Analisis kualitatif a. Karakteristik partisipan

Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 171 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat pre test sebanyak 15 orang 50. Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan katerogi sering saat post test sebanyak 50 orang 50. Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,001. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara aktivitas hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi.

b. Tingkat kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus.

Tabel 2. Perbedaan tingkat kepuasaan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus pada pre dan post test kelompok intervensi di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kategori kepuasan Hubungan sexual Kelompok Intervensi Pre Post Frek Frek Puas 19 63,3 14 46,7 Tidak puas 11 36,7 16 53,3 Total 30 100 30 100 P value 0,017 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat pre test sebanyak 11 orang 36,7. Sedangkan jumlah responden yang mengalami ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual saat post test sebanyak 16 orang 53,3. Hasil uji statisitk didapatkan nilai p value antara kedua kelompok tersebut adalah 0,017. Jadi ada perbedaan yang bermakna antara kepuasan dalam melakukan hubungan sexual pada saat pre dan post test pada kelompok intervensi.

2. Analisis kualitatif a. Karakteristik partisipan

Tabel 3. Karakteristik partisipan yang dilakukan wawancara mendalam tentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus pada pre dan post test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Parisipan Umur tahun Pendidikan Pekerjaan Kelompok P1 60 SMP Wiraswasta Intervensi P2 52 SI PNS Intervensi P3 46 SMP BURUH Intervensi P4 52 SMP Wiraswasta Intervensi P5 51 SMP PNS Intervensi Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sampel pada kelompok intervensi, partisipannya yang berumur 44 tahun sebanyak 2 orang, partisipan yang mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebagai IRT sebanyak Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 172 2 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol partisipan yang mempunyai pendidikan SMP sebanyak 3 orang, pekerjaaan sebanyak IRT sebanyak 3 orang. Perbedaan kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus padapre dan posttest kelompok intervensi diperkuat dengan hasil kualitatif yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapat perlakuan, kepuasan yang dirasakan oleh penderita Diabet Melitus mengalami peningkatan ditunjukkan dengan kenikmatan setelah mengakhir hubungan sexual. Hasil analisis indepth interviewterlihat dalam table dibawah ini, Tabel 4. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus pada pre test pada kelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kata kunci Sub Kategori Tema Jengkel Perasaan pada hubungan sexual Perasaan pada hubungan sexual Kecewa Ereksi ora tegang banget Ereksi tidak maksimal Disfungsi ereksi Ereksi ora kenceng Kurang tegang Ejakulasi sedikit Gangguan ejakulasi Disfungsi ejakuasi Susah keluar Metune susah Tabel 5. Kategori datatentang kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus pada post test padakelompok intervensi di di Puskesmas Ungaran Barat tahun 2014 Kata kunci Sub Kategori Tema Puas Perasaan pada hubungan sexual Perasaan pada hubungan sexual Rasane senang Nikmat Ereksi normal Tidak ada disfungsi ereksi Ereksi tegang Ereksi kenceng Tegang Ejakulasi banyak Ejakulasi normal Tidak ada disfungsi ejakuasi Keluarnya normal Keluar banyak Pembahasan Tingkat aktivitas penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada perbedaan yang bermakna p value 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas hubungan sexual. Salah satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang senam diabet. Hasil penelitian ini sesuai dengan Smith 1995 dan Notoatmodjo 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan senam diabet adalah kegiatan belajar mengajar yang disesuaikan dengan kondisi penderita DM dan diberikan oleh perawat.Pendidikan kesehatan menurut WHO merupakan berbagai kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk membantu individu dan komunitas meningkatkan kesehatannya dengan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 173 meningkatkan pengetahuan yang mempengaruhi perilaku.Oleh karena itu ada perbedaan bermakna tingkat aktivitas saat melakukan hubungan sexual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet efektif meningkatan aktivitas hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang 50. Sedangkan jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang 36,7 . Penurunan frekuensi hubungan sexual kategori jarang pada saat post terjadi sebanyak 12. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat pre intervensi sebanyak 15 orang 50 . Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya perubahan aktivitas dalam hubungan sexual. Kaplan menyebutkan bahwa adanya diabetes pada pria dapat berdampak pada kemampuan seks dimana neuropati dapat menyebabkan kerusakan syaraf Duning, 2003. Hal ini senada dalam penelitian Bangun 2013 didapatkan bahwa dalam hubungan sexual penderita DM mengalami penurunan frekuensi hubungan sexual. Berdasarkan penelitian Bangun secara kualitatif 2013 didapatkan hasil bahwa pria DM melakukan hubungan sexual sebanyak 3 atau 4 kali sebulan, ada juga yang hanya sebulan sekali. Adanya perubahan aktifitas hubungan sexual pada responden tercermin melalui penuruan frekuensi hubungan sexual dan penurunan hasrat dalam sexual. Perubahan frekuensi ini terjadi karena adanya penurunan kadar testoteron yang berkaitan dengan keseluruhan aktivitas sexual dan rendahnya hasrat sexual. Nilai total dan bebas dari testoteron umumnya akan rendah pada pasien DM. Diabetes Melitus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah akibat aterosklerosis berupa kelainan mikrovaskular dan makrovaskular yang dihubungkan dengan berbagai faktor aterogenik seperti kelainan metabolisme lemak, perubahan adhesi trombosis. Gangguan pembuluh darah terkait dengan disfungsi endotelial karena aktivasi protein kinase C PKC, ekspresi berlebihan growth factorscytokines dan stress oxidasi. Peningkatan glukosa di jalur poliol mengeluarkan co-faktor aldose reductase nicotinamide adenine dinucleotidephosphate NADPH dan sorbitol dehydrogenase nikotinamid adenin dinukleotida NAD+, menyebabkan berkurangnya NADPH yang berdampak menurunnya aktifitas glutathione reductase dan sintesis nitric oxide NO sehingga terjadi gangguan mikrovaskular dan melambatnya konduksi saraf, kegagalan neurogenik dan menurunnya NO menyebabkan akumulasi advanced glycation end products AGEs 22. Selain itu hiperglikemia dengan melewati jalur glycolytic meningkatkan sintesis de novu deacylglyceral DAG yang meningkatkan aktifitas PKC yang gilirannya meningkatkan aktifitas sodium-proton antiport yang mengatur pH intrasel, pertumbuhan dan difrensiasi sel juga menambah ekspresi protein matriks seperti fibronectin, kolagen tipe IV dan laminin yang menyebabkan disfungsi vaskular. Hiperglikemia kronis juga menyebabkan peningkatan nonenzimglucation yang berlaku sebagai antigen bagi protein dan DNA sehingga terjadi kelainan struktur dan fungsi makromolekul jaringan yang menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta saraf perifer. Pada penderita diabetes juga terjadi peningkatan very low densiy lipoprotein VLDL yang memudahkan agregasi platelet, peningkatan tumor necrosis factor alpha TNF- α dan penurunan insulin-like growth factor-1 IGF-1 yang mengakibatkan disfungsi saraf simpatis sehingga terjadi penurunan aliran darah proksimal dan vasokonstriksi paradoksal. Peningkatan jalur poliol, akumulasi AGEs intrasel, aktifitas PKC menyebabkan komplikasi endotelium pembuluh darah, saraf perifer berupa mikroangiopati dan neuropati yang mengakibatkan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 174 terganggunya aliran darah, iskemia, terganggunya perfusi jaringan yang dapat berakibat gagalnya ereksi. Gangguan aktifitas hubungan sexual pada penderita didukung dengan hasil wawancara dengan informan. Masalah dalam hubungan seksual lain yang terjadi pada informan adalah disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi tersebut meliputi kemampuan ereksi selama aktifitas sexual, kemampuan ereksi maksimal untuk penetrasi, frekuensi memasukkan alat kelamain, kemampaun penetrasi, kemampuan mempaertahanakn ereksi saat penetrasi dan kemampuan memepertahankan ereksi sampai coitu selesai. satu informan mengatakan susah untuk ereksi sehingga tidak bisa memulai hubungan sexual dengan pasangan. Empat informan mengatakan ketika sedang ereksi tidak bisa optimal sehingga kurang puas dalam melakukan hubungan sexual.Selain itu juga terjadi perubahan ejakulasi dengan penurunan produksi sperma dan gangguan ejakulasi.Adanya disfungsi ereksi ini menurunkan frekuensi hubungan sexual pada penderita DM.Hasil wawancara dengan informan juga didapatkan adanya perubahan fungsi orgasme. Tiga orang informan mengatakan kemampuan ejakulasi setelah adanya stimulasi atau intercouse dan merasakan orgasme atau klimaks saat diberikan stimulasi menurun dengan adanya Diabet melitus. Adanya disfungsi ereksi pada penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain neurogenik, vaskulogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.Pada penyakit diabetes yang telah mengalami neuropati, terjadi kerusakan saraf perifer menuju corpora yang dapat mengurangi sensasi penis. Pada vaskulogenik terjadi gangguan yang mempengaruhi aliran darah arteri perifer yang berkaitan erat dengan disfungsi ereksi. System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi arteri penis komunis dan bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan arteri bulbo uretralis. Penyempitan arteri pudenda interna mengurangi penekanan perfusi ke corpora yang mengakibatkan kegagalan untuk mencapai kekakuan penuh sehingga ereksi menjadi lemas flaccid. Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya lesi aterosklerosis pada penderita diabetes. Kerusakan endotel menyebabkan gangguan relaksasi otot polos, sedangkan pada kerusakan miogenik terjadi gangguan fungsi otot polos. Endotel mempunyai peranan penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah. Sel-sel endotel yang rusak dapat mengurangi pelepasan neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama sintesis nitric oxide NO . Menurunnya NO dapat mengakibatkan gangguan mikrovaskular dan konduksi saraf juga akan melambat. Nitric oxide merupakan mediator neural pada proses terjadinya ereksi yang prinsipnya dapat menyebabkan relaksasi otot- otot halus kavernosum penis dan pembuluh darah penis. Sebelum NO berperan dalam mekanisme ereksi, terlebih dahulu terjadi ereksi refleksogenik. Ereksi refleksogenik hasil dari stimulus reseptor sensori pada penis, hubungan dengan tulang belakang, aksi saraf somatik dan saraf eferen parasimpatis. Aktifitas saraf parasimpatis memicu rangkaian peristiwa melalui neurotransmiter acetylcholine dan merangsang neurefektor nonadrenergic-noncholinergic NANC melepaskan NO yang menyebabkan relaksasi otot halus trabekular dan pembuluh darah penis. Aliran darah masuk ke dalam korpus kavernosum menekan vena sehingga terjadi penurunan aliran balik vena mekanisme penutupan venocorporal. Peningkatan inflow dan penurunan outflow secara cepat mengakibatkan tekanan intrakavernosa meningkatkan sehingga menyebabkan kekakuan pada penis yang progresif dan terjadi ereksi penuh. eksogen merupakan komponen penting dari seksualitas yang dapat meningkatkan libido. Rendah tingkat testosteron mengakibatkan penurunan libido. Disfungsi ereksi dilaporkan sekitar 50 terjadi pada Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 175 laki-laki diabetes dan frekuensi disfungsi ereksi pada penderita diabetes meningkat 25 di atas usia 35 tahun dan 70 sesudah usia 60 tahun, serta 30 penderita diabetes mengalami penurunan libido. Dalam penelitian Hafna Ilmy Muhalla 2011 menyebutkan bahwa disfungsi ereksi adalah komplikasi yang sering terjadi dan 3 kali lebih sering terjadi pada pri DM dibanding non-DM. Lebih dari separuh tepatnya 35-75 pria DM mengalami disfungsi ereksi dengan berbagai tingkatan dan sayangnya hanya 10 yang mencari pengobatan. Jumlah responden yang melakukan hubungan sexual dengan kategori jarang pada saat post intervensi sebanyak 11 orang 36,7 . Hal ini berarti ada peningkatan frekuensi hubungan sexual setelah responden diajarkan senam diabet. Adanya gerakan dalam senam diabet memberikan manfaat bagi responden yaitu menurunkan kadar glukosa darah dan dapat membantu mengatasi terjadinya komplikasi gangguan lipid darah atau pengendapan lemak didalam darah, peningkatan tekanan darah, hipertensi, koagulasi darah atau penggumpalan darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual. Tingkat kepuasan penderita Diabet Melitus saat melakukan hubungan sexual pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan intervensi senam diabet adalah ada perbedaan yang bermakna p value 0,017. Hal ini menunjukkan bahwa senam diabet pada penderita DM sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan hubungan sexual. Salah satu faktornya adalah pada kelompok intervensi diberikan pendidikan kesehatan tentang senam diabet.Hasil penelitian menunjukkan bahwa senam diabet tidak efektif dalam meningkatkan kepuasan hubungan sexual pada penderita Diabet Melitus. Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang 36,7. Sedangkan jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang 53,3. Demon dan Byers 1999 menyatakan kepuasan seksual adalah suatu bentuk kedekatan seksual yang dirasakan oleh pasangan suami istri dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam kualitas komunikasi seksual, penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan hubungan seksual. Kepuasan seksual merupakan suatu bentuk perasaan yang dirasakan oleh pasangan atas kualitas hubungan seksual mereka yang dapat berupa sentuhan fisik dan psikis. Hubungan seksual ini bukanlah semata-mata bertemunya secara keadaan fisiologik antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga bertemunya keadaan psikologik dari kedua individu itu.semua curahan hatinya,curahan perasaannya dinyatakan pada waktu hubungan seksual tersebut Walgito, 1984. Pusat pengaturan prilaku seksual termasuk libido terdapat pada otak di bagian hipotalamus dan korteks serebri. Fungsi bagian ini salah satunya dipengaruhi keberadaan hormon testosteron yang berfungsi sebagi faktor tropik. Akibat hiperglikemia berkepanjangan menyebabkan gangguan integritas struktur dan fungsi vaskular serta sistem s araf perifer karena peningkatan aktifitas PKC dan TNF α , Selain itu pula juga dapat terjadi penurunan ekspresi IGF-I akibat tidak cukupnya atau tidak sensitifnya insulin, gangguan replikasi sel Leydig karena penurunan signalling SCF akibat sesistensinya insulin pada testis menyebabkan menurunnya produksi hormon testosteron, selain itu juga menyebabkan berkurangnya reseptor androgen pada sel Leydig sehingga juga akan mempengaruhi kadar hormon testosteron. Testosteron diperlukan untuk terjadinya bangkitan libido, testosteron dapat meningkatkan rangsang seksual sexual erotism dan kesadaran seksual sexual awareness.Menurunnya jumlah testosteron Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 176 menyebabkan berkurangnya akumulasi testosteron pada daerah hipotalamus dan korteks serebri, akibatnya bagian yang mengaktifkan metabolisme otak dan mengatur libido ini menjadi kurang aktif sehingga terjadi hambatan atau penurunan libido. Selain menyebab hormonal, hambatan libido dapat pula dikarenakan dampak pengobatan, rasa tidak puas terhadap pengobatan, ini dapat dilihat dari lebih banyaknya hambatan libido terdapat pada penderita diabetes melitus dengan waktu lama menderita di atas 1 tahun baik 1-5 tahun atau diatas 5 tahun, yaitu 1,6 x 27,5 cenderung lebih besar dibandingkan penderita yang lama menderitanya dibawah 1 tahun 17,5 Jumlah Responden yang merasakan tidak puas pada saat pre intervensi sebanyak 11 orang 36,7. Adanya Diabet Mellitus akan menyebabkan adanya ketidakpuasan penderita dalam melakukan hubungan sexual. Hal ini dikarenakan karena adanya perubahan disfungsi ereksi yang terjadi pada responden. Adanya disfungsi ereksi tersebut akan berpengaruh terhadap kepuasan dalam hubungan sexual. Ketidakpuasan dalam melakukan hubungan sexual pada penderita DM akan memberikan adanya emosi negatif pada responden. Berdasarkan wawancara dengan informan didapatkan emosi negatif yang muncul dari informan sebelum dilakukan pelatihan senam diabet diantaranya adalah kecewa dan jengkel. Kecewa merupakan respon yang dialami oleh informan dalam penelitian ini. Kecewa merupakan perasaan kecil hati; tidak puas karena tidak terkabul keinginannya dan harapan. Satu dari informan yang berperan serta dalam penelitian ini menyatakan bahwa informan merasa kecewa akibat dari ketidakmampuan atau kegagalannya memenuhi kewajibanya sebagai suami. Dalam penelitian ini hal ini terjadi sebagai akibat dari ketidak mampuan informan dalam melakukan atau memenuhi kebutuhan seksualitas yang diakibatkan oleh perubahan seksualitas yang terjadi. Menurut Bangun 2013 Harapan atau keinginan informan adalah mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami untuk memenuhi kebutuhan bathin dari istrinya. Dimana sebagai seorang laki – laki secara umum menginginkan menjadi the real men atau pria sejati, yang mempunyai pekerjaan baik, stress yang tertata, hidup yang baik bersama perempuan yang benar dan baik, dan bahkan mendapatkan keberhasilan dan kegagalan yang nyata dan baik pula. Namun diabetes yang dideritanya mengakibatkan disfungsi atau tidak berfungsi secara normal dari organ seksualnya akan menyebabkan seorang lelaki tersebut akan merasa sudah tidak bisa menjadi pria sejati lagi dan akhirnya kesejahteraan hidup terganggu. Emosi negatif lain yang muncul dari informan yang diteliti adalah munculnya perasaan jengkel terhadap kondisi perubahan seksual yang terjadi saat dilakukan penelitian. Salah satu informan mengatakan jengkel terhadap kondisinya saat ini sebagai dampak akibat perubahan seksual yang dialaminya. Rasa jengkel informan dikarenakan adanya perubahan dalam ereksi sehingga mempengaruhi kepuasan dan kenikmatan dalam hubungan sexual. Jumlah responden yang merasakan tidak puas pada saat post intervensi sebanyak 16 orang 53,3. Apabila dibandingkan dengan jumlah responden pada saat pre Intervensi memang meningkat peningkatan 16,6 . Kondisi ini disebabkan ada beberapa responden yang tidak rutin melakukan senam diabet. Responden yang melakukan senam rutin dalam 4 kali dalam seminggu hanya 40 . Responden tidak melakukan senam diabet secara rutin karena responden kurang menyadari akan dampak perubahan sexual akibat adanya penyakit diabet mellitus. Senam diabet apabila dilakukan rutin oleh penderita diabet akan memberikan manfaat bagi penderita terkait hubungan sexual. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 177 Senam diabetes adalah senam fisik yang dirancang menurut usia dan status fisik dan merupakan bagian dari pengobatan diabetes mellitus Persadia, 2000.Senam diabet adalah suatu latihan yang dilakukan oleh penderita diabet melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. Manfaat senam diabet adalah menurunkan kadar glukosa darah. Adanya penurunan kadar glukosa darah pada penderita akan berpengaruh pada hubungan sexual. Latihan rutin senam diabet pada penderita diabet melitus menyebabkan hubungan sexual dengan pasangannya menjadi lebih berkwalitas. Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan informan yang menyatakan bahwa mereka merasa nikmat dan puas setelah melakukan senam diabet 4 kali dalam seminggu. Kesimpulan Sebagian besar karakteristik umur responden berada pada rentang lansia awal sebanyak 14 orang 46,7 , karakteristik pekerjaan responden adalah wiraswasta sebanyak 18 orang 60 , kategori pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu sebanyak 12 orang 40 , Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet dengan tingkat aktivitas sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM, Ada hubungan yang bermakna antara senam diabet tingkat dan kepuasan sexual sebelum dan sesudah diberi intervensi senam diabet pada pria penderita DM untuk kelompok intervensi. Saran diperuntukkan ba gi p ri a p end eri t a D M ya i t u P end eri t a DM di sa ran kan untuk lebih rajin melakukan senam diabet sehingga bermanfaat untuk dirinya dan pasanganya. Daftar Pustaka Arikunto. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik . Jakarta: Rineka Cipta. Atul Lutha. 2013. Erectile Dysfunction In Diabetic Male : Plausible Mechanism And Management Strategies. Diaskes melalui http:diabetesindia.com tanggal 29 Agustus 2013. Bhasin S, et al . 2007. Sexual Dysfunction In Men And Women With Endocrine Disorders. Diakses melalui http:www.thelancet.com tanggal 28 Agustus 2013. Bangun. 2013. Pengalaman hubungan seksual pada penderita Diabet Mellitus Di Puskesmas Bergas, Skripsi, tidak dipublikasikan. Hafna Ilmy Muhala 2011. Pengalaman Disfungsi Seksual pada Klien Pria Diabetes di RSUPN Dr. Cipto. Diambil dari http:lontar.ui.ac.idopacthemeslibri2detail.jsp?id= 20281063lokasi= lokal pada tanggal 12 Januari 2013 Jacobs LI.2005. Impotensi Yang Perlu Diketahui Setiap Suami Istri . Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Misnadiarly.2006. Diabetes Mellitus Ulcer, Gangren, Infeksi . Jakarta : Pustaka populer Obor. Moelong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif . . Bandung : PT. Rosdakarya Notoatmodjo S. 2002. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Sustrani L.2006. Diabetes . Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Tjokronegoro A, Murtiani AS.2003. Rahasia Dibalik Keperkasaan Pria. Jakarta : FKUI Pangkahila W.2005. Menguak Disfungsi Ereksi:Menyimak Masalah Pria,Keluhan Wanita. Jakarta : PT Gramedia. Profil Kesehatan Jawa Tengah.2013 Diakses melaui www.dinkesjatengprov.go.id tanggal 25 Juli 2013. Widhyastuti. 2012. Senam Diabet. Jakarta : Rineka Cipta. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 178 Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique Terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di Rw 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Yunitia Aulianita 1 , Sari Sudarmiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat 2 Mahasiswa Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: yunitia.aulianitayahoo.com Staf Pengajar Departemen Keperawatan Maternitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: sarisudarmiatigmail. com. Abstrak Kecemasan wanita klimakterium terjadi akibat adanya sindrom klimakterium dan ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. SEFT sebagai salah satu terapi non farmakologis untuk mengatasi kecemasan. SEFT adalah terapi yang menggabungkan sistem energi tubuh dan spiritualitas dengan metode tapping pada 18 titik kunci di sepanjang 12 jalur energi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh spiritual emotional freedom technique terhadap kecemasan wanita klimakterium. Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperiment tanpa kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 30 wanita klimakterium. Kecemasan pre-test dan post-test diukur dengan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety HRS-A. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sebanyak 30 responden 100, setelah dilakukan terapi SEFT adalah tidak ada kecemasan sebanyak 4 responden 13,3. Rata-rata skor kecemasan pre-test sebesar 21,50 dan rata-rata skor kecemasan post-test sebesar 19,43. Hasil uji statistik dengan Wilcoxon signed rank test diperoleh value = 0,000, dengan value 0,05 H ditolak, hal ini menunjukkan ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah. Saran bagi wanita klimakterium adalah terapi SEFT dapat direkomendasikan sebagai terapi alternatif untuk mengatasi kecemasan wanita klimakterium. Kata kunci : Kecemasan, Klimakterium, SEFT Pendahuluan Klimakterium adalah fase proses penuaan wanita dari masa reproduktif menuju masa tidak reproduktif Andrews, 2009. Pada tahun 2014 di Jawa Tengah, jumlah wanita klimakterium dengan kelompok usia 45-59 tahun mencapai 2.794.706 jiwa Kementrian Kesehatan RI, 2011. Jumlah wanita diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan peningkatan angka harapan hidup AHH. Pada tahun 2010, AHH perempuan di Jawa Tengah sebesar 74,8 tahun dan diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 75,6 tahun BPS, 2010. Peningkatan AHH wanita akan membawa konsekuensi terhadap kesehatan wanita klimakterium Aziz, 2010. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 179 Wanita klimakterium akan mengalami kecemasan sebagai salah satu dampak psikologis dari sindrom klimakterik. Kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada masa perimenopause dengan rentang usia 45-55 tahun Chontessa et al., 2012. Kecemasan wanita klimakterium disebabkan oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron, ketidakmampuan mengandung anak, perasaan tidak berharga lagi, kebutuhan seksual terganggu, perceraian, kematian suami atau anak, masalah keluarga, masalah pekerjaan, masa pensiun, masalah ekonomi, gangguan tidur, kecantikan memudar, daya tarik menurun, kelebihan berat badan, serta perubahan fisik akibat penuaan lainnya Kozier, 2010. Terapi untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan terapi psikologis. Salah satu terapi psikologis yang digunakan adalah spiritual emotional freedom technique SEFT. SEFT merupakan kombinasi antara Spiritual Power dengan Energy Psychology yang memanfaatkan sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia. Prinsip SEFT adalah mengatasi masalah kesehatan dengan cara merangsang titik- titik kunci di sepanjang 12 jalur energi meridian tubuh. SEFT tidak menggunakan alat bantu terapi dan cara penggunaan SEFT mudah dipelajari. SEFT menggunakan teknik ketukan ringan tapping dengan ujung jari telunjuk dan jari tengah pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian tubuh Zainuddin, 2006. Telah banyak penelitian tentang SEFT berguna untuk mengatasi masalah emosi, diantaranya adalah penelitian oleh Zakiyyah yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan nyeri dismenorea pada remaja putrid Zakiyyah, 2013. Penelitian yang sama telah dilakukan oleh Yuliani dan Purwanti yang melaporkan bahwa setelah dilakukan spiritual healing kecemasan wanita menopause sudah tidak ada lagi Yuliani Purwanti, 2013. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Faridah membuktikan bahwa terapi SEFT dapat menurunkan tekanan darah tinggi Faridah, 2012. Penelitian oleh Dhianto juga melaporkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Pekalongan Dhianto et al., 2014. Hasil studi pendahuluan kepada 12 wanita klimakterium, peneliti memperoleh data sebagai berikut: 9 dari 12 orang mengalami kecemasan dengan kecemasan ringan sebanyak 5 orang, kecemasan sedang 3 orang dan kecemasan berat 1 orang. Kegiatan posyandu lansia di Kelurahan Pedalangan belum ada yang berkaitan dengan penatalaksanaan kecemasan wanita klimakterium dengan menggunakan terapi SEFT. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Spiritual Emotional Freedom Technique terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah”. Metode Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperiment tanpa kelompok kontrol dengan pendekatan one group pre-test-post-test design . Populasi penelitian ini adalah wanita klimakterium berusia 45-55 tahun di RW 6 Kelurahan Pedalangan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah sebanyak 52 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel penelitian 30 orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, dilakukan skrining tingkat kecemasan dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 180 HRS-A. Responden yang memenuhi kriteria inklusi skor HRS-A 13, diberikan terapi SEFT sebanyak dua kali selama 5-10 menit. Jarak terapi SEFT pertama dan kedua yaitu 24 jam. Pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 28 Mei-11 Juni 2015. Peneliti menggunakan kuesioner HRS-A untuk mengukur kecemasan responden saat pre-test dan post-test. Hasil Penelitian 1. Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Tabel 1 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Usia, Status Pernikahan, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei – 11 Juni 2015 n: 30 Data Demografi Tingkat Kecemasan Jumlah Tidak ada kecemas an Kecemasan ringan Kecemasan sedang Kecemasan berat Kecema san berat sekalipa nik F F F F F F Usia 45-50 tahun 0 0,0 6 46,2 3 23,0 4 30,8 0,0 13 100 51-55 tahun 0 0,0 8 47,0 7 41,2 2 11,8 0,0 17 100 Status Pernikahan Belum Menikah 0,0 1 50,0 1 50,0 0,0 0,0 2 100 Menikah 0,0 12 54,6 6 27,2 4 18,2 0,0 22 100 Janda 0,0 1 16,7 3 50 2 33,3 0,0 6 100 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tidak Tamat SD 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Tamat SD 0,0 0,0 0,0 2 100 0,0 2 100 SMP 0,0 2 33,3 2 33,3 2 33,3 0,0 6 100 SMA 0,0 9 60,0 5 33,3 1 6,7 0,0 15 100 Akademika Universitas 0,0 3 42,9 3 42,9 1 14,2 0,0 7 100 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 181 Data Demografi Data Demografi Jumlah Tidak ada kecemasan Kecemasan ringan Kecemasan sedang Kecemasan berat Kecemasan berat sekali panik F F F F F F Pekerjaan Ibu Rumah Tangga 0,0 8 57,2 1 7,1 5 35,7 0,0 14 10 Pensiunan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Wiraswasta 0,0 0,0 5 100 0,0 0,0 5 10 Pegawai Negeri 0,0 3 60,0 2 40,0 0,0 0,0 5 10 Pegawai Swasta 0,0 2 40,0 2 40,0 1 20,0 0,0 5 10 Lain-lain 0,0 1 100 0,0 0,0 0,0 1 10 Ibu Rumah Tangga 0,0 8 57,2 1 7,1 5 35,7 0,0 14 10 Pensiunan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Wiraswasta 0,0 0,0 5 100 0,0 0,0 5 10 Pegawai Negeri 0,0 3 60,0 2 40,0 0,0 0,0 5 10 Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan tertinggi berdasarkan usia adalah 51- 55 tahun sebesar 47,0, status pernikahan adalah menikah sebesar 54,6, pendidikan terakhir adalah SD sebesar 100, dan pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 35,7. 2. Distribusi Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT Tabel 2 Kategori Tingkat Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum dan Sesudah Terapi SEFT di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 n: 30 Kecemasan Responden Tingkat Kecemasan Jumlah Tidak ada kecemasan Kecemasan ringan Kecemasan sedang Kecemasan berat Kecemasan berat sekalipanik Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 182 F F F F F F Sebelum SEFT 0,0 14 46,7 10 33,3 6 20,0 0,0 30 100 Sesudah SEFT 4 13,3 13 43,3 11 36,7 2 6,7 0,0 30 100 Tabel 2 menunjukkan sebelum dilakukan SEFT, diperoleh data kecemasan ringan 14 wanita 46,7, kecemasan sedang 10 wanita 33,3, dan kecemasan berat 6 wanita 20,0. Sesudah dilakukan SEFT, diperoleh data tidak ada kecemasan 4 wanita 13,3, kecemasan ringan 13 wanita 43,3, kecemasan sedang 11 wanita 36,7, dan kecemasan berat 2 wanita 6,7. 3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah Tabel 3 Hasil Uji Wilcoxon Signed Rank Test Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah, 28 Mei - 11 Juni 2015 n: 30 Mea n Median Std. Deviatio n Skor Terendah Skor Tertinggi Z P Value Sebelum SEFT 21,5 23,00 5,23 14,00 31,00 - 4,593 a 0,000 0,05 Sesudah SEFT 19,4 3 20,00 5,09 13,00 28,00 Tabel 3 menunjukkan sebelum SEFT, mean 21,50, median 23,00, standar deviasi 5,23, skor terendah 14,00 dan tertinggi 31,00. Sesudah SEFT, mean 19,43, median 20,00, standar deviasi 5,09, skor terendah 13,00 dan tertinggi 28,00. Uji Wilcoxon Signed Rank Test menunjukkan penurunan rata-rata skor kecemasan sebelum dan sesudah SEFT sebesar 2,07. Diperoleh nilai p 0,05 dan nilai Z -4,593 a berada diluar rentang -+1,95, artinya menunjukkan bahwa dengan p-value= 0,000 terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium. Pembahasan 1. Kecemasan Wanita Klimakterium Sebelum Diberikan Terapi SEFT Tabel 3 menunjukkan kecemasan sebelum SEFT dengan mean 21,50, skor terendah 14 dan tertinggi 31. Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh wanita mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan sebelum SEFT, yaitu kecemasan ringan 14 wanita 46,7, kecemasan sedang 10 wanita 33,3, dan kecemasan berat 6 wanita 20,0. Responden berusia 51-55 tahun mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 47,0 mengalami kecemasan ringan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Afuanti yang mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium berada pada usia 51-55 tahun. Semakin bertambah usia wanita klimakterium, maka berbagai keluhan juga akan bertambah dan kecemasan akan semakin meningkat Afuanti et al., 2010. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 183 Responden yang menikah mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 54,6 mengalami kecemasan ringan. Mayoritas wanita klimakterium yang mengalami kecemasan adalah wanita klimakterium yang menikah. Wanita yang menikah memiliki kecemasan lebih berat karena perselisihan dalam perkawinan, tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat dengan anggota keluarga, kurangnya otonomi, serta perbedaan pendapat dengan suami dan anak-anak Afuanti et al., 2010. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden berpendidikan SD mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 100 mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian Apriyanti mengatakan kecemasan tertinggi berada pada wanita klimakterium yang berpendidikan rendah. Pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan sikap wanita menjadi lebih baik dalam mengahadapi perubahan selama masa klimakterium, sehingga meminimalisir timbulnya kecemasan Apriyanti et al., 2012. Responden ibu rumah tangga mengalami kecemasan lebih besar, yaitu 35,7 mengalami kecemasan berat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitriah mengatakan kecemasan tertinggi wanita klimakterium adalah ibu rumah tangga. Ibu yang bekerja memiliki lebih banyak bersosialisasi, sehingga dapat mempengaruhi informasi yang didapat. Ibu rumah tangga lebih merasakan kehilangan gairah seksual sehingga takut tidak dapat memuaskan suami, ketakutan suami mencari wanita lain, berkurangnya peran dalam keluarga, ketakutan berkurangnya penghasilan karena tidak bekerja Fitriah Susilowati, 2010. 2. Kecemasan Wanita Klimakterium Sesudah Diberikan Terapi SEFT Pada tabel 3 menunjukkan kecemasan sesudah SEFT dengan mean 19,43, skor terendah 13 dan skor tertinggi 28. Kecemasan sesudah SEFT menurun dengan hasil tidak ada kecemasan 4 wanita 13,3, kecemasan ringan 13 wanita 43,3, kecemasan sedang 11 wanita 36,7, dan kecemasan berat 2 wanita 6,7. Penurunan kecemasan terlihat dari peningkatan jumlah wanita yang tidak mengalami kecemasan, yaitu sebelum SEFT seluruh responden mengalami kecemasan dan sesudah SEFT terdapat 4 wanita yang tidak mengalami kecemasan. Tingkat kecemasan berat juga menurun dari 6 wanita menjadi 2 wanita sesudah diberikan SEFT. Hasil ini menunjukkan bahwa kecemasan wanita klimakterium mengalami penurunan sesudah diberikan SEFT. SEFT memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku manusia dengan menggunakan teknik tapping pada 18 titik kunci di sepanjang 12 energi meridian tubuh. SEFT menetralisir perlawanan psikologis berupa pikiran-pikiran negatif selama masa klimakterium. Pikiran-pikiran negatif tersebut diubah menjadi pikiran-pikiran positif dengan cara dinetralisir dengan doa kepasrahan. Kekuatan doa yang disertai keikhlasan dan kepasrahan dapat memperkuat efek terapi SEFT Zainuddin, 2006. 3. Pengaruh Terapi SEFT terhadap Kecemasan Wanita Klimakterium Hasil uji Wilcoxon signed rank test pada tabel 3 diperoleh nilai p-value = 0,000 0,05. P-value = 0,000, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan 0,05. Hal ini berarti H ditolak dan H a diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium sebelum dan sesudah dilakukan terapi SEFT. Adanya pengaruh yang signifikan antara terapi spiritual healing SEFT terhadap penurunan kecemasan wanita menopause di kelompok pengajian Majelis Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 184 Taklim Nurul Hikmah Desa Purbadana Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas Yuliani Purwanti, 2013. SEFT menurunkan adrenalin dan kortisol, sehingga denyut jantung, tekanan darah tinggi dan ketegangan otot menurun Hart, 2003. Hal ini diperkuat dengan penelitian Faridah yang menyatakan bahwa terdapat penurunan tekanan darah systole dan diastole pada penderita hipertensi usia 45-59 tahun di RSUD dr. Soegiri Lamongan Faridah, 2012. Penelitian di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan antara terapi SEFT terhadap penurunan kecemasan pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan setelah diberikan terapi SEFT. Hasil uji paired sample T-Test diperoleh nilai p value= 0,000 aplha 0,05 dengan rata-rata skor kecemasan saat pre-test 52,82 dan turun saat post-test menjadi 43,47 Dhianto et al., 2014. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan: 1 Kecemasan wanita klimakterium sebelum diberikan SEFT berada pada rentang 14 sampai 31 dengan rata-rata skor 21,50; 2 Kecemasan wanita klimakterium sesudah diberikan SEFT berada pada rentang 13 sampai 28 dengan rata-rata skor 19,43; 3 Ada pengaruh SEFT terhadap kecemasan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Jawa Tengah dengan nilai p-value = 0,000 0,05. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan, yaitu: 1 Wanita klimakterium mampu menerapkan terapi SEFT untuk menurunkan kecemasan wanita klimakterium; 2 Bagi profesi keperawatan diharapkan mampu menambah wawasan keilmuan perawat tentang cara mengatasi kecemasan wanita klimakterium; 3 Penelitian selanjutnya mampu mengembangkan SEFT dengan mencari pengaruh pada aspek selain kecemasan wanita klimakterium. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kader lansia dan wanita klimakterium di RW 6 Kelurahan Pedalangan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Afuanti, V., Widajati, S., Usnawati, N. 2010. Gambaran tingkat kecemasan ibu dalam masa klimakterium. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes , 1 1, 58 –63. Retrieved from http:static.schoolrack.comfiles100398295411volume1_nomor1.pdf Andrews, G. 2009. Buku ajar kesehatan reproduksi wanita . Jakarta: EGC. Apriyanti Emi, Sumantri, A. S. T. 2012. Attitudes of Klimakterium’s Women in Dealing Menopause Period at Jimus Village Polanharjo District Klaten Regency. Jurnal Ilmu Kesehatan , IV 2, 1 –9. Aziz, I. J. 2010. Pembangunan berkelanjutan: peran dan kontribusi Emil Salim . Jakarta: Gramedia. BPS. 2010. Angka harapan hidup Eo menurut provinsi, kabupatenkota dan jenis kelamin. Retrieved from http:www.datastatistik-indonesia.com Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekono i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 185 Chontessa, T. J., Singara, T., Idrus, H. M. F. 2012. Hubungan beratnya gejala ansietas dengan masa klimakterium wanita di Rumah Sakit Pendidikan Makassar. Universitas Hasanuddin , 1 –13. Retrieved from http:pasca.unhas.ac.idjurnalfilese94f2a6d70d39a82cfd214750374ed.pdf Dhianto, H. M., Irwansyah, R., Rusmariana, A., Aktifah, N. 2014. Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique SEFT terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi hernia di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Jurnal Stikes Pekajangan Pekalongan , 8. Retrieved from http:www.e-skripsi.stikesmuh- pkj.ac.ide-skripsiindex.php?p=fstream Faridah, V. N. 2012. Pengaruh keperawatan spiritual emotional freedom technique SEFT Islami terhadap tekanan darah penderita hipertensi, 02 Xii. Retrieved from http:stikesmuhla.ac.idv2wp-contentuploadsjurnalsuryanoXII0.pdf Fitriah, Susilowati, E. 2010. Hubungan antara tipe kepribadian dengan tingkat kecemasan pada wanita menopause di Desa Bangkal wilayah kerja Puskesmas Pamolokan Kabupaten Sumenep tahun 2010. Jurnal Kesehatan Wiraraja Medika , 9 –15. Retrieved from http:wiraraja.ac.idwp-contentuploads201302JURNAL- VOL-1-EDISI-1.pdf Kementrian Kesehatan RI. 2011. Data penduduk sasaran program pembangunan kesehatan 2011-2014 . Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Indonesia. Retrieved from http:www.depkes.go.id Kozier, B. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan 7th ed.. Jakarta: EGC. Yuliani, U. D., Purwanti, S. 2013. Efektivitas spiritual healing terhadap penurunan tingkat kecemasan pada wanita menopause. Jurnal Kebidanan , V 02. Retrieved from http:journal.akbideub.ac.idindex.phpjkebarticleview120119 Zainuddin, A. F. 2006. Spiritual emotional freedom technique SEFT for healing + success and happinee + greatness . Jakarta: Afzan Publishing. Zakiyyah, M. 2013. Pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique SEFT terhadap penanganan nyeri dismenorea. Jurnal Sain Med , 5 2, 66 –71. Retrieved from:http:www.kopertis7.go.iduploadjurnalMuthmainnah_Zakiyyah.pdf Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 186 KAJIAN LITERATUR : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKTIFITAS FISIK DAN PERILAKU SEDENTARY PADA ANAK Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Semarang Abstrak Latar Belakang. Aktifitas fisik dan perilaku sedentary seringkali dihubungkan dengan kasus- kasus penyakit tidak menular. Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 2015-2019. Prevalens i ini didapat melalui wawancara dan pemeriksaan dimulai usia ≥ 15 tahun. Temuan ini menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak usia 0- 15 sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama. Upaya preventif diperlukan sebagai upaya mengurangi angka kejadian penyakit menular maka sebagai awal pijakan penelitian perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak Tujuan. Kajian literature ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak Metoda. Kajian literatur ini dengan menggunakan pencarian komprehensif dengan melibatkan semua database Ebscho, Science Direct yang dibatasi pada tahun 2005-2015 dengan format full PDF. Kata kunci pencarian menggunakan kata influence factor, physical activity, sedentary behavior, children. Kajian ini untuk mengetahui faktor yang berpengaruh pada aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak .. Hasil. Hasil penilaian literature menunjukkan kualitas sedang dan baik. Lima kajian literature ini menunjukkan beragam faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak . Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pekan Kesimpulan. Ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV , pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua , Sosio ekonomi dan etnis , Dukungan orang tua , Perjalanan akhir pecan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary pada anak . Berbagai faktor ini sebagai pencetus penyakit-penyakit tidak menular diusia dewasa anak tersebut. Kata Kunci : Faktor berpengaruh, aktifitas fisik, perilaku sedentary , anak Pendahuluan Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang berkembang lambat dengan durasi yang panjang serta tidak menular. Menurut WHO yang termasuk penyakit tidak menular adalah Penyakit kardivaskuler, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan asma . Prevalensi Penyakit tidak menular di Indonesia tahun 2007 – 2013 mempunyai pola cenderung meningkat sehingga berpengaruh pada tujuan pencapaian Indonesia Sehat 2015- 2019 Penelitian, Pengembangan, Pengantar, 2013 . Prevalensi hipertensi, penyakit kencing manisdiabetes melitus, hipertiroid, hipertensitekanan darah tinggi, penyakit Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 187 jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendirematikencok dan stroke di Indonesia cenderung meningkat. Data ini didapatkan melalui wawancara dan pemeriksaan dimul ai usia ≥15 tahun Penelitian et al., 2013 . Healthy people 2020 merefleksikan bahwa aktifitas fisik dianjurkan dan agar dapat menjadi kebijakan kesehatan khususnya bagi anak-anak sampai dengan usia lanjut. Target Kebijakan yang berkaitan dengan aktifitas fisik bagi anak dan remaja adalah terfasilitasinya aktifitas fisik dengan setting sesuai usia anak, terpantaunya jam untuk menonton tv dan penggunaan computer atau layar, terfasilitasi program aktifitas fisik di sekolah dasar. Prevalensi tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Diana Herrmaan Et All tahun 2015 bahwa penyakit sendi dipicu oleh aktivitas fisik yang kurang, hal ini sedentary time berperan penting dalam demineralisasi tulang sehingga berpengaruh pada kekuatan tulang Herrmann et al., 2015, penelitian oleh Travis J Saunders Et All tahun 2014 bahwa perilaku sendentary menjadi faktor resiko penyakit cardiometabolik pada anak dan remaja Saunders, Chaput, Tremblay, 2014, hasil kajian literatur oleh Valerie Carson Et All tahun 2015 bahwa tipe perilaku sedentary berdampak pada perkembangan aspek kognitif pada anak usia 0-5 tahun Carson et al., 2015. Penelitian prevalensi penyakit tidak menular tersebut dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya, gaya hidup traditional lifestyle berubah menjadi sedentary lifestyle Remaja, Sma, Cendrawasih, n.d.. Hal ini diperkuat oleh catatan Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, DTCE bahwa salah satu faktor timbulnya penyakit di Indonesia adalah perilaku sedentary merupakan perilaku berisiko terhadap terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi usia harapan hidup. Perilaku sedentary adalah perilaku santai antara lain duduk, berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja kerja di depan komputer, membaca, dll, di rumah nonton TV, main game, dll, di perjalanan transportasi bis, kereta, motor, tetapi tidak termasuk waktu tidurProf. dr Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, n.d. . Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas sedentari sampai dengan 3 jam per hari dapat meningkatkan umur harapan hidup se esar tahun ata dari alit an kes iskesdas 1 menun ukkan ahwa 1 persen penduduk kita ter l n kuran akti secara isik Data Balitbangkes juga menunjukkan proporsi penduduk kelompok umur ≥1 tahun den an perilaku akti itas sedentari am aru penduduk sedan kan sedentari ≥ am per hari adalah 1 hampir satu dari empat penduduk Artinya, masih terlalu banyak penduduk kita yang relatif terlalu banyak bersantai dan tidak beraktifitas fisik Penelitian et al., 2013. Salah satu program Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah meningkatnya pengendalian penyakit tidak menular dengan melaksanakan pilar paradigma sehat dengan strategi pengutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan promotif, preventif dan pemberdayaan masyarakat Kementerian-Kesehatan, 2008. Upaya promotif dan preventif perilaku sedentary untuk menekan atau mengurangi prevalensi penyakit tidak menular sangatlah diperlukan. Temuan diatas menunjukkan usia temuan diagnosis adalah usia 15 tahun sehingga upaya penelitian faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary anak sangatlah diperlukan mengingat penyakit tidak menular merupakan penyakit yang berkembang lambat dengan durasi yang lama Penelitian et al., 2013. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 188 Tujuan Tujuan dilakukannya kajian literature adalah mengumpulkan semua hasil penelitian yang berhubungan dengan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentari pada anak Metoda Ka ian literature ini diawali den an men identi ikasi kata kunci “In luence act r” “physical activity” “sedentary” “pediatric” yan di unakan dalam data ase elektr nik Pencarian artikel dibatasi dari tahun 2005 – 2015 dengan menggunakan data base EBSCHO dan PubMed. Skrinning dilakukan untuk mencari artikel sesuai kata kunci.. Hasil ekstraksi dengan total artikel 5 literatur. Hasil Hasil pencarian literature faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilaku sedentary adalah ketersediaan alat untuk aktifitas fisik jumlah dan jenis, lokasi dan jumlah penempatan TV n = 1, pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan orangtua, model peran orangtua n = 2 , Sosio ekonomi dan etnis n = 3, Dukungan orang tua n=4, Perjalanan akhir pecan n=5. Tabel 1 Penelitian Metode Tujuan Variabel utama Hasil penelitian temuan penelitian Kaushal, et al 2014 Systematic review Untuk mengetahui lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan physical aktivitas dan perilaku sedentari 1. Alat untuk aktifitas fisik dan penunjang perilous sedentary 2. Aktifitas fisik dan perilous sedentari 1. Intervensi untuk mengurangi perilaku sedentary dengan membatasi jumlah TV memperlihatkan efektif pada anak dan orang dewasa 2. Ketersediaan peralatan aktifitas fisik terlihat efektif 3. Studi observasi : Lokasi dan jumlah penempatan TV dihubungan perilous sedentary pada anak perempuan 4. Jumlah dan jenis peralatan fisik berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary pada laki-laki Crawford, et al 2010 The CLAN Study Untuk mengetahui Catatan orangtua tentang lingkungan rumah dukungan social, model peran, Peaturan, ling, 1. Keluarga 2. Lingkungan sekitar 3. Aktifitas fisik 4. Berat badan 5. Lingkungan 1. Pada laki laki berhubungan : pendidikan ibu, paparan kondisi jalan raya, aktifitas sibling, peran ibu. Status perkawinan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 189 Pembahasan Faktor – faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan prilaku sedentary adalah lingkungan rumah dimana terdapat peralatan atau media yang mendukung pada aktifitas fisik dan perilous sedentari. Ketersediaan sarana seperti adanya videogame, alat untuk aktifitas fisik merupakan faktor pendukung yang paling kuat untuk membentuk perilous atau kebiasaan . Peraturan akan Pembatasan aktifitas menonton TV bermain game merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kejadian pelaku sedentary. Alat aktifitas karakteristik lingkungan sekitar Tanda lalu lintas, keamanan jalan, transportasi umum, informasi geografi untuk memetakan lingkungan tempat tujuan aktifitas fisik , hubungan antar jalan raya orangtua, perilous sedentary berhubungan dengan BMI z-score 2. Pada perempuan : saudara, peran ayah, peraturan, aktifitas fisik orangtua berhubungan posistif dengan tingakt aktifitas fisik. Status petkawinan orangtua dan model peran sedentary ibu berhubungan dengan BMI z score Rossem et al 2012 Observasio nal Study Untuk mengetahui dampak social dan indicator aktivitas fisik dan perilous sedentary pada usia preschool 1. Sosial Ekonomi 2. Etnis Anak dengan ibu berpendidikan rendah OR : 3.27, 95 CI 2.12 – 5.05, Suka nonton TV kurang lebih 2 jam perhari OR 2.67, 95 CI 2.04 – 3.49, Hasil yang sama pada aktifitas duduk kurang lebih 0,5 jam perhari dan bermain kurang dari 3 jam perhari OR ; 1.95, 95 CI : 1.39 – 2.73. Sosio ekonomi dan etnis sebagai indicator yang berhubungan dengan perilous sedentary Tandon, et al 2014 Observasio nal kohort study Mengetahui faktor yang dihubungkan aktifitas fisik dan perilous sedentary di rumah 1. Aktifitas fisik dan lingkungan social 2. Interaksi faktor social dan lingkungan 47, 2 rata-rata waktu anak tinggal di rumah, 43,6 dan 46.4 terlibat dalam aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orang tua positif dihubungkan dengan aktifitas fisik dan negative dengan perilous sedentary. Schoeppe, et al 2015 Cross- sectional studi Mengetahui hubungan perjalanan ke sekolah dan akhir pekan pada perbedaan aktifitas fisi dan perilous sedentary, yang diidentifikasi melalui jenis kelamin Alat Perjalanan ke sekolah dan akhir pekan Perjalanan akhir pecan mempunyai hubungan positif dengan aktifitas fisik Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 190 fisik didesign untuk wanita sehingga memungkinan untuk memfasilitasi aktifitas fisik di rumah. Kaushal Rhodes, 2014. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Tandon, et al 2014 bahwa Lingkungan social dan aktifitas yang spesifik merupakan variable yang kuat berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Dukungan orangtua merupakan faktor terbesar dalam penyediaan sarana aktifitas fisik. Peraturan –peraturan yang dibuat oleh orangtua juga sebagai faktor yang berhubungan dengan perilous sedentary. Proporsi waktu luang anak adalah rumahtempat tinggal sehingga aktifitas fisik dan perilous sedentary cenderung terjadi di rumah. Upaya – upaya modifikasi fisik rumah dan lingkungan social merupakan intervensi untuk mengurangi kejadian perilous sedentary Tandon et al., 2014. Faktor sosioekonomi dan perbedaan budaya dalam menonton TV dan penggunaan waktu libur merupakan faktor yang berkontribusi dalam aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak. Pekerjaan ibu merupakan faktor utama dalam perilous menonton TV. Pendidikan rendah merupakan penyebab utama kerusakan fungsi social dan menjadi penyebab adanya masalah stresst keluarga. Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu lebih unuk melihat TV Van Rossem et al., 2012. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa pendidikan ibu, status pekerjaan ibu Crawford et al., 2010. Faktor lingkungan dalam rumah yang mempengaruhi aktifitas fisik dan perilous sedentary adalah adanya saudara kandung, model peran orangtua dan saudara, keikutsertaan orangtua dalam aktifitas fisik. Keikutsertaan orangtua mempunyai hubungan yang positif dalam perubahan aktifitas fisik anak Crawford et al., 2010. Hal ini diperkuat oleh penelitian Salmon et al, 2013 bahwa karakteristik lingkungan mempunyai nilai signifikan. Tujuan perjalanan merupakan faktor yang berhubungan dengan aktifitas fisik dan perilous sedentary. Tujuan perjalanan diluar perjalanan kesekolah merupakan faktor yang paling berhubungan dengan aktifitas fisik. Perjalanan menggunakan mobil merupakan faktor yang paling berkontribusi untuk waktu sedentary pada anak. Anak yang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau bersepeda mendukung pada tingkat aktifitas anak Schoeppe, Duncan, Badland, Oliver, Browne, 2015. Kesimpulan Aktifitas fisik dan perilous sedentary anak dipengaruhi dari berbagai faktor yaitu lingkungan rumah ketersediaan sarana dan prasana, jumlah dan lokasi penempatan, peraturan dalam keluarga , lingkungan social keluarga model peran orangtua, dukungan orangtua, perilous orangtua, social, ekonomi budaya, tingkat pendidikan orangtua, usia orangtua, status perkawinan. Pekerjaan orangtua, budaya keluarga, peran model saudara kandung, tujuan perjalanan, alat transportasi. Faktor – faktor aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak sangat penting diketahui sebagai upaya promotif terhadap pencegahan penyakit yang timbul akibat perilous sedentary. Peran perawat komunitas sangatlah penting untuk survey tentang aktifitas fisik dan perilous sedentary pada anak, sebagai temuan awal temuan kasus perilous sedentary pada anak. Daftar Pustaka Cars n V Kuzik N Hunter S Wie e S a Spence J C Friedman A … Hinkley T 2015. Systematic review of sedentary behavior and cognitive development in early childhood. Preventive Medicine , 78 , 115 –122. doi:10.1016j.ypmed. 2015.07.016 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 191 Craw rd Cleland V Timperi A Salm n J Andrian p ul s N erts … Ball, K. 2010. PEDIATRIC HIGHLIGHT The longitudinal influence of home and nei h urh d envir nments n children ’ s dy mass index and physical activity ver 5 years : the CLAN study March 1177–1187. doi:10.1038 ijo.2010.57 Herrmann P hla eln H Gian a na F K nsta el K Lissner L Mårild S … Ahrens, W. 2015. Association between bone stiffness and nutritional biomarkers combined with weight-bearing exercise, physical activity, and sedentary time in preadolescent children. A case –control study. Bone , 78 , 142 –149. doi:10.1016j.bone.2015.04.043 Kaushal, N., Rhodes, R. E. 2014. The home physical environment and its relationship with physical activity and sedentary behavior: A systematic review. Preventive Medicine , 67 , 221 –237. doi:10.1016j.ypmed.2014.07.026 Kementerian-Kesehatan. 2008. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penelitian, B., Pengembangan, D. A. N., Pengantar, K. 2013. RISET KESEHATAN DASAR. Prof. dr Tjandra Yoga Aditama SpP K , MARS, DTMH, D. No Title. Retrieved from http:www.litbang.depkes.go.idcontentbagaimana-hidup-sehat-untuk-mencegah- faktor-risiko-penyakit . Saunders, T. J., Chaput, J. P., Tremblay, M. S. 2014. Sedentary behaviour as an emerging risk factor for cardiometabolic diseases in children and youth. Canadian Journal of Diabetes , 38 1, 53 –61. doi:10.1016j.jcjd.2013.08.266 Schoeppe, S., Duncan, M. J., Badland, H. M., Oliver, M., Browne, M. 2015. Associations between children ׳s active travel and levels of physical activity and sedentary behavior. Journal of Transport Health , 2 3, 336 –342. doi:10.1016j.jth.2015.05.001 Tandon, P., Grow, H. M., Couch, S., Glanz, K., Sallis, J. F., Frank, L. D., Saelens, B. E. 1 Physical and s cial h me envir nment in relati n t children’s verall and home-based physical activity and sedentary time. Preventive Medicine , 66 , 39 –44. doi:10.1016j.ypmed.2014.05.019 Van Rossem, L., Vogel, I., Moll, H. a., Jaddoe, V. W., Hofman, A., Mackenbach, J. P., Raat, H. 2012. An observational study on socio-economic and ethnic differences in indicators of sedentary behavior and physical activity in preschool children. Preventive Medicine , 54 1, 55 –60. doi:10.1016j.ypmed.2011.10.016 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 192 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF EFFICACY DALAM ACTIVITY DAILY LIVING ADL PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION ORIF EKSTREMITAS BAWAH DI KOTA SEMARANG Chandra Bagus Ropyanto, Muhamad Rofi’i Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, E-mail : chandra_undipyahoo.com Abstrak Latar Be;akang. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living ADL secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Self efficacy merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku. Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy pasien pasca ORIF ekstremitas bawah. Metoda. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan 35 responden dan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Variabel independen adalah usia, lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi; sementara variabel dependen adalah self efficacy . Uji ANOVA digunakan untuk data kategorik serta korelasi pearson dan spearman rho untuk data numerik. Hasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa motivasi r = 0,515 dan nilai p=0,002 dan usia -0,464 dan nilai p=0,005 merupakan faktor yang berhubungan. Model multivariat memiliki nilai p=0,001 dan persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 self efficacy dengan nyeri sebagai faktor yang paling besar untuk memprediksi self efficacy setelah dikontrol usia, pengetahuan, dan persepsi. Kesimpulan. Penelitian ini merekomendasikan melakukan manajemen nyeri non farmakologis untuk meningkatkan self efficacy terintegrasi dengan peningkatan pengetahuan dan memperhatikan aspek psikologis. Kata kunci: Self efficacy , pasca ORIF, dan activity daily living . Pendahuluan Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang dikategorikan berdasarkan jenis dan luasnya Smeltzer Bare, 2006. ORIF merupakan salah satu prosedur pembedahan untuk mereduksi patah tulang yang paling banyak keunggulannya Price Wilson, 2003. ORIF sebagai bagian dari bedah ortopedi menimbulkan yang berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri Bare Smeltzer, 2006. Permasalahan pasca ORIF baik yang bersifat fisik maupun psikologis akan menimbulkan dampak pada kualitas hidup pasien. Kualitas hidup pasien ditentukan salah satunya pada kemampuan fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis Saltzman, 2011. Perawat selama ini kurang memperhatikan perubahan kemampuan fungsional pada pasien pasca ORIF. Status fungsional pada pasca ORIF merupakan fase dimana kemampuan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 193 fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska rehabilitasi dimana status fungsional berada di bawah level minimal Ditmyer et al 2002; dikutip dari Topp et al, 2002. Fase restoratif fase rehabilitasi mendukung pasien dengan gangguan sebagai dampak suatu penyakit untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan DeLaune Ladner, 2002. Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program rehabilitasi ortopedi. Kemampuan melakukan Activity Daily Living ADL secara mandiri merupakan suatu perilaku untuk meningkatkan status fungsional. Peran perawat perlu ditingkatkan untuk memandirikan secara komprehensif. Aspek psikologis perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena sering terlupakan dalam meningkatkan kemandirian pasien sebagai perubahan perilaku. Self efficacy merupakan aspek yang berperan terhadap perubahan perilaku. Self efficacy merupakan keyakinan diri pada seseorang yang mampu membantu menginisiasi determinasi perilaku Pajares, 2002; dalam Werrel, 2011. Self efficacy merupakan persepsi individu untuk menunjukan kemampuan terhadap kepastian dirinya untuk mencapai tujuan Bandura, 1997; dalam Cardoza, 2011. Penelitian-penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy dalam melakukan ADL pada area klinik masih sedikit daripada area komunitas. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy maka perawat pada area klinik mampu meningkatkan kemampuan fungsional pasien sebagai bagian optimalisasi discharge planning . Hasil penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan teori baru berbasis penelitian. Penelitian bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy dalam melakukan ADL dengan memprediksi faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy pada ADL pasien pasca ORIF perlu dilakukan analisa lebih lanjut. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap self efficacy ADL pasien pasca ORIF diadaptasi dari Teori Sosial Kognitif Bandura yang terdiri dari tiga aspek personal, yaitu : kognitif, persepsi, dan kejadian biologis Bandura 1977, diadaptasi dari Cardoza 2011. Faktor personal kognitif berupa pengetahuan pasien mengenai ADL pasca operasi. Faktor persepsi merupakan persepsi dan motivasi pasien mengenai keyakinan dalam melakukan ADL. Faktor kejadian biologis terdiri dari usia, jenis fraktur, lama hari rawat pasca ORIF, nyeri, dan kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan self efficacy melakukan ADL pasien pasca ORIF ekstremitas bawah di Semarang. Metode Penelitian cross-sectional mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, tentunya tidak semua subyek harus diukur pada hari ataupun saat yang sama jadi desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau follow-up Sastroasmoro Ismael, 2010. Variabel independen adalah variabel independen dalam penelitian ini adalah usia, lama hari rawat pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, kelelahan, pengetahuan, motivasi, dan persepsi, sementara variabel dependen adalah self efficacy . Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien paska ORIF pada fraktur ekstremitas bawah yang menjalani rawat inap di lima rumah sakit di Kota Semarang pada saat dilakukan penelitian. Metode penarikan sampel dengan menggunakan consecutive sampling , dimanan semua subjek yang datang harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi sampel adalah : pasien paska ORIF pada ekstremitas bawah femur, tibia, dan fibula, patella, hindfoot , Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 194 midfoot , dan fore foot , berusia 15 – 65 tahun, kemampuan kognitif baik, bersedia menjadi responden penelitian. Kriteria eksklusi sampel adalah : pasien mengalami fraktur pada kedua sisi ekstremitas bawah, pasien yang mengalami fraktur pada area selain ekstremitas bawah, mengalami komplikasi akut seperti infeksi, perdarahan, sindrom kompartemen, emboli lemak, dan DVT, mempunyai riwayat penyakit stroke, jantung, dan paru-paru. Berdasarkan hasil perhitungan dengan remus koefisien korelasi jumlah sampel yang terkumpul adalah 35 responden. Instrumen Pengetahuan diukur dengan menggunakan pertanyaan dengan nilai alpha cronbach’s = 0,450, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,11 – 0,733. nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Persepsi diukur dengan dengan mengadaptasi instrumen perceived general self efficacy dengan n ilai alpha cronbach’s = 0,851, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,477 – 0,906. Nyeri pada area fraktur diukur dengan menggunakan Numeric Rating Scale dengan rentang 0 sebagai rentang terendah sampai 10 sebagai yang tertinggi. Numeric Rating Scale reliabel dan valid untuk mengkaji nyeri dengan rentang pada kondisi medis dan area klinis Loretz, 2005. Kelelahan diukur dengan menggunakan Fatigue Severity Scale NWRC, 2011 yang telah dimodifikasi. Pertanyaan awal terdiri dari 9 pernyataan yang mengukur kelelahan responden selama berada di RS. Instrumen memiliki nilai koefisien alpha 0,91 dan internal konsistensi 0,81 – 0,89 Folden Tappen, 2007. Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,824, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,481 – 0,854. Motivasi diukur dengan menggunakan modifikasi Health Motivation Scale in Physical yang dikutip dari Xiaoyan 2009. Hasil uji validitaas dan reliabilitas menunjukan nilai alpha cronbach’s = 0,755, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,279 – 0,820. Self efficacy diukur dengan menggunakan modifikasi dari Fall-Efficacy Scale Tinetti et al, 1990. Instrumen memiliki nilai reliabilitas alpha 0,94 Folden Tappen, 2007. Uji reliabilitas instrumen self efficacy didapatkan nilai alpha cronbach’s = 0,747, dengan nilai korelasi validitas berkisar 0,299 – 0,918. Hasil Hasil analisa karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Hasil analisis menunjukan bahwa hampir seluruhnya responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27 responden 77,1 . Tingkat pendidikan responden hampir seluruhnya SMA sebanyak 25 responden 71,4 . Pekerjaan responden paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 8 responden 22,9 . Lebih dari setengahnya status perkawinan responden adalah belum menikah sebanyak 18 responden 51,4 . Jenis fraktur paling banyak adalah fraktur femur dimana lebih dari setengahnya sebanyak 21 responden 60,0 . Tindakan operasi responden lebih dari setengahnya adalah ORIF sebanyak 23 responden 65,7 . Jenis anastesi responden seluruhnya Regional Anastesi RA Spinal Anastesi Block SAB sebanyak 35 responden 100,0 . Tabel 1. Distribusi karakteristik responden di RS Kota Semarang 2014 n=35 Karakteristik Responden Frekuensi Jenis Kelamin Laki-laki 27 77,1 Perempuan 8 22,9 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 195 Karakteristik Responden Frekuensi Total 35 100 Pendidikan SD 6 17,2 SMP 2 5,7 SMA 25 71,4 Pendidikan Tinggi 2 5,7 Total 35 100 Pekerjaan Wiraswasta 8 22,9 Pegawai Swasta 12 34,3 TNI 5 14,2 Pelajar 7 20,0 Tidak Bekerja 3 8,6 Total 35 100 Status Perkawinan Belum Menikah 18 51,4 Menikah 17 48,6 Total 35 100 Jenis Fraktur Femur 21 60,0 Tibia dan Fibula 8 22,9 Hindfoot 6 17,1 Total 35 100 Tindakan Operasi ORIF 23 65,7 ORIF dan Debridemen 12 34,3 Total 35 100 Jenis Anastesi Regional AnastesiSpinal Anastesi Block 35 100,0 General Anastesi 0,0 Total 35 100 Tabel 2 Distribusi Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, Motivasi, dan Self Efficacy Responden di Kota Semarang n=35 Variabel Mean SD Minimal - Maksimal 95 CI Usia 36,06 17,12 15 – 63 30,17 – 41,94 Lama Hari Pasca ORIF 2,34 1,39 1 - 6 1,86 – 2,82 Nyeri 4,57 2,05 0 - 8 3,87 – 5,27 Kelelahan 24,46 8,60 7 – 42 21,50 – 27,41 Pengetahuan 11,69 2,40 6 – 16 10,86 – 12,51 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 196 Variabel Mean SD Minimal - Maksimal 95 CI Persepsi 19,86 5,84 6 - 27 17,85 – 21,86 Motivasi 35,91 5,01 25 - 44 34,19 – 37,63 Self-Efficacy 21,83 5,23 10 - 30 20,03 – 23,63 Tabel 3 Usia, Lama Hari Pasca ORIF, Nyeri, Kelelahan, Pengetahuan, Persepsi, dan Motivasi kaitannya dengan Self Efficacy Melakukan ADL di RS Kota semarang n=35 No. Variabel Independen r R 2 p-value 1. Usia -0,464 0,215 0,005 2. Lama Hari Pasca ORIF 0,012 0,001 0,945 3. Nyeri -0,120 0,014 0,494 4. Kelelahan -0,135 0,018 0,440 5. Pengetahuan 0,107 0,011 0,540 6. Motivasi 0,515 0,265 0,002 7. Persepsi -0,225 0,051 0,193 Tabel 4 Jenis Fraktur berdasarkan Self Efficacy Pasien Pasca ORIF Ekstremitas Bawah di Kota Semarang n=35 Variabel Independen Mean SD Minimal - maksimal P-value Jenis Fraktur : 1. Fraktur Femur 2. Fraktur Tibia dan Fibula 3. Fraktur hindfoot, midfoot , dan forefoot 21,10 23,13 22,67 5,08 6,22 4,8 12 – 30 10 – 30 16 - 26 0,603 Tabel 5 Persepsi, Kelelahan, dan Motivasi Kaitannya dengan Self Efficacy Responden di Kota Semarang n=35 Variabel Kefisien B Variabel P-value variabel R 2 Koefisien B Constant P-value Persepsi -0,272 0,025 0,494 6,64 0,001 Kelelahan -0,257 0,085 Motivasi 0,748 0,000 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 197 Hasil analisa multivariat menunjukan nilai koefisien determinasi R square adalah 0,494 berarti variabel persepsi, kelelahan, dan motivasi mampu menjelaskan 49,4 self efficacy sisanya faktor lain, dengan nilai p 0,001. Persamaan regresi yang diperoleh adalah : Self Efficacy = 6,64 + 0,748 M – 0,272 Per – 0,257 K Interprestasi persamaan regresi, setiap kenaikan motivasi 1 point, akan meningkatkan self efficacy sebesar 0,748 setelah dikontrol variabel persepsi dan kelelahan. Setiap kenaikan persepsi 1 point, akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,272 setelah dikontrol variabel motivasi dan kelelahan. Setiap kenaikan kelelahan 1 point akan mengakibatkan penurunan self efficacy sebesar 0,257 setelah dikontrol variabel motivasi dan persepsi. Hasil analisa menunjukan bahwa variabel motivasi merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap self efficacy . Pembahasan Aspek fisik yang terdiri dari lama hari pasca ORIF, jenis fraktur, nyeri, dan kelelahan menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap self efficacy pasien paca ORIF ekstremitas bawah Aspek fisik lain yaitu usia menunjukan hubungan yang dengan tingkat signifikansi sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlunya dibahas mengenai variebel-variabel dalam aspek fisik secara spesifik. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa terdapat hubungan dengan tingkat signifikan sedang yang bersifat negatif dan rata-rata usia responden berada pada dewasa muda. Kesesuaian perbandingan hasil penelitian dengan melihat pada aspek fisiologis dan psikologis berdasarkan dengan tumbuh kembang kaitannya dengan kondisi pasca ORIF yang membuat variabel usia lebih berhubungan dibanding variabel dalam aspek fisik lainnya. Usia dewasa muda merupakan usia ideal dimana mencapai puncak efisiensi muskuloskeletal dan akan mengalami penurunan massa otot, kekuatan, dan ketangkasan pada dewasa menengah DeLaune Ladner, 2002. Perkembangan muskuloskeletal yang maksimal akan membantu kemampuan beraktivitas tidak hanya pada area yang fraktur, sehingga self efficacy pada pasca ORIF akan lebih cepat untuk optimal. Usia juga berkaitan dengan tumbuh kembang yang mempengaruhi kematangan mekanisme koping seseorang. Mekanisme koping yang positif akan meningkatkan self efficacy seseorang. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hari pasca ORIF dengan self efficacy yang berkaitan dengan kondisi perkembangan pada fase inflamasi didukung dengan latihan untuk rehabilitasi yang didapatkan saat tahap paska operasi. Lama hari pasca ORIF saat diukur self efficacy adalah 2,34 menunjukan bahwa semua responden masih berada pada fase inflamasi. Lama hari rawat pasca ORIF berkaitan dengan tahap perkembangan status fungsional, fase penyembuhan fraktur dan program rehabilitasi yang dilakukan sebagai variabel confounding yang berperan mempengaruhi self efficacy . Rata-rata lama hari rawat 2,34 hari hampir mencapai setengah dari kemampuan fungsional pada fase rehabilitasi. Peningkatannya dengan melihat perbandingan hari sebelumnya pada responden yang sama terdapat peningkatan tetapi tidak terlalu jauh pada hari selanjutnya dan didukung dengan melihat kemampuan pada responden dengan lama hari rawat yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 198 Nyeri paska pembedahan ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 dengan durasi 3 hari Smeltzer Bare, 2005. Nyeri paska bedah ortopedi saat berada diruang perawatan adalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai 10. Nyeri berkontribusi terhadap aktivitas pasca operasi Morris et al, 2010. Nyeri ringan dapat berlangsung sampai beberapa bulan pada kasus bedah ortopedi Hoffenfeld Murthy, 2011. Nyeri berhubungan secara negatif terhadap self efficacy karena berkaitan dengan ambang nyeri Miro, Matinez, Sanchez, Prados, Medina, 2011. Nyeri merupakan pengalaman universal individu, yang didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif tergantung persepsi individu DeLaune Ladner, 2002. Nyeri paska ORIF mempertimbangkan jenis fraktur, tindakan operasi, dan respon terhadap nyeri yang mempengaruhi rentang gerak sendi, kekuatan otot, serta kemampuan mobilisasi dan ambulasi. Kemampuan mengontrol nyeri mendukung penggunaan analgetik untuk meningkatkan kemampuan aktivitas. Tingkat nyeri tidak hanya ditentukan berdasarkan aspek fisiologis tetapi aspek psikologis berperan penting karena nyeri bersifat subjektif. Gate control pain theory menjelaskan bahwa persepsi individu menentukan kemampuan mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional individu DeLaune Ladner, 2002. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram, Kashdan, Kasle, Zautra, 2010. Trauma yang mengakibatkan fraktur dan tindakan pembedahan merupakan stimulus fisiologis terjadinya kelelahan karena penurunan perfusi jaringan akibat perdarahan. Operasi merupakan trigger yang menyebabkan beberapa gejala kelelahan Goedendorp, 2009. Kelelahan tidak mengganggu secara signifikan atau menghambat self efficacy dalam fungsi fisik normal dan aktivitas sehari-hari dengan melihat karakteristik dari kelelahan pasca ORIF. Kelelahan pada sistem muskuloskeletal mengakibatkan gejala berupa nyeri otot, nyeri beberapa sendi, sakit kepala, dan kelemahan yang merupakan tanda klinis yang sering terlihat pada kondisi paska ORIF. Kelelahan secara langsung berhubungan dengan penurunan kapasitas fisik dalam pemenuhan ADL Tiesinga et al, 2001. Kelelahan pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah merupakan kelelahan sebagai suatu sensasi. Kelelahan sebagai suatu sensasi merupakan bagian dari rentang kehidupan normal. Connell Stoke, 2007. Kelelahan bersifat alamiah dimana berlangsung secara singkat dan dapat dieliminasi dengan istirahat yang cukup. Self-efficacy ditentukan beberapa komponen dari penyebab personal terdiri dari fungsi dari kemauan, perasaan suatu rasa terhadap kapasitas dan efektivitas, nilai, dan ketertarikan Peterson et al, 2009. Penelitian yang dilakukan Peterson et al 2009 menjelaskan bahwa self efficacy didasari oleh penerimaan personal penyakit, penerimaan terhadap perubahan kapasitas, fokus dalam kontrol, kemampuan belajar dan melakukan, kewaspadaan, dan tanggung jawab personal. Peningkatan komponen dasar self efficacy ditunjukan pada pasca ORIF seiring dengan perbaikan kondisi umum sehingga meningkatkan efikasi untuk mandiri. Pengetahuan seseorang tidak mendukung peningkatan self efficacy, karena ada aspek psikologis lain seperti motivasi yang sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 199 kehidupan nyata Mancuso, Sayles, Allegrante, 2010. Pasien pasca ORIF ekstremitas bawah kemampuan seseorang untuk menerima aspek negatif sehingga meningkatkan motivasi dan berakibat tingkat pengetahuan responden kurang berpengaruh terhadap self efficacy . Pengetahuan merupakan bagian dari aspek kognitif yang membentuk tujuan personal seseorang yang mempengaruhi kemampuan aprasial seseorang. Pengetahuan yang tinggi akan mendorong seseorang untuk memvisulisasikan tujuan dengan melihat aspek- aspek negatif. Hal tersebut merupakan fungsi utama untuk memprediksi kemampuan seseorang untuk mengontrol aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan komponen utama dari self efficacy Zulkosky, 2009. Motivasi menentukan kemampuan individu untuk berperilaku secara sehat dengan memperhatikan aspek lain. Kesiapan individu mempengaruhi kemampuan untuk berperilaku walaupun motivasi menunjukan kategori baik. Kesiapan berperilaku berkaitan dengan keamanan melakukan aktivitas yang dipengaruhi oleh persepsi individu yang salah satunya ditentukan tingkat pengetahuan. Tingkat pengetahuan individu berkaitan dengan keadaan penyakitnya dan tingkat pendidikan. Responden rata-rata kurang mengetahui sebenarnya dengan kondisi frakturnya dapat meningkatkan kemandirian melalui beberapa aktivitas sesuai batas-batas yang diperbolehkan. Motivasi self-care status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien dalam melakukan aktivitas fisik. Status fungsional merupakan gambaran dari kemampuan aktivitas kesehatan yang positif dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal melakukan aktivitas fisik. Pemahaman akan kondisi penyakit dan kurangnya peran individu berperan terhadap perbedaan motivasi dengan tindakan yang dilakukan untuk mencapai kemandirian Siegert Taylor, 2004. Dampak yang timbul adalah ketidaktertarikan dan ketakutan untuk gagal sebagai penghambat. Kesiapan untuk meningkatkan kemandirian berkaitan dengan perilaku tidak maksimal pada tahap action dan maintenance . Persepsi merupakan bagian dari aspek afektif yang merupakan kepercayaan dalam kemampuan untuk bersikap menghadapi berbagai situasi yang mengancam. Kemampuan seseorang dalam melakukan mekanisme koping akan membuat perubahan level kepercayaan diri seserang dalam mengelola hal yang mengganggu dan merupakan komponen kunci dari self efficacy Zulkosky, 2009. Kemampuan koping seseorang lebih mampu mengontrol pasien pasca ORIF ekstremitas bawah dalam melakukan aktivitas dibandingkan aspek persepsi. Kemampuan melakukan managemen nyeri mampu meningkatkan self efficacy Pells et al, 2008; Focht et al, 2005 dalam McKnight, Afram, Kashdan, Kasle, Zautra, 2010. Kesimpulan Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi keperawatan berupa pendidikan kesehatan, latihan aktivitas seperti makan, perawatan diri, mandi, menggunaan toilet dengan mengintegrasikan manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah yang lebih lanjut sebagai pengembangan SOP. Perlunya peningkatan kemampuan perawat dalam latihan aktivitas terintegrasi manajemen nyeri pada fase rehabilitasi paska ORIF fraktur ekstremitas bawah melalui pelatihan atau Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 200 seminar. Penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dengan karakteristik fraktur lebih spesifik dengan rentang waktu yang lebih lama. Penelitian lebih lanjut bersifat eksperimental mengenai pengaruh latihan aktivitas terintegrasi dengan manajemen nyeri terhadap self-efficacy pada pasca ORIF fraktur ekstremitas bawah. Daftar Pustaka Black, J.M., Hawks, J.H. 2009. Medical Surgical Nursing : Clinical management for positive outcome, 8 th ed. St Louis Missouri : Elsevier Saunders. Cardoza, M.P. 2011. A Study of self-efficacy and functional ability in pre-operative and post-operative patients with primary elective total hip replacements. Proquest LLC. Dahlen, L., Zimmerman, L., Barron, C. 2006. Pain perception and its relation to functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing, July-August 2006, 25 4. Academic Research Library. Depkes R.I. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Diunduh 20 Oktober 2010. http:www.depkes co.id. Folden, S., Tappen, R. 2007. Factors influencing function and recovery following hip repair surgery. Orthopaedic Nursing, July-August 2007, 26 4. Academic Research Library. Halstead J.A. 2004. Orthopaedic Nursing : Caring for patients with musculoskeletal disorders. Brockton : Westren Schools. Loretz, L. 2005. Primary Care Tools for Clinicians : A Compendium of forms, quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Philadelphia : Mosby- Elseviers. Mancuso, C.A., Sayles W., Allegrante J.P., 2010. Knowledge, attitude, and self sfficacy in asthma self sanagement and quality of life. Journal of Asthma : 2010, 47:883-888. Taylor Francis Ltd. McKnight, P.E., Afram A., Kashdan, T.B., Kasle S., Zautra A., 2010. Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning : Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science Business Media B.V. Miro, E., Matinez, M.P., Sanchez, A.I., Prados, G., Medina A., 2011. Coping Self Efficacy as a Mediator between Catastrophizing and Physical Functioning : Treatment target selection in an osteoarthritis sample. Journal of Behavioral Medicine : Febr 23 2010, 33:239-249. Springer Science Business Media B.V. Polit, D.F., Beck, C.T. 2005. Nursing Research : Priciples and methods, 7 th edition. Philadelphia : Lippinscott Williams Wilkins. Potter, P.A., Perry, A.G. 2005. Fundamental of Nursing: Study guide and skills performance checklists, 6th ed, Australia, Elseiver-Mosby. Ridge, R.A., Goodson, A.S. 2000. The Relationships between multidisciplinary discharge outcomes and functional status after total hip replacement. Ortopaedic Nursing : JanFeb 2000, 19 1. Academic Research Library. Ropyanto, C.B., Sitorus, R., Eryando, T. 2011. Analisis faktor-faktor yang berhubungan terhadap status fungsional pasien pasca ORIF fraktur ekstremita bawah. Saltzman, S. 2010, Functional Status Assesment. Diunduh 3 Maret 2011 www.galter.northwestern.edufunctional_status_assesment.cfm . Smeltzer, S., Bare, B. 2009. Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 201 Wrong Diagnosis 2011. Prevelence and Incidence Statistic for Fractures. Diunduh 25 Mei 2011 www.wrong diagnosiswho.com. William, L.S, Hopper, P.D. 2009. Understanding Medical Surgical Nursing, 3 rd ed. Philadelphia : F.A. Davis Company. Wilkinson, A. 2010, Functional Status. Diunduh 3 Maret 2011 www.uic.edunursing ccrvpdf . Wood, G.L., Haber, H. 2010. Nursing Research : Methods and critical apprasial for evidence based practice 7 th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. Zulkosky, K. 2009. Self Efficacy : Concept Analysis. Journal Compilation Nursing Forum. Volume 44, No. 2, April-June 2009.. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 202 PEMBERDAYAAN KADER POSYANDU LANSIA DI SEMARANG Elis Hartati 1 , Diyan Yuli Wijayanti 2 1,2 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: elis.hartatigmail.com , email: dywijayantigmail.com Abstrak Latar Belakang. Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di RW 01 Kelurahan Tembalang dan RW 09 Keluarahan Kalisidi. Peningkatan kesehatan lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah dengan memfasilitasi pelayanan kesehatan dalam suatu wadah seperti posyandu lansia. Tujuan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membentuk posyandu lansia, membentuk kepengurusan posyandu lansia, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader, melaksanakan program posyandu lansia dan meningkatkan kemandirian lansia. Metoda yang digunakan adalah koordinasi, rekruitment, pendidikan kesehatan, sosialisasi, implementasi dan rencana tindak lanjut program posyandu lansia. Hasil. Hasil kegiatan adalah terbentuknya posyandu lansia di RW 01 “Mahardika” dan RW 09 “Melati”, terbentuknya kepengurusan posyandu lansia berjumlah 24 orang, peningkatan pengetahuan kader tentang penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus, dan peningkatan keterampilan kader tentang pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol. Kesimpulan. Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100 dari target luaran secara keseluruhan Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia “Mahardika” Kata kunci: pemberdayaan, kader, posyandu lansia Pendahuluan Kesehatan lansia sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Peningkatan kualitas hidup bagi lansia dapat dibantu dengan memberdayakan sumber daya yang tersedia di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban membina lansia sesuai dengan peraturan Undang- Undang RI No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia, upaya penyuluhan, penyembuhan dan meningkatkan pengembangan lembaga. Kelurahan Tembalang yang berada dekat lingkungan Universitas Diponegoro menjadi pilot project daerah binaan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro sampai saat ini. Tidak adanya wadah dalam memberdayakan masyarakat lansia khususnya di RW 01 Kelurahan Tembalang di bidang kesehatan lansia, akan berdampak negatif terhadap derajat kesehatan lansia. Pemberdayaan masyarakat sangat menunjang terhadap keberhasilan program yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 203 Puskesmas menjadi sarana untuk memeriksakan kesehatan lansia secara rutin, akan tetapi dalam meningkatkan promotif dan preventif serta rehabilitatif kesehatan lansia perlu adanya fasilitas khusus bagi lansia, seperti posyandu lansia. Kelurahan Kalisidi Dusun Gebug Kecamatan Ungaran Barat memiliki permasalahan yang serupa dengan kelurahan Tembalang. Kelurahan Kalisidi walaupun tidak dijadikan daerah binaan Universitas Diponegoro, akan tetapi pemerataan pembangunan sumber daya masyarakat seyogyanya difalisitasi oleh pemerintah dengan memberdayakan masyarakat. Letak geografis dari Dusun Gebug Kelurahan kalisidi, berada di daerah pegunungan dan cukup jauh dari Pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, tidak adanya angkutan umum sebagai fasilitas bagi masyarakat menjadi penghambat lansia datang secara rutin ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya. Pembinaan yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro sebagai pengabdian kepada masyarakat di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi akan lebih efektif dan optimal jika dibentuk Posyandu Lansia. Metoda Metode yang digunakan dalam kegiatan pengabdian ini adalah koordinasi dengan jajaran pemerintahan untuk penentuan tempat posyandu lansia, penyusunan kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan, rekruitment calon kader, penyusunan struktur pengelolaan, pengurusan ijin pembentukan posyandu, perencanaan anggaran pembentukan posyandu dan anggaran operasional, sosialisasi posyandu lansia di Kelurahan Tembalang dan Kalisidi. Ruang lingkup kegiatan adalah kader berjumlah 24 orang, yang terdiri dari 12 kader dari kelurahan Tembalang dan 12 kader dari Kelurahan Kalisidi. Bahan dan alat yang digunakan adalah panduan buku pantau lansia, panduan posyandu lansia, buku penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Alat yang digunakan untuk kegiatan posyandu lansia adalah alat untuk pemeriksaan tekanan darah : spigmomanometer dan stetoskop, alat untuk pemeriksaan :asam urat ; kadar gula darah; kolesterol, stik : asam urat ; kadar gula darah ; kolesterol, alkohol, kapas. Selain itu meja berjumlah 10 buah, kursi 10 buah, 5 Buku Form pengisian dari masing-masing fungsi meja posyandu lansia, timbangan berat badan, dan alat pengukur tinggi badan. Tempat kegiatan pengabdian dilaksanakan di rumah kader ibu Roisatun untuk kelurahan Kalisidi dan rumah kader ibu Yuliarti untuk kelurahan Tembalang. Teknik pengumpulan data adalah dengan pre-post test bagi kader yang mengikuti pelatihan. Hasil Hasil yang dicapai untuk Mitra I RW 01 Kelurahan Tembalang : Terbentuknya pos yandu lansia Melati : Hasil rapat koordinasi dengan calon kader di 5 RT yang ada di RW 01 Kelurahan Tembalang Kecamatan Tembalang ditentukan rumah Ibu Yuliarti sebagai tempat kegiatan posyandu lansia yang beralamat di RT 02 RW 01 Kelurahan Tembalang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Selain itu alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku panduan penyakit hipertensi 30 buah, buku panduan penyakit reumatik 30 buah, buku panduan penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbanganpengukuran tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, KMS Kartu Menuju Sehat bagi lansia, buku tamu dan alat tulis lain yang menunjang keperluan posyandu lansia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 204 Tim pengabdian telah melakukan identifikasi sumber daya manusia sebagai calon kader, didapatkan sebanyak 12 calon kader bersedia untuk menjadi kader posyandu lansia di RW 01 Kelurahan Tembalang. Calon kader yang telah direkruit berasal dari 5 RT yang semuanya telah terwakili dari masing-masing RT tersebut. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia, seperti : penyakit hipertensi, reumatik, dan diabetes melitus. Hasil pendidikan kesehatan didapatkan peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 15,38 69,23 Faktor resiko 84,61 92,3 Tanda dan gejala 53,84 92,3 Dampak 7,69 20 Tindakan psikologis 53,84 76,92 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader kurang memahami tentang dampak dari terjadinya hipertensi sebanyak 20 Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 69,23 84,61 Tanda dan gejala 61,53 69,23 Pengaturan diet 38,48 76,92 Jenis makanan 69,23 79 Jenis herbal 23,07 84,61 Tabel 2 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan jenis herbal yang digunakan pada klien dengan penyakit reumatik sebanyak 84,61 Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 01 Kelurahan Tembalang Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 92,3 Tanda dan gejala 15,38 84,61 Jenis diabetes 46,15 84,61 Dampak diabetes 46,15 76,92 Langkah preventif 61,53 92,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif terjadinya penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 205 Hasil yang dicapai untuk Mitra II RW 09 Desa Kalisidi : Terbentuknya posyandu lansia Mahardika. Berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi disepakati untuk tempat posyandu lansia di rumah Kader Ibu Roisatun RT 02 RW 09 Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Kader dan tim pengabdian telah melakukan identifikasi keperluan untuk membentuk posyandu lansia, yaitu : Alat kesehatan : spigmomanometer, stetoskop, mitlen, alat pengukur gula darah, asam urat, kolesterol, timbangan berat badan. Alat perlengkapan : MMT 3 x1 meter, MMT 1x1 meter, meja 5 buah, kursi 5 buah, buku pantau lansia 30 buah, buku panduan posyandu lansia 30 buah, buku penyakit hipertensi 30 buah, buku penyakit reumatik 30 buah, buku penyakit diabetes melitus 30 buah, buku pendaftaran, buku pencatatan penimbanganpengukuran tinggi badan, buku pencatatan tekanan darah, lembaran KMS Kartu Menuju Sehat bagi lansia, buku batik besar 5 buah dan alat tulis lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan posyandu. Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Mahardika : jumlah kader 12 orang yang terwakili dari seluruh RT 9 RT yang ada di RW 09 Desa Kalisidi. Kader telah diberikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit yang sering terjadi pada lansia. Pendidikan kesehatan yang dilakukan kepada 12 kader adalah penyakit hipertensi, penyakit reumatik, penyakit diabetes melitus. Terjadi peningkatan pengetahuan pada kader mengenai penyakit hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Tabel 1. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Hipertensi di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 84,61 Faktor resiko 69,23 84,61 Tanda dan gejala 23,07 84,61 Dampak 15,38 46,15 Tindakan psikologis 38,46 61,53 Tabel 1 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian, faktor resiko serta danda dan gejala penyakit hipertensi sebanyak 84,61. Tabel 2. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Reumatik di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian 69,23 84,61 Tanda dan gejala 46,15 76,92 Pengaturan diet 30,76 76,92 Jenis makanan 30,76 69,23 Jenis herbal 15,38 76,92 Tabel 2 menunjukkan bahwa mampu memahami tentang pengertian penyakit reumatik sebanyak 84,61. Tabel 3. Prosentase Pengetahuan kader tentang Penyakit Diabetes Melitus di RW 09 Kelurahan Kalisidi Items Pre Test Post Test Pengertian 23,07 92,3 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 206 Tanda dan gejala 30,76 84,61 Jenis diabetes 30,76 76,92 Dampak diabetes 30,76 76,92 Langkah preventif 53,84 92,3 Tabel 3 menunjukkan bahwa kader mampu memahami tentang pengertian dan langkah preventif penyakit diabetes melitus sebanyak 92,3. Pembahasan Terbentuknya posyandu lansia Posyandu lansia dibentuk di dua tempat yaitu posyandu lansia Mahardika dan Melati. Keberhasilan pengabdian terjadi karena adanya dukungan dari kelurahan setempat dan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah proses kegiatan sosial dalam meningkatkan partisipasi orang, organisasi dan masyarakat terhadap tujuan individu dan masyarakat, pengaruh politik, peningkatan kualitas hidup masyarakat dan keadilan sosial Wallerstein,1992 dalam Helvie,1998. Hubungan saling percaya dapat terbina dengan kelurahan dan jajarannya merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan posyandu lansia ini. Koordinasi dengan ketua FKK Forum Kesehatan Keluarga tidak mengalami hambatan. Koordinasi dan komunikasi dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan gambaran posyandu lansia, tujuan, ruang lingkup, sasaran, sarana dan prasarana serta perlunya keterlibatan kader sebagai penggerak memandirikan lansia. Pos Pelayanan Terpadu Posyandu Lanjut Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat LSM, lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif. Eng dan Parker 1994 dalam Helvie 1998 menyebutkan 2 dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh masyarakat atau calon kader adalah kemampuan komunikasi dan artikulasi dalam memberikan support sosial kepada masyarakat. Interaksi merupakan suatu proses persepsi dan komunikasi antara individu dengan lingkungan dan antara individu yang satu dengan individu yang lain, diwujudkan dengan perilaku verbal dan diarahkan untuk mencapai tujuan. Setiap individu yang berinteraksi dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dalam pengetahuan, tujuan, pengalaman terdahulu dan persepsi King dalam Tomey, A.M. Alligod, M.R. 2006. Pengetahuan tentang posyandu dan masalah kesehatan lansia Pengetahuan kader di RW 01 Kelurahan Tembalang tentang penyakit hipertensi mengalami peningkatan : pengertian 53,85, faktor resiko 7,09, tanda dan gejala 38,46, dampak 12,31, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,08. Pengetahuan tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38, tanda dan gejala 7,7, pengaturan makanan 38,44, Jenis makanan yang dianjurkan 9,77, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54. pengetahuan kader tentang penyakit diabetes melitus mengalami peningkatan : pengertian 69,23, tanda dan gejala 69,23, jenis diabetes meiltus 38,46, komplikasi 30,77, serta cara pencegahan diabetes 30,77. Pengetahuan kader di RW 09 Kelurahan Kalisidi tentang penyakit hipertensi mengalami peningkatan : pengertian 61,54, faktor resiko 15,38, tanda dan gejala 61,54, dampak Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 207 30,77, serta tindakan psikologis yang dilakukan pada hipertensi mencapai 23,07. Pengetahuan kader tentang penyakit reumatik mengalami peningkatan : pengertian 15,38, tanda dan gejala 30,77, pengaturan makanan 46,16, Jenis makanan yang dianjurkan 38,47, serta jenis herbal dalam mengatasi reumatik 61,54. Pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh Tim pengabdian kepada kader telah berhasil sehingga kader memperoleh pengetahuan yang baru tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia. Pengetahuan menurut WHO adalah suatu pengalaman yang didapatkan oleh seseorang dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain Mubarok,W.I., 2009. Tingkat pengetahuan yang telah dicapai oleh kader adalah tahap tahu, memahami, penerapan, analisis, sintesis sampai dengan evaluasi. Pendidikan kesehatan ini bertujuan agar kader mempunyai kompetensi dalam menghadapi masalah-masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia, seperti masalah hipertensi, reumatik dan diabetes melitus. Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dalam perubahan perilaku seseorang. Pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan kepercayaan diri merupakan faktor prediposisi yang mempengaruhi perilaku Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000. Keterampilan tentang penggunaan alat pemeriksaan kesehatan Tim pengabdian terlebih dahulu mengenalkan satu persatu alat yang akan digunakan dan fungsi dari masing-masing alat tersebut.Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pemeriksaan juga diterangkan sampai kader siap melakukan demonstrasi mandiri. Pelatihan terhadap kader mengenai cara melakukan pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat dan kolesterol adalah sesuatu yang baru bagi kader. Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya sehingga kader bersemangat dan antusias untuk mengikuti pelatihandemonstrasi yang menunjang terhadap implementasi posyandu lansia ini. Perilaku kader mengalami readiness to change , dimana kesediaan untuk berubah dapat dilihat jika ada suatu inovasi atau program kesehatan di dalam masyarakat. Sebagain kader ada yang menerima inovasi dengan cepat dan sebagian kader lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Kader telah melalui tahapan perilaku terjadi secara berurutan, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan akan berubah menjadi sikap dan sikap akan menjadi sebuah tindakan. Tim pengabdian melakukan evaluasi terhadap praktek yang dilakukan kader, sehingga jika hasil dari praktek tersebut kurang tepat, maka latihan dilakukan berulang-ulang samapai kader mampu melakukan praktek sendiri dan mampu melakukan pemeriksaan dengan tepat secara langsung pada lansia saat kegiatan posyandu lansia. Alat pemeriksaan tekanan darah menggunakan stetoskop teaching , sehingga saat dilakukan demontrasi, tim pengabdian juga mengetahui secara akurat sejauhmana kemampuan latihan kader. Terbentuknya kepengurusan posyandu lansia Kepengurusan kader dilakukan dengan menggunakan gerakan pemberdayaan empowerment masyarakat. Gerakan pemberdayaan masyarakat adalah gerakan dari, oleh dan untuk mengenali dan mengatasi masalah kesehatan serta memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan yang dilakukan dalam hal ini adalah pemberdayaan perempuan yang menjadi kader posyandu lansia. Kepengurusan posyandu lansia dibina oleh Lurah dengan penanggung jawab Ketua RW. Proses pembentukan tidak mengalami hambatan karena kader mempunyai kesediaan untuk berubah ke arah yang lebih baik, sehingga pesan yang disampaikan oleh tim pengabdian kepada kader diterima secara utuh. Komunikasi dapat dilakukan dua arah antara kader dengan tim. Komunikasi adalah penyampaian pesan dari seseorang kepada Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 208 orang lain melalui media agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh sasaran sesuai dengan yang dimaksud oleh pengirim pesan Sudiharto, 2007. Tersusunnya program posyandu lansia Program posyandu lansia yang telah tersusun merupakan hasil dari pemberdayaan sumber daya manusia khususnya kader. Kader memfasilitasi kegiatan lansia yang disusun dalam program posyandu lansia. Kader dalam hal ini merencanakan, memutuskan dan mengelola tim 12 kader setiap keluhan melalui collective action dan networking sehingga lansia memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi dan sosial. Program posyandu lansia tersusun berdasarkan identifikasi data selama proses pengabdian. Identifikasi dilakukan oleh kader dan diarahkan sesuai dengan data fokus lansia dengan menggunakan teknik fishbonding. Fisbonding merupakan teknik identifikasi masalah yang cepat dan merupakan metode yang mudah digunakan Ervin, N.E., 2002 Peningkatan kesehatan dan kemandirian lansia Kesehatan dan kemandirian lansia di Rw 01 dan RW 09 dmeningkat dengan adanya kunjungan lansia ke posyandu. Pendekatan yang dilakukan Tim pengabdian sebagai perawat komunitas adalah pendekatan pelayanan kesehatan, merupakan pendekatan yang dilakukan oleh perawat untuk menggerakkan masyarakat berperan aktif dalam pelayanan berdasarkan modifikasi perilaku tak sehat. Pendekatan kedua adalah pengembangan komunitas, yaitu melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan kesehatan Rifkin, 1986 dalam Anderson McFarlane, 2001. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan medis dengan cara koordinasi dan kolaborasi dengan pihak puskesmas Rowosari. Rencana tindak lanjut dengan Pihak Puskesmas adalah keberlangsungan posyandu lansia setiap bulannya yang disepakati setiap tanggal 15 akan dilaksanakan kegiatan posyandu lansia. Monitoring kegiatan akan dilakukan oleh Puskesmas dan pemantauan dari pihak Kelurahan juga dilakukan sebagai reward atas keberhasilan kader dalam melaksanakan program posyandu lansia. Reward merupakan faktor reinforcing yang mempengaruhi perilaku Green, L.W, Kreuter, M.W, 2000. Kesimpulan Pelaksanaan “IbM Posyandu Lansia” pada bulan ketujuh telah mencapai 100 dari target luaran secara keseluruhan. Posyandu Lansia telah terbentuk di kelurahan Tembalang bernama posyandu lansia “Melati” dan di kelurahan Kalisidi bernama posyandu lansia “Mahardika”. Posyandu memiliki kepengurusan dengan pembina dari Lurah, penanggung jawab Ketua RW dan jumlah keseluruhan kader 24 orang . Pengurus telah memiliki rencana program kedepan bagi kegiatan lansia dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemandirian lansia. Daftar Pustaka Anderson McFarlane. 2001.Community as Partner Theory and Practice in Nursing. Lippincott Williams Wilkins. Philadelpia Ervin, N.E. 2002. Advanced Community Health Nursing Practice.Population Focuced- Care . Michigan.Frentice Hall Green, L.W, Kreuter, M.W. 2000. Health Promotion Planning an Educational and Environmental Approach., second edition . Toronto. Mayfield Publishing Company Helvie, Carl O. 1998. Advanced Practice Nursing in The Community. Sage Publications Thousand Oaks.London Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 209 Mubarok, W.I, dkk 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta.Salemba Medika. Sudiharto 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Hal 45-47. Jakarta. EGC. Tomey, A.M. Alligod, M.R. 2006. Nursing Theories and Their Work s . Sixt Ed. St.Louis; Mosby Elsevier Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 210 STUDI LITERATURE : EFEKTIVITAS PSIKOEDUKASI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PASIEN DIABETES MELLITUS Wachidah Yuniartika Mahasiswa Magister Keperawatan Undip Peminatan Komunitas Email: Wachidah.yuniargmail.com Abstrak Pendahuluan. Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan penanganan mandiri seumur hidup. Diet, aktivitas fisik dan stress fisik dapat mengakibatkan depresi sehingga berakibat juga kualitas hidup menurun, karena itu pasien kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Tujuan. untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Metode. Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun 2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata kunci pencarian nursing. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, menggunakan Intervensi psikoedukasi, outcome yang diukur : ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus. Hasil. Sesuai criteria dan metode didapatkan 7 jurnal yang bisa dilakukan dalam studi ini. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan kadar glukosa darah pasien diabetes Mellitus mashudi, intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi pascasalin Yafeti, psikoedukasi SWEEP lebih efektif dari daripada UC untuk mengobati wanita depresi dengan diabetes tipe 2 Sue M, et al, pelatihan kognitif dikombinasikan dengan intervensi psikoedukasi pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan peningkatan pengetahuan tentang diabetes mellitus De’bora, et al, pasien dengan terapi psikoedukasi kelompok lebih baik dibandingkan kelompok pendidikan diabetes konvensional dalam mencapai tujuan pengendalian diabetes, program ini efisien pada pasien diabetes dalam perawatan primer Miguel et al, psikoedukasi efektif dalam penanganan jangka panjang dan pendek untuk pasien depresi ringan, tetapi untuk pasien depresi sedang efektif dalam jangka pendek Rocio et al. Kesimpulan. Semua studi melaporkan efektivitas intervensi psikoedukasi dalam hal mengurangi depresi dan pengendalian diabetes. Kata Kunci : Psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus Pendahuluan Diabetes adalah penyakit kronis yang mempengaruhi sekitar 346 juta orang di seluruh dunia, 1 dengan tambahan 7 juta orang terkena diabetes setiap tahun. Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Hasil penelitian dari International Diabetes Federation 2005 menunjukkan prevalensinya 60 penderita diabetes mellitus mengalami depresi dan juga menunjukkan 15 penderita diabetes mellitus mengalami depresi sedang. Menurut penelitian penckofer,et al, prevalensi depresi di antara pasien dengan diabetes tipe 2 adalah 9,8, 5,2 untuk laki-laki dan 15,1 untuk perempuan. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 211 Studi menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes yang tinggal di negara-negara berkembang memiliki prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan. Masalah Ekonomi yang berat dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan, terutama depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat, sehingga pasien mengalami kesulitan dalam mengatur kadar glukosa darah mereka. 1 Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengalami dampak psikososial yang dialami pasien adalah psikoedukasi. Sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang ia alami, meningkatkan pertisipasi pasien dalam terapi, dan pengembangan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut. 2 Tujuan Tujuan dari literature review ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Metoda Pencarian menggunakan database elektronik: EBSCO Host. Pencarian terbatas dari tahun 2009 sampai 2015 dalam bentuk full text. Istilah pencarian meliputi kata kunci sebagai berikut psikoedukasi, depresi, diabetes mellitus, kualitas hidup. Indonesian Publication Index dengan kata kunci pencarian nursing, diabetes mellitus, psikoedukasi. a. Kriteria Inklusi : Responden berusia minimal 18 tahun, Menggunakan Intervensi psikoedukasi, b. Kriteria Eksklusi: tidak secara khusus melaporkan diabetes atau depresi, tidak melaporkan intervensi psikoedukasi c. outcome yang diukur : Ada efek psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau diabetes mellitus. d. Penilaian Kualitas: pedoman untuk melakukan penilaian kritis dalam literature review ini melibatkan proses lima langkah secara berurutan: Pemahaman: Membaca melalui artikel untuk memahami ide-ide kunci dan konten. Perbandingan: membaca setiap artikel yang dipilih untuk memahami masalah penelitian, tujuan, desain, ukuran sampel, prosedur pengumpulan data dan temuan kunci. Analisis: memeriksa dan menghubungkan dengan review ini sesuai tujuan dan kriteria inklusieksklusi. Evaluasi: menentukan arti, makna, dan validitas dengan memeriksa jurnal antara proses studi, dan temuan. Hasil Sebanyak 20 abstrak diidentifikasi sebagai potensi masuknya review. Setelah duplikat abstrak dihapus dan diperiksa sesuai kriteria inklusi, 10 abstrak yang diidentifikasi relevan tetapi tidak cocok semua kriteria inklusi dan 7 yang memenuhi kriteria inklusi. Sebuah studi tambahan diidentifikasi selama proses review . Gambaran dari 7 studi secara rinci ditampilkan dalam Tabel 1 dibawah ini: Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 212 Tabel 1. Ringkasan dari pemilihan artikel Penulis dan tahun Negara Sampel Intervensi psikoedukasi Outcame yang diukur Depresi DM Mashudi 2012 Indonesia 15 kontrol 15 perlakuan Progressive muscle relaxation √ Yafeti Nazara 2009 Indonesia 40 perlakuan 45 kontrol Media booklet √ Penckofer sue, et al 2012 USA 38 SWEEP 36 UC biasa SWEEP Wo e ’s E otio s a d Evaluation of a Psycoeducational √ √ Debora Lee Monica 2012 Brazil 19 Perlakuan EG 15 kontrol CG Pelatihan kognitif dan program pendidikan pd orang tua √ Mirjana P, et al 2015 Croatia 209 perlakuan 6 sesi mingguan dibagi dlm. Psikoedukasi A, Latihan Fisik B Perawatan Biasa C √ √ Miguel angel, et al 2013 Spain 72 DM tipe 2 Psikoedukasi terapi kelompok √ Rocio Casanas, et al 2012 Spain 119 intervensi 112 kontrol Psikoedukasi yang meliputi perawatan diri dan gaya hidup sehat diet,latihan fisik,tidur √ Tabel 2. Rincian Metodologis studi Literature: efektifitas intervensi psikoedukasi terhadap depresi pasien diabetes mellitus. Penulis dan tahun Judul Artikel Desain penelitian Tujuan dan metode Hasil Mashudi 2012 Pengaruh PMR terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 di RSUD Jambi. kuasi eksperimen dengan pre and post with control group, Teridentifikasikannya pengaruh progressive muscle relaxationPMR terhadap penurunan kadar glukosa darah KGD pada pasien diabetes melitus tipe 2 DMT2 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secara signifikan dalam menurunkan KGD pasien DMT2 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama menderita DMT2 tidak mempunyai hubungan dengan rata-rata penurunan kadar glukosa darah setelah intervensi. Yafeti Nazara 2009 Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin penelitian di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara kuasi eksperimental dengan post test only design untuk menilai efektivitas intervensi psikoedukasi yang diberikan kepada ibu-ibu postpartum dalam pencegahan terjadinya depresi. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli dan di lima Puskesmas yang diambil secara random di Kab. Nias pada bulan Mei - Juli Dari hasil penelitian didapatkan bahwa intervensi psikoedukasi secara signifikan p= 0,001, Odds Ratio OR : 5,924 95 CI : 2,081-16,868 efektif mencegah terjadinya depresi pascasalin. Faktor dominan yang berpengaruh pada efektivitas intervensi psikoedukasi adalah Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 213 2006. Sampel adalah ibu yang melahirkan normal di Rumah Sakit dan di Puskesmas, didampingi suami, ibu dan bayi dalam kondisi sehat tanpa komplikasi sebanyak 85 orang. Instrumen yang digunakan untuk mengukur depresi adalah kuesioner Edinburg Postpartum Depression Scale EPDS. dukungan keluarga nilai p =0,001, OR : 80 95 CI : 6,069- 1054,570. Penckofer sue, et al 2012 A Psychoeducational Intervention SWEEP for Depressed Women with Diabetes. Secara random, desain eksperimen menggunakan kelompok control dan kelompok intervensi. Tujuan Untuk mengetahui efektivitas Studi Emosi perempuan dan Evaluasi dari PSYCHOEDUCATIONAL SWEEP, terapi kelompok untuk pengobatan depresi berdasarkan prinsip terapi perilaku kognitif yang dikembangkan untuk wanita dengan diabetes tipe 2. Wanita dengan gejala depresi meningkat secara signifikan Pusat Studi Epidemiologi dg Depresi Skala ≥16 metode SWEEP dengan random n=38, dan metode biasa UC n=36 Model multilevel menunjukkan bahwa SWEEP adalah lebih efektif daripada UC dalam mengurangi depresi perbedaan berarti -15 vs -7, p 0,01, penurunan sifat kecemasan perbedaan berarti -15 vs -5, p 0,01, dan meningkatkan ekspresi kemarahan perbedaan berarti -12 vs -5, p 0,05. Meskipun SWEEP dan UC memiliki perbaikan dalam glukosa puasa perbedaan berarti -24 vs -1 mg dl dan HbA1c perbedaan berarti -0,4 vs - 0.1, tidak ada statistik perbedaan yang signifikan antara kelompok. Debora Lee Monica 2012 Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to Psychoeducational Intervention Desain eksperimen menggunakan kelompok perlakuan EG dan kelompok control CG Bertujuan untuk menilai efek dari pelatihan kognitif delapan sesi dan program pendidikan pada orang tua diabetes dan mengetahui perubahan kesadaran mereka tentang aspek-aspek tertentu dari diabetes. Protokol pertanyaan klinis dan sosiodemografi: dengan menggunakan instrument ATT-19; DKN-A; MMSE; GDS; SKT; dan RBMT Hasil menunjuk perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk ATT-19, DKN, dan memori SKT- dan SKT-total, dan perbedaan sedikit signifikan bagi sejarah RBMT di posttest. Adapun variabel kognitif yang tersisa, tidak ada perubahan yang diamati. Efek tes ulang tidak diamati dalam CG. Kami menyimpulkan bahwa pelatihan kognitif dikombinasikan dengan intervensi psychoeducational pada lanjut usia dengan diabetes efektif dalam menghasilkan keuntungan kognitif serta sikap dan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 214 peningkatan pengetahuan tentang diabetes mellitus. Mirjana P, et al 2015 Does treatment of subsyndromal depression improve depression-related and diabetes-related outcomes? A randomised controlled comparison of psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual. Dewasa pasien diabetes tipe 2 yang positif mengalami depresi dan menyatakan kebutuhan untuk bantuan profesional dengan masalah hati yang memenuhi syarat. Kriteria adalah depresi klinis, saat ini perawatan psikiatris dan komplikasi diabetes. Dari 365 pasien yang memenuhi syarat 209 yang bisa dilakukan intervensi selama 6 sesi.psikoedukasi A dan latihan fisik B, atau untuk meningkatkan perawatan seperti biasa C. Pengacakan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.gejala depresi hasil primer dan diabetes, perawatan diri diabetes, kontrol metabolik dan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupanhasil sekunder dianalisis pada 6 bulan dan 12 bulan follow-up. Menggunakan uji statistic ANOVA. Pasien yang diacak ke dalam kelompok A 74, 66 B dan 69 ke dalam kelompok C, 203 menyelesaikan intervensi, dan 179 pasien dengan semua 3 penilaian dianalisis. Gejala depresi peserta dari psychoeducational, latihan fisik dan ditingkatkan perawatan sebagai kelompok biasa membaik sama dari waktu 12 bulan follow-up waktu terhadap waktu efek x kelompok; seperti yang dilakukan diabetes dan kualitas hidup, perawatan diri diabetes, trigliserida, dan kolesterol total dan LDL- kolesterol. Intervensi yang digunakan memiliki efek positif setelah dilakukan intervensi 12-bulan psikologis dan hasil terkait diabetes menunjukkan bahwa intervensi minimal menangani pasien diabetes terkait masalah klinis yang menguntungkan dan cukup untuk mengobati subsyndromal depresi. Miguel angel, et al 2013 Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care setting. Studi kuasi- eksperimental pra pasca- intervensi dengan kelompok kontrol non-ekuivalen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dampak dari intervensi kelompok psychoeducational pada diabetes menggunakan hemoglobin glikosilasi HbAlc, indeks massa tubuh BMI dan risiko kardiovaskular faktor CVRF dibandingkan dengan cara pendidikan konvensional. kelompok psychoeducational terapi dalam kelompok studi PGT dibandingkan dengan pendidikan diabetes konvensional di kelompok kontrol CG. Pasien PGT mencapai signifikan peningkatan HbAlC, BMI dan CVRF, dibandingkan kelompok pendidikan diabetes konvensional dlm mencapai tujuan pengendalian diabetes yang optimal. struktur perubahan dalam program ini adalah terapi yang lebih efisien untuk pendidikan diabetes dalam perawatan primer. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 215 Rocio Casanas, et al 2012 Effectiveness of a psychoeducational group program for major depression in primary care: a randomized controlled Studi percobaan acak terkontrol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas program psychoeducational, yang meliputi aspek perawatan pribadi dan gaya hidup sehat, pada pasien dengan gejala depresi ringansedang dalam Perawatan Primer PC. sampel 246 responden berusia lebih dari 20 tahun yang diukur melalui perawat dokter umum primary care PCCs di 12 Pusat perkotaan Barcelona. kelompok intervensi IG n = 119 menerima program psychoeducational 12 minggu, sesi 1,5 jam dipimpin oleh dua perawat dan kelompok kontrol CG n = 112 menerima perawatan biasa. Pasien dinilai pada awal di 3, 6 dan 9 bulan. Ukuran hasil utama adalah BDI, EQ-5D dan remisi berdasarkan BDI. 231 pasien acak dimasukkan, di antaranya 85 memiliki depresi ringan dan 146 depresi sedang. Analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok dalam kaitannya dengan tanda gejala, terutama di Kelompok depresi ringan dengan tingkat tinggi 57 p = 0,009 dan 65 p = 0,006 pada pasca perawatan pada 9 bulan follow up, dan hanya menunjukkan perbedaan yang signifikan pada BDI di pasca perawatan dan pada 6 dan 9 bulan tindak lanjut p = 0,048; d = 44.. Dalam sampel secara keseluruhan, analisis hanya menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok pada BDI di pasca perawatan, masing- masing. Kelompok psikoedukasi meningkat secara signifikan pada EQ-5D di jangka pendek dan panjang. Intervensi psychoeducational ini adalah pengobatan yang efektif jangka pendek dan panjang untuk pasien dengan gejala depresi ringan. Ini menghasilkan hasil signifikan, dianjurkan dalam PC dan dapat dilakukan oleh perawat dengan pelatihan sebelumnya. Pada pasien yang depresi sedang, kelompok psychoeducation efektif dalam jangka pendek. Pembahasan Kami mengidentifikasi tujuh artikel kuantitatif studi yang meneliti tentang intervensi psikoedukasi untuk mengurangi depresi atau terkait Diabetes Mellitus. studi menemukan bahwa intervensi psikoedukasi efektif dalam mencegah dan mengurangi depresi walaupun dalam studi tersebut dijelaskan model intervensinya dilakukan berbeda-beda. Intervensi psikoedukasi efektif secara bermakna mencegah terjadinya depresi dengan cara dukungan keluarga Yafeti, 2009, terapi kelompok dengan prinsip terapi perilaku kognitif dalam pengembangannya Penckofer, et al, 2012, dibuat dalam 6 sesi kegiatan dimana dalam tindakan psikoedukasi tersebut dimasukkan juga tindakan dalam perawatan diri diabetes, kontrol metabolic dan kualitas kesehatan yag berhubungan dengan kehidupan, kegiatan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 216 dianalisis pada 6 bulan dan follow-up 12 bulan mirjana, 2015. Pasien dengan depresi ringan psikoedukasi efektif untuk pengobatan jangka pendek dan panjang, tetapi jika pasien depresi sedang pengobatan efektif untuk jangka pendek saja Rocio, et al, 2012. Pasien dengan penyakit kronis salah satunya Diabetes Mellitus dua kali mengalami gangguan kecemasan dan depresi dari seluruh populasi. Studi terbaru telah menunjukkan bahwa secara umum kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi untuk pengembangan kecemasan dan depresi. 3 Untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita Diabetes Mellitus tipe 2 bisa melakukan Progressive muscle relaxation PMR mashudi, 2012, pelatihan kognitif dan program pendidikan diabetes khususnya pada pasien lanjut usia Debora,et al, 2012. cara mengontrol Diabetes Mellitus tipe 2 dengan intervensi psikoedukasi kelompok dan pengukuran kadar glukosa, berat badan dan pemeriksaan faktor resiko kardiovaskuler Miguel, et al, 2013 Kesimpulan Berdasarkan hasil review dari tujuh artikel dapat disimpulkan bahwa Intervensi psikoedukasi efektif dalam menurunkan depresi pada pasien dengan Diabetes Mellitus. Daftar Pustaka Bordbar, Mohammad. Faridhosseini, Farhad. 2010. Psychoeducation for Bipolar Mood Disorder . Jurnal: Clinical, Research, Treatment Approaches to Affective Disorders . Casanas Rocio, et,al, 2012, Effectiveness of a psycho-educational group program for major depression in primary care: a randomized controlled trial . Research Article, BMC Psychiatry. Debora lee, et al, 2012, Elderly Individuals with Diabetes: Adding Cognitive Training to Psychoeducational Intervention , educational gerontology. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013 Maria Augusta,et al,2014, Anxiety disorders are associated with quality of life impairment in patients with insulin-dependent type 2 diabetes: a case-control study, Revista Brasileira de Psiquiatria. Original Article Mashudi, 2012, Pengaruh Progressive muscle relaxation terhadap kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi, jurnal health sport volume 5. Miguel, et al, 2012, Psychoeducative groups help control type 2 diabetes in a primary care setting. Original Article, Nutricion Hospitalaria. Mirjana, et,al, 2015, Does treatment of subsyndromal depression improve depression related and diabetes-related outcomes? A randomized controlled comparison of psychoeducation, physical exercise and enhanced treatment as usual. Research, Trials. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN“ Semarang, 7 November 2015 217 Penckofer Sue M, et,al, 2012, A Psychoeducational Intervention SWEEP for Depressed Women with Diabetes. Original Article, The Society of Behavioral Medicine. Yafeti, 2009, Efektivitas psikoedukasi terhadap pencegahan depresi pascasalin penelitian di pelayanan kesehatan Kabupaten Nias, Sumatera Utara, jurnal Obstetric Indonesia volume 33. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 218 PROFESI DOULA DALAM PENDAMPINGAN PERSALINAN DENGAN NILAI-NILAI ISLAMI Diah Indriastuti Mahasiswa Magister Keperawatan Konsentrasi Komunitas UNDIP, Email: Diahindri.Syauqiyagmail.com Abstrak Pendahuluan. Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum. Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan. Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus menerus. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami.. Metoda. Literatur review disusun menggunakan metode campuran, yang mengintegrasikan temuan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif. 3 artikel digunakan dengan komposisi 1 junarl systematic review dan 2 artikel penelitian Qualitatif. Hasil. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinya dan mengurangi kejadian post partum depresi. Keperawatan dalam Islam memiliki sifat kesucian terkait dengan ibadah, kemurahan hati dan mendahulukan orang lain, tanggungjawab dan komitmen social, mengutamakan kebajikkan. Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikian. Pembahasan. Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan pendampingan secara terus menerus, doula memberikan dukungan secara bermakna pada ibu. Keperawatan menurut budaya islam membimbing seseorang untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri mereka sendiri. Kesimpulan. Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan konsep Islami. Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 219 Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian Islam. Kata Kunci : doula, islami, kehamilan, kelahiran, keperawatan, pendampingan. Pendahuluan Kelahiran adalah proses yang kompleks, timbal balik dan terintegrasi dengan sosiokultural Fulton, 1999. Asal kata doula adalah dari bahasa Yunani yang berpengalaman dan melalui pelatihan sebelumnya sebagai seorang pendamping persalinan. Doula memberikan dukungan terus menerus kepada ibu hamil dan pasangannya secara fisik, emosi, social, serta pemberian informasi selama kehamilan hingga persalinan Indriastuti Namuwali, 2015. Tugas doula adalah merawat dan menemani ibu hamil.Arnold, 2001 Doula menjalankan tugasnya secara holistic, biological, psychological, social, cultural, dan spiritual selama masa kehamilan dan persalinan Doula berperan dalam proses caring untuk ibu selama awal kehamilan hingga masa peralihan menjadi seorang ibu, mendidik ibu, pasangan serta keluarga untuk persiapan persalinan dan menyusui. Doula terdiri dari prenatal doula, doula intrapartum dan doula post partum Arat, 2013. Peran doula terdiri dari : a. Menyediakan dukungan emosional yang berkelanjutan, seperti berbicara dengan ibu dan memberikan dukungan dengan tetap menjaga kontak mata b. Memberikan informasi pada ibu mengenai kemajuan persalinan dan menjelaskan kemungkinan intervensi medis yang perlu dilakukan c. Membantu ibu mendapatkan posisi bersalin yang baik, ibu mendapatkan kenyamanan dan kemajuan persalinan terfasilitasi d. Komunikasi terus menerus dengan ibu baik verbal maupun nonverbal untuk meyakinkan ibu bahwa dia tidak sendirian. e. Memfasilitasi ibu untuk melakukan kontak skin to skin dengan bayinya segera setelah lahir dan berusaha melakukan IMDFulton, 1999 Dalam Islam, ucapan Nabi SAW merupakan hadis yang menekankan pada pekerjaan merawat dan melayani pasien. Tinjauan dalam Al Qur’an mengenai caring adalah perawatan dari istri Nabi ayub yang menderita penyakit kulit sehingga penampilannya buruk dan berbau. Pada kisah Mariam dan Zakaria terlihat perawatan orang tua kepada seorang anak. Nabi Yusuf memperlihatkan caring pada para tahanan dengan memenuhi kebutuhan mereka. Kewajiban seorang ibu yang diatur dalam Al Qur’an adalah caring pada anak selama masa pengasuhanSadat, Hoseini, Alhani, 2013. Konsep islam berkaitan dengan konsep caring pada proses keperawatan dan pemenuhan kebutuhan. a. Caring dianggap sebagai sebuah symbol dalam Islam, bahwa caring bukan hanya untuk manusia tetapi untuk semua makhluk. Kepedulian caring Islami adalah sebuah bentuk pelayanan pada TuhanAlimohammadi et al., 2013. Caring dalam Islam berarti keinginan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 220 untuk bertanggung jawab, sensitif, memotivasi dan berkomitmen untuk bertindak benar demi kesempurnaanRassool, 2000. b. Pemenuhan kebutuhan Definisi dalam Islam mengenai pemenuhan kebutuhan pasien adalah “siapa pun yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan pasien akan diberikan hadiah pengampunan untuk semuanya dosanya bahkan jika kebutuhan tidak terpenuhiAlimohammadi et al., 2013. Doula memiliki konsep caring yang selaras dengan konsep caring dalam Islam. Keduanya berfokus pada perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan seorang pasien secara terus menerus. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji Profesi Doula Dalam Pendampingan Persalinan Dengan Nilai-Nilai Islami. Metoda Design penelitian yang digunakan adalah sistematik review mix metode atau metode campuran. Artikel dipilih berdasarkan criteria inklusi sebagai berikut : a. Profesi Doula b. Konsep perawatan kesehatan dalam Islam. c. Caring Kriteria eksklusinya adalah artikel yang tidak membahas mengenai doula dan konsep perawatan kesehatan dalam Islam. CASP yang digunakan adalah Evaluative Tool for Mixed Method Studies USIR, 2005. Penelusuran dilakukan melalui EBSCO, Proquest dan Google search dengan keyword, doula, Islamic dan konsep. Boolean operator yang digunakan adalah “ And ” agar pencarian data lebih fokus. Ekstraksi data, adalah mengelompokkan data menurut variabel yang ingin dikaji. Data sinthesis dilaksanakan untuk melihat konsep doula dama pandangan Islam. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 221 Table 1. ekstraksi Data Peneliti Design Sample subject Intervensi Hasil Diah indriastuti, et al. 2015 RCT Systematic review Data dikumpulkan dari 3 artikel jurnal yang menunjukkan manfaat peran doula memberikan konseling non medis pada satu kelompok dan membandingkan pada kelompok lain yang tidak menerima konseling. Para peserta menunjukkan peningkatan persepsi ibu yang positif baik untuk diri mereka sendiri tentang persalinan, kelahiran dan bayi mereka pengalaman memberikan ASI eksklusif dan inisiasi menyusui. Intervens imedis berkurang; dan depresi post partum menurun Fariba Thalegani et al. 2000 Analisis kritis literature Morse Kualitatif design Konseptual keperawatan berdasarkan pemikiran Islam Mengulas 4 pinsip filosofi dalam mengkaji, mengelompokkan dan mengecaluasi keilmuan kosep kerepawatan dalam pemikiran Islami Definisi dan deskripsi keperawatan dalam Islam jelas memfasilitasi dan dapat dipraktekkan secara operasional Akram Sadat et al. 2013 Analisis konsep Walker dan Avant Kualitatif design Konsep keperawatan melalui analisis sumber Islami Melakukan analisa konsep keperawatan menggunakan 8 tahapan dari Walker dan Avant Keperawatan dianggap mirip dengan pengasuhan ibu dan memilki sifat feminism. Namun dalam Islam digambarkan seorang perawat sebagai seseorang yang berusaha untuk memperbaiki keadaan pasien. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 222 Hasil Penelusuran artikel jurnal dilakukan melalui EBSCO didapatkan opsi sebanyak 358 artikel untuk Konsep keperawatan Islam, 227 artikel doula. 500.000 artikel didapatkan mengenai konsep keperawatan Islami dan 2,830 artikel doula hasil dari google search engine. Dari Proquest sebanyak 20 artikel keperawatan Islam dan 20 artikel doula. Pentapisan artikel untuk mendapatkan sesuai criteria inklusi dan 3 artikel tersebut adalah artikel yang paling sesuai dengan tujuan sustematic review tentang Profesi Doula dalam Pendampingan Persalinan dengan Nilai-Nilai Islami. a. Peran pendampingan persalinan oleh doula Dalam sistematik review mengenai keuntungan dukungan persalinan yang diberikan oleh doulaIndriastuti Namuwali, 2015, dijelaskan bahwa persalinan menjadi lebih mudah 28, mampu mengatasi persalinan dengan baik 37, memiliki pengalaman melahirkan yang menyenangkan 59Campbell, Scott, Klaus, Falk, 2007, dan mampu memberikan ASI dengan mudahCampbell et al., 2007. Selain itu terjadi penurunan intervensi obstetric secara signifikan. Penurunan penggunaan analgetik 36, penurunan penggunaan oksit osin 71, pengurangan penggunaan forcep 56 dan penurunan persalinan secara SC 52Campbell et al., 2007. Penurunan depresi pasca persalinan dengan pengukuran menggunakan EPDS menyebutkan bahawa ibu dengan dukungan doula memiliki resiko lebih rendah untuk mengalami depresi pasca persalinan. Pengkajian pada skor EPDS 13 depresi berat sebanyak 14,39 ibu dengan dukungan doula mengalami depresi sedangkan ibu tanpa pendampingan doula memiliki prevalensi lebih tingi yaitu 21,25 Lumley, Austin, Mitchell, 2004

b. Karakteristik dalam keperawatan Islami

Karakteristik atau sifat dalam keperawatan Islami memiliki sifat sebagai berikut : 1 Kesucian terkait dengan ibadah Dalam sudut pandang Islam, keperawatan adalah pekerjaan suci yang memiliki keterkatian dengan tingkatan ibadah tertinggi karena merujuk pada literatur Islam berupa Hadis Nabi SAW 2 Kemurahan hati dan mendahulukan orang lain Moral baik, kebajikan dan mengutamakan orang lain adalah wujud dari prinsip keadilan, karena individu yang adil tidak akan melanggar hak orang lain. Sementara orang yang murah hati dan mengutamakan orang lain bukan hanya akan menjaga hak orang lain tetapi juga memnganugerahkan miliknya untuk orang lain. 3 Tanggungjawab dan komitmen social Karunia ’ yang didapatkan oleh seseorang diharapkan dapat diabdikan dengan pelayanan kesehatan dan keperawatan. salah satu contohnya dalah dengan mendirikan lembaga kesehatan. 4 Mengutamakan kebajikkan Keperawatan memiliki simpati, kasih sayang, dan pada dasarnya pemberian pertolongan pada sesama. Menurut Al Qur’an, keperawatan adalah salah satu atribut dari belas kasih dan Allah mencintai orang yang bersifat demikianAlimohammadi et al., 2013. Implementasi nilai baik tersebut berada dalam Al Qur’an pada kisah nabi Yusuf yang merawat tahanan di penjara ketika dia dihukum karena difitnah telah melakukan zina dengan zulaikhah Qs Yusuf: 25. Dalam penjara, Yusuf dikenal sebagai orang yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 223 pemurah dan suka membantu . setelah yusuf meninggalkan penjara, dia masih memperhatikan para tahanan. Yusuf membersihkan penjara, meminta penjaga untuk memperbaiki kondisi penjara, merawat yang sakit dan menghibur mereka. Hasilnya penjara menjadi bersih, kondisi tahanan lebih baik, secara spiritual dan mental lebih tenang sehingga yusuf mendapatkan kepercayaan dan penghormatan dari mereka Sadat et al., 2013. Dalam kisah nabi musa Qs Al-Qashah:7, ketika ibu nabi musa menghanyutkannya di sungai untuk keselamatannya dari Fir’aun. Kemudian, saat diasuh oleh istri Fri’aun, Musa tidak mau meminum susu dari ibu susu manapun. Ibu susu yang bisa menyusui Musa adalah ibu kandungnya sendiri. Hal ini menyebabkan pengasuhan dan perawatan anak pada Musa bayi ditangani langsung oleh ibunya sendiri. Pembahasan Seorang dalam masa kehamilan, persalinan hingga pasca bersalin membutuhkan pendampingan secara terus menerus. Pendampingan yang dibutuhkan memnbutuhkan perhatian penuh secara emosional, informatif, dukungan fisik dan bantuan untuk melakukan perawatan pada bayi untuk pertama kali Fulton, 1999. Keuntungan dari dukungan doula secara keseluruhan pada 1 artikel sistemati review mengenai manfaat dukungan doula baik saat kehamilan, persalinan dan pasca bersalin Indriastuti Namuwali, 2015. Doula mampu meminimalkan tindakan-tindakan merugikan selama proses perawatan di rumah sakit Kathryn D. Scoot, 1999, memberikan persepsi baik kepada ibu mengenai persalinan dan bayinyaCampbell et al., 2007 dan mengurangi kejadian post partum depresi Lumley et al., 2004. Keperawatan menurut budaya islam adalah membimbing seseorang untuk mencari solusi atas permasalahan kesehatan. Proses yang dilakukan mirip dengan proses pengasuhan ibu pada anaknya. Secara naluriah ibu mampu membantu orang lain belajar untuk memandirikan diri mereka sendiri, sebagaimana Musa diasuh oleh ibu kandungnya. Meski begitu seorang laki- laki seperti Nabi Yusuf juga mampu untuk berperan dalam keperawatan yang memiliki sifat feminism keibuan. Kemampuan Yusuf ini berkat kemurahan hati dan sikapnya yang suka membantu orang lain serta kemampuannya memberikan perawatan dalam semua aspek kehidupan. Dukungan yang diberikan oleh doula memiliki nilai-nilai moral baik yang sesuai dengan kajian Islam, Kemurahan hati , altruism, tanggungjawab, komitmen social, simpati, kasih sayang, dan memberikan pertolongan pada sesama. Alimohammadi et al., 2013. Kesimpulan Dukungan doula telah memiliki Evidence Base yang signifikan. Praktek doula yang professional akan memberikan kotribusi besar dalam kesehatan ibu dan anak. Sementara dalam konsep Islami, doula dapat memiliki tempat yang sama dalam perawatan kesehatan sesuai tuntunan Islami. Kesejahteraan ibu dan anak terutama keluarga muslim pada masa awal kehamilan sampai persalinan dapat dibantu dengan dukungan dari doula yang menerapkan konsep Islami. Pendekatan secara spiritual keagamaan memiliki cakupan yang menyeluruh. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 224 Literatur yang dijumpai pada penelitian adalah konsep mengenai manfaat dukungan doula dan konsep keperawatan Islami secara terpisah. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai profesi doula menurut perspektf kajian Islam. Daftar Pustaka Alimohammadi, N., Taleghani, F., Mohammadi, E., Akbarian, R. 2013. Nursing in Islamic thought: Reflection on application nursing metaparadigm concept: A philosophical inquiry. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research , 18 4, 272 –9. Retrieved from http:www.pubmedcentral.nih.govarticlerender.fcgi?artid=3872860tool=pmcentre zrendertype=abstract Arat, G. 2013. Doulas’ perceptions on single mothers risk and protective factors, and aspirations relative to child-birth. The Qualitative Report , 18 4, 1 –11. Campbell, D., Scott, K. D., Klaus, M. H., Falk, M. 2007. Female relatives or friends trained as labor doulas: Outcomes at 6 to 8 weeks postpartum. Birth , 34 3, 220 –227. doi:10.1111j.1523-536X.2007.00174.x Fulton, J. M. 1999. Doula Supported Childbirth : An Exploration of Maternal Sensitivity , Self-Efficacy , Responsivity , and Parental Attunement Diploma Mountainside Hospital School of Nursing 1976 Approved : Indriastuti, D., Namuwali, D. 2015. Beneficial effects of doula support on pregnancy. In Java International Conference . Kathryn D. Scoot. 1999. the obstetrical and post partum benefits of continuous support during childbirth. JOOURNAL OF WOMEN’S HEALTH GENDERBASED MEDICINE , 8 . Lumley, J., Austin, M.-P., Mitchell, C. 2004. Intervening to reduce depression after birth: a systematic review of the randomized trials. International Journal of Technology Assessment in Health Care , 20 2, 128 –144. doi:10.1017S0266462304000911 Rassool, G. H. 2000. The crescent and Islam: healing, nursing and the spiritual dimension. Some considerations towards an understanding of the Islamic perspectives on caring . Journal of Advanced Nursing , 32 6, 1476 –1484. doi:10.1046j.1365- 2648.2000.01614.x Sadat, A., Hoseini, S., Alhani, F. 2013. Sources : Seeking Remedy Search terms : Author contact :, 24 3. USIR. 2005. Evaluation Tool for “Mixed Methods” Study Designs The “mixed method” evaluation tool was developed from th e evaluation tools for “quantitative” and “qualitative” studies,. Policy . Salford, Greater Manchester: University of Salford Manchester. Retrieved from http:usir.salford.ac.uk13070 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 225 EFISIENSI BIAYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ASSERTIVE COMMUNITY TREATMENT PADA PASIEN DENGAN SKIZOFRENIA DI PUSKESMAS : LITERATURE REVIEW Diah Fitri Purwaningsih Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : diah_vitri85yahoo.co.id Abstrak Latar Belakang. Skizofrenia adalah penyakit kejiwaan yang sangat rentan untuk kambuh. Hal yang paling sering menyebabkan kekambuhan adalah kurangnya dukungan dari keluarga, masyarakat sekitar, dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia adalah dengan melakukan assertive community treatment dimana tim multidisiplin memberikan pelayanan secara komprehensif dan fleksibel dengan pelayanan diberikan di tempat tinggal pasien. Assertive community treatment dilakukan di masyarakat binaan dengan ratio paling banyak 1 perawat 10 pasien. Tujuan. meningkatkan efisiesi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia dengan melibatkan tim interdisiplin. Metodologi. Literature review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan Google search. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “Skizofrenia” and “ Assertive Community Treatment ” and “ Cost ”.Metodologi yang digunakan dalam publikasi ilmiah dengan metoda kuantitatif, kualitatif dan RCT dilakukan oleh perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat. Hasil. Hasil penelusuran literatur menunjukan bahwa keterlibatan tim interdisiplin dalam mengurangi kekambuhan pasien sangat besar. Assertive community treatment dapat menurukan biaya 4.529 rawat inap dan menurunkan 37 kekambuhan. Assertive community treatment dapat memberikan perawatan komprehensif pada perawatan rawat jalan. Assertive community treatment memiliki rata-rata biaya per-orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Kesimpulan. Dimana dengan menggunakan metode assertive community treatment tim interdisiplin dokter, psikiatri, perawat untuk memberikan dukungan pada pasien dalam minum obar secara rutin dan memberikan aktifitas positif pada pasien skizofrenia agar tetap dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lainnya. Kata Kunci. efesiensi biaya, assertive community treatment, skizofrenia Pendahuluan Kesehatan merupakan keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan WHO, 2001. Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial Stuart Laraia, 2005. Gangguan jiwa adalah penyakit non fisik, seyogianya kedudukannya setara dengan penyakit fisik lainnya. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 226 dalam arti ketidak mampuan serta invalisasi baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien. Didalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dari definisi tersebut juga tersirat bahwa “Kesehatan Jiwa” merupakan bagian yang tidak terpisahkan integr al dari “Kesehatan” dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. UU No 36 Tahun 2009 Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian splitting of personality. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi kemunduran fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability ketidakmampuan Maramis, 1994. Penderita Skizofrenia sering mengalami kekambuhan sehingga ia harus menjalani perawatan dan pengobatan yang berulang keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak faktor yang memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik, maupun faktor dari dalam individu itu sendiri. Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa, oleh karena itu pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. Bramesfeld et al., 2013. ACT dianggap sebagai salah satu pendekatan yang paling efektif untuk memberikan layanan untuk orang dengan penyakit mental parah dan persisten Rosenheck dan Neale 1998a, b; Latimer 1999; Phillips et al. 2001 Tujuan a. Tujuan umum Melakukan review efisiensi biaya dengan menggunakan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia. b. Tujuan khusus 1 Mengetahi peran tim interdisiplin dalam penanganan skizofrenia di masyarakat 2 Mengetahui pentingnya dukungan keluarga dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 227 3 Mengetahui pentingnya dukungan masyarakat dalam meningkatkan kemandirian pasien skizofrenia 4 Mengetahui pentingnya metode assertive community treatment dalam efisiensi biaya pada pasien skizotrenia. Metoda 1. Kriteria inklusi Kriteria inklusi : Kriteria inkkusi yaitu artikel dengan metoda penelitian kulaitatif, kuantitatif atau campuran pada tahun 2010-2015 dengan menggunakan bahasa ingris dan full teks. Pemilihan sampel pada artikel adalah perawat dan atau pasien dengan skizofrenia di masyarakat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan assertive community treatment. Dengan dampak yang ditimbulkan dari assertive community treatment adalah efisiensi biaya. 2. Strategi Pencarian Literatur Systematic review ini dilakukan dengan mengumpulkan hasil publikasi ilmiah dengan penelusuran EBSCO, ProQuest, PubMed, Google search, American Journal Of Nursing AJN. Penelusuran dengan metoda boleon, full teks, pdf, medeline dengan kata kunci “ assertive community treatment ” and “ cost ” and “skizofrenia”. Hasil Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan kuantitatif pada tiga jurnal yang dianalisis yang didapat dengan menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, BMC dan google search. 1. Kontribusi perawat dalam kesehatan jiwa di puskesmas Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Kualitas hidup pasien dengan skizofrenia perlu ditingkatkan dengan cara mentoring dari petugas kesehatan. Zavradashvili et al., 2010 2. Efisiensi biaya pada penggunaan metode assertive community treatment pada pasien skizofrenia Dalam penelitian oleh Erick dengan studi observasional menyebutkan bahwa perkiraan fiscal pada tahun 2001 sampai denga 2004 terjadi peningkatan 4.529 dalam biaya VA tren dalam penggunaan rawat inap, kemudian efek assertive community treatment tetap stabil setelah tahun 2004 dimana dengan menggunakan assertive community treatment menurun 37, karena lebih sedikit pasien dirawat dirumah sakit. Slade, McCarthy, Valenstein, Visnic, Dixon, 2013. Timbal balik yang sama antara efektivitas biaya dan akses mungkin terjadi dengan program perawatan kesehatan lainnya sumber daya intensif dan hemat biaya, seperti Program All-In Perawatan untuk Lansia PACE Eng et al 1997;. Greenberg 2010; Gross et al. 2004. Studi ini menunjukkan bagaimana pengorbanan ini dapat sistematis model yang mendukung dalam pengambilan keputusan antara keluarga Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 228 pasien. penggunaan ACT dapat meingkatkan efektifitas biaya dalam pengobatan rawat inal pasien, sehingga dapat digunakan dalam jangka panjang. Para peneliti meneliti efisiensi dalam menggunakan model ACT layanan tanpa batas pada tingkat tinggi intensitas ditetapkan dalam ACT Model. Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per- orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok pembanding. Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari 4.529 dalam VA cost. Slade et al., 2013. ACT dapat menurunkan efektifitas biaya 20 lebih rendah, karena ACT melibatkan tim interdisiplin. Rosen, Mueser, Teesson, 2007. ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan 18,8 dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50 pasien TAU; x 2 df = 1 = 6.75, p = 0,009. Stobbe et al., 2014 Dengan ACT kepuasan pasien meningkat, penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per-orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok pembanding.William, 2011 Pembahasan Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir dengan nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan pusat dari anggota tim. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan. Psikososial adalah bentuk praktek psiko-therapeutik dimana pengetahuan tentang bio-psiko-sosial. Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain: a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 229 f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain. Assertive community treatment adalah suatu program pelayanan kesehatan dengan pendekatan tim multidisiplin yang memberikan pelayanan yang komprehensif dan fleksibel, dukungan dan pelayanan rehabilitasi untuk individu dengan gangguan jiwa berat, dimana pelayanan diberikan di lingkungan natural pasien, bukan dalam setting Rumah Sakit. ACT Tools Kit, 2008 Dalam Assertive Community Treatment tim multidisiplin bekerja bersama dalam suatu tim. Tim Assertive Community Treatment berkolaborasi dalam memberikan terapi, rehabilitasi, dan dukungan bagi tiap-tiap klien untuk menjalani kehidupan di masyarakat. Konsumen adalah klien dari suatu tim, bukan klien dari salah satu anggota tim secara individual. Individu dengan gangguan jiwa berat biasanya tidak mengalami perbaikan yang bermakna bila hanya ditangani dengan pelayanan rawat jalan yang biasa. Tim Assertive Community Treatment memberikan pelayanan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan. Konsumen tidak perlu mengikuti Gambaran penting dari Assertive Community Treatment a. Staf multidisiplin Tim yang memberikan layanan Assertive Community Treatment terdiri dari berbagai profesi yang saling bekerjasama memberikan layanan komprehensif untuk pasien dengan gangguan jiwa berat. b. Pelayanan yang terintegrasi Pelayanan dalam Assertive Community Treatment dilakukan secara terintegrasi oleh sebuah tim, yang terdiri dari: - Terapi : terapi obatmedikasi, perawatan kesehatan fisik, kontrol gejala - layanan rehabilitasi : aktivitas sehari-hari, hubungan interpersonal - terapi penyalahgunaan zat - bantuan-bantuan praktis - layanan sosial - layanan terhadap keluarga - layanan yang lain yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. c. Pendekatan tim Anggota Tim Assertive Community Treatment adalah para profesional di bidang kesehatan jiwa dari berbagai profesi yang bekerja bersama-sama secara kolaboratif. Masing-masing anggota tim mempunyai klien tetap yang ditangani, akan tetapi anggota tim yang lain juga mengenal klien dari anggota tim yang lain dan siap d. Rasio staf-klien rendah 1:10 Rasio staf dengan klien relatif kecil untuk menjamin layanan yang adekuat untuk masing-masing klien. Rasio yang ideal adalah satu tenaga kesehatan melayani 10 klien. e. Tempat kontak di lingkungan pasien dengan kunjungan rumah home visit Semua anggota tim Assertive Community Treatment melakukan kunjungan rumah terhadap klien. Kunjungan dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien atau lingkungannya, seperti di tempat kerja klien, bukan pertemuan di tempat pelayanan kesehatan. Penilaian yang dilakukan di lingkungan kehidupan pasien sehari-hari akan memberikan hasil yang lebih akurat tentang keadaan dan masalah yang dihadapi klien. f. Medication management Prioritas utama dari Assertive Community Treatment adalah pemberian pengobatan yang efektif, dengan penilaian yang adekuat tentang gejala yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 230 dialami pasien dan diagnosisnya, pemilihan obat yang rasional, dosis dan durasi terapi yang adekuat, dan penatalaksanaan efek samping yang kemungkinan dialami. g. Fokus pada masalah kehidupan sehari-hari Tim Assertive Community Treatment berfokus pada aktivitas sehari-hari klien, tergantung dari kebutuhan pasien, seperti; rumah yang aman, membuat rencana pertemuan, melakukan pembayaran dan berbelanja. Tim Assertive Community Treatment juga membantu klien mendapatkan ketrampilan dalam lingkungan tempat tinggalnya. h. Akses yang cepat Tim Assertive Community Treatment memberikan respons yang cepat terhadap masalah emergency yang dihadapi klien, sehingga bisa dikatakan bahwa tim Assertive Community Treatment bekerja 24 jam sehari. i. Assertive outreach Tim Assertive Community Treatment melakukan pendekatan pada klien yang menolak untuk bekerjasama, dan tidak secara otomatis menghentikan pelayanan terhadap klien yang menolak untuk bekerjasama. j. Pelayanan bersifat individual Pelayanan dan dukungan yang diberikan kepada klien bersifat individual untuk mengakomodasi kebutuhan dari klien dengan gangguan jiwa berat, yang berada pada populasi yang heterogen. k. Pelayanan tidak berbatas waktu Layanan yang diberikan kepada klien tetap diberikan walaupun klien telah mengalami stabilisasi dari permasalahan yang dihadapi, baik stabilisasi pengobatan, gejala, dan masalah dengan keluargalingkungannya Menurut paham kesehatan jiwa seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak mampu berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam penaganannya keikutsertaan peran pekerja sosial medis di Rumah Sakit dan Puskesmas sangat berpengaruh terhadap proses pengobatan yang harus dijalani pasien dan pembiayaan yang harus ditanggung keluarganya. Secara garis besar peran pekerja sosial medis dalam penanganan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit dan Puskesmas adalah sebagai berikut: a. Inisiator; membantu seorang klienpasien gangguan jiwa menyelesaikan persoalan karena tidak dapat menerima keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya. b. Negosiator; membantu keluarga pasienklien dalam hal pembiayaan pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit atau Puskemas. c. Advokasi; membantu mengemukakan persoalan yang dihadapi pasienklien. d. Pembicara; membantu keluarga pasienklien dalam menyampaikan permasalahan kepada pihak Rumah Sakit atau Puskesmas. e. Organisator; mengorganisir tim penanganan secara psiko-sosial Tim interdisiplin yang ada di Puskesmas diharapkan dapat mengatasi masalah kekambuhan pasa pasien skizofrenia. Untuk meningkatkan kemandirian pasien, perlu meningkatkan kemempuan tenaga kesehatan di puskesmas, dalam hal ini adalah tim interdisiplin untuk melakukan assertive community treatmen dengan strategi turun langsung ke masyarakat dengan gangguan jiwa skizofrenia untuk memberikan dukungan, motivasi dan semangat salah satunya untuk rutin mengkonsumsi obat, melakukan aktifitas yang positif, sehingga kekambuhan dapat diminimalkan. Dengan kekambuhan yang dapat diminimalkan maka dapat meningkatkan efisiensi biaya. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 231 Judul Hasil Cost Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining Psychiatric Inpatient Use Eric P. Slade, John F. McCarthy, Marcia Valenstein, Stephanie Visnic, and Lisa B. Dixon 2013 Perkiraan variabel Instrumental menunjukkan bahwa antara tahun fiskal 2001 sampai 2004, masuk ke ACT resulted dalam peningkatan bersih dari 4.529.Tren penggunaan rawat inap yang akan datang menyarankan untuk menggunakan assertive community treatment ACT. Efek rogram ini tetap stabil setelah 2004. Dimana kelayakan untuk assertive community treatment ACT menurun 37 persen, karena lebih sedikit pasien yang dirawat di Rumah Sakit The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial Jolanda Stobbe j.stobbeerasmusmc.nl André I Wierdsma a.wierdsmaerasmusmc.nl Rob M Kok R.Kokparnassia.nl Hans Kroon hkroontrimbos.nl Bert-Jan Roosenschoon B.Roosenschoonparnassiagroep.nl Marja Depla mdepladds.nl Cornelis L Mulder niels.clmulderwxs.nl Dari 62 pasien yang diacak, 26 hilang untuk menindaklanjuti 10 pasien di ACT untuk pasien lansia dan 16 di TAU. Sehubungan dengan pasien dengan TAU, lebih banyak pasien yang dialokasikan untuk ACT memiliki kontak pertama dalam waktu tiga bulan 96,9 vs 66,7; X 2 df = 1 = 9,68, p = 0,002. ACT untuk pasien usia lanjut juga memiliki putus sekolah lebih sedikit dari pengobatan 18,8 dari asertif pengobatan masyarakat untuk pasien usia lanjut dibandingkan 50 pasien TAU; x 2 df = 1 = 6.75, p = 0,009. Tidak ada perbedaan dalam variabel hasil primer dan sekunder lainnya. Kesimpulan bahwa ada dampak positing dalam menerapkan metode assertive community treatment ACT terhadap perawatan lansia dengan gangguan mental berat Cost-Effectiveness Of A Capitated Assertive Community Treatment Program Chandler, Daniel, Spicer, Gary, Wagner, Marti, Hargreaves, William 2011 Hipotesis penelitian adalah bahwa dengan langkah tim mendukung orang-orang yang dinyatakan akan di fasilitas subakut jangka panjang dapat dipertahankan dalam masyarakat. Skor pada skala kepuasan klien berkisar dari 1,0 paling puas untuk 4.0. Kelompok pembanding yang non-signifikan lebih puas perbandingan rata-rata = 2.19, SD = 0,839; demonstrasi berarti = 2,34, SD = 0,847; t = -0,647, df = 52, p = 0,521; efek ukuran = 0,179 Penghematan biaya bersih, namun, jauh lebih besar. Kelompok ACT, yang pembayaran capitated diimbangi oleh pendapatan Medi-Cal substansial, memiliki rata-rata biaya per- orang dari 13.041 kontras dengan 39.396 dari kelompok pembanding. Dengan demikian, biaya bersih per orang untuk Alameda County untuk kelompok ACT hanya 33 dari biaya bersih kelompok pembanding. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 232 Kesimpulan Penelusuran literatur menunjukan pentingnya interdisiplin dalam memberikan assertive community treatment dalam meminimalkan biaya yang dikeluarkan dalam perawatan di Rumah Sakit pada pasien skizofrenia. Karena dengan melakukan assertive community treatment tim interdisiplin berhubungan langsung dengan keluarga pasien dan masyarakat untuk memberiukan dukungan pada pasien agar tetap dapat hidup berdampingan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini bisa digunakan untuk acuan penelitian yang lainnya dalam hal efektifitas biaya yang ditimbulkan dari assertive community treatment tetapi tidak hanya pada pasien skizofrenia melainkan pada pasien gangguan mental yang lainnya. Daftar Pustaka Bramesfeld, A., Moock, J., Kopke, K., Büchtemann, D., Kästner, D., Radisch, J., Rössler, W. 2013. Effectiveness and efficiency of assertive outreach for Schizophrenia in Germany: study protocol on a pragmatic quasi-experimental controlled trial. BMC Psychiatry , 13 , 56. http:doi.org10.11861471-244X-13-56 Eng, C., J. Pedulla, G. P. Eleazer, R. McCann, and N. Fox. 1997. “Program of All- inclusive Care for the Elderly PACE: An Innovative Model of Integrated Geriatric Care and Financing.” Journal of the American Geriatrics Society 45 2: 223. Greenberg, G., and R. Rosenheck. 2010. Department of Veterans Affairs National Mental Health Program Performance Monitoring System: Fiscal Year 2009 Report.West Haven, CT: Northeast ProgramEvaluation Center, VA ConnecticutHealthcare System. Gross, D. L., H. Temkin-Greener, S. Kunitz, and D. B. Mukamel. 2004. “The Growing Pains of Integrated Health Care for the Elderly: Lessons from the Expansion of PACE.” Milbank Quarterly June 82 2: 257–82. Maramis, W.F. 1994. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press Phillips, S. D., B. J. Burns, E. R. Edgar, K. T. Mueser, K.W. Linkins, R. A. Rosenheck, R. E. Drake, and E. C. McDonel Herr. 2001. “Moving Assertive Community Treatment into Standard Practice.” Psychiatric Services 52 6: 771–9. Rosenheck, R., and M. Neale. 1998a. “Intersite Variation in the Impact of Intensive Psychiatric Community Care on Hospital Use.” American Journal of Orthopsychiatry 68 2: 191 –200. Rosenheck, R. A., and M. S. Neale. 1998b. “Cost-Effectiveness of Intensive Psychiatric Community Care for High Us ers of Inpatient Services.” Archives of General Psychiatry 55: 459 –66. Stuart Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 . Jakarta: EGC Latimer, E.A. 1999. “Economic Impacts of Assertive Community Treatment: A Review of the Literature.” Canadian Journal of Psychiatry 44 5: 443–54. Rosen, A., Mueser, K. T., Teesson, M. 2007. Assertive community treatmentIssues from scientific and clinical literature with implications for practice. The Journal of Rehabilitation Research and Development , 44 6, 813. http:doi.org10.1682JRRD.2006.09.0110 Slade, E. P., McCarthy, J. F., Valenstein, M., Visnic, S., Dixon, L. B. 2013. Cost Savings from Assertive Community Treatment Services in an Era of Declining Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas Pera Perawat sala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Ekonomi ASEAN Semarang, 7 November 2015 233 Psychiatric Inpatient Use. Health Services Research , 48 1, 195 –217. http:doi.org10.1111j.1475-6773.2012.01420.x Slade M, Beck A, Bindman J, Thornicroft G, Wright S: Routine clinical outcome measures for patients with severe mental illness: CANSAS and HONOS. Br J Psychiatry 1999, 174:404 –408 Stobbe, J., Wierdsma, A. I., Kok, R. M., Kroon, H., Roosenschoon, B.-J., Depla, M., Mulder, C. L. 2014. The effectiveness of assertive community treatment for elderly patients with severe mental illness: a randomized controlled trial. BMC Psychiatry , 14 , 42. http:doi.org10.11861471-244X-14-42 UU No 36 Tahun 2009 Zavradashvili, N., Donisi, V., Grigoletti, L., Pertile, R., Gelashvili, K., Eliashvili, M., Amaddeo, F. 2010. Is the implementation of assertive community treatment in a low-income country feasible? The experience of Tbilisi, Georgia. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology , 45 8, 779 –83. http:doi.org10.1007s00127-009- 0125-2 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 234 GAMBARAN TINGKAT RISIKO JATUH PADA LANSIA DI PANTI WREDHA Rinda Winandita 1 , Rita Hadi Widyastuti 2 1 Mahasiswa Jurusan Keperawatan, fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email: rindawinanditagmail.com 2 Staf Pengajar Departemen Keperawatan Jiwa dan Komunitas, Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, email : raraihsangmail.com Abstract Latar Belakang. Jatuh merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia dan dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Risiko jatuh dapat dinilai berdasarkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik seperti usia, penyakit yang diderita, psikologis dan pengobatan sedangkan, faktor ekstrinsik seperti tersandung, lantai licin dan penerangan kurang. Jatuh pada lansia dapat mengakibatkan cedera fisik ringan, berat bahkan komplikasi yang mengakibatkan kematian, rasa takut jatuh kembali, tidak percaya diri dan pengeluaran biaya untuk berobat. Tujuan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Metoda. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif dengan pendekatan survei. Pengambilan sampel menggunakan teknik Total Sampling dengan responden sebanyak 177 lansia. Pengambilan data menggunakan pengkajian Morse Fall Scale . Hasil. Hasil penelitian menunjukan 77 lansia 43,5 memiliki risiko jatuh yang tinggi, 60 lansia 33,9 risiko rendah dan 40 lansia 22,6 tidak berisiko. Kesimpulan. Identifikasi terhadap tingkat risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan agar kejadian jatuh dapat diantisipasi. Saran dari penelitian ini diharapkan pengasuh lansia dapat lebih memperhatikan kondisi biologis dan psikologis dari lansia yang menyebabkan jatuh. Kata kunci : Risiko Jatuh, Lansia , Morse Fall Scale Pendahuluan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus- menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya, akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologi dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi tubuh dan kemampuan tubuh secara keseluruhan Michael and Mehmet, 2009. Pada UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa batasan umur yang masuk dalam kategori lansia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Di Indonesia hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik BPS, Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yaitu 18,1 juta pada tahun 2010. Daerah Kota Semarang berdasarkan data BPS Kota Semarang tahun 2013, penduduk lansia laki-laki dan perempuan berjumlah 111.103 lansia dari total seluruh penduduk di Kota Semarang BPS, 2013 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 235 Banyaknya jumlah lansia di satu sisi dapat menunjukkan meningkatnya harapan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun di sisi lain, hal tersebut menjadi suatu permasalahan mengingat lansia mengalami proses penuaan seperti perubahan anatomifisiologi, berbagai penyakit sebagai akibat penuaan, serta pengaruh psikologis pada fungsi organ Kris dan Hadi, 2009. Masalah kesehatan utama yang timbul pada lansia diantaranya yaitu immobility kurang bergerak, instability berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh, intellectual impairment gangguan intelektual atau demensia, impairment of vision and hearing , taste, smell, communication, convalesscence, skin integrity gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan dan kulit, isolation depresi, incontinence beser buang air kecil atau buang air besar, infection infeksi, impaction sulit buang air besar, insomnia gangguan tidur, immune deficiency daya tahan tubuh menurun, impotence impotensi, inanition kurang gizi, impecunity tidak punya uang dan iatrogenesis penyakit akibat obat-obatan Nugroho, 2008. Instability yaitu masalah yang terjadi pada lansia berupa berdiri dan berjalan tidak stabil atau jatuh. Sedangkan, jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang menyebabkan seseorang berada di tempat lebih rendah seperti lantai atau tanah Tamher dan Noorkasiani, 2009. Sekitar 30-50 dari populasi lanjut usia yang berusia 65 tahun ke atas mengalami jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Pada lanjut usia di atas 80 tahun, sekitar 50 pernah mengalami jatuh. Walaupun tidak semua kejadian jatuh mengakibatkan luka atau memerlukan perawatan, tetapi kejadian luka akibat jatuh pun juga meningkat terutama pada usia diatas 85 tahun Pangkahila, 2007. Dampak terjadinya jatuh pada lansia dapat dilihat dari berbagai aspek. Dari aspek biologis beberapa lansia yang pernah jatuh sekitar 5 mengalami perlukaan jaringan lunak dan sekitar 5 mengalami fraktur. Kemudian, dari aspek psikologis pada lansia yang mengalami jatuh akan muncul rasa tidak percaya diri dan takut mengalami kejadian jatuh kembali. Rasa takut jatuh sering juga dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial. Dari aspek ekonomi, lansia yang mengalami jatuh maupun keluarga lansia membutuhkan biaya untuk pengobatan apabila kejadian jatuh pada lansia menimbulkan masalah yang serius pada kesehatan lansia Miller, 1995. Salah satu upaya untuk mengidentifikasi risiko jatuh pada lansia adalah dengan cara melakukan pengkajian dan penilaian terhadap gaya berjalan, riwayat jatuh maupun riwayat penyakit yang diderita. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia yang dikarenakan berbagai faktor Tamher dan Noorkasani, 2009. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Tujuan Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko jatuh pada lansia di Panti Wredha. Metoda Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif non eksperimental dengan jenis penelitian deskriptif dan menggunakan metode survei. Populasi dalam penelitian ini seluruh lansia yang tinggal di Panti Wredha Pucang Gading, PELKRIS Elim dan Harapan Ibu Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 177 lansia. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 236 Hasil 1. Data Karakteristik Responden Diagram 1 menunjukan bahwa lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia 82,5. Diagram 2 menunjukan data terbanyak responden penelitian tergolong pada lanjut usia tua yaitu sebanyak 110 responden 62,1 dengan kisaran umur 75-90 tahun. Diagram 3 menunjukan data lama tinggal responden sebanyak 30 lansia 16,9 telah tinggal di panti selama 2 tahun. 31 146 100 200 Laki-laki Perempuan Diagram 1 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Jenis Kelamin, Mei 2015 n=177 Jenis Kelamin 57 110 10 50 100 150 Lanjut Usia Lanjut Usia Tua Lanjut Usia Sangat Tua Diagram 2 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Usia, Mei 2015 n=177 Usia 3 4 6 3 6 2 4 24 30 22 16 12 4 4 8 13 1 2 1 1 2 7 1 1 5 10 15 20 25 30 35 1 b u lan 2 b u lan 3 b u lan 4 b u lan 5 b u lan 6 b u lan 7 b u lan 1 ta h u n 2 ta h u n 3 ta h u n 4 ta h u n 5 ta h u n 6 ta h u n 7 ta h u n 8 ta h u n 1 ta h u n 1 2 ta h u n 1 3 ta h u n 1 4 ta h u n 1 5 ta h u n 1 6 ta h u n 2 ta h u n 2 9 ta h u n 3 ta h u n Diagram 3 Karakteristik Responden di Panti Wredha Semarang Berdasarkan Lama Tinggal, Mei 2015 n=177 Lama Tinggal Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 237 Diagram 4 menunjukan riwayat penyakit yang paling banyak responden yaitu hipertensi dengan penderita sebanyak 47 lansia 26,6. 2. Gambaran Tingkat Risiko Jatuh Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Risiko Jatuh Responden di Panti Wredha Kota Semarang, Mei 2015 n=177 Tingkat Risiko Jatuh Frekuensi Prosentase Tidak Berisiko 40 22,6 Risiko Rendah 60 33,9 Risiko Tinggi 77 43,5 Jumlah 177 100 Berdasarkan tabel 5 menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki risiko jatuh tinggi yaitu sebanyak 77 lansia 43,5. Pembahasan 1. Karakteristik Responden Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 146 lansia 82,5. Jumlah lansia perempuan yang lebih tinggi daripada jumlah lansia laki-laki sesuai dengan usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kementrian Kesehatan menyatakan pada tahun 2013 rata-rata usia harapan hidup yaitu 72,7 tahun untuk perempuan dan 68,4 tahun untuk laki-laki Kementrian Kesehatan RI, 2013. Hasil penelitian ini juga menunjukan risiko jatuh tinggi sebesar 37,3 atau 66 lansia perempuan dan 6,2 atau 11 lansia laki-laki. Kejadian jatuh lebih banyak terjadi pada lansia perempuan juga disebabkan karena penurunan hormon estrogen pada lansia post menopouse. Berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan tulang kehilangan kalsium dan metabolisme serta absorbsi nutrien menjadi kurang efektif Mauk, 2010. Kejadian jatuh pada lansia perempuan lebih banyak terjadi juga dikarenakan berkurangnya kekuatan otot pada ekstremitas bawah pada lansia perempuan dan kurangnya 27 47 6 3 21 5 3 10 1 5 72 20 40 60 80 Diagram 4 Karakteristik Responden di Panti Wredha Kota Semarang Berdasarkan Riwayat Penyakit, Mei 2015 n=177 Riwayat Penyakit Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat dalam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 238 kemampuan lansia perempuan dalam mengembalikan stabilitas tubuh Lord, 2007. Hal tersebut didukung oleh penelitian Yuna Ariawan 2011 menunjukan dari 52 responden lansia terdapat prevalensi kejadian jatuh sebesar 17,3 atau 9 lansia dan 6 lansia 67 diantaranya wanita dan 3 lansia 33 sisanya laki-laki Ariawan, 2011. Data usia responden menunjukan hasil bahwa sebagian besar responden masuk dalam kategori lanjut usia tua yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 110 lansia 62,1. Keseimbangan berkurang seiring bertambahya usia karena perubahan yang terjadi pada lansia. Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan karena adanya faktor-faktor penuaan lansia dan akan mengalami perubahan baik dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual Sihvonen,2004. Risiko jatuh juga meningkat dari 25 pada usia 70 tahun menjadi 35 setelah berusia lebih dari 75 tahun Stanley, 2006. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Setyo Harsoyo 2012 menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat usia dengan risiko jatuh pada lansia dengan p-value 0,00 Harsoyo, 2012. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden telah tinggal di panti selama lebih dari 1 tahun. Lansia yang tinggal di panti selama kurang lebih 1 tahun sebanyak 24 lansia 13,6, 2 tahun sebanyak 30 lansia 16,9 dan 3 tahun sebanyak 22 lansia 12,4. Peneliti mengobservasi bahwa lansia yang telah lama tinggal di panti telah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta mereka mampu beradaptasi dengan tenaga caregiver di panti. Lansia yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan maupun sosial di panti lebih dapat menempatkan dirinya agar lebih berhati-hati dalam beraktivitas Hana dan Ismail, 2009. Hasil penelitian menunjukan dari keseluruhan lansia yang menderita hipertensi yaitu sebanyak 47 lansia 40,7. Riwayat penyakit yang diderita lansia dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia seperti gangguan kardiovaskuler, persarafan, penglihatan, psikologi, muskuloskeletal dan lain-lain Stanley, 2006. Prevalensi hipertensi akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Terjadinya hipertensi pada lansia disebabkan oleh menurunya elastisitas dinding aorta, katub jantung menebal dan menjadi kaku dan kemampuan jantung untuk memompa darah menurun 1 setiap tahun setelah berumur 20 tahun Xiaohua, 2012. Hasil penelitian Anne Ambrose 2013 menyatakan bahwa keseimbangan dan gaya berjalan berhubungan dengan tekanan darah dan detak jantung. Hal tersebut sejalan dengan dengan penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat risiko jatuh tinggi dimiliki oleh penderita hipertensi sebanyak 11,9 atau 21 lansia.

2. Tingkat Risiko Jatuh