Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
171
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat
pre test
sebanyak 15 orang 50. Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual
dengan katerogi sering saat
post test
sebanyak 50 orang 50. Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,001. Jadi ada
perbedaan yang bermakna antara aktivitas hubungan sexual pada saat
pre
dan
post test
pada kelompok intervensi.
b. Tingkat kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus.
Tabel 2. Perbedaan tingkat kepuasaan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita
Diabet Melitus pada
pre
dan
post
test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kategori kepuasan Hubungan sexual
Kelompok Intervensi
Pre Post
Frek Frek
Puas 19
63,3 14
46,7 Tidak puas
11 36,7
16 53,3
Total 30
100 30
100
P
value
0,017
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat
pre test
sebanyak 11 orang 36,7. Sedangkan jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat
post test
sebanyak 16 orang 53,3. Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut
adalah 0,017. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada saat
pre
dan
post test
pada kelompok intervensi.
2. Analisis kualitatif a. Karakteristik partisipan
Tabel 3. Karakteristik partisipan yang dilakukan wawancara mendalam tentang kepuasan
hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus pada
pre
dan
post
test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Parisipan Umur
tahun Pendidikan
Pekerjaan Kelompok
P1 60
SMP Wiraswasta
Intervensi P2
52 SI
PNS Intervensi
P3 46
SMP BURUH
Intervensi P4
52 SMP
Wiraswasta Intervensi
P5 51
SMP PNS
Intervensi
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sampel pada kelompok intervensi, partisipannya yang berumur 44 tahun sebanyak 2 orang, partisipan yang
mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebagai IRT sebanyak
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
172
2 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol partisipan yang mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebanyak IRT sebanyak 3 orang.
Perbedaan kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus padapre dan posttest kelompok intervensi diperkuat dengan hasil kualitatif yang diperoleh
bahwa kelompok yang mendapat perlakuan, kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus mengalami peningkatan ditunjukkan dengan kenikmatan
setelah mengakhir hubungan sexual. Hasil analisis indepth interviewterlihat dalam table dibawah ini,
Tabel 4. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
pada
pre
test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci Sub Kategori
Tema
Jengkel Perasaan
pada hubungan sexual
Perasaan pada hubungan sexual
Kecewa Ereksi ora tegang banget Ereksi tidak maksimal
Disfungsi ereksi Ereksi ora kenceng
Kurang tegang Ejakulasi sedikit
Gangguan ejakulasi Disfungsi ejakuasi
Susah keluar Metune susah
Tabel 5. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus
pada
post
test padakelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014
Kata kunci Sub Kategori
Tema
Puas Perasaan pada hubungan
sexual Perasaan pada hubungan
sexual Rasane senang
Nikmat Ereksi normal
Tidak ada disfungsi ereksi Ereksi tegang
Ereksi kenceng Tegang
Ejakulasi banyak Ejakulasi normal
Tidak ada
disfungsi ejakuasi
Keluarnya normal Keluar banyak
Pembahasan Tingkat aktivitas penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada
kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada perbedaan yang bermakna p value 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada
penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas hubungan sexual. Salah satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang
senam diabet. Hasil penelitian ini sesuai dengan Smith 1995 dan Notoatmodjo 2003 yang menyatakan
bahwa pendidikan kesehatan senam diabet adalah kegiatan belajar mengajar yang disesuaikan dengan kondisi penderita DM dan diberikan oleh perawat.Pendidikan
kesehatan menurut WHO merupakan berbagai kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya dengan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
173
meningkatkan pengetahuan yang mempengaruhi perilaku.Oleh karena itu ada perbedaan bermakna tingkat aktivitas saat melakukan hubungan sexual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet efektif meningkatan aktivitas hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang melakukan hubungan sexual
dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang 50. Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post
intervensi sebanyak 11 orang 36,7 . Penurunan frekuensi hubungan sexual kategori jarang pada saat post terjadi sebanyak 12.
Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang 50 . Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya
perubahan aktivitas dalam hubungan sexual. Kaplan menyebutkan bahwa adanya diabetes pada pria dapat berdampak pada kemampuan seks dimana neuropati dapat menyebabkan
kerusakan syaraf Duning, 2003. Hal ini senada dalam penelitian Bangun 2013 didapatkan bahwa dalam hubungan sexual penderita DM mengalami penurunan frekuensi
hubungan sexual. Berdasarkan penelitian Bangun secara kualitatif 2013 didapatkan hasil bahwa pria DM melakukan hubungan sexual sebanyak 3 atau 4 kali sebulan, ada juga yang
hanya sebulan sekali. Adanya perubahan aktifitas hubungan sexual pada responden tercermin melalui penuruan frekuensi hubungan sexual dan penurunan hasrat dalam
sexual. Perubahan frekuensi ini terjadi karena adanya penurunan kadar testoteron yang berkaitan dengan keseluruhan aktivitas sexual dan rendahnya hasrat sexual. Nilai total dan
bebas dari testoteron umumnya akan rendah pada pasien DM. Diabetes Melitus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah akibat aterosklerosis
berupa kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai faktor aterogenik seperti kelainan metabolisme lemak, perubahan adhesi trombosis.
Gangguan pembuluh darah terkait dengan disfungsi endotelial karena aktivasi protein kinase C PKC, ekspresi berlebihan growth factorscytokines dan stress oxidasi.
Peningkatan glukosa di jalur poliol mengeluarkan co-faktor aldose reductase nicotinamide adenine dinucleotidephosphate NADPH dan sorbitol dehydrogenase nikotinamid adenin
dinukleotida NAD+, menyebabkan berkurangnya NADPH yang berdampak menurunnya aktifitas glutathione reductase dan sintesis nitric oxide NO sehingga terjadi gangguan
mikrovaskular dan melambatnya konduksi saraf, kegagalan neurogenik dan menurunnya NO menyebabkan akumulasi advanced glycation end products AGEs 22. Selain itu
hiperglikemia dengan melewati jalur glycolytic meningkatkan sintesis de novu deacylglyceral DAG yang meningkatkan aktifitas PKC yang gilirannya meningkatkan
aktifitas sodium-proton antiport yang mengatur pH intrasel, pertumbuhan dan difrensiasi sel juga menambah ekspresi protein matriks seperti fibronectin, kolagen tipe IV dan
laminin yang menyebabkan disfungsi vaskular. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan peningkatan nonenzimglucation yang berlaku sebagai antigen bagi protein dan DNA
sehingga terjadi kelainan struktur dan fungsi makromolekul jaringan yang menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta saraf perifer. Pada penderita diabetes
juga terjadi peningkatan very low densiy lipoprotein VLDL yang memudahkan agregasi platelet, peningkatan tumor necrosis factor alpha TNF-
α dan penurunan insulin-like growth factor-1 IGF-1 yang mengakibatkan disfungsi saraf simpatis sehingga terjadi
penurunan aliran darah proksimal dan vasokonstriksi paradoksal. Peningkatan jalur poliol, akumulasi AGEs intrasel, aktifitas PKC menyebabkan komplikasi endotelium pembuluh
darah, saraf perifer berupa mikroangiopati dan neuropati yang mengakibatkan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
174
terganggunya aliran darah, iskemia, terganggunya perfusi jaringan yang dapat berakibat gagalnya ereksi. Gangguan aktifitas hubungan sexual pada penderita didukung dengan
hasil wawancara dengan informan. Masalah dalam hubungan seksual lain yang terjadi pada informan adalah disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi tersebut meliputi kemampuan
ereksi selama aktifitas sexual, kemampuan ereksi maksimal untuk penetrasi, frekuensi memasukkan alat kelamain, kemampaun penetrasi, kemampuan mempaertahanakn ereksi
saat penetrasi dan kemampuan memepertahankan ereksi sampai coitu selesai. satu informan mengatakan susah untuk ereksi sehingga tidak bisa memulai hubungan sexual
dengan pasangan. Empat informan mengatakan ketika sedang ereksi tidak bisa optimal sehingga kurang puas dalam melakukan hubungan sexual.Selain itu juga terjadi perubahan
ejakulasi dengan penurunan produksi sperma dan gangguan ejakulasi.Adanya disfungsi ereksi ini menurunkan frekuensi hubungan sexual pada penderita DM.Hasil wawancara
dengan informan juga didapatkan adanya perubahan fungsi orgasme. Tiga orang informan mengatakan kemampuan ejakulasi setelah adanya stimulasi atau
intercouse
dan merasakan orgasme atau klimaks saat diberikan stimulasi menurun dengan adanya Diabet melitus.
Adanya disfungsi ereksi pada penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain neurogenik, vaskulogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.Pada
penyakit diabetes yang telah mengalami neuropati, terjadi kerusakan saraf perifer menuju corpora yang dapat mengurangi sensasi penis. Pada vaskulogenik terjadi gangguan yang
mempengaruhi aliran darah arteri perifer yang berkaitan erat dengan disfungsi ereksi. System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi
arteri penis komunis dan bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan arteri bulbo uretralis. Penyempitan arteri pudenda interna mengurangi penekanan perfusi
ke corpora yang mengakibatkan kegagalan untuk mencapai kekakuan penuh sehingga ereksi menjadi lemas flaccid.
Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya lesi aterosklerosis pada penderita diabetes. Kerusakan endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos, sedangkan pada
kerusakan miogenik terjadi gangguan fungsi otot polos. Endotel mempunyai peranan penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah. Sel-sel endotel yang rusak
dapat mengurangi pelepasan neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama sintesis nitric oxide NO . Menurunnya NO dapat mengakibatkan gangguan
mikrovaskular dan konduksi saraf juga akan melambat. Nitric oxide merupakan mediator neural pada proses terjadinya ereksi yang prinsipnya dapat menyebabkan relaksasi otot-
otot halus kavernosum penis dan pembuluh darah penis. Sebelum NO berperan dalam mekanisme ereksi, terlebih dahulu terjadi ereksi refleksogenik. Ereksi refleksogenik hasil
dari stimulus reseptor sensori pada penis, hubungan dengan tulang belakang, aksi saraf somatik dan saraf eferen parasimpatis. Aktifitas saraf parasimpatis memicu rangkaian
peristiwa
melalui neurotransmiter
acetylcholine dan
merangsang neurefektor
nonadrenergic-noncholinergic NANC melepaskan NO yang menyebabkan relaksasi otot halus trabekular dan pembuluh darah penis. Aliran darah masuk ke dalam korpus
kavernosum menekan vena sehingga terjadi penurunan aliran balik vena mekanisme penutupan venocorporal. Peningkatan inflow dan penurunan outflow secara cepat
mengakibatkan tekanan intrakavernosa meningkatkan sehingga menyebabkan kekakuan pada penis yang progresif dan terjadi ereksi penuh. eksogen merupakan komponen penting
dari seksualitas yang dapat meningkatkan libido. Rendah tingkat testosteron mengakibatkan penurunan libido. Disfungsi ereksi dilaporkan sekitar 50 terjadi pada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
175
laki-laki diabetes dan frekuensi disfungsi ereksi pada penderita diabetes meningkat 25 di atas usia 35 tahun dan 70 sesudah usia 60 tahun, serta 30 penderita diabetes
mengalami penurunan libido. Dalam penelitian Hafna Ilmy Muhalla 2011 menyebutkan bahwa disfungsi ereksi adalah komplikasi yang sering terjadi dan 3 kali lebih sering terjadi
pada pri DM dibanding non-DM. Lebih dari separuh tepatnya 35-75 pria DM mengalami disfungsi ereksi dengan berbagai tingkatan dan sayangnya hanya 10 yang
mencari pengobatan. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang 36,7 . Hal ini berarti ada
peningkatan frekuensi hubungan sexual setelah responden diajarkan senam diabet. Adanya gerakan dalam senam diabet memberikan manfaat bagi responden yaitu menurunkan kadar
glukosa darah dan dapat membantu mengatasi terjadinya komplikasi gangguan lipid darah atau pengendapan lemak didalam darah, peningkatan tekanan darah, hipertensi, koagulasi
darah atau penggumpalan darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual.
Tingkat kepuasan penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada
perbedaan yang bermakna p value 0,017. Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan hubungan sexual. Salah
satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang senam diabet.Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet tidak efektif dalam
meningkatkan kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang 36,7. Sedangkan
jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang 53,3.
Demon dan Byers 1999 menyatakan kepuasan seksual adalah suatu bentuk kedekatan seksual yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam
kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan hubungan seksual. Kepuasan seksual merupakan suatu bentuk perasaan yang dirasakan
oleh pasangan atas kualitas hubungan seksual mereka yang dapat berupa sentuhan fisik dan psikis. Hubungan seksual ini bukanlah semata-mata bertemunya secara keadaan
fisiologik antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga bertemunya keadaan psikologik dari kedua individu itu.semua curahan hatinya,curahan perasaannya dinyatakan
pada waktu hubungan seksual tersebut Walgito, 1984. Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di bagian
hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya dipengaruhi keberadaan hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik. Akibat hiperglikemia
berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta sistem s
araf perifer karena peningkatan aktifitas PKC dan TNF α , Selain itu pula juga dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat tidak cukupnya atau tidak sensitifnya
insulin, gangguan replikasi sel Leydig karena penurunan signalling SCF akibat sesistensinya insulin pada testis menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron,
selain itu juga menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga juga akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk
terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual sexual erotism dan kesadaran seksual sexual awareness.Menurunnya jumlah testosteron
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
176
menyebabkan berkurangnya akumulasi testosteron pada daerah hipotalamus dan korteks serebri, akibatnya bagian yang mengaktifkan metabolisme otak dan mengatur libido ini
menjadi kurang aktif sehingga terjadi hambatan atau penurunan libido. Selain menyebab hormonal, hambatan libido dapat pula dikarenakan dampak pengobatan, rasa tidak puas
terhadap pengobatan, ini dapat dilihat dari lebih banyaknya hambatan libido terdapat pada penderita diabetes melitus dengan waktu lama menderita di atas 1 tahun baik 1-5 tahun
atau diatas 5 tahun, yaitu 1,6 x 27,5 cenderung lebih besar dibandingkan penderita yang lama menderitanya dibawah 1 tahun 17,5
Jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang 36,7. Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya ketidakpuasan penderita
dalam melakukan hubungan sexual. Hal ini dikarenakan karena adanya perubahan disfungsi ereksi yang terjadi pada responden. Adanya disfungsi ereksi tersebut akan
berpengaruh terhadap kepuasan dalam hubungan sexual. Ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita DM akan memberikan adanya emosi negatif pada
responden. Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan emosi negatif yang muncul dari informan sebelum dilakukan pelatihan senam diabet diantaranya adalah
kecewa dan jengkel. Kecewa merupakan respon yang dialami oleh informan dalam penelitian ini. Kecewa merupakan perasaan kecil hati; tidak puas karena tidak terkabul
keinginannya dan harapan. Satu dari informan yang berperan serta dalam penelitian ini menyatakan bahwa informan merasa kecewa akibat dari ketidakmampuan atau
kegagalannya memenuhi kewajibanya sebagai suami. Dalam penelitian ini hal ini terjadi sebagai akibat dari ketidak mampuan informan dalam melakukan atau memenuhi
kebutuhan seksualitas yang diakibatkan oleh perubahan seksualitas yang terjadi. Menurut Bangun 2013 Harapan atau keinginan informan adalah mampu menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan bathin dari istrinya. Dimana sebagai seorang laki
– laki secara umum menginginkan menjadi the real men atau pria sejati, yang mempunyai pekerjaan baik, stress yang tertata, hidup yang baik bersama
perempuan yang benar dan baik, dan bahkan mendapatkan keberhasilan dan kegagalan yang nyata dan baik pula. Namun diabetes yang dideritanya mengakibatkan disfungsi atau
tidak berfungsi secara normal dari organ seksualnya akan menyebabkan seorang lelaki tersebut akan merasa sudah tidak bisa menjadi pria sejati lagi dan akhirnya kesejahteraan
hidup terganggu. Emosi negatif lain yang muncul dari informan yang diteliti adalah munculnya perasaan jengkel terhadap kondisi perubahan seksual yang terjadi saat
dilakukan penelitian. Salah satu informan mengatakan jengkel terhadap kondisinya saat ini sebagai dampak akibat perubahan seksual yang dialaminya. Rasa jengkel informan
dikarenakan adanya perubahan dalam ereksi sehingga mempengaruhi kepuasan dan kenikmatan dalam hubungan sexual. Jumlah responden yang merasakan tidak puas pada
saat post intervensi sebanyak 16 orang 53,3. Apabila dibandingkan dengan jumlah responden pada saat pre Intervensi memang meningkat peningkatan 16,6 . Kondisi ini
disebabkan ada beberapa responden yang tidak rutin melakukan senam diabet. Responden yang melakukan senam rutin dalam 4 kali dalam seminggu hanya 40 . Responden tidak
melakukan senam diabet secara rutin karena responden kurang menyadari akan dampak perubahan sexual akibat adanya penyakit diabet mellitus. Senam diabet apabila dilakukan
rutin oleh penderita diabet akan memberikan manfaat bagi penderita terkait hubungan sexual.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
177
Senam diabetes adalah senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik dan merupakan bagian dari pengobatan diabetes mellitus Persadia, 2000.Senam diabet adalah
suatu latihan yang dilakukan oleh penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Manfaat senam diabet adalah
menurunkan kadar glukosa darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual. Latihan rutin senam diabet pada penderita diabet
melitus menyebabkan hubungan sexual dengan pasangannya menjadi lebih berkwalitas. Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan informan yang menyatakan bahwa
mereka merasa nikmat dan puas setelah melakukan senam diabet 4 kali dalam seminggu.
Kesimpulan Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14
orang 46,7 , karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang 60 , kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang
40 , Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM, Ada
hubungan yang bermakna antara senam diabet tingkat dan kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM untuk kelompok intervensi.
Saran diperuntukkan ba gi p ri a p end eri t a D M ya i t u P end eri t a DM di sa ran kan untuk lebih rajin melakukan senam diabet sehingga bermanfaat untuk dirinya dan
pasanganya. Daftar Pustaka
Arikunto. 2008.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik
. Jakarta: Rineka Cipta. Atul Lutha. 2013. Erectile Dysfunction In Diabetic Male : Plausible Mechanism And
Management Strategies.
Diaskes melalui http:diabetesindia.com
tanggal 29 Agustus 2013.
Bhasin S, et al
.
2007. Sexual Dysfunction In Men And Women With Endocrine
Disorders. Diakses melalui
http:www.thelancet.com
tanggal 28 Agustus 2013. Bangun. 2013. Pengalaman hubungan seksual pada penderita Diabet Mellitus Di
Puskesmas Bergas, Skripsi, tidak dipublikasikan. Hafna Ilmy Muhala 2011. Pengalaman Disfungsi Seksual pada Klien Pria Diabetes
di RSUPN
Dr. Cipto.
Diambil dari
http:lontar.ui.ac.idopacthemeslibri2detail.jsp?id= 20281063lokasi= lokal pada tanggal 12 Januari 2013
Jacobs LI.2005.
Impotensi Yang Perlu Diketahui Setiap Suami Istri
. Jakarta
:
Pustaka Sinar Harapan.
Misnadiarly.2006.
Diabetes Mellitus Ulcer, Gangren, Infeksi
. Jakarta
:
Pustaka populer Obor.
Moelong, Lexy J. 2011.
Metodologi Penelitian Kualitatif
.
.
Bandung
:
PT. Rosdakarya Notoatmodjo S. 2002.
Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta
:
Rineka Cipta. Sustrani L.2006. Diabetes
.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Tjokronegoro A, Murtiani AS.2003.
Rahasia Dibalik Keperkasaan Pria.
Jakarta
:
FKUI Pangkahila W.2005.
Menguak Disfungsi Ereksi:Menyimak Masalah Pria,Keluhan Wanita.
Jakarta
:
PT Gramedia. Profil Kesehatan Jawa Tengah.2013
Diakses melaui
www.dinkesjatengprov.go.id
tanggal 25 Juli 2013.
Widhyastuti. 2012. Senam Diabet. Jakarta : Rineka Cipta.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
178
Pengaruh
Spiritual Emotional Freedom Technique
Terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah
Yunitia Aulianita
1
, Sari Sudarmiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat
2
Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: yunitia.aulianitayahoo.com
Staf Pengajar Departemen Keperawatan Maternitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: sarisudarmiatigmail. com.
Abstrak
Kecemasan wanita klimakterium terjadi akibat adanya sindrom klimakterium dan ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. SEFT sebagai salah satu
terapi non farmakologis untuk mengatasi kecemasan. SEFT adalah terapi yang menggabungkan sistem energi tubuh dan spiritualitas dengan metode
tapping
pada 18 titik kunci di sepanjang 12 jalur energi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh
spiritual emotional freedom technique
terhadap kecemasan wanita klimakterium. Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan
quasi eksperiment
tanpa kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik
purposive sampling
dengan jumlah responden sebanyak 30 wanita klimakterium. Kecemasan
pre-test
dan
post-test
diukur dengan kuesioner
Hamilton Rating Scale for Anxiety
HRS-A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sebanyak 30 responden 100, setelah dilakukan terapi
SEFT adalah tidak ada kecemasan sebanyak 4 responden 13,3. Rata-rata skor kecemasan
pre-test
sebesar 21,50 dan rata-rata skor kecemasan
post-test
sebesar 19,43. Hasil uji statistik dengan
Wilcoxon signed rank test
diperoleh
value
= 0,000, dengan
value
0,05 H ditolak, hal ini menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan
wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah. Saran bagi wanita klimakterium adalah terapi SEFT dapat
direkomendasikan sebagai terapi alternatif untuk mengatasi kecemasan wanita klimakterium.
Kata kunci : Kecemasan, Klimakterium, SEFT
Pendahuluan Klimakterium adalah fase proses penuaan wanita dari masa reproduktif menuju masa tidak
reproduktif Andrews, 2009. Pada tahun 2014 di Jawa Tengah, jumlah wanita klimakterium dengan kelompok usia 45-59 tahun mencapai 2.794.706 jiwa Kementrian
Kesehatan RI, 2011. Jumlah wanita diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan peningkatan angka harapan hidup AHH. Pada tahun 2010, AHH perempuan di Jawa
Tengah sebesar 74,8 tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 75,6 tahun BPS, 2010. Peningkatan AHH wanita akan membawa konsekuensi terhadap kesehatan wanita
klimakterium Aziz, 2010.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
179
Wanita klimakterium akan mengalami kecemasan sebagai salah satu dampak psikologis dari sindrom klimakterik. Kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada masa
perimenopause dengan rentang usia 45-55 tahun Chontessa et al., 2012. Kecemasan wanita klimakterium disebabkan oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron,
ketidakmampuan mengandung anak, perasaan tidak berharga lagi, kebutuhan seksual terganggu, perceraian, kematian suami atau anak, masalah keluarga, masalah pekerjaan,
masa pensiun, masalah ekonomi, gangguan tidur, kecantikan memudar, daya tarik menurun, kelebihan berat badan, serta perubahan fisik akibat penuaan lainnya Kozier,
2010. Terapi untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan terapi psikologis. Salah satu
terapi psikologis yang digunakan adalah
spiritual emotional freedom technique
SEFT. SEFT merupakan kombinasi antara
Spiritual Power
dengan
Energy Psychology
yang memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku
manusia. Prinsip SEFT adalah mengatasi masalah kesehatan dengan cara merangsang titik- titik kunci di sepanjang 12 jalur energi meridian tubuh. SEFT tidak menggunakan alat
bantu terapi dan cara penggunaan SEFT mudah dipelajari. SEFT menggunakan teknik ketukan ringan
tapping
dengan ujung jari telunjuk dan jari tengah pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian
tubuh Zainuddin, 2006. Telah banyak penelitian tentang
SEFT berguna untuk mengatasi masalah emosi, diantaranya adalah penelitian oleh Zakiyyah yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh
terapi SEFT terhadap penurunan nyeri dismenorea pada remaja putrid Zakiyyah, 2013. Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Yuliani dan Purwanti yang melaporkan bahwa
setelah dilakukan
spiritual healing
kecemasan wanita menopause sudah tidak ada lagi Yuliani Purwanti, 2013. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Faridah
membuktikan bahwa terapi SEFT dapat menurunkan tekanan darah tinggi Faridah, 2012. Penelitian oleh Dhianto juga melaporkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Pekalongan Dhianto et al., 2014.
Hasil studi pendahuluan kepada 12 wanita klimakterium, peneliti memperoleh data sebagai berikut: 9 dari 12 orang mengalami kecemasan dengan kecemasan ringan sebanyak 5
orang, kecemasan sedang 3 orang dan kecemasan berat 1 orang. Kegiatan posyandu lansia di Kelurahan Pedalangan belum ada yang berkaitan dengan penatalaksanaan kecemasan
wanita klimakterium dengan menggunakan terapi SEFT. Berdasarkan fenomena tersebut,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh
Spiritual Emotional Freedom Technique
terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah”.
Metode Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian
quasi eksperiment
tanpa kelompok kontrol dengan pendekatan
one group pre-test-post-test design
. Populasi penelitian ini adalah wanita klimakterium berusia 45-55 tahun di RW 6 Kelurahan
Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah sebanyak 52 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling
dengan jumlah sampel penelitian 30 orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, dilakukan skrining
tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner
Hamilton Rating Scale for Anxiety
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
180
HRS-A. Responden yang memenuhi kriteria inklusi skor HRS-A 13, diberikan terapi SEFT sebanyak dua kali selama 5-10 menit. Jarak terapi SEFT pertama dan kedua yaitu 24
jam. Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 28 Mei-11 Juni 2015. Peneliti menggunakan kuesioner HRS-A untuk mengukur kecemasan responden saat
pre-test
dan
post-test.
Hasil Penelitian 1.
Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan,
Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei
– 11 Juni 2015 n: 30
Data Demografi
Tingkat Kecemasan Jumlah
Tidak ada
kecemas an
Kecemasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat
Kecema san
berat sekalipa
nik F
F F
F F
F
Usia
45-50 tahun 0 0,0
6 46,2
3 23,0
4 30,8
0,0 13
100 51-55 tahun 0
0,0 8
47,0 7
41,2 2
11,8 0,0
17 100
Status Pernikahan
Belum Menikah
0,0 1
50,0 1
50,0 0,0
0,0 2
100 Menikah
0,0 12
54,6 6
27,2 4
18,2 0,0
22 100
Janda 0,0
1 16,7
3 50
2 33,3
0,0 6
100
Pendidikan Terakhir
Tidak Sekolah
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
Tidak Tamat SD
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
Tamat SD 0,0
0,0 0,0
2 100
0,0 2
100 SMP
0,0 2
33,3 2
33,3 2
33,3 0,0
6 100
SMA 0,0
9 60,0
5 33,3
1 6,7
0,0 15
100 Akademika
Universitas 0,0
3 42,9
3 42,9
1 14,2
0,0 7
100
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
181
Data Demografi
Data Demografi Jumlah
Tidak ada kecemasan
Kecemasan ringan
Kecemasan sedang
Kecemasan berat
Kecemasan berat sekali
panik F
F F
F F
F
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
0,0 8
57,2 1
7,1 5
35,7 0,0
14 10
Pensiunan 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 Wiraswasta
0,0 0,0
5 100
0,0 0,0
5 10
Pegawai Negeri
0,0 3
60,0 2
40,0 0,0
0,0 5
10 Pegawai
Swasta 0,0
2 40,0
2 40,0
1 20,0
0,0 5
10 Lain-lain
0,0 1
100 0,0
0,0 0,0
1 10
Ibu Rumah Tangga
0,0 8
57,2 1
7,1 5
35,7 0,0
14 10
Pensiunan 0,0
0,0 0,0
0,0 0,0
0,0 Wiraswasta
0,0 0,0
5 100
0,0 0,0
5 10
Pegawai Negeri
0,0 3
60,0 2
40,0 0,0
0,0 5
10
Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan tertinggi berdasarkan usia adalah 51- 55 tahun sebesar 47,0, status pernikahan adalah menikah sebesar 54,6, pendidikan
terakhir adalah SD sebesar 100, dan pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 35,7.
2. Distribusi Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi
SEFT Tabel 2
Kategori Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa
Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 n: 30 Kecemasan
Responden Tingkat Kecemasan
Jumlah Tidak ada
kecemasan Kecemasan
ringan Kecemasan
sedang Kecemasan
berat Kecemasan
berat sekalipanik
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
182
F F
F F
F F
Sebelum SEFT
0,0 14
46,7 10
33,3 6
20,0 0,0
30 100 Sesudah
SEFT 4
13,3 13
43,3 11
36,7 2
6,7 0,0
30 100
Tabel 2 menunjukkan sebelum dilakukan SEFT, diperoleh data kecemasan ringan 14 wanita 46,7, kecemasan sedang 10 wanita 33,3, dan kecemasan berat 6 wanita
20,0. Sesudah dilakukan SEFT, diperoleh data tidak ada kecemasan 4 wanita 13,3, kecemasan ringan 13 wanita 43,3, kecemasan sedang 11 wanita 36,7, dan
kecemasan berat 2 wanita 6,7.
3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan
Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Tabel 3
Hasil Uji
Wilcoxon Signed Rank Test
Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 n: 30 Mea
n Median
Std. Deviatio
n Skor
Terendah Skor
Tertinggi Z
P Value
Sebelum SEFT
21,5 23,00
5,23 14,00
31,00 - 4,593
a
0,000 0,05
Sesudah SEFT
19,4 3
20,00 5,09
13,00 28,00
Tabel 3 menunjukkan sebelum SEFT, mean 21,50, median 23,00, standar deviasi 5,23, skor terendah 14,00 dan tertinggi 31,00. Sesudah SEFT, mean 19,43, median 20,00,
standar deviasi 5,09, skor terendah 13,00 dan tertinggi 28,00. Uji
Wilcoxon Signed Rank Test
menunjukkan penurunan rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah SEFT sebesar 2,07. Diperoleh nilai
p
0,05 dan nilai Z -4,593
a
berada diluar rentang -+1,95, artinya menunjukkan bahwa dengan
p-value=
0,000 terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
terapi SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium.
Pembahasan 1.
Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum Diberikan Terapi SEFT Tabel 3 menunjukkan kecemasan sebelum SEFT dengan mean 21,50, skor terendah 14
dan tertinggi 31. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh wanita mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan sebelum SEFT, yaitu kecemasan ringan 14 wanita
46,7, kecemasan sedang 10 wanita 33,3, dan kecemasan berat 6 wanita 20,0. Responden berusia 51-55 tahun mengalami kecemasan lebih besar, yaitu
47,0 mengalami kecemasan ringan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Afuanti yang mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada usia
51-55 tahun. Semakin bertambah usia wanita klimakterium, maka berbagai keluhan juga akan bertambah dan kecemasan akan semakin meningkat Afuanti et al., 2010.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
183
Responden yang menikah mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 54,6 mengalami kecemasan ringan. Mayoritas wanita klimakterium yang mengalami kecemasan adalah
wanita klimakterium yang menikah. Wanita yang menikah memiliki kecemasan lebih berat karena perselisihan dalam perkawinan, tidak memiliki hubungan interpersonal
yang erat dengan anggota keluarga, kurangnya otonomi, serta perbedaan pendapat dengan suami dan anak-anak Afuanti et al., 2010.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden berpendidikan SD mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 100 mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian
Apriyanti mengatakan kecemasan tertinggi berada pada wanita klimakterium yang berpendidikan rendah. Pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan sikap wanita
menjadi lebih baik dalam mengahadapi perubahan selama masa klimakterium, sehingga meminimalisir timbulnya kecemasan
Apriyanti et al., 2012. Responden ibu rumah tangga mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 35,7
mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitriah mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium adalah ibu rumah tangga. Ibu
yang bekerja memiliki lebih banyak bersosialisasi, sehingga dapat mempengaruhi informasi yang didapat. Ibu rumah tangga lebih merasakan kehilangan gairah seksual
sehingga takut tidak dapat memuaskan suami, ketakutan suami mencari wanita lain, berkurangnya peran dalam keluarga, ketakutan berkurangnya penghasilan karena tidak
bekerja Fitriah Susilowati, 2010.
2. Kecemasan Wanita Klimakterium Sesudah Diberikan Terapi SEFT
Pada tabel 3 menunjukkan kecemasan sesudah SEFT dengan mean 19,43, skor terendah 13 dan skor tertinggi 28. Kecemasan sesudah SEFT menurun dengan hasil
tidak ada kecemasan 4 wanita 13,3, kecemasan ringan 13 wanita 43,3, kecemasan sedang 11 wanita 36,7, dan kecemasan berat 2 wanita 6,7.
Penurunan kecemasan terlihat dari peningkatan jumlah wanita yang tidak mengalami kecemasan, yaitu sebelum SEFT seluruh responden mengalami kecemasan dan
sesudah SEFT terdapat 4 wanita yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan berat juga menurun dari 6 wanita menjadi 2 wanita sesudah diberikan SEFT. Hasil ini
menunjukkan bahwa kecemasan wanita klimakterium mengalami penurunan sesudah diberikan SEFT. SEFT memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia
dengan menggunakan teknik
tapping
pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian
tubuh. SEFT menetralisir perlawanan psikologis berupa pikiran-pikiran negatif selama masa klimakterium. Pikiran-pikiran negatif tersebut diubah menjadi
pikiran-pikiran positif dengan cara dinetralisir dengan doa kepasrahan. Kekuatan doa yang disertai keikhlasan dan kepasrahan dapat memperkuat efek terapi SEFT
Zainuddin, 2006.
3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium
Hasil uji
Wilcoxon signed rank test
pada tabel 3 diperoleh nilai
p-value
= 0,000 0,05.
P-value
= 0,000, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan 0,05. Hal ini
berarti H ditolak dan H
a
diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium sebelum dan sesudah dilakukan terapi
SEFT. Adanya pengaruh yang signifikan antara terapi
spiritual healing
SEFT terhadap penurunan kecemasan wanita menopause di kelompok pengajian Majelis
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
184
Taklim Nurul Hikmah Desa Purbadana Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas Yuliani Purwanti, 2013.
SEFT menurunkan adrenalin dan kortisol, sehingga denyut jantung, tekanan darah tinggi dan ketegangan otot menurun
Hart, 2003. Hal ini diperkuat dengan penelitian Faridah yang menyatakan bahwa terdapat penurunan tekanan darah
systole
dan
diastole
pada penderita hipertensi usia 45-59 tahun di RSUD dr. Soegiri Lamongan Faridah, 2012.
Penelitian di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pasien
pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan setelah diberikan terapi SEFT. Hasil uji
paired sample T-Test
diperoleh nilai
p value=
0,000 aplha 0,05 dengan rata-rata skor kecemasan saat
pre-test
52,82 dan turun saat
post-test
menjadi 43,47 Dhianto et al., 2014.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan: 1 Kecemasan wanita
klimakterium sebelum diberikan SEFT berada pada rentang 14 sampai 31 dengan rata-rata skor 21,50; 2 Kecemasan wanita klimakterium sesudah diberikan SEFT berada pada
rentang 13 sampai 28 dengan rata-rata skor 19,43; 3 Ada pengaruh SEFT
terhadap kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik
Kota Semarang Jawa Tengah dengan nilai
p-value
= 0,000 0,05. Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan, yaitu: 1 Wanita klimakterium mampu menerapkan terapi SEFT untuk menurunkan kecemasan wanita klimakterium; 2
Bagi profesi keperawatan diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan perawat tentang cara mengatasi kecemasan wanita klimakterium; 3 Penelitian selanjutnya mampu
mengembangkan SEFT dengan mencari pengaruh pada aspek selain kecemasan wanita klimakterium.
Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kader lansia dan wanita klimakterium di RW 6
Kelurahan Pedalangan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Daftar Pustaka
Afuanti, V., Widajati, S., Usnawati, N. 2010. Gambaran tingkat kecemasan ibu dalam masa klimakterium.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
,
1
1, 58 –63.
Retrieved from
http:static.schoolrack.comfiles100398295411volume1_nomor1.pdf Andrews, G. 2009.
Buku ajar kesehatan reproduksi wanita
. Jakarta: EGC. Apriyanti Emi, Sumantri, A. S. T. 2012. Attitudes of Klimakterium’s Women in Dealing
Menopause Period at Jimus Village Polanharjo District Klaten Regency.
Jurnal Ilmu Kesehatan
,
IV
2, 1 –9.
Aziz, I. J. 2010.
Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim
. Jakarta: Gramedia.
BPS. 2010. Angka harapan hidup Eo menurut provinsi, kabupatenkota dan jenis kelamin. Retrieved from http:www.datastatistik-indonesia.com
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
185
Chontessa, T. J., Singara, T., Idrus, H. M. F. 2012. Hubungan beratnya gejala ansietas dengan masa klimakterium wanita di Rumah Sakit Pendidikan Makassar.
Universitas Hasanuddin
, 1
–13. Retrieved
from http:pasca.unhas.ac.idjurnalfilese94f2a6d70d39a82cfd214750374ed.pdf
Dhianto, H. M., Irwansyah, R., Rusmariana, A., Aktifah, N. 2014. Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique SEFT terhadap tingkat kecemasan pada
pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan.
Jurnal Stikes Pekajangan Pekalongan
, 8. Retrieved from http:www.e-skripsi.stikesmuh- pkj.ac.ide-skripsiindex.php?p=fstream
Faridah, V. N. 2012. Pengaruh keperawatan spiritual emotional freedom technique SEFT Islami terhadap tekanan darah penderita hipertensi,
02
Xii. Retrieved from http:stikesmuhla.ac.idv2wp-contentuploadsjurnalsuryanoXII0.pdf
Fitriah, Susilowati, E. 2010. Hubungan antara tipe kepribadian dengan tingkat kecemasan pada wanita menopause di Desa Bangkal wilayah kerja Puskesmas
Pamolokan Kabupaten Sumenep tahun 2010.
Jurnal Kesehatan Wiraraja Medika
, 9
–15. Retrieved from http:wiraraja.ac.idwp-contentuploads201302JURNAL- VOL-1-EDISI-1.pdf
Kementrian Kesehatan RI. 2011.
Data penduduk sasaran program pembangunan kesehatan 2011-2014
. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Indonesia. Retrieved from http:www.depkes.go.id
Kozier, B. 2010.
Buku ajar fundamental keperawatan
7th ed.. Jakarta: EGC. Yuliani, U. D., Purwanti, S. 2013. Efektivitas spiritual healing terhadap penurunan
tingkat kecemasan pada wanita menopause.
Jurnal Kebidanan
,
V
02. Retrieved from http:journal.akbideub.ac.idindex.phpjkebarticleview120119
Zainuddin, A. F. 2006.
Spiritual emotional freedom technique SEFT for healing + success and happinee + greatness
. Jakarta: Afzan Publishing. Zakiyyah, M. 2013. Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique SEFT
terhadap penanganan nyeri dismenorea.
Jurnal Sain Med
,
5
2, 66 –71. Retrieved
from:http:www.kopertis7.go.iduploadjurnalMuthmainnah_Zakiyyah.pdf
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
186
KAJIAN LITERATUR : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKTIFITAS FISIK DAN PERILAKU
SEDENTARY
PADA ANAK
Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang
Abstrak Latar Belakang. Aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
seringkali dihubungkan dengan kasus- kasus penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007
– 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia
Sehat 2015-2019. Prevalens i ini didapat melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥ 15
tahun. Temuan ini menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
anak usia 0- 15 sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang
lambat dengan durasi yang lama. Upaya preventif diperlukan sebagai upaya mengurangi angka kejadian penyakit menular maka sebagai awal pijakan penelitian perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak Tujuan. Kajian literature ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada
aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
pada anak
Metoda. Kajian literatur ini dengan menggunakan pencarian komprehensif dengan melibatkan semua
database
Ebscho, Science Direct yang dibatasi pada tahun 2005-2015 dengan format full PDF. Kata kunci pencarian menggunakan kata influence factor, physical activity, sedentary
behavior, children. Kajian ini untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak ..
Hasil. Hasil penilaian literature menunjukkan kualitas sedang dan baik. Lima kajian literature ini menunjukkan beragam faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
pada anak . Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pekan
Kesimpulan. Ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status
perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pecan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
pada anak . Berbagai faktor ini sebagai pencetus penyakit-penyakit tidak menular diusia dewasa anak tersebut.
Kata Kunci : Faktor berpengaruh, aktifitas fisik, perilaku
sedentary
, anak
Pendahuluan Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang berkembang lambat dengan
durasi yang panjang serta tidak menular. Menurut WHO yang termasuk penyakit tidak menular adalah Penyakit kardivaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan asma .
Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007
– 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 2015-
2019 Penelitian, Pengembangan, Pengantar, 2013 . Prevalensi hipertensi, penyakit kencing manisdiabetes melitus, hipertiroid, hipertensitekanan darah tinggi, penyakit
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
187
jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendirematikencok dan stroke di Indonesia cenderung meningkat. Data ini didapatkan melalui wawancara
dan pemeriksaan dimul ai usia ≥15 tahun Penelitian et al., 2013
. Healthy people 2020
merefleksikan bahwa aktifitas fisik dianjurkan dan agar dapat menjadi kebijakan kesehatan khususnya bagi anak-anak sampai dengan usia lanjut. Target Kebijakan yang berkaitan
dengan aktifitas fisik bagi anak dan remaja adalah terfasilitasinya aktifitas fisik dengan setting sesuai usia anak, terpantaunya jam untuk menonton tv dan penggunaan computer
atau layar, terfasilitasi program aktifitas fisik di sekolah dasar.
Prevalensi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Diana Herrmaan Et All tahun 2015 bahwa penyakit sendi dipicu oleh aktivitas fisik yang kurang, hal ini
sedentary time
berperan penting dalam demineralisasi tulang sehingga berpengaruh pada
kekuatan tulang Herrmann et al., 2015, penelitian oleh Travis J Saunders Et All tahun 2014 bahwa perilaku
sendentary
menjadi faktor resiko penyakit cardiometabolik pada anak dan remaja Saunders, Chaput, Tremblay, 2014, hasil kajian literatur oleh Valerie
Carson Et All tahun 2015 bahwa tipe perilaku
sedentary
berdampak pada perkembangan aspek kognitif pada anak usia 0-5 tahun Carson et al., 2015.
Penelitian prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, gaya hidup
traditional lifestyle
berubah menjadi
sedentary lifestyle
Remaja, Sma, Cendrawasih, n.d.. Hal ini diperkuat oleh catatan Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, DTCE bahwa salah
satu faktor timbulnya penyakit di Indonesia adalah perilaku
sedentary
merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan
bahkan mempengaruhi usia harapan hidup. Perilaku
sedentary
adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja
kerja di depan komputer, membaca, dll, di rumah nonton TV, main game, dll, di perjalanan transportasi bis, kereta, motor, tetapi tidak termasuk waktu tidurProf. dr
Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, n.d.
. Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan 3 jam per
hari dapat meningkatkan umur harapan hidup se esar tahun ata dari alit an kes
iskesdas 1 menun ukkan ahwa 1 persen penduduk kita ter l n kuran akti secara isik Data Balitbangkes juga menunjukkan proporsi penduduk kelompok umur
≥1 tahun den an perilaku akti itas sedentari am aru penduduk sedan kan sedentari ≥ am per hari adalah 1 hampir satu dari empat penduduk Artinya, masih
terlalu banyak penduduk kita yang relatif terlalu banyak bersantai dan tidak beraktifitas fisik Penelitian et al., 2013.
Salah satu program Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah meningkatnya pengendalian penyakit tidak menular dengan melaksanakan pilar paradigma
sehat dengan strategi pengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif, preventif dan pemberdayaan masyarakat Kementerian-Kesehatan, 2008. Upaya promotif
dan preventif perilaku
sedentary
untuk menekan atau mengurangi prevalensi penyakit tidak menular sangatlah diperlukan. Temuan diatas menunjukkan usia temuan diagnosis
adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary
anak sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama Penelitian et al.,
2013.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
188
Tujuan Tujuan dilakukannya kajian literature adalah mengumpulkan semua hasil penelitian yang
berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentari pada anak
Metoda
Ka ian literature ini diawali den an men identi ikasi kata kunci “In luence act r” “physical activity” “sedentary” “pediatric” yan di unakan dalam data ase elektr nik
Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2005 – 2015 dengan menggunakan data base
EBSCHO dan PubMed. Skrinning dilakukan untuk mencari artikel sesuai kata kunci.. Hasil ekstraksi dengan total artikel 5 literatur.
Hasil Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku
sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV n = 1, pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas
sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua n = 2 , Sosio ekonomi dan etnis n = 3, Dukungan orang tua n=4, Perjalanan akhir pecan n=5.
Tabel 1
Penelitian Metode
Tujuan Variabel utama
Hasil penelitian temuan penelitian
Kaushal, et al 2014
Systematic review
Untuk mengetahui
lingkungan fisik
rumah yang
berhubungan dengan physical aktivitas dan
perilaku sedentari 1.
Alat untuk aktifitas fisik dan penunjang
perilous sedentary 2.
Aktifitas fisik dan perilous sedentari
1. Intervensi
untuk mengurangi
perilaku sedentary
dengan membatasi jumlah TV
memperlihatkan efektif pada anak dan orang
dewasa
2. Ketersediaan peralatan
aktifitas fisik terlihat efektif
3. Studi observasi :
Lokasi dan
jumlah penempatan
TV dihubungan
perilous sedentary pada anak
perempuan 4.
Jumlah dan
jenis peralatan
fisik berhubungan
dengan aktifitas
fisik dan
perilous sedentary pada laki-laki
Crawford, et
al 2010
The CLAN Study
Untuk mengetahui
Catatan orangtua
tentang lingkungan
rumah dukungan social, model peran,
Peaturan, ling,
1. Keluarga
2. Lingkungan sekitar
3. Aktifitas fisik
4. Berat badan
5. Lingkungan
1. Pada
laki laki
berhubungan :
pendidikan ibu, paparan kondisi
jalan raya,
aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
189
Pembahasan Faktor
– faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan prilaku sedentary adalah lingkungan rumah dimana terdapat peralatan atau media yang mendukung pada aktifitas
fisik dan perilous sedentari. Ketersediaan sarana seperti adanya videogame, alat untuk aktifitas fisik merupakan faktor pendukung yang paling kuat untuk membentuk perilous
atau kebiasaan . Peraturan akan Pembatasan aktifitas menonton TV bermain game merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kejadian pelaku sedentary. Alat aktifitas
karakteristik lingkungan sekitar
Tanda lalu
lintas, keamanan
jalan, transportasi umum,
informasi geografi
untuk memetakan
lingkungan tempat tujuan aktifitas fisik ,
hubungan antar jalan raya
orangtua, perilous
sedentary berhubungan
dengan BMI z-score 2.
Pada perempuan
: saudara,
peran ayah,
peraturan, aktifitas fisik orangtua
berhubungan posistif dengan tingakt
aktifitas fisik.
Status petkawinan orangtua dan
model peran sedentary ibu berhubungan dengan
BMI z score
Rossem et al 2012
Observasio nal Study
Untuk mengetahui
dampak social dan indicator
aktivitas fisik
dan perilous
sedentary pada usia preschool
1. Sosial Ekonomi
2. Etnis
Anak dengan
ibu berpendidikan rendah OR :
3.27, 95 CI 2.12 – 5.05,
Suka nonton TV kurang lebih 2 jam perhari OR
2.67, 95 CI 2.04 – 3.49,
Hasil yang
sama pada
aktifitas duduk kurang lebih 0,5 jam perhari dan bermain
kurang dari 3 jam perhari OR ; 1.95, 95 CI : 1.39
– 2.73. Sosio ekonomi dan
etnis sebagai indicator yang berhubungan
dengan perilous sedentary
Tandon, et al 2014
Observasio nal kohort
study Mengetahui
faktor yang
dihubungkan aktifitas
fisik dan
perilous sedentary di rumah
1. Aktifitas fisik dan
lingkungan social 2.
Interaksi faktor social dan lingkungan
47, 2 rata-rata waktu anak tinggal di rumah, 43,6 dan
46.4 terlibat
dalam aktifitas fisik dan perilous
sedentary. Dukungan orang tua
positif dihubungkan
dengan aktifitas fisik dan negative dengan perilous
sedentary. Schoeppe,
et al 2015 Cross-
sectional studi
Mengetahui hubungan perjalanan
ke sekolah dan akhir pekan
pada perbedaan
aktifitas fisi
dan perilous
sedentary, yang
diidentifikasi melalui jenis kelamin
Alat Perjalanan ke sekolah dan akhir pekan
Perjalanan akhir
pecan mempunyai
hubungan positif dengan aktifitas fisik
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
190
fisik didesign untuk wanita sehingga memungkinan untuk memfasilitasi aktifitas fisik di rumah. Kaushal Rhodes, 2014.
Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tandon, et al 2014 bahwa Lingkungan social dan aktifitas yang spesifik merupakan variable yang kuat berhubungan
dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orangtua merupakan faktor terbesar dalam penyediaan sarana aktifitas fisik. Peraturan
–peraturan yang dibuat oleh orangtua juga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilous sedentary. Proporsi waktu
luang anak adalah rumahtempat tinggal sehingga aktifitas fisik dan perilous sedentary cenderung terjadi di rumah. Upaya
– upaya modifikasi fisik rumah dan lingkungan social merupakan intervensi untuk mengurangi kejadian perilous sedentary Tandon et al.,
2014. Faktor sosioekonomi dan perbedaan budaya dalam menonton TV dan penggunaan waktu libur merupakan faktor yang berkontribusi dalam aktifitas fisik dan perilous
sedentary pada anak. Pekerjaan ibu merupakan faktor utama dalam perilous menonton TV. Pendidikan rendah merupakan penyebab utama kerusakan fungsi social dan menjadi
penyebab adanya masalah stresst keluarga. Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu lebih unuk melihat TV Van Rossem et al., 2012. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya
bahwa pendidikan ibu, status pekerjaan ibu Crawford et al., 2010.
Faktor lingkungan dalam rumah yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilous sedentary adalah adanya saudara kandung, model peran orangtua dan saudara, keikutsertaan orangtua
dalam aktifitas fisik. Keikutsertaan orangtua mempunyai hubungan yang positif dalam perubahan aktifitas fisik anak Crawford et al., 2010. Hal ini diperkuat oleh penelitian
Salmon et al, 2013 bahwa karakteristik lingkungan mempunyai nilai signifikan. Tujuan perjalanan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous
sedentary. Tujuan perjalanan diluar perjalanan kesekolah merupakan faktor yang paling berhubungan dengan aktifitas fisik. Perjalanan menggunakan mobil merupakan faktor
yang paling berkontribusi untuk waktu sedentary pada anak. Anak yang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau bersepeda mendukung pada tingkat aktifitas anak Schoeppe,
Duncan, Badland, Oliver, Browne, 2015.
Kesimpulan Aktifitas fisik dan perilous sedentary anak dipengaruhi dari berbagai faktor yaitu
lingkungan rumah ketersediaan sarana dan prasana, jumlah dan lokasi penempatan, peraturan dalam keluarga , lingkungan social keluarga model peran orangtua, dukungan
orangtua, perilous orangtua, social, ekonomi budaya, tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, status perkawinan. Pekerjaan orangtua, budaya keluarga, peran model saudara
kandung, tujuan perjalanan, alat transportasi. Faktor
– faktor aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak sangat penting diketahui sebagai upaya promotif terhadap
pencegahan penyakit yang timbul akibat perilous sedentary. Peran perawat komunitas sangatlah penting untuk survey tentang aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak,
sebagai temuan awal temuan kasus perilous sedentary pada anak.
Daftar Pustaka
Cars n V Kuzik N Hunter S Wie e S a Spence J C Friedman A … Hinkley T 2015. Systematic review of sedentary behavior and cognitive development in
early childhood.
Preventive Medicine
,
78
, 115 –122. doi:10.1016j.ypmed.
2015.07.016
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
191
Craw rd Cleland V Timperi A Salm n J Andrian p ul s N erts … Ball, K. 2010. PEDIATRIC HIGHLIGHT The longitudinal influence of home
and nei h urh d envir nments n children ’ s dy mass index and physical activity
ver 5 years : the CLAN study March 1177–1187. doi:10.1038 ijo.2010.57
Herrmann P hla eln H Gian a na F K nsta el K Lissner L Mårild S … Ahrens, W. 2015. Association between bone stiffness and nutritional biomarkers
combined with weight-bearing exercise, physical activity, and sedentary time in preadolescent
children. A
case –control study.
Bone
,
78
, 142
–149. doi:10.1016j.bone.2015.04.043
Kaushal, N., Rhodes, R. E. 2014. The home physical environment and its relationship with physical activity and sedentary behavior: A systematic review.
Preventive Medicine
,
67
, 221 –237. doi:10.1016j.ypmed.2014.07.026
Kementerian-Kesehatan. 2008. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penelitian, B., Pengembangan, D. A. N., Pengantar, K. 2013. RISET
KESEHATAN DASAR. Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, D. No Title. Retrieved from
http:www.litbang.depkes.go.idcontentbagaimana-hidup-sehat-untuk-mencegah- faktor-risiko-penyakit .
Saunders, T. J., Chaput, J. P., Tremblay, M. S. 2014. Sedentary behaviour as an emerging risk factor for cardiometabolic diseases in children and youth.
Canadian Journal of Diabetes
,
38
1, 53 –61. doi:10.1016j.jcjd.2013.08.266
Schoeppe, S., Duncan, M. J., Badland, H. M., Oliver, M., Browne, M. 2015. Associations between children
׳s active travel and levels of physical activity and sedentary behavior.
Journal of Transport Health
,
2
3, 336 –342.
doi:10.1016j.jth.2015.05.001 Tandon, P., Grow, H. M., Couch, S., Glanz, K., Sallis, J. F., Frank, L. D., Saelens, B. E.
1 Physical and s cial h me envir nment in relati n t children’s verall and home-based physical activity and sedentary time.
Preventive Medicine
,
66
, 39 –44.
doi:10.1016j.ypmed.2014.05.019 Van Rossem, L., Vogel, I., Moll, H. a., Jaddoe, V. W., Hofman, A., Mackenbach, J. P.,
Raat, H. 2012. An observational study on socio-economic and ethnic differences in indicators of sedentary behavior and physical activity in preschool children.
Preventive Medicine
,
54
1, 55 –60. doi:10.1016j.ypmed.2011.10.016
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
192
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
SELF EFFICACY
DALAM
ACTIVITY DAILY LIVING
ADL PASCA
OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION
ORIF EKSTREMITAS BAWAH DI KOTA SEMARANG
Chandra Bagus Ropyanto, Muhamad Rofi’i
Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, E-mail :
chandra_undipyahoo.com
Abstrak Latar Be;akang. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah
memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan
Activity Daily Living
ADL secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional.
Self efficacy
merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku.
Self efficacy
merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan
self efficacy
pasien pasca ORIF ekstremitas bawah.
Metoda. Desain penelitian adalah
cross-sectional
dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari pasca ORIF, jenis fraktur,
nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi; sementara variabel dependen adalah
self efficacy
. Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi r = 0,515 dan nilai p=0,002 dan usia -0,464 dan nilai p=0,005 merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,001
dan persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4
self efficacy
dengan nyeri sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi
self efficacy
setelah dikontrol usia, pengetahuan, dan persepsi.
Kesimpulan. Penelitian ini merekomendasikan melakukan manajemen nyeri non farmakologis untuk meningkatkan
self efficacy
terintegrasi dengan peningkatan pengetahuan dan memperhatikan aspek psikologis.
Kata kunci:
Self efficacy
, pasca ORIF, dan
activity daily living
.
Pendahuluan Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang dikategorikan berdasarkan jenis dan
luasnya Smeltzer Bare, 2006. ORIF merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk mereduksi patah tulang yang paling banyak keunggulannya Price Wilson, 2003. ORIF
sebagai bagian dari bedah ortopedi menimbulkan yang berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri Bare Smeltzer, 2006.
Permasalahan pasca ORIF baik yang bersifat fisik maupun psikologis akan menimbulkan dampak pada kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien ditentukan salah satunya pada
kemampuan fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis Saltzman, 2011.
Perawat selama ini kurang memperhatikan perubahan kemampuan fungsional pada pasien pasca ORIF. Status fungsional pada pasca ORIF merupakan fase dimana kemampuan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
193 fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska
rehabilitasi dimana status fungsional berada di bawah level minimal Ditmyer et al 2002; dikutip dari Topp et al, 2002. Fase restoratif fase rehabilitasi mendukung pasien dengan
gangguan sebagai dampak suatu penyakit untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan
DeLaune Ladner, 2002. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan
fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan
Activity Daily Living
ADL secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Peran perawat perlu ditingkatkan untuk memandirikan secara komprehensif. Aspek
psikologis perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena sering terlupakan dalam meningkatkan kemandirian pasien sebagai perubahan perilaku.
Self efficacy
merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku.
Self efficacy
merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku Pajares, 2002; dalam Werrel, 2011.
Self efficacy
merupakan persepsi individu untuk menunjukan kemampuan terhadap kepastian dirinya untuk
mencapai tujuan Bandura, 1997; dalam Cardoza, 2011. Penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
self efficacy
dalam melakukan ADL pada area klinik masih sedikit daripada area komunitas. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan
self efficacy
maka perawat pada area klinik mampu meningkatkan kemampuan fungsional pasien sebagai bagian optimalisasi
discharge planning
. Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori baru berbasis penelitian.
Penelitian bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan
self efficacy
dalam melakukan ADL dengan memprediksi faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi
self efficacy
pada ADL pasien pasca ORIF perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
self efficacy
ADL pasien pasca ORIF diadaptasi dari Teori Sosial Kognitif Bandura yang terdiri dari tiga aspek personal, yaitu :
kognitif, persepsi, dan kejadian biologis Bandura 1977, diadaptasi dari Cardoza 2011. Faktor personal kognitif berupa pengetahuan pasien mengenai ADL pasca operasi. Faktor
persepsi merupakan persepsi dan motivasi pasien mengenai keyakinan dalam melakukan ADL. Faktor kejadian biologis terdiri dari usia, jenis fraktur, lama hari rawat pasca ORIF,
nyeri, dan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan
self efficacy
melakukan ADL pasien pasca ORIF ekstremitas bawah di Semarang.
Metode Penelitian
cross-sectional
mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, tentunya tidak semua subyek harus diukur pada hari ataupun saat yang sama
jadi desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau follow-up Sastroasmoro Ismael, 2010. Variabel independen adalah variabel independen dalam penelitian ini adalah usia,
lama hari rawat pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi, sementara variabel dependen adalah
self efficacy
. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah yang menjalani rawat
inap di lima rumah sakit di Kota Semarang pada saat dilakukan penelitian. Metode penarikan sampel dengan menggunakan
consecutive sampling
, dimanan semua subjek yang datang harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah :
pasien paska ORIF pada ekstremitas bawah femur, tibia, dan fibula, patella,
hindfoot
,
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
194
midfoot
, dan
fore foot
, berusia 15 – 65 tahun, kemampuan kognitif baik, bersedia menjadi
responden penelitian. Kriteria eksklusi sampel adalah : pasien mengalami fraktur pada kedua sisi ekstremitas bawah, pasien yang mengalami fraktur pada area selain ekstremitas
bawah, mengalami komplikasi akut seperti infeksi, perdarahan, sindrom kompartemen, emboli lemak, dan DVT, mempunyai riwayat penyakit stroke, jantung, dan paru-paru.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan remus koefisien korelasi jumlah sampel yang terkumpul adalah 35 responden.
Instrumen Pengetahuan diukur dengan menggunakan pertanyaan dengan nilai alpha
cronbach’s = 0,450, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,11
– 0,733. nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481
– 0,854. Persepsi diukur dengan dengan mengadaptasi instrumen
perceived general self efficacy
dengan n ilai alpha cronbach’s =
0,851, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,477 – 0,906. Nyeri pada area fraktur
diukur dengan menggunakan
Numeric Rating Scale
dengan rentang 0 sebagai rentang terendah sampai 10 sebagai yang tertinggi.
Numeric Rating Scale
reliabel dan valid untuk mengkaji nyeri dengan rentang pada kondisi medis dan area klinis Loretz, 2005.
Kelelahan diukur dengan menggunakan
Fatigue Severity Scale
NWRC, 2011 yang telah dimodifikasi. Pertanyaan awal terdiri dari 9 pernyataan yang mengukur kelelahan
responden selama berada di RS. Instrumen memiliki nilai koefisien alpha 0,91 dan internal konsistensi 0,81
– 0,89 Folden Tappen, 2007. Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan
nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi
Health Motivation Scale in Physical
yang dikutip dari Xiaoyan 2009. Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,755, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,279 – 0,820.
Self efficacy
diukur dengan menggunakan modifikasi dari
Fall-Efficacy Scale
Tinetti et al, 1990. Instrumen memiliki nilai reliabilitas alpha 0,94 Folden Tappen, 2007. Uji
reliabilitas instrumen
self efficacy
didapatkan nilai alpha cronbach’s = 0,747, dengan nilai
korelasi validitas berkisar 0,299 – 0,918.
Hasil Hasil analisa karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisis menunjukan
bahwa hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27 responden 77,1 . Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya SMA sebanyak 25 responden
71,4 . Pekerjaan responden paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 8 responden 22,9 . Lebih dari setengahnya status perkawinan responden adalah belum
menikah sebanyak 18 responden 51,4 . Jenis fraktur paling banyak adalah fraktur femur dimana lebih dari setengahnya sebanyak 21 responden 60,0 . Tindakan operasi
responden lebih dari setengahnya adalah ORIF sebanyak 23 responden 65,7 . Jenis anastesi responden seluruhnya Regional Anastesi RA
Spinal Anastesi Block
SAB sebanyak 35 responden 100,0 .
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden di RS Kota Semarang 2014 n=35
Karakteristik Responden Frekuensi
Jenis Kelamin
Laki-laki 27
77,1 Perempuan
8 22,9
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
195
Karakteristik Responden Frekuensi
Total 35
100
Pendidikan
SD 6
17,2 SMP
2 5,7
SMA 25
71,4 Pendidikan Tinggi
2 5,7
Total 35
100
Pekerjaan
Wiraswasta 8
22,9 Pegawai Swasta
12 34,3
TNI 5
14,2 Pelajar
7 20,0
Tidak Bekerja 3
8,6 Total
35 100
Status Perkawinan
Belum Menikah 18
51,4 Menikah
17 48,6
Total 35
100
Jenis Fraktur
Femur 21
60,0 Tibia dan Fibula
8 22,9
Hindfoot 6
17,1 Total
35 100
Tindakan Operasi
ORIF 23
65,7 ORIF dan Debridemen
12 34,3
Total 35
100
Jenis Anastesi
Regional AnastesiSpinal Anastesi Block 35
100,0 General Anastesi
0,0 Total
35 100
Tabel 2 Distribusi Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi,
Motivasi, dan
Self Efficacy
Responden di Kota Semarang n=35
Variabel Mean
SD Minimal -
Maksimal 95 CI
Usia 36,06
17,12 15
– 63 30,17
– 41,94 Lama Hari Pasca ORIF
2,34 1,39
1 - 6 1,86
– 2,82 Nyeri
4,57 2,05
0 - 8 3,87
– 5,27 Kelelahan
24,46 8,60
7 – 42
21,50 – 27,41
Pengetahuan 11,69
2,40 6
– 16 10,86
– 12,51
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
196
Variabel Mean
SD Minimal -
Maksimal 95 CI
Persepsi 19,86
5,84 6 - 27
17,85 – 21,86
Motivasi 35,91
5,01 25 - 44
34,19 – 37,63
Self-Efficacy
21,83 5,23
10 - 30 20,03
– 23,63
Tabel 3 Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, dan Motivasi
kaitannya dengan
Self Efficacy
Melakukan ADL di RS Kota semarang n=35
No. Variabel Independen
r R
2
p-value
1. Usia
-0,464 0,215
0,005 2.
Lama Hari Pasca ORIF 0,012
0,001 0,945
3. Nyeri
-0,120 0,014
0,494 4.
Kelelahan -0,135
0,018 0,440
5. Pengetahuan
0,107 0,011
0,540 6.
Motivasi 0,515
0,265 0,002
7. Persepsi
-0,225 0,051
0,193 Tabel 4
Jenis Fraktur berdasarkan
Self Efficacy
Pasien Pasca ORIF Ekstremitas Bawah di Kota Semarang n=35
Variabel Independen Mean
SD Minimal -
maksimal
P-value
Jenis Fraktur : 1.
Fraktur Femur 2.
Fraktur Tibia dan Fibula 3.
Fraktur
hindfoot, midfoot
, dan
forefoot
21,10 23,13
22,67 5,08
6,22 4,8
12 – 30
10 – 30
16 - 26 0,603
Tabel 5 Persepsi, Kelelahan, dan Motivasi Kaitannya dengan
Self Efficacy
Responden di Kota Semarang n=35
Variabel Kefisien B
Variabel P-value
variabel R
2
Koefisien B Constant
P-value
Persepsi -0,272
0,025 0,494
6,64 0,001
Kelelahan -0,257
0,085 Motivasi
0,748 0,000
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
197 Hasil analisa multivariat menunjukan nilai koefisien determinasi R square adalah 0,494
berarti variabel persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4
self efficacy
sisanya faktor lain, dengan nilai p 0,001. Persamaan regresi yang diperoleh adalah :
Self Efficacy
= 6,64 + 0,748 M – 0,272 Per – 0,257 K
Interprestasi persamaan regresi, setiap kenaikan motivasi 1 point, akan meningkatkan
self efficacy
sebesar 0,748 setelah dikontrol variabel persepsi dan kelelahan. Setiap kenaikan persepsi 1 point, akan mengakibatkan penurunan
self efficacy
sebesar 0,272 setelah dikontrol variabel motivasi dan kelelahan. Setiap kenaikan kelelahan 1 point akan
mengakibatkan penurunan
self efficacy
sebesar 0,257 setelah dikontrol variabel motivasi dan persepsi. Hasil analisa menunjukan bahwa variabel motivasi merupakan variabel yang
paling besar pengaruhnya terhadap
self efficacy
.
Pembahasan Aspek fisik yang terdiri dari lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, dan kelelahan
menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap
self efficacy
pasien paca ORIF ekstremitas bawah Aspek fisik lain yaitu usia menunjukan hubungan yang dengan
tingkat signifikansi sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlunya dibahas mengenai variebel-variabel dalam aspek fisik secara spesifik.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terdapat hubungan dengan tingkat signifikan sedang yang bersifat negatif dan rata-rata usia responden berada pada
dewasa muda. Kesesuaian perbandingan hasil penelitian dengan melihat pada aspek fisiologis dan psikologis berdasarkan dengan tumbuh kembang kaitannya dengan kondisi
pasca ORIF yang membuat variabel usia lebih berhubungan dibanding variabel dalam aspek fisik lainnya. Usia dewasa muda merupakan usia ideal dimana mencapai puncak
efisiensi muskuloskeletal dan akan mengalami penurunan massa otot, kekuatan, dan ketangkasan pada dewasa menengah DeLaune Ladner, 2002. Perkembangan
muskuloskeletal yang maksimal akan membantu kemampuan beraktivitas tidak hanya pada area yang fraktur, sehingga
self efficacy
pada pasca ORIF akan lebih cepat untuk optimal. Usia juga berkaitan dengan tumbuh kembang yang mempengaruhi kematangan mekanisme
koping seseorang. Mekanisme koping yang positif akan meningkatkan
self efficacy
seseorang. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hari pasca ORIF
dengan
self efficacy
yang berkaitan dengan kondisi perkembangan pada fase inflamasi didukung dengan latihan untuk rehabilitasi yang didapatkan saat tahap paska operasi.
Lama hari pasca ORIF saat diukur
self efficacy
adalah 2,34 menunjukan bahwa semua responden masih berada pada fase inflamasi. Lama hari rawat pasca ORIF berkaitan
dengan tahap perkembangan status fungsional, fase penyembuhan fraktur dan program rehabilitasi yang dilakukan sebagai variabel confounding yang berperan mempengaruhi
self efficacy
. Rata-rata lama hari rawat 2,34 hari hampir mencapai setengah dari kemampuan fungsional pada fase rehabilitasi. Peningkatannya dengan melihat
perbandingan hari sebelumnya pada responden yang sama terdapat peningkatan tetapi tidak terlalu jauh pada hari selanjutnya dan didukung dengan melihat kemampuan pada
responden dengan lama hari rawat yang berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
198 Nyeri paska pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan
kejadian sampai 70 dengan durasi 3 hari Smeltzer Bare, 2005. Nyeri paska bedah ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai
10. Nyeri berkontribusi terhadap aktivitas pasca operasi Morris et al, 2010. Nyeri ringan dapat berlangsung sampai beberapa bulan pada kasus bedah ortopedi Hoffenfeld
Murthy, 2011. Nyeri berhubungan secara negatif terhadap
self efficacy
karena berkaitan dengan ambang nyeri Miro, Matinez, Sanchez, Prados, Medina, 2011. Nyeri merupakan
pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif
tergantung persepsi individu DeLaune Ladner, 2002. Nyeri paska ORIF mempertimbangkan jenis fraktur, tindakan operasi, dan respon terhadap nyeri yang
mempengaruhi rentang gerak sendi, kekuatan otot, serta kemampuan mobilisasi dan ambulasi. Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk
meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif.
Gate control pain theory
menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu
DeLaune Ladner, 2002. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010.
Trauma yang mengakibatkan fraktur dan tindakan pembedahan merupakan stimulus fisiologis terjadinya kelelahan karena penurunan perfusi jaringan akibat perdarahan.
Operasi merupakan
trigger
yang menyebabkan beberapa gejala kelelahan Goedendorp, 2009. Kelelahan tidak mengganggu secara signifikan atau menghambat
self efficacy
dalam fungsi fisik normal dan aktivitas sehari-hari dengan melihat karakteristik dari kelelahan pasca ORIF. Kelelahan pada sistem muskuloskeletal mengakibatkan gejala
berupa nyeri otot, nyeri beberapa sendi, sakit kepala, dan kelemahan yang merupakan tanda klinis yang sering terlihat pada kondisi paska ORIF. Kelelahan secara langsung
berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik dalam pemenuhan ADL Tiesinga et al, 2001. Kelelahan pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah merupakan kelelahan
sebagai suatu sensasi. Kelelahan sebagai suatu sensasi merupakan bagian dari rentang kehidupan normal. Connell Stoke, 2007. Kelelahan bersifat alamiah dimana
berlangsung secara singkat dan dapat dieliminasi dengan istirahat yang cukup.
Self-efficacy
ditentukan beberapa komponen dari penyebab personal terdiri dari fungsi dari kemauan, perasaan suatu rasa terhadap kapasitas dan efektivitas, nilai, dan ketertarikan
Peterson et al, 2009. Penelitian yang dilakukan Peterson et al 2009 menjelaskan bahwa
self efficacy
didasari oleh penerimaan personal penyakit, penerimaan terhadap perubahan kapasitas, fokus dalam kontrol, kemampuan belajar dan melakukan, kewaspadaan, dan
tanggung jawab personal. Peningkatan komponen dasar
self efficacy
ditunjukan pada pasca ORIF seiring dengan perbaikan kondisi umum sehingga meningkatkan efikasi untuk
mandiri.
Pengetahuan seseorang tidak mendukung peningkatan self efficacy, karena ada aspek psikologis lain seperti motivasi yang sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
199 kehidupan nyata Mancuso, Sayles, Allegrante, 2010. Pasien pasca ORIF ekstremitas
bawah kemampuan seseorang untuk menerima aspek negatif sehingga meningkatkan motivasi dan berakibat tingkat pengetahuan responden kurang berpengaruh terhadap
self efficacy
. Pengetahuan merupakan bagian dari aspek kognitif yang membentuk tujuan personal seseorang yang mempengaruhi kemampuan aprasial seseorang. Pengetahuan yang
tinggi akan mendorong seseorang untuk memvisulisasikan tujuan dengan melihat aspek- aspek negatif. Hal tersebut merupakan fungsi utama untuk memprediksi kemampuan
seseorang untuk mengontrol aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan komponen utama dari
self efficacy
Zulkosky, 2009.
Motivasi menentukan kemampuan individu untuk berperilaku secara sehat dengan memperhatikan aspek lain. Kesiapan individu mempengaruhi kemampuan untuk
berperilaku walaupun motivasi menunjukan kategori baik. Kesiapan berperilaku berkaitan dengan keamanan melakukan aktivitas yang dipengaruhi oleh persepsi individu yang salah
satunya ditentukan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan individu berkaitan dengan keadaan penyakitnya dan tingkat pendidikan. Responden rata-rata kurang mengetahui
sebenarnya dengan kondisi frakturnya dapat meningkatkan kemandirian melalui beberapa aktivitas sesuai batas-batas yang diperbolehkan.
Motivasi
self-care
status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik. Status fungsional merupakan gambaran dari kemampuan aktivitas kesehatan yang positif dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal
melakukan aktivitas fisik. Pemahaman akan kondisi penyakit dan kurangnya peran individu berperan terhadap perbedaan motivasi dengan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai kemandirian Siegert Taylor, 2004. Dampak yang timbul adalah ketidaktertarikan dan ketakutan untuk gagal sebagai penghambat. Kesiapan untuk
meningkatkan kemandirian berkaitan dengan perilaku tidak maksimal pada tahap
action
dan
maintenance
. Persepsi merupakan bagian dari aspek afektif yang merupakan kepercayaan dalam
kemampuan untuk bersikap menghadapi berbagai situasi yang mengancam. Kemampuan seseorang dalam melakukan mekanisme koping akan membuat perubahan level
kepercayaan diri seserang dalam mengelola hal yang mengganggu dan merupakan komponen kunci dari
self efficacy
Zulkosky, 2009. Kemampuan koping seseorang lebih mampu mengontrol pasien pasca ORIF ekstremitas bawah dalam melakukan aktivitas
dibandingkan aspek persepsi. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram,
Kashdan, Kasle, Zautra, 2010. Kesimpulan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi keperawatan berupa pendidikan kesehatan, latihan aktivitas seperti makan, perawatan diri, mandi,
menggunaan toilet dengan mengintegrasikan manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah yang lebih lanjut sebagai pengembangan SOP. Perlunya
peningkatan kemampuan perawat dalam latihan aktivitas terintegrasi manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah melalui pelatihan atau
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
200 seminar. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dengan karakteristik
fraktur lebih spesifik dengan rentang waktu yang lebih lama. Penelitian lebih lanjut bersifat eksperimental mengenai pengaruh latihan aktivitas terintegrasi dengan manajemen
nyeri terhadap
self-efficacy
pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah. Daftar Pustaka
Black, J.M., Hawks, J.H. 2009. Medical Surgical Nursing : Clinical management for
positive outcome, 8
th
ed. St Louis Missouri : Elsevier Saunders. Cardoza, M.P. 2011. A Study of self-efficacy and functional ability in pre-operative and
post-operative patients with primary elective total hip replacements. Proquest LLC. Dahlen, L., Zimmerman, L., Barron, C. 2006. Pain perception and its relation to
functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing, July-August 2006, 25 4. Academic Research Library.
Depkes R.I. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 20 Oktober 2010. http:www.depkes
co.id. Folden, S., Tappen, R. 2007. Factors influencing function and recovery following hip
repair surgery. Orthopaedic Nursing, July-August 2007, 26 4. Academic Research Library.
Halstead J.A. 2004. Orthopaedic Nursing : Caring for patients with musculoskeletal disorders. Brockton : Westren Schools.
Loretz, L. 2005. Primary Care Tools for Clinicians : A Compendium of forms, quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Philadelphia : Mosby-
Elseviers. Mancuso, C.A., Sayles W., Allegrante J.P., 2010. Knowledge, attitude, and self
sfficacy in asthma self sanagement and quality of life. Journal of Asthma : 2010, 47:883-888. Taylor Francis Ltd.
McKnight, P.E., Afram A., Kashdan, T.B., Kasle S., Zautra A., 2010. Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science Business Media B.V.
Miro, E., Matinez, M.P., Sanchez, A.I., Prados, G., Medina A., 2011. Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning :
Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science Business Media B.V.
Polit, D.F., Beck, C.T. 2005. Nursing Research : Priciples and methods, 7
th
edition. Philadelphia : Lippinscott Williams Wilkins.
Potter, P.A., Perry, A.G. 2005. Fundamental of Nursing: Study guide and skills performance checklists, 6th ed, Australia, Elseiver-Mosby.
Ridge, R.A., Goodson, A.S. 2000. The Relationships between multidisciplinary discharge outcomes and functional status after total hip replacement. Ortopaedic
Nursing : JanFeb 2000, 19 1. Academic Research Library. Ropyanto, C.B., Sitorus, R., Eryando, T. 2011. Analisis faktor-faktor yang
berhubungan terhadap status fungsional pasien pasca ORIF fraktur ekstremita bawah.
Saltzman, S. 2010, Functional Status Assesment. Diunduh 3 Maret 2011 www.galter.northwestern.edufunctional_status_assesment.cfm
. Smeltzer, S., Bare, B. 2009. Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical
nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
201 Wrong Diagnosis 2011. Prevelence and Incidence Statistic for Fractures. Diunduh 25
Mei 2011 www.wrong diagnosiswho.com. William, L.S, Hopper, P.D. 2009. Understanding Medical Surgical Nursing, 3
rd
ed. Philadelphia : F.A. Davis Company.
Wilkinson, A. 2010, Functional Status. Diunduh 3 Maret 2011 www.uic.edunursing
ccrvpdf .
Wood, G.L., Haber, H. 2010. Nursing Research : Methods and critical apprasial for evidence based practice 7
th
edition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. Zulkosky, K. 2009. Self Efficacy : Concept Analysis. Journal Compilation Nursing
Forum. Volume 44, No. 2, April-June 2009..
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
202
PEMBERDAYAAN KADER POSYANDU LANSIA DI SEMARANG Elis Hartati
1
, Diyan Yuli Wijayanti
2
1,2
Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email:
elis.hartatigmail.com , email: dywijayantigmail.com
Abstrak Latar Belakang. Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat di RW 01 Kelurahan Tembalang dan RW 09 Keluarahan Kalisidi. Peningkatan kesehatan lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya
yang tersedia di masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah dengan memfasilitasi pelayanan kesehatan dalam suatu wadah seperti posyandu lansia.
Tujuan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membentuk posyandu lansia, membentuk kepengurusan posyandu lansia, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader,
melaksanakan program posyandu lansia dan meningkatkan kemandirian lansia. Metoda yang digunakan adalah koordinasi, rekruitment, pendidikan kesehatan, sosialisasi,
implementasi dan rencana tindak lanjut program posyandu lansia. Hasil.
Hasil kegiatan adalah terbentuknya posyandu lansia di RW 01 “Mahardika” dan RW 09 “Melati”, terbentuknya kepengurusan posyandu lansia berjumlah 24 orang,
peningkatan pengetahuan kader tentang penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus, dan peningkatan keterampilan kader tentang pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah,
asam urat dan kolesterol. Kesimpulan.
Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100 dari target luaran secara keseluruhan Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan
Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia “Mahardika”
Kata kunci: pemberdayaan, kader, posyandu lansia Pendahuluan
Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Peningkatan kualitas hidup bagi lansia
dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban membina lansia sesuai dengan peraturan
Undang- Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan meningkatkan pengembangan lembaga.
Kelurahan Tembalang yang berada dekat lingkungan Universitas Diponegoro menjadi
pilot project
daerah binaan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro sampai saat ini. Tidak adanya wadah dalam memberdayakan
masyarakat lansia khususnya di RW 01 Kelurahan Tembalang di bidang kesehatan lansia, akan berdampak negatif terhadap derajat kesehatan lansia. Pemberdayaan masyarakat
sangat menunjang terhadap keberhasilan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
203 Puskesmas menjadi sarana untuk memeriksakan kesehatan lansia secara rutin, akan tetapi
dalam meningkatkan promotif dan preventif serta rehabilitatif kesehatan lansia perlu adanya fasilitas khusus bagi lansia, seperti posyandu lansia. Kelurahan Kalisidi Dusun
Gebug Kecamatan Ungaran Barat memiliki permasalahan yang serupa dengan kelurahan Tembalang. Kelurahan Kalisidi walaupun tidak dijadikan daerah binaan Universitas
Diponegoro, akan tetapi pemerataan pembangunan sumber daya masyarakat seyogyanya difalisitasi oleh pemerintah dengan memberdayakan masyarakat. Letak geografis dari
Dusun Gebug Kelurahan kalisidi, berada di daerah pegunungan dan cukup jauh dari Pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, tidak adanya angkutan umum sebagai fasilitas bagi
masyarakat menjadi penghambat lansia datang secara rutin ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya. Pembinaan yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro
sebagai pengabdian kepada masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi akan lebih efektif dan optimal jika dibentuk Posyandu Lansia.
Metoda Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah koordinasi dengan jajaran
pemerintahan untuk penentuan tempat posyandu lansia, penyusunan kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan, rekruitment calon kader, penyusunan struktur pengelolaan,
pengurusan ijin pembentukan posyandu, perencanaan anggaran pembentukan posyandu dan anggaran operasional, sosialisasi posyandu lansia di Kelurahan Tembalang dan
Kalisidi. Ruang lingkup kegiatan adalah kader berjumlah 24 orang, yang terdiri dari 12 kader dari kelurahan Tembalang dan 12 kader dari Kelurahan Kalisidi. Bahan dan alat
yang digunakan adalah panduan buku pantau lansia, panduan posyandu lansia, buku penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Alat yang digunakan untuk kegiatan
posyandu lansia adalah alat untuk pemeriksaan tekanan darah : spigmomanometer dan stetoskop, alat untuk pemeriksaan :asam urat ; kadar gula darah; kolesterol, stik : asam
urat ; kadar gula darah ; kolesterol, alkohol, kapas. Selain itu meja berjumlah 10 buah, kursi 10 buah, 5 Buku Form pengisian dari masing-masing fungsi meja posyandu lansia,
timbangan berat badan, dan alat pengukur tinggi badan. Tempat kegiatan pengabdian dilaksanakan di rumah kader ibu Roisatun untuk kelurahan Kalisidi dan rumah kader ibu
Yuliarti untuk kelurahan Tembalang. Teknik pengumpulan data adalah dengan pre-post test bagi kader yang mengikuti pelatihan.
Hasil Hasil yang dicapai untuk Mitra I RW 01 Kelurahan Tembalang :
Terbentuknya pos yandu lansia Melati : Hasil rapat koordinasi dengan calon kader di 5 RT yang ada di RW 01 Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang ditentukan rumah Ibu
Yuliarti sebagai tempat kegiatan posyandu lansia yang beralamat di RT 02 RW 01 Kelurahan Tembalang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan
untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Selain itu
alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku panduan penyakit
hipertensi 30 buah, buku panduan penyakit reumatik 30 buah, buku panduan penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbanganpengukuran
tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, KMS Kartu Menuju Sehat bagi lansia, buku tamu dan alat tulis lain yang menunjang keperluan posyandu lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
204 Tim pengabdian telah melakukan identifikasi sumber daya manusia sebagai calon kader,
didapatkan sebanyak 12 calon kader bersedia untuk menjadi kader posyandu lansia di RW 01 Kelurahan Tembalang. Calon kader yang telah direkruit berasal dari 5 RT yang
semuanya telah terwakili dari masing-masing RT tersebut. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia, seperti : penyakit
hipertensi, reumatik, dan diabetes melitus. Hasil pendidikan kesehatan didapatkan peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes
melitus. Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 01 Kelurahan
Tembalang
Items Pre Test Post Test Pengertian
15,38 69,23
Faktor resiko 84,61
92,3 Tanda dan gejala
53,84 92,3
Dampak 7,69
20 Tindakan
psikologis 53,84
76,92 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader kurang memahami tentang dampak dari terjadinya
hipertensi sebanyak 20 Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 01 Kelurahan
Tembalang
Items Pre Test Post Test Pengertian
69,23 84,61
Tanda dan gejala 61,53
69,23 Pengaturan diet
38,48 76,92
Jenis makanan 69,23
79 Jenis herbal
23,07 84,61
Tabel 2 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan jenis herbal yang digunakan pada klien dengan penyakit reumatik sebanyak 84,61
Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 01 Kelurahan Tembalang
Items Pre Test Post Test Pengertian
23,07 92,3
Tanda dan gejala 15,38
84,61 Jenis diabetes
46,15 84,61
Dampak diabetes 46,15
76,92 Langkah preventif
61,53 92,3
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif terjadinya penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
205
Hasil yang dicapai untuk Mitra II RW 09 Desa Kalisidi : Terbentuknya posyandu lansia Mahardika. Berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi
disepakati untuk tempat posyandu lansia di rumah Kader Ibu Roisatun RT 02 RW 09 Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Kader dan tim pengabdian telah
melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat,
kolesterol, timbangan berat badan. Alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30
buah, buku penyakit hipertensi 30 buah, buku penyakit reumatik 30 buah, buku penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbanganpengukuran
tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, lembaran KMS Kartu Menuju Sehat bagi lansia, buku batik besar 5 buah dan alat tulis lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan
posyandu. Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Mahardika : jumlah kader 12 orang yang
terwakili dari seluruh RT 9 RT yang ada di RW 09 Desa Kalisidi. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia. Pendidikan
kesehatan yang dilakukan kepada 12 kader adalah penyakit hipertensi, penyakit reumatik, penyakit diabetes melitus. Terjadi peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit
hipertensi, reumatik dan diabetes melitus.
Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test
Pengertian 23,07
84,61 Faktor resiko
69,23 84,61
Tanda dan gejala 23,07
84,61 Dampak
15,38 46,15
Tindakan psikologis 38,46
61,53 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian, faktor resiko serta
danda dan gejala penyakit hipertensi sebanyak 84,61. Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 09 Kelurahan Kalisidi
Items Pre Test Post Test Pengertian
69,23 84,61
Tanda dan gejala 46,15
76,92 Pengaturan diet
30,76 76,92
Jenis makanan 30,76
69,23 Jenis herbal
15,38 76,92
Tabel 2 menunjukkan bahwa mampu memahami tentang pengertian penyakit reumatik sebanyak 84,61.
Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 09 Kelurahan Kalisidi
Items Pre Test Post Test
Pengertian 23,07
92,3
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
206
Tanda dan gejala 30,76
84,61 Jenis diabetes
30,76 76,92
Dampak diabetes 30,76
76,92 Langkah preventif
53,84 92,3
Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3.
Pembahasan Terbentuknya posyandu lansia
Posyandu lansia dibentuk di dua tempat yaitu posyandu lansia Mahardika dan Melati. Keberhasilan pengabdian terjadi karena adanya dukungan dari kelurahan setempat dan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah proses kegiatan sosial dalam meningkatkan partisipasi orang, organisasi dan masyarakat terhadap tujuan individu dan masyarakat,
pengaruh politik, peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial Wallerstein,1992 dalam Helvie,1998. Hubungan saling percaya dapat terbina dengan
kelurahan dan jajarannya merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan posyandu lansia ini. Koordinasi dengan ketua FKK Forum Kesehatan Keluarga tidak mengalami
hambatan. Koordinasi dan komunikasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan gambaran posyandu lansia, tujuan, ruang lingkup, sasaran, sarana dan prasarana serta
perlunya keterlibatan kader sebagai penggerak memandirikan lansia. Pos Pelayanan Terpadu Posyandu Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada
lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat LSM, lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Eng dan Parker 1994 dalam
Helvie 1998 menyebutkan 2 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat atau calon kader adalah kemampuan komunikasi dan artikulasi dalam memberikan support
sosial kepada masyarakat. Interaksi merupakan suatu proses persepsi dan komunikasi antara individu dengan lingkungan dan antara individu yang satu dengan individu yang
lain, diwujudkan dengan perilaku verbal dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Setiap individu yang berinteraksi dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan,
tujuan, pengalaman terdahulu dan persepsi King dalam Tomey, A.M. Alligod, M.R. 2006.
Pengetahuan tentang posyandu dan masalah kesehatan lansia Pengetahuan kader di RW 01 Kelurahan Tembalang tentang penyakit hipertensi
mengalami peningkatan : pengertian 53,85, faktor resiko 7,09, tanda dan gejala 38,46, dampak 12,31, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi
mencapai 23,08. Pengetahuan tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38, tanda dan gejala 7,7, pengaturan makanan 38,44, Jenis makanan
yang dianjurkan 9,77, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54. pengetahuan kader tentang penyakit diabetes melitus mengalami peningkatan : pengertian 69,23,
tanda dan gejala 69,23, jenis diabetes meiltus 38,46, komplikasi 30,77, serta cara pencegahan diabetes 30,77.
Pengetahuan kader di RW 09 Kelurahan Kalisidi tentang penyakit hipertensi mengalami peningkatan : pengertian 61,54, faktor resiko 15,38, tanda dan gejala 61,54, dampak
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
207 30,77, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,07.
Pengetahuan kader tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38, tanda dan gejala 30,77, pengaturan makanan 46,16, Jenis makanan yang
dianjurkan 38,47, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54. Pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh Tim pengabdian kepada kader telah berhasil sehingga kader
memperoleh pengetahuan yang baru tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia. Pengetahuan menurut WHO adalah suatu pengalaman yang didapatkan oleh
seseorang dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain Mubarok,W.I., 2009. Tingkat pengetahuan yang telah dicapai oleh kader adalah tahap tahu, memahami,
penerapan, analisis, sintesis sampai dengan evaluasi. Pendidikan kesehatan ini bertujuan agar kader mempunyai kompetensi dalam menghadapi masalah-masalah kesehatan yang
sering terjadi pada lansia, seperti masalah hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dalam perubahan perilaku
seseorang. Pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan kepercayaan diri merupakan faktor prediposisi yang mempengaruhi perilaku Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000.
Keterampilan tentang penggunaan alat pemeriksaan kesehatan Tim pengabdian terlebih dahulu mengenalkan satu persatu alat yang akan digunakan dan
fungsi dari masing-masing alat tersebut.Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pemeriksaan juga diterangkan sampai kader siap melakukan demonstrasi mandiri.
Pelatihan terhadap kader mengenai cara melakukan pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol adalah sesuatu yang baru bagi kader. Hal ini tidak pernah
dilakukan sebelumnya sehingga kader bersemangat dan antusias untuk mengikuti pelatihandemonstrasi yang menunjang terhadap implementasi posyandu lansia ini.
Perilaku kader mengalami
readiness to change
, dimana kesediaan untuk berubah dapat dilihat jika ada suatu inovasi atau program kesehatan di dalam masyarakat. Sebagain kader
ada yang menerima inovasi dengan cepat dan sebagian kader lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Kader telah melalui tahapan perilaku terjadi secara
berurutan, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan akan berubah menjadi sikap dan sikap akan menjadi sebuah tindakan. Tim pengabdian melakukan evaluasi
terhadap praktek yang dilakukan kader, sehingga jika hasil dari praktek tersebut kurang tepat, maka latihan dilakukan berulang-ulang samapai kader mampu melakukan praktek
sendiri dan mampu melakukan pemeriksaan dengan tepat secara langsung pada lansia saat kegiatan posyandu lansia. Alat pemeriksaan tekanan darah menggunakan stetoskop
teaching
, sehingga saat dilakukan demontrasi, tim pengabdian juga mengetahui secara akurat sejauhmana kemampuan latihan kader.
Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Kepengurusan
kader dilakukan
dengan menggunakan
gerakan pemberdayaan
empowerment
masyarakat. Gerakan pemberdayaan masyarakat adalah gerakan dari, oleh dan untuk mengenali dan mengatasi masalah kesehatan serta memelihara, meningkatkan
dan melindungi kesehatan masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan yang dilakukan dalam hal ini adalah pemberdayaan perempuan yang menjadi kader posyandu lansia.
Kepengurusan posyandu lansia dibina oleh Lurah dengan penanggung jawab Ketua RW. Proses pembentukan tidak mengalami hambatan karena kader mempunyai kesediaan
untuk berubah ke arah yang lebih baik, sehingga pesan yang disampaikan oleh tim pengabdian kepada kader diterima secara utuh. Komunikasi dapat dilakukan dua arah
antara kader dengan tim. Komunikasi adalah penyampaian pesan dari seseorang kepada
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
208 orang lain melalui media agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh sasaran sesuai
dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan Sudiharto, 2007.
Tersusunnya program posyandu lansia Program posyandu lansia yang telah tersusun merupakan hasil dari pemberdayaan sumber
daya manusia khususnya kader. Kader memfasilitasi kegiatan lansia yang disusun dalam program posyandu lansia. Kader dalam hal ini merencanakan, memutuskan dan mengelola
tim 12 kader setiap keluhan melalui
collective action
dan
networking
sehingga lansia memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial. Program
posyandu lansia tersusun berdasarkan identifikasi data selama proses pengabdian. Identifikasi dilakukan oleh kader dan diarahkan sesuai dengan data fokus lansia dengan
menggunakan teknik fishbonding. Fisbonding merupakan teknik identifikasi masalah yang cepat dan merupakan metode yang mudah digunakan Ervin, N.E., 2002
Peningkatan kesehatan dan kemandirian lansia Kesehatan dan kemandirian lansia di Rw 01 dan RW 09 dmeningkat dengan adanya
kunjungan lansia ke posyandu. Pendekatan yang dilakukan Tim pengabdian sebagai perawat komunitas adalah pendekatan pelayanan kesehatan, merupakan pendekatan yang
dilakukan oleh perawat untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dalam pelayanan berdasarkan modifikasi perilaku tak sehat. Pendekatan kedua adalah pengembangan
komunitas, yaitu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan kesehatan Rifkin, 1986 dalam Anderson McFarlane, 2001. Pendekatan
selanjutnya adalah pendekatan medis dengan cara koordinasi dan kolaborasi dengan pihak puskesmas Rowosari. Rencana tindak lanjut dengan Pihak Puskesmas adalah
keberlangsungan posyandu lansia setiap bulannya yang disepakati setiap tanggal 15 akan dilaksanakan kegiatan posyandu lansia. Monitoring kegiatan akan dilakukan oleh
Puskesmas dan pemantauan dari pihak Kelurahan juga dilakukan sebagai
reward
atas keberhasilan kader dalam melaksanakan program posyandu lansia. Reward merupakan
faktor
reinforcing
yang mempengaruhi perilaku Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000.
Kesimpulan Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100 dari target
luaran secara keseluruhan. Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia
“Mahardika”. Posyandu memiliki kepengurusan dengan pembina dari Lurah, penanggung jawab Ketua RW dan jumlah keseluruhan kader 24 orang . Pengurus telah memiliki
rencana program kedepan bagi kegiatan lansia dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemandirian lansia.
Daftar Pustaka Anderson McFarlane. 2001.Community as Partner Theory and Practice in Nursing.
Lippincott Williams Wilkins. Philadelpia Ervin, N.E. 2002.
Advanced Community Health Nursing Practice.Population Focuced- Care
. Michigan.Frentice Hall Green, L.W, Kreuter, M.W. 2000.
Health Promotion Planning an Educational and Environmental Approach., second edition
. Toronto. Mayfield Publishing Company Helvie, Carl O. 1998. Advanced Practice Nursing in The Community. Sage Publications
Thousand Oaks.London
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
209 Mubarok, W.I, dkk 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi.
Jakarta.Salemba Medika. Sudiharto 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan
Transkultural. Hal 45-47. Jakarta. EGC. Tomey, A.M. Alligod, M.R. 2006. Nursing Theories and Their Work
s
. Sixt Ed. St.Louis; Mosby Elsevier
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 210
STUDI LITERATURE : EFEKTIVITAS PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PASIEN DIABETES MELLITUS
Wachidah Yuniartika
Mahasiswa Magister Keperawatan Undip Peminatan Komunitas
Email:
Wachidah.yuniargmail.com
Abstrak Pendahuluan. Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan penanganan mandiri
seumur hidup. Diet, aktivitas fisik dan stress fisik dapat mengakibatkan depresi sehingga berakibat juga kualitas hidup menurun, karena itu pasien kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah
mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi.
Tujuan. untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Metode. Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun 2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut
psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata kunci pencarian nursing. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, menggunakan
Intervensi psikoedukasi, outcome yang diukur : ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus.
Hasil. Sesuai criteria dan metode didapatkan 7 jurnal yang bisa dilakukan dalam studi ini. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan kadar glukosa
darah pasien diabetes Mellitus mashudi, intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi pascasalin Yafeti, psikoedukasi SWEEP lebih efektif dari daripada
UC untuk mengobati wanita depresi dengan diabetes tipe 2 Sue M, et al, pelatihan kognitif dikombinasikan dengan intervensi psikoedukasi pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan peningkatan pengetahuan tentang diabetes
mellitus De’bora, et al, pasien dengan terapi psikoedukasi kelompok lebih baik dibandingkan kelompok pendidikan diabetes konvensional dalam mencapai tujuan pengendalian diabetes,
program ini efisien pada pasien diabetes dalam perawatan primer Miguel et al, psikoedukasi efektif dalam penanganan jangka panjang dan pendek untuk pasien depresi ringan, tetapi untuk
pasien depresi sedang efektif dalam jangka pendek Rocio et al. Kesimpulan. Semua studi melaporkan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam hal mengurangi
depresi dan pengendalian diabetes. Kata Kunci : Psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus
Pendahuluan Diabetes adalah penyakit kronis yang mempengaruhi sekitar 346 juta orang di seluruh
dunia, 1 dengan tambahan 7 juta orang terkena diabetes setiap tahun. Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika
Serikat, China dan India. Hasil penelitian dari International Diabetes Federation 2005 menunjukkan prevalensinya 60 penderita diabetes mellitus mengalami depresi dan juga
menunjukkan 15 penderita diabetes mellitus mengalami depresi sedang. Menurut penelitian penckofer,et al, prevalensi depresi di antara pasien dengan diabetes tipe 2 adalah
9,8, 5,2 untuk laki-laki dan 15,1 untuk perempuan.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 211
Studi menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes yang tinggal di negara-negara berkembang memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan. Masalah
Ekonomi yang berat dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, terutama depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat, sehingga pasien mengalami kesulitan dalam
mengatur kadar glukosa darah mereka.
1
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengalami dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Sasaran dari
psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam
terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut.
2
Tujuan Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi
psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Metoda Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun
2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication
Index dengan kata kunci pencarian nursing, diabetes mellitus, psikoedukasi. a.
Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, Menggunakan Intervensi psikoedukasi,
b. Kriteria Eksklusi: tidak secara khusus melaporkan diabetes atau depresi, tidak
melaporkan intervensi psikoedukasi c.
outcome yang diukur : Ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus.
d. Penilaian Kualitas: pedoman untuk melakukan penilaian kritis dalam literature review
ini melibatkan proses lima langkah secara berurutan: Pemahaman: Membaca melalui artikel untuk memahami ide-ide kunci dan konten. Perbandingan: membaca setiap
artikel yang dipilih untuk memahami masalah penelitian, tujuan, desain, ukuran sampel, prosedur pengumpulan data dan temuan kunci. Analisis: memeriksa dan
menghubungkan dengan review ini sesuai tujuan dan kriteria inklusieksklusi. Evaluasi: menentukan arti, makna, dan validitas dengan memeriksa jurnal antara proses studi, dan
temuan.
Hasil Sebanyak 20 abstrak diidentifikasi sebagai potensi masuknya review. Setelah duplikat
abstrak dihapus dan diperiksa sesuai kriteria inklusi, 10 abstrak yang diidentifikasi relevan tetapi tidak cocok semua kriteria inklusi dan 7 yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah
studi tambahan diidentifikasi
selama proses review
.
Gambaran dari 7 studi
secara rinci ditampilkan
dalam Tabel
1 dibawah ini:
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 212
Tabel 1. Ringkasan dari pemilihan artikel
Penulis dan tahun Negara
Sampel Intervensi psikoedukasi
Outcame yang diukur
Depresi DM
Mashudi 2012 Indonesia
15 kontrol 15 perlakuan
Progressive muscle relaxation
√
Yafeti Nazara 2009 Indonesia
40 perlakuan 45 kontrol
Media booklet √
Penckofer sue, et al 2012
USA 38 SWEEP
36 UC biasa SWEEP Wo e ’s E otio s a d
Evaluation of a Psycoeducational √
√ Debora Lee
Monica 2012 Brazil
19 Perlakuan EG 15 kontrol CG
Pelatihan kognitif dan program pendidikan pd orang tua
√ Mirjana P, et al
2015 Croatia
209 perlakuan 6 sesi mingguan dibagi dlm.
Psikoedukasi A, Latihan Fisik B Perawatan Biasa C
√ √
Miguel angel, et al 2013
Spain 72 DM tipe 2
Psikoedukasi terapi kelompok √
Rocio Casanas, et al 2012
Spain 119 intervensi
112 kontrol Psikoedukasi yang meliputi
perawatan diri dan gaya hidup sehat diet,latihan fisik,tidur
√
Tabel 2. Rincian Metodologis studi Literature: efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus.
Penulis dan tahun
Judul Artikel Desain penelitian
Tujuan dan metode Hasil
Mashudi 2012
Pengaruh PMR terhadap kadar
glukosa darah pada pasien diabetes
mellitus Tipe 2 di RSUD Jambi.
kuasi eksperimen dengan pre and
post with control group,
Teridentifikasikannya pengaruh
progressive muscle
relaxationPMR terhadap
penurunan kadar glukosa darah KGD
pada pasien
diabetes melitus tipe 2 DMT2 di
RSUD Raden Mattaher Jambi.
Pengambilan sampel
dengan consecutive
sampling. Data dianalisis secara
univariat dan
bivariat Hasil analisis menunjukkan
adanya pengaruh
PMR secara
signifikan dalam
menurunkan KGD
pasien DMT2
di RSUD
Raden Mattaher Jambi. Sedangkan
variabel umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama
menderita DMT2
tidak mempunyai
hubungan dengan rata-rata penurunan
kadar glukosa darah setelah intervensi.
Yafeti Nazara
2009 Efektivitas
psikoedukasi terhadap pencegahan
depresi pascasalin
penelitian di pelayanan kesehatan
Kabupaten Nias, Sumatera Utara
kuasi eksperimental
dengan post test only design
untuk menilai efektivitas intervensi psikoedukasi
yang diberikan kepada ibu-ibu postpartum dalam
pencegahan terjadinya depresi.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum
Gunung Sitoli dan di lima Puskesmas yang diambil
secara random di Kab. Nias pada bulan Mei - Juli
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa intervensi
psikoedukasi secara signifikan p= 0,001, Odds
Ratio OR : 5,924 95 CI : 2,081-16,868
efektif mencegah terjadinya depresi pascasalin.
Faktor dominan yang berpengaruh pada efektivitas
intervensi psikoedukasi adalah
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 213
2006. Sampel adalah ibu yang melahirkan normal
di Rumah Sakit dan di Puskesmas, didampingi
suami, ibu dan bayi dalam kondisi sehat tanpa
komplikasi sebanyak 85 orang. Instrumen yang
digunakan untuk mengukur depresi adalah
kuesioner Edinburg Postpartum Depression
Scale EPDS. dukungan keluarga nilai p
=0,001, OR : 80 95 CI : 6,069-
1054,570.
Penckofer sue, et al
2012 A Psychoeducational
Intervention SWEEP for Depressed
Women with Diabetes.
Secara random, desain eksperimen
menggunakan kelompok control
dan kelompok intervensi.
Tujuan Untuk mengetahui efektivitas Studi
Emosi perempuan dan Evaluasi dari
PSYCHOEDUCATIONAL SWEEP, terapi kelompok
untuk pengobatan depresi berdasarkan
prinsip terapi perilaku kognitif yang
dikembangkan untuk wanita dengan
diabetes tipe 2. Wanita dengan gejala
depresi meningkat secara signifikan Pusat Studi
Epidemiologi dg Depresi Skala
≥16 metode SWEEP dengan random n=38,
dan metode biasa UC n=36
Model multilevel menunjukkan bahwa SWEEP
adalah lebih efektif daripada UC
dalam mengurangi depresi perbedaan berarti
-15 vs -7, p 0,01, penurunan sifat kecemasan
perbedaan berarti -15 vs -5, p 0,01, dan meningkatkan
ekspresi kemarahan perbedaan berarti -12 vs -5,
p 0,05. Meskipun SWEEP dan UC
memiliki perbaikan dalam glukosa puasa perbedaan
berarti -24 vs -1 mg dl dan HbA1c
perbedaan berarti -0,4 vs - 0.1, tidak ada statistik
perbedaan yang signifikan antara kelompok.
Debora Lee
Monica 2012
Elderly Individuals with Diabetes: Adding
Cognitive Training to
Psychoeducational Intervention
Desain eksperimen
menggunakan kelompok
perlakuan EG dan kelompok
control CG Bertujuan untuk menilai
efek dari pelatihan kognitif delapan sesi dan
program pendidikan pada orang tua diabetes dan
mengetahui perubahan kesadaran mereka
tentang aspek-aspek tertentu dari diabetes.
Protokol pertanyaan klinis dan sosiodemografi:
dengan menggunakan instrument ATT-19;
DKN-A; MMSE; GDS; SKT; dan
RBMT Hasil menunjuk perbedaan
yang signifikan antara kedua kelompok untuk ATT-19,
DKN, dan memori SKT- dan SKT-total, dan perbedaan
sedikit signifikan bagi sejarah RBMT di posttest. Adapun
variabel kognitif yang tersisa, tidak ada perubahan yang
diamati. Efek tes ulang tidak diamati dalam CG. Kami
menyimpulkan bahwa pelatihan kognitif
dikombinasikan dengan intervensi psychoeducational
pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam
menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 214
peningkatan pengetahuan tentang diabetes mellitus.
Mirjana P, et al
2015 Does treatment of
subsyndromal depression improve
depression-related and
diabetes-related outcomes? A
randomised controlled
comparison of psychoeducation,
physical exercise and enhanced treatment
as usual. Dewasa pasien diabetes
tipe 2 yang positif mengalami depresi dan
menyatakan kebutuhan untuk bantuan profesional
dengan masalah hati yang memenuhi syarat. Kriteria
adalah depresi klinis, saat ini perawatan psikiatris
dan komplikasi diabetes. Dari 365 pasien yang
memenuhi syarat 209 yang bisa dilakukan
intervensi selama 6 sesi.psikoedukasi A dan
latihan fisik B, atau untuk meningkatkan
perawatan seperti biasa C. Pengacakan
dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin.gejala depresi hasil primer dan
diabetes, perawatan diri diabetes, kontrol
metabolik dan kualitas kesehatan yang
berhubungan dengan kehidupanhasil sekunder
dianalisis pada 6 bulan dan 12 bulan follow-up.
Menggunakan uji statistic ANOVA.
Pasien yang diacak ke dalam kelompok A 74, 66 B dan 69
ke dalam kelompok C, 203 menyelesaikan
intervensi, dan 179 pasien dengan semua 3 penilaian
dianalisis. Gejala depresi peserta dari
psychoeducational, latihan fisik dan ditingkatkan
perawatan sebagai kelompok biasa membaik sama dari
waktu 12 bulan follow-up waktu terhadap waktu efek
x kelompok; seperti yang dilakukan diabetes dan
kualitas hidup, perawatan diri diabetes, trigliserida, dan
kolesterol total dan LDL- kolesterol.
Intervensi yang digunakan memiliki efek positif setelah
dilakukan intervensi 12-bulan psikologis dan hasil terkait
diabetes menunjukkan bahwa intervensi minimal
menangani pasien diabetes terkait masalah klinis yang
menguntungkan dan cukup untuk mengobati
subsyndromal depresi.
Miguel angel, et al
2013 Psychoeducative
groups help control type 2 diabetes in a
primary care setting. Studi kuasi-
eksperimental pra pasca-
intervensi dengan kelompok kontrol
non-ekuivalen. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengukur dampak dari intervensi
kelompok psychoeducational
pada diabetes menggunakan hemoglobin
glikosilasi HbAlc, indeks massa tubuh BMI
dan risiko kardiovaskular faktor CVRF
dibandingkan dengan cara pendidikan konvensional.
kelompok psychoeducational
terapi dalam kelompok studi PGT dibandingkan
dengan pendidikan diabetes konvensional di
kelompok kontrol CG. Pasien PGT mencapai
signifikan peningkatan HbAlC, BMI dan
CVRF, dibandingkan kelompok pendidikan
diabetes konvensional dlm mencapai tujuan
pengendalian diabetes yang optimal. struktur
perubahan dalam program ini adalah terapi yang lebih
efisien untuk pendidikan diabetes dalam
perawatan primer.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 215
Rocio Casanas,
et al 2012
Effectiveness of a psychoeducational
group program for major depression in
primary care: a randomized
controlled Studi percobaan
acak terkontrol. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menilai efektivitas program
psychoeducational, yang meliputi aspek
perawatan pribadi dan gaya hidup sehat, pada
pasien dengan gejala depresi ringansedang
dalam Perawatan Primer PC.
sampel 246 responden berusia lebih dari 20
tahun yang diukur melalui perawat dokter umum
primary care PCCs di 12 Pusat perkotaan
Barcelona. kelompok intervensi IG n = 119
menerima program psychoeducational 12
minggu, sesi 1,5 jam dipimpin oleh dua
perawat dan kelompok kontrol CG n = 112
menerima perawatan biasa. Pasien dinilai pada
awal di 3, 6 dan 9 bulan. Ukuran hasil utama
adalah BDI, EQ-5D dan remisi berdasarkan BDI.
231 pasien acak dimasukkan, di antaranya 85 memiliki
depresi ringan dan 146 depresi sedang. Analisis
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok dalam kaitannya dengan tanda gejala,
terutama di Kelompok depresi ringan dengan
tingkat tinggi 57 p = 0,009 dan 65 p = 0,006 pada
pasca perawatan pada 9 bulan follow up, dan hanya
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada BDI di
pasca perawatan dan pada 6 dan 9 bulan tindak
lanjut p = 0,048; d = 44.. Dalam sampel secara
keseluruhan, analisis hanya menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara kelompok pada BDI di
pasca perawatan, masing- masing. Kelompok
psikoedukasi meningkat secara signifikan pada EQ-5D
di jangka pendek dan panjang. Intervensi
psychoeducational ini adalah pengobatan yang efektif
jangka pendek dan panjang untuk pasien dengan
gejala depresi ringan. Ini menghasilkan hasil signifikan,
dianjurkan dalam PC dan dapat dilakukan oleh
perawat dengan pelatihan sebelumnya. Pada pasien
yang depresi sedang, kelompok psychoeducation
efektif dalam jangka pendek.
Pembahasan Kami mengidentifikasi tujuh artikel kuantitatif studi yang meneliti tentang intervensi
psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau terkait Diabetes Mellitus. studi menemukan bahwa intervensi psikoedukasi efektif dalam mencegah dan mengurangi depresi walaupun
dalam studi tersebut dijelaskan model intervensinya dilakukan berbeda-beda. Intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi dengan cara dukungan
keluarga Yafeti, 2009, terapi kelompok dengan prinsip terapi perilaku kognitif dalam pengembangannya Penckofer, et al, 2012, dibuat dalam 6 sesi kegiatan dimana dalam
tindakan psikoedukasi tersebut dimasukkan juga tindakan dalam perawatan diri diabetes, kontrol metabolic dan kualitas kesehatan yag berhubungan dengan kehidupan, kegiatan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 216
dianalisis pada 6 bulan dan follow-up 12 bulan mirjana, 2015. Pasien dengan depresi ringan psikoedukasi efektif untuk pengobatan jangka pendek dan panjang, tetapi jika
pasien depresi sedang pengobatan efektif untuk jangka pendek saja Rocio, et al, 2012.
Pasien dengan penyakit kronis salah satunya Diabetes Mellitus dua kali mengalami gangguan kecemasan dan depresi dari seluruh populasi. Studi terbaru telah menunjukkan
bahwa secara umum kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi untuk pengembangan kecemasan dan depresi.
3
Untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita Diabetes Mellitus tipe 2 bisa melakukan Progressive muscle relaxation PMR mashudi, 2012,
pelatihan kognitif dan program pendidikan diabetes khususnya pada pasien lanjut usia Debora,et al, 2012. cara mengontrol Diabetes Mellitus tipe 2 dengan intervensi
psikoedukasi kelompok dan pengukuran kadar glukosa, berat badan dan pemeriksaan faktor resiko kardiovaskuler Miguel, et al, 2013
Kesimpulan Berdasarkan hasil review dari tujuh artikel dapat disimpulkan bahwa Intervensi
psikoedukasi efektif dalam menurunkan depresi pada pasien dengan Diabetes Mellitus.
Daftar Pustaka Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010.
Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder
. Jurnal:
Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders
. Casanas Rocio, et,al, 2012,
Effectiveness of a psycho-educational group program for major depression in primary care: a randomized controlled trial
. Research Article, BMC Psychiatry.
Debora lee, et al, 2012,
Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to Psychoeducational Intervention
, educational gerontology. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013
Maria Augusta,et al,2014,
Anxiety disorders are associated with quality of life impairment in patients with insulin-dependent type 2 diabetes: a case-control study,
Revista Brasileira de Psiquiatria. Original Article
Mashudi, 2012,
Pengaruh Progressive muscle relaxation terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Jambi,
jurnal health sport volume 5. Miguel, et al, 2012,
Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care setting.
Original Article, Nutricion Hospitalaria. Mirjana, et,al, 2015,
Does treatment of subsyndromal depression improve depression related and diabetes-related outcomes? A randomized controlled comparison of
psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual.
Research, Trials.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“
Semarang, 7 November 2015 217
Penckofer Sue M, et,al, 2012,
A Psychoeducational Intervention SWEEP for Depressed Women with Diabetes.
Original Article, The Society of Behavioral Medicine. Yafeti, 2009,
Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin penelitian di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara,
jurnal Obstetric Indonesia volume 33.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 218
PROFESI DOULA DALAM PENDAMPINGAN PERSALINAN DENGAN NILAI-NILAI ISLAMI
Diah Indriastuti Mahasiswa Magister Keperawatan
Konsentrasi Komunitas UNDIP, Email: Diahindri.Syauqiyagmail.com
Abstrak
Pendahuluan. Doula berperan dalam proses
caring
untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk
persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum. Konsep islam berkaitan dengan konsep
caring
pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan. Doula memiliki konsep
caring
yang selaras dengan konsep
caring
dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus menerus.
Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami..
Metoda. Literatur review disusun menggunakan metode campuran, yang mengintegrasikan temuan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif. 3 artikel digunakan dengan komposisi 1
junarl systematic review dan 2 artikel penelitian Qualitatif. Hasil. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses
perawatan di rumah sakit, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinya dan mengurangi kejadian post partum depresi. Keperawatan dalam Islam memiliki
sifat kesucian terkait dengan ibadah, kemurahan hati dan mendahulukan orang lain, tanggungjawab dan komitmen social, mengutamakan kebajikkan. Keperawatan memiliki
simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al
Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikian.
Pembahasan. Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan pendampingan secara terus menerus, doula memberikan dukungan secara
bermakna pada ibu. Keperawatan menurut budaya islam membimbing seseorang untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses
pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri mereka sendiri.
Kesimpulan. Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak.
Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim
pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan konsep Islami. Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep
mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 219
Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian Islam.
Kata Kunci : doula, islami, kehamilan, kelahiran, keperawatan, pendampingan.
Pendahuluan Kelahiran adalah proses yang kompleks, timbal balik dan terintegrasi dengan sosiokultural
Fulton, 1999. Asal kata doula adalah dari bahasa Yunani yang berpengalaman dan melalui pelatihan sebelumnya sebagai seorang pendamping persalinan. Doula memberikan dukungan
terus menerus kepada ibu hamil dan pasangannya secara fisik, emosi, social, serta pemberian informasi selama kehamilan hingga persalinan Indriastuti Namuwali, 2015. Tugas doula
adalah merawat dan menemani ibu hamil.Arnold, 2001 Doula menjalankan tugasnya secara holistic, biological, psychological, social, cultural, dan spiritual selama masa kehamilan dan
persalinan Doula berperan dalam proses
caring
untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan
menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum Arat, 2013. Peran doula terdiri dari :
a. Menyediakan dukungan emosional yang berkelanjutan, seperti berbicara dengan ibu dan
memberikan dukungan dengan tetap menjaga kontak mata b.
Memberikan informasi pada ibu mengenai kemajuan persalinan dan menjelaskan kemungkinan intervensi medis yang perlu dilakukan
c. Membantu ibu mendapatkan posisi bersalin yang baik, ibu mendapatkan kenyamanan dan
kemajuan persalinan terfasilitasi d.
Komunikasi terus menerus dengan ibu baik verbal maupun nonverbal untuk meyakinkan ibu bahwa dia tidak sendirian.
e. Memfasilitasi ibu untuk melakukan kontak
skin to skin
dengan bayinya segera setelah lahir dan berusaha melakukan IMDFulton, 1999
Dalam Islam, ucapan Nabi SAW merupakan hadis yang menekankan pada pekerjaan merawat dan melayani pasien.
Tinjauan dalam Al Qur’an mengenai
caring
adalah perawatan dari istri Nabi ayub yang menderita penyakit kulit sehingga penampilannya buruk dan berbau.
Pada kisah Mariam dan Zakaria terlihat perawatan orang tua kepada seorang anak. Nabi Yusuf memperlihatkan
caring
pada para tahanan dengan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban seorang ibu yang diatur dalam Al Qur’an adalah
caring
pada anak selama masa pengasuhanSadat, Hoseini, Alhani, 2013.
Konsep islam berkaitan dengan konsep
caring
pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan.
a.
Caring
dianggap sebagai sebuah symbol dalam Islam, bahwa
caring
bukan hanya untuk manusia tetapi untuk semua makhluk. Kepedulian
caring
Islami adalah sebuah bentuk pelayanan pada TuhanAlimohammadi et al., 2013.
Caring
dalam Islam berarti keinginan
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 220
untuk bertanggung jawab, sensitif, memotivasi dan berkomitmen untuk bertindak benar demi kesempurnaanRassool, 2000.
b. Pemenuhan kebutuhan
Definisi dalam Islam mengenai pemenuhan kebutuhan pasien adalah “siapa pun
yang berupaya
untuk memenuhi
kebutuhan pasien
akan diberikan
hadiah pengampunan
untuk semuanya
dosanya bahkan
jika kebutuhan tidak terpenuhiAlimohammadi et al., 2013.
Doula memiliki konsep
caring
yang selaras dengan konsep
caring
dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus
menerus. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami.
Metoda Design penelitian yang digunakan adalah sistematik review mix metode atau metode
campuran. Artikel dipilih berdasarkan criteria inklusi sebagai berikut : a.
Profesi Doula b.
Konsep perawatan kesehatan dalam Islam. c.
Caring
Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak membahas mengenai doula dan konsep perawatan kesehatan dalam Islam. CASP yang digunakan adalah Evaluative Tool for Mixed
Method Studies USIR, 2005. Penelusuran dilakukan melalui EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, doula, Islamic dan konsep. Boolean operator yang digunakan adalah
“
And
” agar pencarian data lebih fokus. Ekstraksi data, adalah mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data sinthesis dilaksanakan untuk melihat konsep doula dama
pandangan Islam.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 221
Table 1. ekstraksi Data Peneliti
Design Sample
subject Intervensi
Hasil
Diah indriastuti,
et al. 2015
RCT Systematic
review Data
dikumpulkan dari 3 artikel
jurnal yang menunjukkan
manfaat peran doula
memberikan konseling non medis pada satu kelompok dan membandingkan pada
kelompok lain yang tidak menerima konseling.
Para peserta
menunjukkan peningkatan persepsi ibu yang
positif baik untuk diri mereka sendiri
tentang persalinan,
kelahiran dan bayi mereka pengalaman memberikan ASI
eksklusif dan inisiasi menyusui. Intervens imedis berkurang; dan
depresi post partum menurun
Fariba Thalegani
et al. 2000
Analisis kritis
literature Morse
Kualitatif design
Konseptual keperawatan
berdasarkan pemikiran
Islam Mengulas 4 pinsip filosofi dalam
mengkaji, mengelompokkan dan mengecaluasi keilmuan kosep
kerepawatan dalam pemikiran Islami Definisi
dan deskripsi
keperawatan dalam Islam jelas memfasilitasi
dan dapat
dipraktekkan secara operasional
Akram Sadat et al.
2013 Analisis
konsep Walker
dan Avant Kualitatif
design Konsep
keperawatan melalui analisis
sumber Islami Melakukan analisa konsep keperawatan
menggunakan 8 tahapan dari Walker dan Avant
Keperawatan dianggap mirip dengan pengasuhan ibu dan
memilki sifat feminism. Namun dalam
Islam digambarkan
seorang perawat
sebagai seseorang yang berusaha untuk
memperbaiki keadaan pasien.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 222
Hasil Penelusuran artikel jurnal dilakukan melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 358 artikel
untuk Konsep keperawatan Islam, 227 artikel doula. 500.000 artikel didapatkan mengenai konsep keperawatan Islami dan 2,830 artikel doula hasil dari google search engine. Dari
Proquest sebanyak 20 artikel keperawatan Islam dan 20 artikel doula. Pentapisan artikel untuk mendapatkan sesuai criteria inklusi dan 3 artikel tersebut adalah artikel yang paling sesuai
dengan tujuan sustematic review tentang Profesi Doula dalam Pendampingan Persalinan dengan Nilai-Nilai Islami.
a.
Peran pendampingan persalinan oleh doula
Dalam sistematik review mengenai keuntungan dukungan persalinan yang diberikan oleh doulaIndriastuti Namuwali, 2015, dijelaskan bahwa persalinan menjadi lebih mudah
28, mampu mengatasi persalinan dengan baik 37, memiliki pengalaman melahirkan yang menyenangkan 59Campbell, Scott, Klaus, Falk, 2007, dan mampu
memberikan ASI dengan mudahCampbell et al., 2007. Selain itu terjadi penurunan intervensi obstetric secara signifikan. Penurunan penggunaan analgetik 36, penurunan
penggunaan oksit osin 71, pengurangan penggunaan forcep 56 dan penurunan persalinan secara SC 52Campbell et al., 2007.
Penurunan depresi pasca persalinan dengan pengukuran menggunakan EPDS menyebutkan bahawa ibu dengan dukungan doula memiliki resiko lebih rendah untuk mengalami depresi
pasca persalinan. Pengkajian pada skor EPDS 13 depresi berat sebanyak 14,39 ibu dengan dukungan doula mengalami depresi sedangkan ibu tanpa pendampingan doula
memiliki prevalensi lebih tingi yaitu 21,25 Lumley, Austin, Mitchell, 2004
b. Karakteristik dalam keperawatan Islami
Karakteristik atau sifat dalam keperawatan Islami memiliki sifat sebagai berikut : 1
Kesucian terkait dengan ibadah Dalam sudut pandang Islam, keperawatan adalah pekerjaan suci yang memiliki
keterkatian dengan tingkatan ibadah tertinggi karena merujuk pada literatur Islam berupa Hadis Nabi SAW
2 Kemurahan hati dan mendahulukan orang lain
Moral baik, kebajikan dan mengutamakan orang lain adalah wujud dari prinsip keadilan, karena individu yang adil tidak akan melanggar hak orang lain. Sementara
orang yang murah hati dan mengutamakan orang lain bukan hanya akan menjaga hak orang lain tetapi juga memnganugerahkan miliknya untuk orang lain.
3 Tanggungjawab dan komitmen social
Karunia ’ yang didapatkan oleh seseorang diharapkan dapat diabdikan dengan
pelayanan kesehatan dan keperawatan. salah satu contohnya dalah dengan mendirikan lembaga kesehatan.
4 Mengutamakan kebajikkan
Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut
dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikianAlimohammadi et al., 2013.
Implementasi nilai baik tersebut berada dalam Al Qur’an pada kisah nabi Yusuf yang merawat tahanan di penjara ketika dia dihukum karena difitnah telah melakukan zina
dengan zulaikhah Qs Yusuf: 25. Dalam penjara, Yusuf dikenal sebagai orang yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 223
pemurah dan suka membantu . setelah yusuf meninggalkan penjara, dia masih memperhatikan para tahanan. Yusuf membersihkan penjara, meminta penjaga untuk
memperbaiki kondisi penjara, merawat yang sakit dan menghibur mereka. Hasilnya penjara menjadi bersih, kondisi tahanan lebih baik, secara spiritual dan mental lebih tenang
sehingga yusuf mendapatkan kepercayaan dan penghormatan dari mereka Sadat et al., 2013.
Dalam kisah nabi musa Qs Al-Qashah:7, ketika ibu nabi musa menghanyutkannya di
sungai untuk keselamatannya dari Fir’aun. Kemudian, saat diasuh oleh istri Fri’aun, Musa tidak mau meminum susu dari ibu susu manapun. Ibu susu yang bisa menyusui Musa
adalah ibu kandungnya sendiri. Hal ini menyebabkan pengasuhan dan perawatan anak pada Musa bayi ditangani langsung oleh ibunya sendiri.
Pembahasan Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan
pendampingan secara terus menerus. Pendampingan yang dibutuhkan memnbutuhkan perhatian penuh secara emosional, informatif, dukungan fisik dan bantuan untuk melakukan
perawatan pada bayi untuk pertama kali Fulton, 1999. Keuntungan dari dukungan doula secara keseluruhan pada 1 artikel sistemati review mengenai manfaat dukungan doula baik
saat kehamilan, persalinan dan pasca bersalin Indriastuti Namuwali, 2015. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit
Kathryn D. Scoot, 1999, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinyaCampbell et al., 2007 dan mengurangi kejadian post partum depresi Lumley et al.,
2004. Keperawatan menurut budaya islam adalah membimbing seseorang untuk mencari solusi atas
permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri
mereka sendiri, sebagaimana Musa diasuh oleh ibu kandungnya. Meski begitu seorang laki- laki seperti Nabi Yusuf juga mampu untuk berperan dalam keperawatan yang memiliki sifat
feminism keibuan. Kemampuan Yusuf ini berkat kemurahan hati dan sikapnya yang suka membantu orang lain serta kemampuannya memberikan perawatan dalam semua aspek
kehidupan. Dukungan yang diberikan oleh doula memiliki nilai-nilai moral baik yang sesuai dengan
kajian Islam, Kemurahan hati , altruism, tanggungjawab, komitmen social, simpati, kasih sayang, dan memberikan pertolongan pada sesama. Alimohammadi et al., 2013.
Kesimpulan Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang
professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan
sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan
konsep Islami. Pendekatan secara spiritual keagamaan memiliki cakupan yang menyeluruh.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “
Semarang, 7 November 2015 224
Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai
profesi doula menurut perspektf kajian Islam. Daftar Pustaka
Alimohammadi, N., Taleghani, F., Mohammadi, E., Akbarian, R. 2013. Nursing in
Islamic thought: Reflection on application nursing metaparadigm concept: A philosophical inquiry.
Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research
,
18
4, 272
–9. Retrieved
from http:www.pubmedcentral.nih.govarticlerender.fcgi?artid=3872860tool=pmcentre
zrendertype=abstract Arat, G. 2013. Doulas’ perceptions on single mothers risk and protective factors, and
aspirations relative to child-birth.
The Qualitative Report
,
18
4, 1 –11.
Campbell, D., Scott, K. D., Klaus, M. H., Falk, M. 2007. Female relatives or friends trained as labor doulas: Outcomes at 6 to 8 weeks postpartum.
Birth
,
34
3, 220 –227.
doi:10.1111j.1523-536X.2007.00174.x Fulton, J. M. 1999. Doula Supported Childbirth : An Exploration of Maternal Sensitivity ,
Self-Efficacy , Responsivity , and Parental Attunement Diploma Mountainside Hospital School of Nursing 1976 Approved :
Indriastuti, D., Namuwali, D. 2015. Beneficial effects of doula support on pregnancy. In
Java International Conference
. Kathryn D. Scoot. 1999. the obstetrical and post partum benefits of continuous support
during childbirth. JOOURNAL OF WOMEN’S HEALTH
GENDERBASED MEDICINE
,
8
. Lumley, J., Austin, M.-P., Mitchell, C. 2004. Intervening to reduce depression after birth:
a systematic review of the randomized trials.
International Journal of Technology Assessment in Health Care
,
20
2, 128 –144. doi:10.1017S0266462304000911
Rassool, G. H. 2000. The crescent and Islam: healing, nursing and the spiritual dimension. Some considerations towards an understanding of the Islamic perspectives on
caring
.
Journal of
Advanced Nursing
,
32
6, 1476
–1484. doi:10.1046j.1365- 2648.2000.01614.x
Sadat, A., Hoseini, S., Alhani, F. 2013. Sources : Seeking Remedy Search terms : Author contact :,
24
3. USIR. 2005. Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method”
evaluation tool was developed from th e evaluation tools for “quantitative” and
“qualitative” studies,.
Policy
. Salford, Greater Manchester: University of Salford Manchester. Retrieved from http:usir.salford.ac.uk13070
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 225
EFISIENSI BIAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE
ASSERTIVE COMMUNITY TREATMENT
PADA PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA DI PUSKESMAS : LITERATURE REVIEW
Diah Fitri Purwaningsih
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro
Email : diah_vitri85yahoo.co.id
Abstrak Latar Belakang.
Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan yang sangat rentan untuk kambuh. Hal yang paling sering menyebabkan kekambuhan adalah kurangnya dukungan dari keluarga, masyarakat
sekitar, dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia adalah dengan melakukan
assertive community treatment
dimana tim multidisiplin memberikan pelayanan secara komprehensif dan fleksibel dengan pelayanan diberikan di tempat
tinggal pasien.
Assertive community treatment
dilakukan di masyarakat binaan dengan ratio paling banyak 1 perawat 10 pasien.
Tujuan. meningkatkan efisiesi biaya dengan menggunakan metode
assertive community treatment
pada pasien skizofrenia dengan melibatkan tim interdisiplin.
Metodologi.
Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda
boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “Skizofrenia” and “
Assertive Community Treatment
” and “
Cost
”.Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat.
Hasil.
Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan tim interdisiplin dalam mengurangi kekambuhan pasien sangat besar.
Assertive community treatment
dapat menurukan biaya 4.529 rawat inap dan menurunkan 37 kekambuhan.
Assertive community treatment
dapat memberikan perawatan komprehensif pada perawatan rawat jalan.
Assertive community treatment
memiliki rata-rata biaya per-orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding.
Kesimpulan.
Dimana dengan menggunakan metode
assertive community treatment
tim interdisiplin dokter, psikiatri, perawat untuk memberikan dukungan pada pasien dalam minum obar secara rutin
dan memberikan aktifitas positif pada pasien skizofrenia agar tetap dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lainnya.
Kata Kunci.
efesiensi biaya,
assertive community treatment,
skizofrenia
Pendahuluan Kesehatan merupakan keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan
tanpa penyakit atau kelemahan WHO, 2001. Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial Stuart
Laraia, 2005. Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 226
dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien.
Didalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dari definisi
tersebut juga tersirat bahwa “Kesehatan Jiwa” merupakan bagian yang tidak terpisahkan integr
al dari “Kesehatan” dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh.
UU No 36 Tahun 2009
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian
splitting of personality.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi
kemunduran fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability ketidakmampuan Maramis, 1994. Penderita Skizofrenia sering
mengalami kekambuhan
sehingga ia harus menjalani perawatan dan pengobatan yang berulang keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak
faktor yang memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik, maupun faktor dari dalam individu itu sendiri. Lingkungan dan keluarga mempunyai andil
yang besar dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa, oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan
lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita.
Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan
assertive community treatmen
dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi
obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. Bramesfeld
et al., 2013.
ACT dianggap sebagai salah satu pendekatan yang paling efektif untuk memberikan layanan untuk orang dengan penyakit mental parah dan persisten Rosenheck dan
Neale 1998a, b; Latimer 1999; Phillips et al. 2001
Tujuan
a. Tujuan umum
Melakukan review efisiensi biaya dengan menggunakan metode
assertive community treatment
pada pasien skizofrenia. b.
Tujuan khusus 1
Mengetahi peran tim interdisiplin dalam penanganan skizofrenia di masyarakat 2
Mengetahui pentingnya dukungan keluarga dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 227
3 Mengetahui pentingnya dukungan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian pasien
skizofrenia 4
Mengetahui pentingnya metode
assertive community treatment
dalam efisiensi biaya pada pasien skizotrenia.
Metoda 1.
Kriteria inklusi
Kriteria inklusi : Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan
full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan skizofrenia di masyarakat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan
assertive community treatment.
Dengan dampak yang ditimbulkan dari
assertive community treatment
adalah
efisiensi biaya. 2.
Strategi Pencarian Literatur
Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing
AJN. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “
assertive community treatment
” and “
cost
” and “skizofrenia”.
Hasil Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada tiga jurnal
yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search.
1.
Kontribusi perawat dalam kesehatan jiwa di puskesmas Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai
antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu
rencana menjadi efektif. Kualitas hidup pasien dengan skizofrenia perlu ditingkatkan dengan cara mentoring dari petugas kesehatan. Zavradashvili et al., 2010
2. Efisiensi biaya pada penggunaan metode
assertive community treatment
pada pasien skizofrenia
Dalam penelitian oleh Erick dengan studi observasional menyebutkan bahwa perkiraan fiscal pada tahun 2001 sampai denga 2004 terjadi peningkatan 4.529 dalam biaya VA tren
dalam penggunaan rawat inap, kemudian efek
assertive community treatment
tetap stabil setelah tahun 2004 dimana dengan menggunakan
assertive community treatment
menurun 37, karena lebih sedikit pasien dirawat dirumah sakit. Slade, McCarthy, Valenstein,
Visnic, Dixon, 2013. Timbal balik yang sama antara efektivitas biaya dan akses mungkin terjadi dengan program perawatan kesehatan lainnya sumber daya intensif dan
hemat biaya, seperti Program All-In Perawatan untuk Lansia PACE Eng et al 1997;. Greenberg 2010; Gross et al. 2004. Studi ini menunjukkan bagaimana pengorbanan ini
dapat sistematis model yang mendukung dalam pengambilan keputusan antara keluarga
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 228
pasien. penggunaan ACT dapat meingkatkan efektifitas biaya dalam pengobatan rawat inal pasien, sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Para peneliti meneliti efisiensi
dalam menggunakan model ACT layanan tanpa batas pada tingkat tinggi intensitas ditetapkan dalam ACT Model.
Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-
orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok
pembanding. Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari 4.529 dalam VA
cost. Slade et al., 2013. ACT dapat menurunkan efektifitas biaya 20 lebih rendah, karena ACT melibatkan tim interdisiplin. Rosen, Mueser, Teesson, 2007. ACT untuk
pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan 18,8 dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50 pasien TAU; x 2
df = 1 = 6.75, p = 0,009. Stobbe et al., 2014 Dengan ACT kepuasan pasien meningkat, penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih
besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari
kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok pembanding.William, 2011
Pembahasan Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu
hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama
anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar
dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota tim. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan
kesehatan. Psikososial adalah bentuk praktek psiko-therapeutik dimana pengetahuan tentang bio-psiko-sosial.
Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain: a.
Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa
b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 229
f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain.
Assertive community treatment adalah suatu program pelayanan kesehatan dengan pendekatan tim multidisiplin yang memberikan pelayanan yang komprehensif dan fleksibel, dukungan dan
pelayanan rehabilitasi untuk individu dengan gangguan jiwa berat, dimana pelayanan diberikan di lingkungan natural pasien, bukan dalam setting Rumah Sakit. ACT Tools Kit,
2008 Dalam Assertive Community Treatment tim multidisiplin bekerja bersama dalam suatu tim.
Tim Assertive Community Treatment berkolaborasi dalam memberikan terapi, rehabilitasi, dan dukungan bagi tiap-tiap klien untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Konsumen
adalah klien dari suatu tim, bukan klien dari salah satu anggota tim secara individual. Individu dengan gangguan jiwa berat biasanya tidak mengalami perbaikan yang bermakna bila hanya
ditangani dengan pelayanan rawat jalan yang biasa. Tim Assertive Community Treatment memberikan pelayanan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan. Konsumen tidak perlu
mengikuti Gambaran penting dari Assertive Community Treatment
a.
Staf multidisiplin Tim yang memberikan layanan Assertive Community Treatment terdiri dari berbagai
profesi yang saling bekerjasama memberikan layanan komprehensif untuk pasien dengan gangguan jiwa berat.
b. Pelayanan yang terintegrasi Pelayanan dalam Assertive Community Treatment dilakukan
secara terintegrasi oleh sebuah tim, yang terdiri dari: - Terapi : terapi obatmedikasi, perawatan kesehatan fisik, kontrol gejala - layanan rehabilitasi : aktivitas sehari-hari,
hubungan interpersonal - terapi penyalahgunaan zat - bantuan-bantuan praktis - layanan sosial - layanan terhadap keluarga - layanan yang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
c. Pendekatan tim Anggota Tim Assertive Community Treatment adalah para profesional di
bidang kesehatan jiwa dari berbagai profesi yang bekerja bersama-sama secara kolaboratif. Masing-masing anggota tim mempunyai klien tetap yang ditangani, akan tetapi anggota tim
yang lain juga mengenal klien dari anggota tim yang lain dan siap
d. Rasio staf-klien rendah 1:10 Rasio staf dengan klien relatif kecil untuk menjamin layanan
yang adekuat untuk masing-masing klien. Rasio yang ideal adalah satu tenaga kesehatan melayani 10 klien.
e. Tempat kontak di lingkungan pasien dengan kunjungan rumah home visit Semua anggota
tim Assertive Community Treatment melakukan kunjungan rumah terhadap klien. Kunjungan dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien atau lingkungannya, seperti di
tempat kerja klien, bukan pertemuan di tempat pelayanan kesehatan. Penilaian yang dilakukan di lingkungan kehidupan pasien sehari-hari akan memberikan hasil yang lebih
akurat tentang keadaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Medication management Prioritas utama dari Assertive Community Treatment adalah
pemberian pengobatan yang efektif, dengan penilaian yang adekuat tentang gejala yang
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 230
dialami pasien dan diagnosisnya, pemilihan obat yang rasional, dosis dan durasi terapi yang adekuat, dan penatalaksanaan efek samping yang kemungkinan dialami.
g. Fokus pada masalah kehidupan sehari-hari Tim Assertive Community Treatment berfokus
pada aktivitas sehari-hari klien, tergantung dari kebutuhan pasien, seperti; rumah yang aman, membuat rencana pertemuan, melakukan pembayaran dan berbelanja. Tim Assertive
Community Treatment juga membantu klien mendapatkan ketrampilan dalam lingkungan tempat tinggalnya.
h. Akses yang cepat Tim Assertive Community Treatment memberikan respons yang cepat
terhadap masalah emergency yang dihadapi klien, sehingga bisa dikatakan bahwa tim Assertive Community Treatment bekerja 24 jam sehari.
i. Assertive outreach Tim Assertive Community Treatment melakukan pendekatan pada klien
yang menolak untuk bekerjasama, dan tidak secara otomatis menghentikan pelayanan terhadap klien yang menolak untuk bekerjasama.
j. Pelayanan bersifat individual Pelayanan dan dukungan yang diberikan kepada klien bersifat
individual untuk mengakomodasi kebutuhan dari klien dengan gangguan jiwa berat, yang berada pada populasi yang heterogen.
k. Pelayanan tidak berbatas waktu Layanan yang diberikan kepada klien tetap diberikan
walaupun klien telah mengalami stabilisasi dari permasalahan yang dihadapi, baik stabilisasi pengobatan, gejala, dan masalah dengan keluargalingkungannya
Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam penaganannya keikutsertaan peran
pekerja sosial medis di Rumah Sakit dan Puskesmas sangat berpengaruh terhadap proses pengobatan yang harus dijalani pasien dan pembiayaan yang harus ditanggung keluarganya.
Secara garis besar peran pekerja sosial medis dalam penanganan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit dan Puskesmas adalah sebagai berikut:
a.
Inisiator; membantu seorang klienpasien gangguan jiwa menyelesaikan persoalan karena tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya.
b. Negosiator; membantu keluarga pasienklien dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan
jiwa di Rumah Sakit atau Puskemas. c.
Advokasi; membantu mengemukakan persoalan yang dihadapi pasienklien. d.
Pembicara; membantu keluarga pasienklien dalam menyampaikan permasalahan kepada pihak Rumah Sakit atau Puskesmas.
e. Organisator; mengorganisir tim penanganan secara psiko-sosial
Tim interdisiplin yang ada di Puskesmas diharapkan dapat mengatasi masalah kekambuhan pasa pasien skizofrenia. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan
kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan
assertive community treatmen
dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah
satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat
meningkatkan efisiensi biaya.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 231
Judul Hasil
Cost Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining Psychiatric Inpatient Use
Eric P. Slade, John F. McCarthy, Marcia Valenstein, Stephanie Visnic, and Lisa B. Dixon 2013
Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari 4.529.Tren penggunaan rawat inap
yang akan datang menyarankan untuk menggunakan
assertive community treatment
ACT. Efek rogram ini tetap stabil setelah 2004. Dimana kelayakan untuk
assertive community treatment
ACT menurun 37 persen, karena lebih sedikit pasien yang dirawat di Rumah Sakit
The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized
controlled trial Jolanda Stobbe j.stobbeerasmusmc.nl
André I Wierdsma a.wierdsmaerasmusmc.nl Rob M Kok
R.Kokparnassia.nl Hans
Kroon hkroontrimbos.nl
Bert-Jan Roosenschoon
B.Roosenschoonparnassiagroep.nl Marja
Depla mdepladds.nl
Cornelis L Mulder niels.clmulderwxs.nl
Dari 62 pasien yang diacak, 26 hilang untuk menindaklanjuti 10 pasien di ACT untuk pasien lansia dan 16 di TAU. Sehubungan dengan pasien dengan TAU, lebih banyak pasien
yang dialokasikan untuk ACT memiliki kontak pertama dalam waktu tiga bulan 96,9 vs 66,7; X 2 df = 1 = 9,68, p = 0,002. ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus
sekolah lebih sedikit dari pengobatan 18,8 dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50 pasien TAU; x 2 df = 1 = 6.75, p = 0,009. Tidak ada
perbedaan dalam variabel hasil primer dan sekunder lainnya. Kesimpulan bahwa ada dampak positing dalam menerapkan metode
assertive community treatment
ACT terhadap perawatan lansia dengan gangguan mental berat
Cost-Effectiveness Of A Capitated Assertive Community Treatment Program
Chandler, Daniel,
Spicer, Gary,
Wagner, Marti,
Hargreaves, William 2011 Hipotesis penelitian adalah bahwa dengan langkah tim mendukung orang-orang yang
dinyatakan akan di fasilitas subakut jangka panjang dapat dipertahankan dalam masyarakat. Skor pada skala kepuasan klien berkisar dari 1,0 paling puas untuk 4.0. Kelompok
pembanding yang non-signifikan lebih puas perbandingan rata-rata = 2.19, SD = 0,839; demonstrasi berarti = 2,34, SD = 0,847; t = -0,647, df = 52, p = 0,521; efek ukuran =
0,179 Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran
capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per- orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian,
biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok pembanding.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 232
Kesimpulan Penelusuran literatur menunjukan pentingnya interdisiplin dalam memberikan
assertive community treatment
dalam meminimalkan biaya yang dikeluarkan dalam perawatan di Rumah Sakit pada pasien skizofrenia. Karena dengan melakukan
assertive community treatment
tim interdisiplin berhubungan langsung dengan keluarga pasien dan masyarakat untuk memberiukan dukungan pada pasien agar tetap dapat hidup berdampingan dengan
masyarakat yang lainnya. Hal ini bisa digunakan untuk acuan penelitian yang lainnya dalam hal efektifitas biaya yang ditimbulkan dari
assertive community treatment
tetapi tidak hanya pada pasien skizofrenia melainkan pada pasien gangguan mental yang lainnya.
Daftar Pustaka Bramesfeld, A., Moock, J., Kopke, K., Büchtemann, D., Kästner, D., Radisch, J.,
Rössler, W. 2013. Effectiveness and efficiency of assertive outreach for Schizophrenia in Germany: study protocol on a pragmatic quasi-experimental
controlled trial.
BMC Psychiatry
,
13
, 56. http:doi.org10.11861471-244X-13-56 Eng, C., J. Pedulla, G.
P. Eleazer, R. McCann, and N. Fox. 1997. “Program of All- inclusive Care for the Elderly PACE: An Innovative Model of Integrated
Geriatric Care and Financing.” Journal of the American Geriatrics Society 45 2: 223.
Greenberg, G., and R. Rosenheck. 2010. Department of Veterans Affairs National Mental Health Program Performance Monitoring System: Fiscal Year 2009 Report.West
Haven, CT: Northeast ProgramEvaluation Center, VA ConnecticutHealthcare System.
Gross, D. L., H. Temkin-Greener, S. Kunitz, and D. B. Mukamel. 2004. “The Growing
Pains of Integrated Health Care for the Elderly: Lessons from the Expansion of PACE.” Milbank Quarterly June 82 2: 257–82.
Maramis, W.F. 1994. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press
Phillips, S. D., B. J. Burns, E. R. Edgar, K. T. Mueser, K.W. Linkins, R. A. Rosenheck, R. E. Drake, and E. C. McDonel Herr. 2001. “Moving Assertive Community
Treatment into Standard Practice.” Psychiatric Services 52 6: 771–9. Rosenheck, R., and M. Neale. 1998a. “Intersite Variation in the Impact of Intensive
Psychiatric Community Care on Hospital Use.” American Journal of Orthopsychiatry 68 2: 191
–200. Rosenheck, R. A., and M. S. Neale. 1998b. “Cost-Effectiveness of Intensive Psychiatric
Community Care for High Us ers of Inpatient Services.” Archives of General
Psychiatry 55: 459 –66.
Stuart Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 . Jakarta: EGC Latimer, E.A. 1999. “Economic Impacts of Assertive Community Treatment: A Review of
the Literature.” Canadian Journal of Psychiatry 44 5: 443–54. Rosen, A., Mueser, K. T., Teesson, M. 2007. Assertive community treatmentIssues
from scientific and clinical literature with implications for practice.
The Journal of Rehabilitation
Research and
Development
,
44
6, 813.
http:doi.org10.1682JRRD.2006.09.0110 Slade, E. P., McCarthy, J. F., Valenstein, M., Visnic, S., Dixon, L. B. 2013. Cost
Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Semarang, 7 November 2015 233
Psychiatric Inpatient Use.
Health Services Research
,
48
1, 195 –217.
http:doi.org10.1111j.1475-6773.2012.01420.x Slade M, Beck A, Bindman J, Thornicroft G, Wright S: Routine clinical outcome measures
for patients with severe mental illness: CANSAS and HONOS. Br J Psychiatry 1999, 174:404
–408 Stobbe, J., Wierdsma, A. I., Kok, R. M., Kroon, H., Roosenschoon, B.-J., Depla, M.,
Mulder, C. L. 2014. The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial.
BMC Psychiatry
,
14
, 42. http:doi.org10.11861471-244X-14-42 UU No 36 Tahun 2009
Zavradashvili, N., Donisi, V., Grigoletti, L., Pertile, R., Gelashvili, K., Eliashvili, M., Amaddeo, F. 2010. Is the implementation of assertive community treatment in a
low-income country feasible? The experience of Tbilisi, Georgia.
Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology
,
45
8, 779 –83. http:doi.org10.1007s00127-009-
0125-2
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
234
GAMBARAN TINGKAT RISIKO JATUH PADA LANSIA DI PANTI WREDHA
Rinda Winandita
1
, Rita Hadi Widyastuti
2 1
Mahasiswa Jurusan Keperawatan, fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: rindawinanditagmail.com
2
Staf Pengajar Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,
email : raraihsangmail.com
Abstract Latar Belakang. Jatuh merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia
dan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Risiko jatuh dapat dinilai berdasarkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik seperti usia, penyakit yang diderita, psikologis dan
pengobatan sedangkan, faktor ekstrinsik seperti tersandung, lantai licin dan penerangan kurang. Jatuh pada lansia dapat mengakibatkan cedera fisik ringan, berat bahkan komplikasi yang
mengakibatkan kematian, rasa takut jatuh kembali, tidak percaya diri dan pengeluaran biaya untuk berobat.
Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha.
Metoda. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan pendekatan survei. Pengambilan sampel menggunakan teknik
Total Sampling
dengan responden sebanyak 177 lansia. Pengambilan data menggunakan pengkajian
Morse Fall Scale
.
Hasil. Hasil penelitian menunjukan 77 lansia 43,5 memiliki risiko jatuh yang tinggi, 60 lansia 33,9 risiko rendah dan 40 lansia 22,6 tidak berisiko.
Kesimpulan. Identifikasi terhadap tingkat risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan agar kejadian jatuh dapat diantisipasi. Saran dari penelitian ini diharapkan pengasuh lansia dapat lebih
memperhatikan kondisi biologis dan psikologis dari lansia yang menyebabkan jatuh. Kata kunci : Risiko Jatuh, Lansia
, Morse Fall Scale
Pendahuluan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-
menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya, akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologi dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi tubuh dan
kemampuan tubuh secara keseluruhan Michael and Mehmet, 2009. Pada UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa batasan umur yang masuk dalam kategori
lansia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik BPS, Indonesia
termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yaitu 18,1 juta pada tahun 2010. Daerah Kota Semarang berdasarkan data BPS Kota Semarang
tahun 2013, penduduk lansia laki-laki dan perempuan berjumlah 111.103 lansia dari total seluruh penduduk di Kota Semarang BPS, 2013
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
235
Banyaknya jumlah lansia di satu sisi dapat menunjukkan meningkatnya harapan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun di sisi lain, hal tersebut menjadi
suatu permasalahan mengingat lansia mengalami proses penuaan seperti perubahan anatomifisiologi, berbagai penyakit sebagai akibat penuaan, serta pengaruh psikologis
pada fungsi organ Kris dan Hadi, 2009. Masalah kesehatan utama yang timbul pada lansia diantaranya yaitu
immobility
kurang bergerak,
instability
berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh,
intellectual impairment
gangguan intelektual atau demensia,
impairment of vision and hearing
,
taste, smell, communication, convalesscence, skin integrity
gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan dan kulit,
isolation
depresi,
incontinence
beser buang air kecil atau buang air besar,
infection
infeksi,
impaction
sulit buang air besar,
insomnia
gangguan tidur,
immune deficiency
daya tahan tubuh menurun,
impotence
impotensi,
inanition
kurang gizi,
impecunity
tidak punya uang dan
iatrogenesis
penyakit akibat obat-obatan Nugroho, 2008.
Instability
yaitu masalah yang terjadi pada lansia berupa berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh. Sedangkan,
jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang berada di tempat lebih rendah seperti lantai atau tanah Tamher dan Noorkasiani, 2009.
Sekitar 30-50 dari populasi lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Pada lanjut usia di
atas 80 tahun, sekitar 50 pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh pun juga
meningkat terutama pada usia diatas 85 tahun Pangkahila, 2007. Dampak terjadinya jatuh pada lansia dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek biologis beberapa lansia yang
pernah jatuh sekitar 5 mengalami perlukaan jaringan lunak dan sekitar 5 mengalami fraktur. Kemudian, dari aspek psikologis pada lansia yang mengalami jatuh akan muncul
rasa tidak percaya diri dan takut mengalami kejadian jatuh kembali. Rasa takut jatuh sering juga dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial. Dari aspek ekonomi, lansia yang
mengalami jatuh maupun keluarga lansia membutuhkan biaya untuk pengobatan apabila kejadian jatuh pada lansia menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan lansia
Miller, 1995. Salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia adalah dengan cara
melakukan pengkajian dan penilaian terhadap gaya berjalan, riwayat jatuh maupun riwayat penyakit yang diderita. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia
yang dikarenakan berbagai faktor Tamher dan Noorkasani, 2009. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di
Panti Wredha. Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha.
Metoda Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan jenis
penelitian deskriptif dan menggunakan metode survei. Populasi dalam penelitian ini seluruh lansia yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading, PELKRIS Elim dan Harapan
Ibu Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 177 lansia.
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
236
Hasil
1. Data Karakteristik Responden
Diagram 1 menunjukan bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia 82,5.
Diagram 2 menunjukan data terbanyak responden penelitian tergolong pada lanjut usia tua yaitu sebanyak 110 responden 62,1 dengan kisaran umur 75-90 tahun.
Diagram 3 menunjukan data lama tinggal responden sebanyak 30 lansia 16,9 telah tinggal di panti selama 2 tahun.
31 146
100 200
Laki-laki Perempuan
Diagram 1 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan
Jenis Kelamin, Mei 2015 n=177
Jenis Kelamin
57 110
10 50
100 150
Lanjut Usia Lanjut Usia Tua Lanjut Usia Sangat Tua
Diagram 2 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan
Usia, Mei 2015 n=177
Usia
3 4 6
3 6
2 4
24 30
22 16
12 4 4
8 13
1 2 1 1 2 7
1 1 5
10 15
20 25
30 35
1 b
u lan
2 b
u lan
3 b
u lan
4 b
u lan
5 b
u lan
6 b
u lan
7 b
u lan
1 ta
h u
n 2
ta h
u n
3 ta
h u
n 4
ta h
u n
5 ta
h u
n 6
ta h
u n
7 ta
h u
n 8
ta h
u n
1 ta
h u
n 1
2 ta
h u
n 1
3 ta
h u
n 1
4 ta
h u
n 1
5 ta
h u
n 1
6 ta
h u
n 2
ta h
u n
2 9
ta h
u n
3 ta
h u
n
Diagram 3 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Lama Tinggal, Mei 2015 n=177
Lama Tinggal
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
237
Diagram 4 menunjukan riwayat penyakit yang paling banyak responden yaitu hipertensi dengan penderita sebanyak 47 lansia 26,6.
2. Gambaran Tingkat Risiko Jatuh
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Jatuh Responden di Panti Wredha
Kota Semarang, Mei 2015 n=177
Tingkat Risiko Jatuh Frekuensi
Prosentase Tidak Berisiko
40 22,6
Risiko Rendah 60
33,9 Risiko Tinggi
77 43,5
Jumlah 177
100 Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki risiko
jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia 43,5.
Pembahasan 1.
Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia 82,5. Jumlah lansia perempuan yang lebih tinggi
daripada jumlah lansia laki-laki sesuai dengan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kementrian Kesehatan menyatakan pada tahun
2013 rata-rata usia harapan hidup yaitu 72,7 tahun untuk perempuan dan 68,4 tahun untuk laki-laki Kementrian Kesehatan RI, 2013. Hasil penelitian ini juga
menunjukan risiko jatuh tinggi sebesar 37,3 atau 66 lansia perempuan dan 6,2 atau 11 lansia laki-laki. Kejadian jatuh lebih banyak terjadi pada lansia perempuan
juga disebabkan karena penurunan hormon estrogen pada lansia post menopouse. Berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan
metabolisme serta absorbsi nutrien menjadi kurang efektif Mauk, 2010. Kejadian jatuh pada lansia perempuan lebih banyak terjadi juga dikarenakan berkurangnya
kekuatan otot pada ekstremitas bawah pada lansia perempuan dan kurangnya
27 47
6 3
21 5
3 10
1 5
72
20 40
60 80
Diagram 4 Karakteristik Responden di Panti Wredha Kota Semarang Berdasarkan Riwayat Penyakit, Mei 2015 n=177
Riwayat Penyakit
Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “
Semarang, 7 November 2015
238
kemampuan lansia perempuan dalam mengembalikan stabilitas tubuh Lord, 2007. Hal tersebut didukung oleh penelitian Yuna Ariawan 2011 menunjukan dari 52
responden lansia terdapat prevalensi kejadian jatuh sebesar 17,3 atau 9 lansia dan 6 lansia 67 diantaranya wanita dan 3 lansia 33 sisanya laki-laki Ariawan, 2011.
Data usia responden menunjukan hasil bahwa sebagian besar responden masuk dalam kategori lanjut usia tua yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 110 lansia 62,1.
Keseimbangan berkurang seiring bertambahya usia karena perubahan yang terjadi pada lansia. Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah
kesehatan karena adanya faktor-faktor penuaan lansia dan akan mengalami perubahan baik dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual Sihvonen,2004.
Risiko jatuh juga meningkat dari 25 pada usia 70 tahun menjadi 35 setelah berusia lebih dari 75 tahun Stanley, 2006. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Setyo
Harsoyo 2012 menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat usia dengan risiko jatuh pada lansia dengan
p-value
0,00 Harsoyo, 2012. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden telah tinggal di panti selama
lebih dari 1 tahun. Lansia yang tinggal di panti selama kurang lebih 1 tahun sebanyak 24 lansia 13,6, 2 tahun sebanyak 30 lansia 16,9 dan 3 tahun sebanyak 22 lansia
12,4. Peneliti mengobservasi bahwa lansia yang telah lama tinggal di panti telah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta mereka mampu beradaptasi
dengan tenaga caregiver di panti. Lansia yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan maupun sosial di panti lebih dapat menempatkan dirinya agar lebih
berhati-hati dalam beraktivitas Hana dan Ismail, 2009. Hasil penelitian menunjukan dari keseluruhan lansia yang menderita hipertensi yaitu
sebanyak 47 lansia 40,7. Riwayat penyakit yang diderita lansia dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia seperti gangguan kardiovaskuler, persarafan,
penglihatan, psikologi, muskuloskeletal dan lain-lain Stanley, 2006. Prevalensi hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Terjadinya hipertensi
pada lansia disebabkan oleh menurunya elastisitas dinding aorta, katub jantung menebal dan menjadi kaku dan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun
1 setiap tahun setelah berumur 20 tahun Xiaohua, 2012. Hasil penelitian Anne Ambrose 2013 menyatakan bahwa keseimbangan dan gaya berjalan berhubungan
dengan tekanan darah dan detak jantung. Hal tersebut sejalan dengan dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat risiko jatuh tinggi dimiliki oleh
penderita hipertensi sebanyak 11,9 atau 21 lansia.
2. Tingkat Risiko Jatuh