbedaan insiden penyakit sinus pada pasien atopik dan bukan atopik. Menurut Takahasi dan Tsuttumi 1990 sinusitis sering di jumpai pada umur 6-11 tahun. Sedangkan menurut Gray 1995 terbanyak di jumpai pada anak umur 5-8 tahun dan mencapai puncak pada umur 6-7 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui angka kejadian rinosinusitis, termasuk karakteristik subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keluhan utama dan faktor predisposisi dari rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik. Selain itu, tidak ada sebarang penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik berkaitan dengan Rinosinusitis Kronis sehingga kini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perlu diketahui bagaimana gambaran rinosinusitis kronis yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011.


(17)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran rinosinusitis kronis yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik.

2. Mengetahui distribusi kelompok umur penderita rinosinusitis kronis. 3. Mengetahui distribusi jenis kelamin penderita rinosinusitis kronis. 4. Mengetahui distribusi keluhan utama penderita rinosinusitis kronis. 5. Mengetahui faktor predisposisi penderita rinosinusitis kronis.

6. Mengetahui distribusi sinus yang terinfeksi berdasarkan hasil foto polos atau CT scan sinus paranasal.

7. Mengetahui distribusi sisi sinus yang terinfeksi pada penderita rinosinusitis kronis.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi peneliti

1. Mengetahui secara lebih mendalam angka kejadian rinosinusitis kronis yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik.

2. Sebagai sarana menambah pengalaman dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Bagi RSUP Haji Adam Malik

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUP Haji Adam Malik dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.


(18)

1.4.3 Bagi masyarakat

Diharapkan bahwa hasil Karya Tulis Ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran tenaga kesehatan, maupun masyarakat pada umumnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus

2.1.1. Sinus Frontalis

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997).

2.1.2. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga


(20)

aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2007).

2.1.3. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

2.1.4. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. (Soetjipto, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05-30 ml). (Benninger, 2003). Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat


(21)

fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.


(22)

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

2.2.1. Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis. Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007).

2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI a. Virus

Virus yang lebih sering menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus

parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Setiap virus

mempunyai banyak serotype yang mempunyai potensi tersendiri untuk memperparahkan infeksi tersebut. Infeksi akibat rhinovirus merupakan penyebab


(23)

tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV

dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di

awal musim semi.

b. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah

S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya

rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus

koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative. (Brown, 2008)

c. Jamur

Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. (Boeis, 1997)

d. Alergi

Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang


(24)

selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997).

e. Kelainan anatomi dan struktur hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. (Hilger, 1997)

f. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas. (Brook, 2012)

g. Lingkungan

Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama. (Mangunkusumo E, 2007)

2.2.3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. (Hilger, 1997).

Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negative di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous.


(25)

Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri.

Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin peril dilakukan tindakan operasi. (Mangunkusumo E, 2007)

Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal. (Hazenfield, 2009)

2.2.4. KLASIFIKASI

Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:


(26)

• Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.

• Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu

• Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita

episode rinosinusitis, tapi episode lebih kurang durasinya

7-10 hari. (Mangunkusomo, 2007)

Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:

• Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung. Segala

sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat

menyebabkan sinusitis.

• Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan

sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (pre molar

dan molar). (Mangunkusomo, 2007).

2.2.5. GEJALA KLINIS

Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.

The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)

telah membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejalanya menurut kriteria mayor dan minor adalah:

• Gejala Mayor :


(27)

- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut

PND (Postnasal drip).

- Kongesti pada daerah wajah

- Nyeri /rasa tertekan pada wajah

- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)

- Demam (hanya pada akut)

• Gejala Minor:

- Sakit kepala

- Sakit/ rasa penuh pada telinga

- Halitosis/ nafas berbau

- Sakit gigi

- Batuk dan iritabilitas

- Demam (semua nonakut)

- Lemah

1. Nyeri Gejala Subjektif

Nyeri yang timbul bersesuaian dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan yang aktif bagian sinus maksila atau frontalis nyerinya biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Manakala pada sinus etmoid dan sfenoid yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala. Tidak begitu jelas lokasi nyeri atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus.


(28)

2. Sakit kepala

Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan meningkat pada posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan menetap saat menutup mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang menetap.

3. Nyeri pada penekanan

Pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, terdapat nyeri apabila disentuh atau nyeri pada penekanan jari. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.

4. Gangguan penciuman

Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.

1. Pembengkakan dan edema Gejala Objektif

Pada infeksi akut sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid) dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Pada palpasi dengan jari boleh didapatkan sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering pada sinus frontal.

2. Sekret nasal

Kecurigaan terdapatnya peradangan pada sinus seharusnya sudah timbul apabila adanya pus dalam rongga hidung. Pada sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, tandanya adalah terdapatnya pus pada meatus medius karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura


(29)

olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior dan sfenoid mungkin terkena karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.

3. Transiluminasi

Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada fasilitas radiologis. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan.

4. Cairan radioopak

Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.( Rosenfeld ,2007)


(30)

2.2.6. DIAGNOSA Gambaran klinis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik, yaitu:

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995)

No Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik

Dewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda < 12

minggu <12 minggu > 12 minggu > 12 minggu

2 Jumlah episode serangan akut,

masing-masing berlangsung minimal 10 hari

< 4 kali / tahun

< 6 kali / tahun

> 4 kali / tahun

> 6 kali / tahun

3 Jumlah episode serangan akut,

masing-masing berlangsung minimal 10 hari

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan

medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan

medikamentosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior. (Mangunkusumo dan Rifki).

Rinoskopi anterior

Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate


(31)

Endoskopi nasal

Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut :

- Gejala-gejala pasien sahaja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosa.

- Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan.

- Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal. - Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan

rinosinusitis. (Rosenfeld, 2007).

Pemeriksaan mikrobiologi

Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini. (Brown, 2008)

Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : 1. Penebalan mukosa,

2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.

Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Rosenfeld, 2007).


(32)

CT csan

CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata.(Rosenfeld, 2007).

MRI

Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik. (Rosenfeld,2007)

2.2.7. Terapi

Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih kronik. Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis adalah dengan membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dipulihkan secara alami.

1. Rinosinusitis akut

Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di sini,obat lini I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan seperti dekongestan oral + topikal, mukolitik digunakan untuk memperlancarkan drainase. Analgetik juga dapat diberikan untuk menghilangkan rasa nyeri. Jika terdapat pembaikan, maka pemberian harus diteruskan selama 10-14 hari. Namun, apabila tidak ada kebaikan, antibiotik lini II diberikan selama 7 hari seperti amoksisilin klavulanat, atau ampisilin sulbaktam, sefalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Setelah pemberian pengobatan ini terdapat pembaikan, maka pemberian antibiotik diteruskan selama 10-14 hari. Namun apabila tidak terdapat pembaikan, maka pasien harus dijalani foto rontgen polos, CT scan atau naso-endoskopi. Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat


(33)

kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari sinus. (McCort,2005)

2. Rinosinusitis subakut

Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga dapat diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek

(Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah

yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan pencucian sinus. Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi manakala pada sinus etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan dengan cuci sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal. . (Hansen, 2011)

3. Rinosinusitis kronis

Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor predisposisi, dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika terdapat perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi harus diteruskan selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui, maka pemberian terapi sesuai episode akut lini II dan terapi tambahan dapat diberikan. Sambil menunggu hasil pemberian terapi, pasien dapat diberi antibiotik alternatif 7 hari atau dilakukan kultur. Jika ada pembaikan, diteruskan pemberian antibiotic selama 10-14 hari. Namun, jika tidak ada pembaikan, maka diteruskan proses evaluasi dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5 kali tidak membaik). Jika terdapat obstruksi osteo meatal, maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Walaubagaimanapun, jika


(34)

tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi diagnosa.

2.2.8. Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003)

2.2.9. Komplikasi 1. Kelainan pada orbita

Penyebab komplikasi ini adalah sinus ethmoidalis karena lokasinya yang terletak berdekatan dengan mata. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga. Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan:

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.

b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus masih belum terbentuk.

c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot


(35)

ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. (Herawati, 2004)

2. kelainan intracranial

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

b. Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid.

d. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri.


(36)

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. (Rosenfeld, 2007)

4. mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).

5. piokel

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus. (Brook, 2012)


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka konsep gambaran rinosinusitis.

3.2Definisi Operasional

3.2.1 Pasien rinnosinusitis kronis

Definisi : pasien Rinosinusitis Kronis yang mendapat rawatan di RSUP Haji Adam Malik.

Cara ukur : membaca rekam medis Alat ukur : rekam medis

Skala ukur : nominal 3.2.2 Umur

Definisi : umur pasien yang mendapatkan rawatan Rinosinusitis Kronis Cara ukur : membaca rekam medis

Alat ukur : rekam medis Skala ukur: ordinal

Rinosinusitis Kronis

• umur

• jenis kelamin

• keluhan utama

• faktor predisposisi


(38)

Pembagian kelompok umur : i. 0-15 tahun ii. 16-30 tahun iii. 31-45 tahun iv. 46-60 tahun v. > 60 tahun 3.2.3 Jenis kelamin

Definisi : jenis kelamin pasien yang mendapatkan rawatan Rinosinusitis Kronis.

Cara ukur : membaca rekam medis Alat ukur : rekam medis

Skala ukur : nominal 3.2.4 Keluhan utama

Definisi : masalah utama yang dihadapi oleh pasien sehingga menyebabkan pasien datang berobat ke rumah sakit. Cara ukur : membaca rekam medis

Alat ukur : rekam medis Skala ukur : nominal 3.2.5 Faktor predisposisi

Definisi : semua faktor yang dapat menjadi pencetus terjadinya Rinosinusitis Kronis.

Cara ukur : membaca rekam medis Alat ukur : rekam medis

Skala ukur : nominal 3.2.6 Sinus yang terinfeksi

Definisi : Sinus yang terinfeksi dibagi menjadi sinus maksila, etmoid, frontal dan sfenoid.

Cara ukur : membaca dari rekam medis

Alat ukur : hasil foto polos atau CT scan SPN di rekam medis Skala ukur : nominal


(39)

3.2.7 Sisi sinus yang terinfeksi

Definisi : sisi sinus dibagi menjadi unilateral dan bilateral Cara ukur : membaca rekam medis

Alat ukur : rekam medis Skala ukur : nominal


(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Desain yang diterapkan dalam penelitian adalah jenis deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau frekuensi serta distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen THT RSUP Haji Adam Malik, Medan dan bagian Rekam Medis RSUP Haji Adam Malik.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita rinosinusitis kronis yang berobat di Departemen THT dan tercatat di rekam medis mulai bulan Januari sehingga Desember 2011. Jenis sampel yang digunakan adalah total sampling,

yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai subjek penelitian


(41)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari Institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian, data pasien diambil dari rekam medis di mana data yang digunakan adalah mengenai penyakit rinosinusitis kronis yang dilaporkan di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada tahun 2011.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan dilakukan dengan cara menganalisa data pasien yang diambil dari rekam medis di RSUP Haji Adam Malik. Analisa data ini akan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer Windows SPSS (Statistical Package for Social Science).

Pengolahan data hasil penelitian ini diformasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut:

1. Editing: untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara kriteria yang diperlukan untuk menjawab tujuan

penelitian.

2. Coding: untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.

3. Cleaning: pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.


(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP Haji Adam Malik adalah rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. Ia merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991dengan visinya yaitu sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau.

5.1.2 Deskripsi Karekteristik Responden

Responden pada penelitian ini sebanyak 190 penderita rinosinusitis kronis dari Poli THT di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011. Karakteristik responden pada penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:


(43)

5.1.2.1. Golongan Umur Responden

Dari tabel 5.1, didapati bahwa usia penderita rinosinusitis kronis paling banyak adalah pada kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 60 orang (31,6%), diikuti oleh kelompok umur 46-60 tahun yaitu sebanyak 59 orang (31,1%). Jumlah penderita yang paling sedikit dijumpai pada kelompok umur 0-15 tahun yaitu sebanyak 8 orang (4,2%).

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur pada Tahun 2011.

Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Persentase (%)

0-15 8 4.2

16-30 53 27.9

31-45 60 31.6

46-60 59 31.1

>60 10 5.3

Total 190 100.0

5.1.2.2. Jenis Kelamin Responden

Dari tabel 5.2, dapat diketahui bahwa insidensi rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 103 orang (54.2%) berbanding lelaki yaitu sebanyak 87 orang (45.8%).

Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin pada Tahun 2011.

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Lelaki 87 45,8

Perempuan 103 54,2

Total 190 100,0


(44)

Menurut tabel 5.3, keluhan utama yang paling sering dikeluhkan oleh penderita rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat yaitu sebanyak 108 orang (56,8%), diikuti oleh keluhan hidung berair sebanyak 24 orang (12,6%). Keluhan utama yang dikeluhkan paling sedikit oleh pasien rinosinusitis kronis adalah hidung gatal yaitu sebanyak 1 orang (0,5%).

Tabel 5.3 Distribusi Responden Menurut Keluhan Utama pada Tahun 2011.

Keluhan Utama Frekuensi Persentase (%)

Bersin 6 3,2

Hidung berair 24 12,6

Hidung berbau 10 5,3

Hidung berdarah 4 2,1

Hidung gatal 1 0,5

Hidung tersumbat 108 56,8

Nyeri hidung 8 4,2

Nyeri kepala 23 12,1

Nyeri pipi 2 1,1

Penciuman berkurang 4 2,1

Total 190 100,0


(45)

Pada tabel 5.4, terlihat bahwa faktor predisposisi yang tidak dicantumkan menduduki tempat paling tinggi pada penderita rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 120 orang (63,2%), diikuti oleh alergi dengan bilangan sebanyak 48 orang (25,3%). Terjabar juga di tabel bahwa kedua-dua deviasi septum dan infeksi gigi merupakan faktor predisposisi yang paling sedikit didapati pada penderita rinosinusitis kronis dengan bilangan sebanyak 1 orang (0.5%) masing-masing.

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Faktor Predisposisi pada Tahun 2011.

Faktor Predisposisi Frekuensi Persentase (%)

Alergi 48 25,3

Deviasi septum 1 0,5

Hipertrofi konka 2 1,1

Infeksi gigi 1 0,5

Polip 16 8,4

Tidak dicantumkan 120 63,2

Tonsillitis 2 1,1

Total 190 100,0


(46)

Menurut Tabel 5.5,sinus yang paling sering terinfeksi pada penderita rinosinusitis kronis adalah sinus maksilaris dengan bilangan sebanyak 144 orang (54,6%), diikuti oleh sinus ethmoidalis sebanyak 41 orang (15,5%). Sinus sfenoidalis merupakan sinus yang paling kecil bilangannya terdapat kelainan pada penderita rinosinusitis kronis yaitu sebanyak 19 orang (7,2%). Total sinus yang terinfeksi melebihi jumlah sampel pada penelitian ini karena seorang responden boleh mempunyai lebih dari satu sinus yang terinfeksi. Keadaan ini lebih dikenali sebagai multisinusitis.

Tabel 5.5 Distribusi Responden Menurut Jenis Sinus Yang Terinfeksi pada Tahun 2011.

Sinus Terinfeksi Frekuensi Persentase (%)

Ethmoidalis 41 15,5

Frontalis 27 10,2

Maksilaris 144 54,6

Sfenoidalis 19 7,2

Tidak dicantumkan 33 12,5

Total 264 100,0


(47)

Berdasarkan tabel 5.6, didapati bahwa kejadian rinosinusitis secara unilateral terjadi lebih sering pada penderitanya dengan bilngan sebanyak 92 orang (48,4%) berbanding dengan kejadian bilateral yaitu sebanyak 65 orang (34,2%). Sebanyak 33 orang dari 190 tidak dicantumkan infeksi sinus jenis bilateral atau unilateral karena pasien tidak berkunjung ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan tambahan dan mengambil foto polos SPN. Jenis sinus serta sisi yang terinfeksi ditentukan berdasarkan gambar foto polos atau CT scan sinus paranasal.

Tabel 5.6 Distribusi Responden Menurut Sisi Sinus Yang Terinfeksi pada Tahun 2011.

Bagian wajah Frekuensi Persentase

Unilateral 92 48,4

Bilateral 65 34,2

Tidak dicantumkan 33 17,4

Total 190 100,0


(48)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2011, diperoleh data mengenai gambaran yang didapati pada penderita rinosinusitis kronis, responden pada penelitian ini. Data-data tersebut yang akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan dijabarkan sebagai berikut.

Menurut tabel 5.1, kejadian rinosinusitis kronis paling sering terjadi pada penderita dengan rentang umur di antara 31-45 tahun. Pada penelitian sebelumnya Rizal A. Lubis (1998), kelompok umur tersering menghidap rinosinusitis kronis adalah 18-27 tahun (60%), Alfian Taher (1999) usia tersering 15-24 tahun (36.85%), Elfahmi (2001) usia terbanyak adalah 35-44 tahun (30%)

Menurut penelitian Hilger (1997), anak-anak dikatakan cenderung lebih rentan terhadap infeksi virus serta alergi pada saluran nafas atas berbanding orang dewasa. Namun penelitian ini tidak sejajar dengan kutipan Hilger. Kunjungan kelompok berumur 0-15 tahun adalah yang paling kurang mungkin karena perubahan sikap dan prilaku orang tua yang memilih usaha preventif terhadap dampak kesehatan anak. Insidensi ini juga mungkin terjadi akibat penderita pada kelompok umur 0-15 tahun datang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak oleh karena di RSUP Haji Adam Malik, Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak menerima pasien pada kelompok umur 0-18 tahun.

Kelompok umur 31-45 tahun paling sering mengunjung RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 mungkin karena prilaku mereka di mana aktivitas sosial mereka lebih sering di luar rumah dengan polutan atmosfer yang buruk seperti asap rokok serta asap kenderaan bermotor. Ini menyebabkan mereka lebih berisiko besar tertular virus atau bakteri.

Menurut tabel 5.2, penyakit rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada perempuan yaitu sebanyak 54,2% berbanding lelaki dengan persentase 45,8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.M.Djamil Padang dimana insidensi penyakit rinosinusitis kronis pada


(49)

perempuan adalah sebanyak 60,7% manakala pada lelaki pula mencapai 39,3%. Menurut kutipan dari Falagas ME (2007), perempuan lebih cenderung menderita infeksi saluran nafas atas yaitu sinusitis, tonsillitis dan otitis externa, manakala lelaki pula lebih cenderung terkena infeksi saluran nafas bawah seperti otitis media dan batuk. Menurut penelitian Schachter J.Higgins MW (2003) pula, perempuan lebih sering terkena rinosinusitis kronis mungkin karena pengaruh hormonal.

Pada tabel 5.3, keluhan utama yang paling sering didapati pada penderita rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 adalah hidung tersumbat dengan persentase 56,8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Benninger (1996) juga,di mana keluhan terbanyak penderita sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat. Hal yang sama juga didapati pada penelitian yang dilakukan Massudi (Semarang, 1991) dimana keluhan utama penderita adalah hidung tersumbat 42,4% dan sakit kepala 15,1%. Hidung tersumbat biasanya adalah akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi sekunder sebelum terjadi rinosinusitis. Menurut Kennedy, hidung tersumbat dihubungkan dengan pembengkakan dalam celah hidung dan sinus yang menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase sinus sehingga mengakibatkan rinosinusitis.

Hasil pada tabel 5.4 menjabarkan bahwa pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 sebanyak 120 orang tidak dicantumkan mengenai faktor predisposisi yang memicu kejadian rinosinusitis kronis pada mereka. Kejadian ini terjadi oleh karena pada riwayat pasien tidak ditanyakan secara lengkap, sehingga sedikit informasi sahaja yang didapatkan, padahal ini merupakan hal yang paling penting dalam membantu menentukan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau memperhebat gambaran klinis dari penyakit rinosinusitis kronis tersebut.

Sajian tabel 5.5 menunjukkan bahwa penderita rinosinusitis kronis paling sering membuat kunjungan ke RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 dengan


(50)

kelainan pada sinus maksilaris yaitu dengan persentase 55,3%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Amaruddin dkk (2006) dan Tumbel (2005). Kejadian sinusitis maksilaris yang paling sering menandakan bahwa selain faktor rinogen atau tersumbatnya KOM, faktor dentogen juga memainkan peranan yang penting sebagai salah satu penyebab sinusitis maksilaris kronis.

Anatomi sinus maksilaris sedemikian rupa sehingga menyebabkan ia mudah terinfeksi. Dasar sinus maksilaris terletak lebih rendah dari ostium sehingga ia harus bergantung sepenuhnya pada pergerakan silia untuk mengeluarkan kuman atau bendasing yang masuk bersama udara pernafasan. Hambatan pada pergerakan silia akan menyebabkan sekret terkumpul dalam sinus yang seterusnya menjadi media pembiakan bakteri.

Selain itu, prosesus alveolaris adalah dasar sinus maksila, di mana ia menempatkan akar gigi premolar dan molar atas, sehingga jika terjadi infeksi apical akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal, maka dengan mudah ia dapat sebar secara langsung ke sinus melalui pembuluh darah dan limfe.

Data tabel 5.6 menjabarkan bahwa, kejadian rinosinusitis kronis paling sering terjadi secara unilateral yaitu dengan persentase sebanyak 48,4%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hong Soo Shin (1986). Kejadian ini adalah karena walaupun penderita mengalami multisinusitis, namun infeksi sinus-sinus tersebut hanya terjadi pada satu daerah wajah sahaja. Contohnya seperti infeksi sinus maksilaris dan ethmoidalis kanan. Ini adalah karena faktor kelainan anatomi dan struktur hidung seperti deviasi septum, hipertrofi konka dan polip yang turut memainkan peranannya dalam memicu kejadian rinosinusitis kronis.


(51)

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa profil penderita rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT tersebut adalah seperti yang berikut:

1. Penderita rinosinusitis kronis adalah sebanyak 190 orang pada tahun 2011.

2. Penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak kunjungannya adalah penderita pada kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 60 orang (31,6%).

3. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 103 penderita (54,2%).

4. Distribusi keluhan utama penderita rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah hidung tersumbat dengan bilangan kasus sebanyak 108 orang (56,8%)

5. Distribusi faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk mencetus penyakit rinosinusitis kronis adalah yang paling tinggi didapati pada penelitian ini yaitu mencakup sebanyak 120 pasien (63,2%).

6. Distribusi jenis sinus yang terinfeksi oleh penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak adalah sinus maksilaris yaitu sebanyak 144 orang (54,6%)

7. Distribusi sisi sinus terinfeksi pada penderita rinosinusitis kronis yang paling tinggi adalah secara unilateral yaitu sebanyak 92 orang (48,4%)


(52)

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian selanjutnya mengenai rinosinusitis kronis sebaiknya menggunakan populasi penelitian yang lebih luas dengan menggunakan data dari beberapa rumah sakit, yang bertujuan untuk memperkaya data sehingga karakteristik penderita rinosinusitis kronis dapat dikenali dengan lebih baik.

2. Pihak RSUP H.Adam Malik Medan sebaiknya meningkatkan kualitas dan melengkapi data rekam medik pasien, sehingga penelitian yang dilakukan selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih tepat.


(53)

Adams, G.L., Boeis, L.R., and Hilger, P.A., 1994. Boeis- Buku Ajar Telinga

Hidung dan Tenggorokkan. Edisi ke-6. Jakarta: 473-479.

Aminuddin. A, et al., 2008. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund- Mackay. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Available from:

Benninger, M.S., et al., 2003. Adult Chronic Rhinosinusitis: Definitions,

Diagnosis, Epidemiology, and Pathophysiology. American of

Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation. Available from:

Bestari. J. B, Rossy. R, 2011. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Available from:

Brook, I., 2012. Chronic Sinusitis. WebMD LLC. Available from:

Brown, C., 2008. Chronic Rhinosinusitis: ‘It’s My Sinus Doc!’. Australian Family Physician Vol 37. No.4.

Chooi, S., et al., 2011. Predisposing Factors Associated with Chronic and

Recurrent Rhinosinusitis in Childhood. Allergy Asthma Immunol Res.

Available from:

Dorland. W.A., Newman, 2002. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary,

alih bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta.


(54)

Dykewicz, M.S., Hamilos, D.L., 2009. Rhinitis and Sinusitis. J Allergy Clin Immunol: 103-115. Available from:

Efiaty Arsyad Soepardi, dkk, 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

dan Tenggorokkan. Edisi ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta: Hal 204-209.

Hamilos, D.L., 2000. Chronic Sinusitis. J Allergy Clin Immunol. Available from:

Hansen, J.G., 2011. Management of Acute Rhinosinusitis in Danish General

Practice: A Survey. Clin Epidemiol. Available from:

Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by the American Board of Otolaryngology, Available from:

Herawati, S., Rukmini S., 2004. Buku Hajar Ilmu Penyakit THT. Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 123-233.

Hilger, 1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus Paranasalis.

Dalam: Peter, A., (eds). 1997. Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Hong.S.S, 1986. Clinical Significance Of Unilateral Sinusitis. Journal Of Korean Medical Science. Available from:


(55)

Jackman AH, Kennedy DW. Patophysiology of Sinusitis. In: Brook Itzhak, editor. Sinusitis: From Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 109-29

Kennedy DW, Palmer JN. Revision endoscopic sinus surgery. In: Charles WC, ed. Cumming-otolaryngology head and neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005. p. 1229-60.

Lore, J.M., 1973. Atlas of Head and Neck Surgery: Nose, Throat and Ear. 2nd

Mangkunkusmo, E., Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., (eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorak Kepala Leher. Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta: 473-479.

ed. Philadelphia, WB Saunders Co: 688-708.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., dkk., 2001: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid pertama. Media Aesculapius: 133-139.

Notoatmodjo, S., 2005

Piccirillo, J.F., 2004. Acute Bacterial Sinusitis. N Engl J Med. Available from:

. Metodologi Penelitian Kesehatan : Rineka Cipta.

Nursalam, Jakarta, pp. 79-92.

Ponikau, J.U., Sherris, D.A., Kita, H., Kern, E.B., 2002. Intranasal Antifungal

Treatment in 51 Patients with chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin

Immunol. Available from:

Ramadan, H.H., 2012. Medical Treatment of Pediatric Sinusitis. WebMD LLC. Available from:


(56)

Rosenfeld, R.M., et al., 2007. Clinical Practice Guideline: Adult Sinusitis. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation (137): S1-S31.

Sastroasmoro Sudigo, Ismael Sofyan. 2002. Dasar-dasar Metodologi

Penelitian Klinis. Edisi 2. Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam

Terbitan, Jakarta. 2002; 110-128; 315-323.

Shin, S., et al., 2004. Chronic Rhinosinusitis: An enhanced immune response

to ubiquitous airborne fungi. American of Otolaryngology-Head and Neck

Surgery Foundation. Available from:

Smit, A.A., 2009. Chronic Rhinosinusitis With and Without Polyps:

Differential Treatment With Bioregulatory Medicines. Journal of

Biomedical Therapy Vol.3, No.2.

Wang, X., Kim, J., Williams, R., Cutting, G.R., 2005. Increased Prevelance of

Chronic Rhinosinusitis in Carriers of a Cystic Fibrosis Mutation. Arch


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa profil penderita rinosinusitis kronis yang berkunjung ke poli THT tersebut adalah seperti yang berikut:

1. Penderita rinosinusitis kronis adalah sebanyak 190 orang pada tahun 2011.

2. Penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak kunjungannya adalah penderita pada kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 60 orang (31,6%).

3. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 103 penderita (54,2%).

4. Distribusi keluhan utama penderita rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah hidung tersumbat dengan bilangan kasus sebanyak 108 orang (56,8%)

5. Distribusi faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk mencetus penyakit rinosinusitis kronis adalah yang paling tinggi didapati pada penelitian ini yaitu mencakup sebanyak 120 pasien (63,2%).

6. Distribusi jenis sinus yang terinfeksi oleh penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak adalah sinus maksilaris yaitu sebanyak 144 orang (54,6%)

7. Distribusi sisi sinus terinfeksi pada penderita rinosinusitis kronis yang paling tinggi adalah secara unilateral yaitu sebanyak 92 orang (48,4%)


(2)

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian selanjutnya mengenai rinosinusitis kronis sebaiknya menggunakan populasi penelitian yang lebih luas dengan menggunakan data dari beberapa rumah sakit, yang bertujuan untuk memperkaya data sehingga karakteristik penderita rinosinusitis kronis dapat dikenali dengan lebih baik.

2. Pihak RSUP H.Adam Malik Medan sebaiknya meningkatkan kualitas dan melengkapi data rekam medik pasien, sehingga penelitian yang dilakukan selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih tepat.


(3)

Adams, G.L., Boeis, L.R., and Hilger, P.A., 1994. Boeis- Buku Ajar Telinga Hidung dan Tenggorokkan. Edisi ke-6. Jakarta: 473-479.

Aminuddin. A, et al., 2008. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund- Mackay. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Available from:

Benninger, M.S., et al., 2003. Adult Chronic Rhinosinusitis: Definitions, Diagnosis, Epidemiology, and Pathophysiology. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation. Available from:

Bestari. J. B, Rossy. R, 2011. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada

Rinosinusitis Kronis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Available from:

Brook, I., 2012. Chronic Sinusitis. WebMD LLC. Available from:

Brown, C., 2008. Chronic Rhinosinusitis: ‘It’s My Sinus Doc!’. Australian Family Physician Vol 37. No.4.

Chooi, S., et al., 2011. Predisposing Factors Associated with Chronic and Recurrent Rhinosinusitis in Childhood. Allergy Asthma Immunol Res. Available from:

Dorland. W.A., Newman, 2002. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta.


(4)

Dykewicz, M.S., Hamilos, D.L., 2009. Rhinitis and Sinusitis. J Allergy Clin Immunol: 103-115. Available from:

Efiaty Arsyad Soepardi, dkk, 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokkan. Edisi ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Hal 204-209.

Hamilos, D.L., 2000. Chronic Sinusitis. J Allergy Clin Immunol. Available from:

Hansen, J.G., 2011. Management of Acute Rhinosinusitis in Danish General Practice: A Survey. Clin Epidemiol. Available from:

Hazenfield, Hugh N., M.D., F.A.C.S., (2009), Endoscopic Sinus Surgery by

the American Board of Otolaryngology, Available from:

Herawati, S., Rukmini S., 2004. Buku Hajar Ilmu Penyakit THT. Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 123-233.

Hilger, 1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam: Peter, A., (eds). 1997. Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Hong.S.S, 1986. Clinical Significance Of Unilateral Sinusitis. Journal Of Korean Medical Science. Available from:


(5)

Jackman AH, Kennedy DW. Patophysiology of Sinusitis. In: Brook Itzhak, editor. Sinusitis: From Microbiology to Management. New York: Taylor & Francis; 2006. p. 109-29

Kennedy DW, Palmer JN. Revision endoscopic sinus surgery. In: Charles WC, ed. Cumming-otolaryngology head and neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005. p. 1229-60.

Lore, J.M., 1973. Atlas of Head and Neck Surgery: Nose, Throat and Ear. 2nd

Mangkunkusmo, E., Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., (eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala Leher. Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 473-479.

ed. Philadelphia, WB Saunders Co: 688-708.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., dkk., 2001: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid pertama. Media Aesculapius: 133-139.

Notoatmodjo, S., 2005

Piccirillo, J.F., 2004. Acute Bacterial Sinusitis. N Engl J Med. Available from: . Metodologi Penelitian Kesehatan : Rineka Cipta. Nursalam, Jakarta, pp. 79-92.

Ponikau, J.U., Sherris, D.A., Kita, H., Kern, E.B., 2002. Intranasal Antifungal Treatment in 51 Patients with chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin Immunol. Available from:

Ramadan, H.H., 2012. Medical Treatment of Pediatric Sinusitis. WebMD LLC. Available from:


(6)

Rosenfeld, R.M., et al., 2007. Clinical Practice Guideline: Adult Sinusitis. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation (137): S1-S31.

Sastroasmoro Sudigo, Ismael Sofyan. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 2. Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan, Jakarta. 2002; 110-128; 315-323.

Shin, S., et al., 2004. Chronic Rhinosinusitis: An enhanced immune response to ubiquitous airborne fungi. American of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation. Available from:

Smit, A.A., 2009. Chronic Rhinosinusitis With and Without Polyps: Differential Treatment With Bioregulatory Medicines. Journal of Biomedical Therapy Vol.3, No.2.

Wang, X., Kim, J., Williams, R., Cutting, G.R., 2005. Increased Prevelance of Chronic Rhinosinusitis in Carriers of a Cystic Fibrosis Mutation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg Vol 131.