Acupuncture Massage Nurkharistna Al Jihad

PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 48 menurunkan resiko perkembangan DM ke arah progresif dengan nilai P 0,001. Untuk penerapan di Indonesia, acupressure tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan, proses pelatihan masih sedikit dan mahal.

c. Acupuncture

Pada penelitian yang menggunakan intervensi acupuncture terdapat beberapa sampel yang menolak di awal tidak dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian, partisipasi sampel yang setuju sekitar 60-79. Jenis metode yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi experiment. Proses kontrol variabel pengganggu dalam penelitian tidak dijelaskan dalam artikel. Hasil dari penelitian artikel adalah adanya kemungkinan bias, jenis study design , kontrol variabel pengganggu dan blinding memiliki rating moderate . Metode belum cukup kuat dan jumlah sampel masih sedikit. Untuk pelaksanaan di Indonesia intervensi ini masih dianggap tidak familiar sehingga sulit dilaksanakan, selain itu pola pelaksanaanya butuh keahlian, proses pelatihan masih sedikit dan mahal sehingga intervensi tidak begitu efektif untuk dilakukan di Indonesia.

d. Massage

Ada 2 artikel yang dianalisis tentang pemberian intervensi mengenai Swedish Imassage. Kedua artikel sudah menggunakan metode penelitian yang baik yaitu RCT. Pada dasarnya kualitas penelitian sama, hanya saja outcome yang ingin dicapai sedikit berbeda satu sama lain. Sampel pada kedua artikel sudah dilakukan randomisasi. Sampel yang diberikan massage adalah anak-anak dengan usia 6-12 tahun. Untuk outcome yang ingin melihat efektivitas swedish massage terhadap glycohemoglobin. Jumlah sampel adalah 36 pasien dengan 18 kelompok intervensi dan 18 kelompok kontrol. Sedangkan outcome artikel lainnya adalah untuk melihat efektivitas massage dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien anak dengan DM, sampel berjumlah 38 dengan 19 kontrol dan 19 intervensi. Hasil penelitian dari kedua artikel sudah mampu menjawab outcome yang menunjukkan bahwa swedish massage terbukti mampu secara signifikan menjaga kadar gula darah tetap normal dan mampu menurunkan kadar gula darah pasien yang menderita DM dengan nilai P value 0,0001. Berikut merupakan gambaran penurunan glukosa darah pada dua kelompok. Proses aplikasi dari hasil penelitian mudah dan dapat diterapkan di Indonesia karena pelaksanaanya cepat dan tidak dianggap sebagai hal yang tabuh. Pelatihan mengenai swedish massage sudah ada di Indonesia dengan sertifikasi yang baik. Pengaplikasian swedish massage terbukti menguntungkan secara finansial dan menguntungkan untuk meningkatkan kesehatan penderita DM dalam mengontrol dan menurunkan kadar glukosa darah. e. Yoga, Doa dan Aroma terapi Ada dua artikel yang membahas mengenai yoga dan aroma terapi. Kualitas dari kedua artikel dianggap baik dari hasil analisis. Kedua artikel ini menggunakan metode cross sectional, metode ini masih dirasa kurang kuat dalam pembuktian karena secara evidance penggunaan metode terbaik adalah RCT. Proses untuk mecegah bias dari kedua artikel sudah dilakukan, kontrol yaitu penetapan kriteria- kriteria yang ketat mengenai usia sampel dan karakteristik sampel. Jumlah responden dalam artikel banyak, responden mengenai aroma terapi dan doa berjumlah 2474 sampel, sedangkan yoga sebanyak 304 sampel. Dari jumlah sampel ini sebenarnya sudah mampu menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari hasil penelitian. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengembangan untuk penelitian eksperimen selanjutnya. Terbukti doa dan aroma terapi berkorelasi positif dengan kadar glukosa darah dengan P value0,05 dan yoga terbukti berkorelasi positif erhadap penurunan kadar glukosa darah dengan nilai statistik OR 0.56, 95 CI 0.43, 0.72. PSIK FK UNDIPProsiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 49 Kesimpulan Dari hasil review literature yang dilakukan secara sistematis membuktikan bahwa swedish massage, acupuncture, acuprussure, yoga, doa, panax ginseng dan aroma terapi terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah. Berbagai jenis terapi komplomenter tersebut meskipun terbukti secara evidance based mampu menurunkan kadar glukosa darah, namun tidak semuanya dapat diterapkan di Indonesia karena pertimbangan kemudahan, kelebihan, kekurangan dan cost yang dikeluarkan dari pelaksanaanya. Hasil critical apraisal dan pendalaman mengenai terapi komplementer dinilai bahwa jenis terapi yang direkomendasikan untuk diaplikasiksan di klinik adalah swedish massage, terapi doa, aroma terapi dan panax ginseng. Sedangkan acupuncture, acuprussure. dan yoga belum bisa direkomendasikan di Indonesia karena pertimbangan pada cost yang dikeluarkan terlalu besar, pelatihan profesional belum ada di Indonesia serta sulitnya dalam pengaplikasian karena dibutuhkan kejelian dan waktu yang lama dalam pelaksanaanya. Daftar pustaka Brown et al. 2005. Sudarshan Kriya Yogic Breathinh in the Treatment of Stress, Anxiety and Depression: Part 1 Neurophysiologic Model, online, http:www. thevirafoundation.orgimagesTrauma treatment_Breathwork_Part_I.p df, diakses : 10 Februari 2012 . Garrow, D and Egade, LE., 2006. National Pattens and Corelates of Complementary and Alternative Medicine Use in Adult with Diabetes. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. Volume 12.895-902. Ingle, PV. Samdani, PV. Patil, PH. Pardeshi, MS, Surana. SJ., 2011. Application of acupuncture theraphy in type 2 diabetes mellitus patient . Pharma science monitor An international journal of pharmaceutical science.18-26. Jin, K.,Chen, L.Pan, JY. Li, JM. Wang, Y and Wang, FY., 2009. Acupressure Therapy inhibits the Development of Diabetic Complication in Chinese Patients with type 2 Diabetes . The Journal of Alternative and Aomplementary Medicine. 1027-1032. Jung, HL, Kwak, HE. Kim, SS. Kim, YC, Lee, CD. Byurnx, HK and Kang, Hy., 2011. Effect of Panac ginseng Supplementationnon on Mussle Damage and Inflammationn after Uphill Treadmill Running in Humans. The American Journal of Chinese Medicine, Vol 9, No.3,441-450 Kashaninia, Z. Abedinipoor, A. Hos.ainzadeh, S. Sajedi, F., 2011. The Effect of Swedish Massage on Glycohemoglobin in Children with Diabetes Mellitus. Iranian Rehabilitation Journal, Vol.9 Mashudi. 20011. Pengaruh Progresssive Muscle Relaxation Terhadap Kadar Glukosa Darah. Nita Fitriya. Teori Psikospiritual 2009. Diaksses pada tanggal 17 Juli 2009. URL: http:fikunpad.unpad.ac.id?=191 Peijin Esther Msonica, PE. Chan, FM. Chan, YL. Koh, SL., 2013. Patterns of complementary and alternative medicine use among a group of patients with type 2 diabetes receiving outpatient care in Singapore. International Journal of Nursing Practice. 44-45 Sajedi, F. Khasaninia, Z. Hoseimsadeh, S Abedenipoor, A.,2011. How effect is Swedish Massage on Blood Glucose Level in Children with Diabete Mellitus. Department of Nursing, School of Nursing and Midwifery. Soegondo, S Soewondo, P., Subekti I, Ed. Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu hlm 31-45, Jakarta: FKU. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 50 LITERATURE REVIEW:FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMANDIRIAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PASIEN TUBERCULOSIS PARU Ns. Kastuti Endang Trirahayu., S.Kep. Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro Email : Fiida Zahragmail.com Abstrak Latar Belakang: Tuberkulosis TB Paru adalah penyakit kronis yang menjadi salah satu fokus permasalahan dalam bidang kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. Teori Orem dan beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa keluarga adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam perawatan pengobatan dan kesembuhan pasien Tuberkulosis Paru. Hasil survey menunjukkan bahwa kebanyakan pasien TB paru lebih memilih untuk dirawat di rumah bersama dengan keluarga mereka. Oleh karena itu, kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah hal yang sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat pasien TB paru. Metode: Metode yang digunakan tinjauan sistemik systemic review yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru mulai tahun 2009-2015. Penelusuran dilakukan melalui media online seperti Googlesearch , Sciencedirect.com, Proquest.com, EBSCO, dll. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh. Hasil: Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014. Selain edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan pasien TB Palinggi dkk., 2013 dan teknik komunikasi yang tepat Kaulagekar- Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013 harus dimiliki oleh keluarga. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bisa meningkat Anand dkk., 2013. Dan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, keluarga dapat dilibatkan dalam proses medis seperti konsultasi dan pemeriksaan ke dokter, yang rutin berjalan pada pasien Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004. Kesimpulan: Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Keywords: Kemandirian Keluarga, Perawatan Pasien TB Paru Latar Belakang Secara global, Beban TB masih sangat besar, bahkan WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2013, 9 juta jiwa terinfeksi penyakit ini, dan 1,5 juta diantaranya meninggal dunia. Berbagai upaya dikerahkan, meliputi diagnosa dan pengobatan yang efektif, untuk menurunkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit TB. Terbukti semenjak tahun 2000-2013, ada sebanyak 37 juta jiwa berhasil diselamatkan karena adanya diagnosa dan pengobatan dini WHO, 2014. Indonesia sendiri, sejak tahun 2010 menempati urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 51 per tahunnya Kemenkes RI, 2011. Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, berdasarkan laporan dari Kemenkes RI 2011, Indonesia merupakan Negara pertama diantara High Burden Country HBC di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati data awal Mei 2010 dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 Case Detection Rate 73. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90 dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama. Salah satu wilayah di Indonesia yang berhasil dalam mendekati target deteksi kasus TB paru adalah Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS tahun 2012, Kabupaten Banyumas menempati peringkat ke-4 jumlah penduduk terbanyak di Jawa Tengah dengan jumlah sebanyak 1.570.598 orang BPS 2012. Penemuan penderita TB paru di kabupaten Banyumas tahun 2012 sebanyak 1.161 kasus case detection rate CDR sebesar 69,0 target 70 menempati urutan ke-10 kabupaten terbanyak di Jawa Tengah Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012. Penemuan penderita TB Paru anak tahun 2012 sebanyak 427 kasus dan tahun 2013 sebanyak 448 kasus dengan proporsi 14,1 . Case notification rate CNR tahun 2011 sebesar 176100.000 penduduk, tahun 2012 sebesar 179100.000 penduduk dan tahun 2013 sebesar 195100.000 penduduk. CNR Nasional adalah sebesar 85100.000 penduduk Dinkes Kabupaten Banyumas, 2014. Kesuksesan dalam penyembuhan penderita TB Paru tentunya tidak terlepas dari pola perawatan yang sesuai. Orem menyebutkan bahwa faktor kondisi dasar yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri diantaranya adalah usia, jenis kelamin, orientasi sosial-budaya, status kesehatan, dan sistem keluarga Orem, 2001. Faktor kondisi dasar semacam ini dan partisipasi perawatan diri dari individu pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan individu tersebut, termasuk persepsi mengenai kualitas hidup personal dan pencapaian kontrol metabolisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani 2012 diketahui bahwa kepatuhan pasien Tuberkulosis paru terhadap perilaku hidup sehat meningkat secara signifikan setelah menerima perawatan dengan dukungan keluarga berbasis program DOTS. Dari hasil survei prevalensi TB oleh Kemenkes pada tahun 2004 mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96 keluarga merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13 yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76 keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85 mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26 yang dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51 keluarga dan hanya 19 yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis. Agar proses penyembuhan pasien TB paru bisa berjalan dengan efektif dan efisien dalam perawatan keluarga, tentunya kemandirian serta kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan pada pasien TB paru. Tujuan Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Memberikan rekomendasi tentang apa saja yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 52 bisa dilakukan untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Metoda Makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan sistematik systemic review . Tinjauan sistemik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer yang menyajikan topik yang terkait dengan formulasi pertanyaan dan tujuan penelitian. Metode tinjauan sistematik ini yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal publikasi yang berkaitan dengan kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru. Penelusuran jurnal- jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian dilakukan melalui Website publikasi jurnal penelitian resmi yaitu ProQuest, EBSCO, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci yang dipilih. Pencarian hanya dibatasi pada terbitan 2007-2014 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Jurnal yang terpilih kemudian ditelaah untuk kemudian dibahas dan ditarik kesimpulannya dalam makalah. Data diekstraksi dari 10 jurnal yang diperoleh. Hasil Program DOTS berbasis keluarga dalam beberapa penelitian terbukti memiliki beberapa manfaat bagi penyembuhan pasien TB paru dibandingkan dengan program DOTS yang berbasis klinis Duangrithi dkk., 2012; Nursasi, 2014. Program DOTS berbasis keluarga terdiri dari tiga tahap yaitu: estimasi, transitif, dan operatif, yang melibatkan partisipasi keluarga. Faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan pengobatan salah satunya adalah adanya program pengarahan. Dalam rangka mengimplementasikan program DOTS yang baik, ada empat metode utama yaitu pengajaran, pengarahan, pemberian dukungan, dan penyediaan lingkungan. Selain itu, buku panduan juga dibutuhkan untuk mengembangkan kemandirian keluarga dalam perawatan pasien TB paru Yani et al., 2012. Selain edukasi melalui program DOTS, hal lain yang juga berpengaruh terhadap kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru adalah adanya tujuan yang jelas. Ketika anggota keluarga memiliki tujuan atau target untuk terlibat dalam perawatan, maka keinginan mereka untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien akan berubah kedalam sebuah tindakan konkrit Palinggi dkk., 2013. Faktor lainnya yang juga dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru adalah teknik komunikasi yang baik. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memberikan rasa dukungan bagi pasien. Komunikasi yang terbuka dalam keluarga mengenai manajemen perawatan penyakit, respon keluarga yang sehat terhadap situasi penyakit yang membuat stress terterkan, dan dukungan keluarga terhadap kemandirian pasien berhubungan dengan perilaku manajemen pribadi pasien yang lebih baik. Selain itu, komunikasi langsung antara tenaga medis dengan anggota keluarga dapat membantu menyelesaikan kekhawatiran keluarga tentang pasien dan membantu anggota keluarga untuk menyusun tujuan yang tepat dalam perawatan pasien Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Rosado-Quiab dkk., 2014; Kardas dkk., 2013. Dengan komunikasi yang baik, anggota keluarga juga akan bisa mengatasi permasalahan atau tekanan yang ada sehingga mereka menjadi lebih termotivasi untuk secara mandiri merawat pasien TB paru. Stigma negatif tentang penderita TB paru dalam keluarga juga harus dihapuskan agar keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien TB paru bias meningkat Anand dkk., 2013 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 53 Terakhir, melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis juga merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru. Perawatan penyakin kronis adalah hal yang kompleks dan sering kali dalam satu pertemuan klinis pasien akan mendapatkan banyak sekali informasi yang baru. Oleh karena itu, dengan melibatkan keluarga dalam proses perawatan klinis ikut dalam proses pemeriksaankonsultasi rutin ke dokter akan dapat membantu pasien dalam menyerap dan memahami informasi yang didapat. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan kemampuan dan kemandirian keluarga dalam merawat pasien. Keluarga dapat membantu pasien untuk menjaga rutinitas pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter. Keluarga juga dapat memberikan informasi tambahan yang dibutuhkan kepada tenaga medis dokter tentang manajemen dan gejala penyakit yang dialami pasien di rumah. Keluarga dapat membantu mengkomunikasikan kekhawatiran pasien. Dan ketika di rumah pun keluarga dapat membantu perawatan pasien dengan lebih baik berdasarkan pada hasil pemeriksaan dan konsultasi yang telah dijalani Kaulagekar-Nagarkar dkk., 2012; Kaur dkk., 2009; Shin dkk., 2004. Diskusi Dari jurnal-jurnal penelitian yang dipilih, dapat diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh adalah edukasi tentang penyakit dan manajemennya; adanya tujuan yang jelas dan spesifik; pengembangan teknik komunikasi yang efektif dan mendukung; dan keterlibatan dalam proses perawatan klinis. Keseluruhan faktor tersebut tentunya tidak dapat dikembangkan sendiri oleh keluarga. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien TB paru, tentunya keterlibatan dari lembaga-lembaga terkait diperlukan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat sebuah rancangan program yang dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam perawatan pasien TB paru. Sebagai catatan keterbatasan makalah ini adalah bahwa makalah ini disusun berdasarkan hasil penelitian pustaka-pustaka yang beragam dari sisi obyek penelitiannya dan tidak semuanya berkaitan langsung dengan tujuan makalah ini. Jurnal-jurnal terkait topik makalah masih sangat sedikit, namun di lain sisi ini adalah sebuah peluang penelitian yang berarti di masa mendatang akan sangat baik untuk bisa meneliti lebih mendalam tentang aplikasi perancangan program asuhan keperawatan keluarga untuk pasien TB paru dengan pengembangan berlandaskan pada penelitian-penelitian yang ada sebelumnya. Kesimpulan Faktor yang mempengaruhi kemandirian keluarga dalam perawatan TB Paru antara lain program DOTS berbasis keluarga, edukasi, tujuan yang jelas mengenai perawatan TB Paru, teknik komunikasi yang tepat, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan klinis, serta penghapusan stigma negatif tentang penderita TB Paru. Untuk dapat meningkatkan kemandirian dan kemampuan keluarga dalam merawat pasien, lembaga terkait lembaga keperawatan atau tenaga medis harus bisa mengidentifikasi faktor yang berpengaruh, kemudian membuat sebuah rancangan, mengaplikasikan, dan terakhir melakukan evaluasi dan pengembangan. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Peran Perawat salam Pelayanan Kesehatan Primer menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 54 Daftar Pustaka Abreu, W., et.al. 2015. Promotion of Self-Care in Clinical Practice: Implications for Clinical Supervision in Nursing. International Journal of Information and Education Technology, 51. Anand T, D.Arun K, Nandini S, Renuka S, Laxmi K, S.V.Singh, GK Ingle. 2013. Perception on Stigma Towards TB Among Patients on Dots Patients Attending General OPD in Delhi . Indian Journal of Tuberculosis. 61. Duangrithi D, Kampl P, Vipa T, Varunee D, Yuthichai K, Pasokarn J, Duangjai Sahassanada, Punnee Pitisuttithum. 2014. Family Based Directly Observed Therapy on Culture Conversion in Newly Diagnosed Pulmonary Tuberculosis Patients. American Journal of Public Health Research. 24. Howyida, S., et.al. 2012. Effect of Counseling on Self-Care Management among Adult Patients with Pulmonary Tuberculosis. Life Science Journal. 91. Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kardas P, Pawel L dan Michal M. 2013. Determinants of Patient Adherence: a Review of Systematic Reviews. Journal of frontiers in pharmacology . 491. Kaulagekar-Nagarkar A, Deepali D, dan Preeti J. 2012. Perspective of Tuberculosis Patients on Family Support and Care in Rural Maharashtra. Indian Journal of Tuberculosis. 5. Kaur S, D Behera, D Gupta, SK Verma. 2009. Evaluation of a Supprotive Educative Intervention on Self Care in Patients with Bronchial Asthma. Nursing and Midwifery Research Journal. 52. Munawaroh, S. 2012. Penerapan Teori Dorothea E. Orem Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Nursasi AY. 2014. Peningkatan Kemandirian Perawatan Klien TB Paru Melalui Pemberdayaan Dalam Kelompok Keluarga Mandiri. Jurnal Universitas Indonesia. Orem, D. 2001. Nursing concepts of practice 6th edition. St. Louis: Mosby. Palinggi, Y., dkk. 2013. Hubungan Motivasi Keluarga Dengan Kepatuhan berobat Pada Pasien Tb Paru Rawat Jalandi RSU A. Makkasau Pare-Pare. Jurnal STIKES Nani Hasanuddin Makassar. 23. Rosado-Quiab U, Roberto MC, David AC, Alfredo V. 2014. Influence of Family System Characteristics on Adherence to Directly Observed Treatment, Short-Course Dots in Pulmonary Tuberculosis-A Cohort Study. J Mycobac Dis. 45. Shin S, Jennifer F, Jaime B, Kedar M, Jim YK, Paul F. 2004. Community-based Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis in Lima, Peru: 7 Years of Experience. Journal of Social Science Medicine. 59. WHO. 2014. Global Tuberculosis Report Fact Sheet. Retrieved from http:www.who.inttbpublicationsfactsheet_global.pdf. Yani DI, Sang-arun I, dan Charuwan K. 2012. Development of Family-Based DOTS Support Program for Enhancing Adherence to Health Behaviors of Patients With Pulmonary Tuberculosis. Journal of 4 th International Conference on Humanities and Social Sciences. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 55 KOMPLEMENTER TERAPI: AROMATERAPI DALAM AUTIS Kartika Setia Purdani Mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Abstrak Latar belakang. Data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak. Dengan pemanfaatan caring perawat kepada pasien melalui konsep holistik, dan dengan perkembangan ilmu keperawatan, terapi komplementer bisa menjadi salah satu pilihan dalam merawat pasien. Berdasar pembagian NCCAM National Center for Complementary and Alternative Medicine terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi masuk pada terapi biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Banyak terapi kesehatan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan peran anak dengan autisme, termasuk aromatrapi, kandungan essensial oil dalam aromaterapi terbukti dapat meningkatkan proses interaksi dan peningkatan pola tidur, sehingga beberapa gangguan yang mendominasi anak dengan autisme bisa terminimalisir dengan pemanfaatan aromaterapi. Tujuan. Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukkan literature review terhadap salah satu aplikasi komplementari terapi yakni aromaterapi untuk penanganan autisme. Metoda. Metode yang dipilih ialah literature review, dengan 5 jurnal yang di peroleh, dengan penelusuran artikel publikasi PROQUEST menggunakan tahun 2005-2015 serta penelusuran manual menggunakan Google Search dengan kata kunci aromatherapy, autism, complementhary therapy . Pencarian hanya dibatasi pada jurnal yang dapat diakses fulltext dalam format pdf dan berbahasa Inggris. Hasil. Kelima artikel menggunakan desain penelitian qualitatif dengan responden sasaran primer dan sekunder anak dengan autisme, terapi dilakukan dengan membaui aromaterapi dan juga penggabungan dengan pijatan menggunakan minyak aromatherapi. Empat artikel memiliki kulaitas yang tinggi dan 1 artikel memiliki kualitas sedang. Kesimpulan. Hasil pembahasan bahwa dari 5 gangguan yang biasa terjadi pada anak autisme, hanya 4 gangguan autisme yang bisa ditangani dengan aromaterapi. Dan 1 jurnal menjelaskan bahwa tidak ada perubahan dalam pemanfaatan aromaterapi pada anak dengan autisme. Kata Kunci : Aromaterap , Autism , Complementhary Therapy Pendahuluan Anak adalah titipan Illahi dengan berbagai karakteristiknya, dan anak tentunya akan menjadi tumpuan masa depan orang tua, dengan harapan anak yang terlahir tidak memiliki kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Namun kita sebagai manusia tetap memiliki keterbatasan dalam perwujudan seorang anak, karena akan banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut, misalnya saja dalam kesehatan anak, proses dari periode perinatal dan natal akan sangat berpengaruh pada kehidupannya kelak, konsumsi makanan, pskikis dan fisik ibu, kesehatan ibu dan pengetahuan ibu juga akan memiliki pengaruh dalam perwujudan buah hatinya kelak. Bila kita dihadapkan dengan pilihan mengenai anak, pasti kita akan berangan memiliki anak yang tidak memiliki kekurangan dalam hal apapun, tetapi pernahkah kita Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 56 membayangkan apabila kita dikaruniai anak dengan kemampuan minimal difabel atau kemampuan yang tidak selayaknya diperoleh anak disesuaikan dengan usia. World Health Organization’s International Classification of Diseases ICD-10 mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang- ulang World Health Organization’s International Classification of Diseases ICD-10 American Psychiatric Association, h. 75, 2000. Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Awal tahun1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000 kelahiran.Synopsis of Psychiatry. Di Amerika Serikat pada th 2000 angka ini meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autisme Sutism Research Institute. Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Data terakhir dari CDC Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat pada tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita dalam 10.000 kelahiran. Berdasarkan data International Congress on Autismem tahun 2006 tercatat 1 dari 150 anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang sama data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autisme di beberapa negara bagian adalah 1 dari 88 anak usia 8 tahun. Sedangkan data tahun 2014 tentang angka kejadian autisme adalah, 1 dibandingkan 68 kelahiran hidup anak. Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network, 2014 Betty Neuman dalam, Marriner-Tomey, 1994 mengubah istilah holistik menjadi holistik yang makna dan pengertiannya sama, yaitu memandang manusia klien sebagai suatu keseluruhan yang bagian-bagiannya saling mempengaruhi dan berinteraksi secara dinamis. Bagian-bagian tersebut meliputi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual. Perubahan istilah tersebut untuk meningkatkan pemahaman terhadap manusia secara keseluruhan. Marriner-Tommey, A., 1994 Kozier 1995, mengemukakan bahwa dalam holistik, memandang semua kehidupan organisme sebagai interaksi. Gangguan pada satu bagian akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Dengan kata lain adanya gangguan pada salah satu bagian akan menimbulkan dampak pada keseluruhan. Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All, 1995 Keperawatan dengan caring bio, psiko, sosio, kultural dan psikososial tentunya tidak terlepas dari konsep holistik, dengan tidak mengesampingkan keseluruhan sistem caring, maka perkembangan terbaru di sistem kesehatan dalam ranah keperawatan adalah pemanfaatan terapi komplementer. Perkembangan terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya Snyder, M. Lindquist, R., 2002. Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004. Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33 pada tahun 1991 menjadi 42 di tahun 1997 Snyder, M. Lindquist, R., 2002. Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., Johnson, P.H., 1999. Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 57 menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan. Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C., 2004. Berdasar pembagian NCCAM National Center for Complementary and Alternative Medicine terapi komplementer dibagi menjadi 5, yakni terapi mind and body, terapi biologi, terapi manipulatif, terapi energi dan sistem perawatan. Aromaterapi yang nantinya akan peneliti manfaatkan untuk alternatif terapi autisme masuk pada ranah terapi biologi, dengan cara kerja adalah memanfaatkan zat yang ditemukan di alam. Mariah Snyder, PhD, RN, Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA., 2010 Salah satu keuntungan menggunakan terapi ini adalah terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam penyampaian perawatan. Libster, M., 2002 Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma, selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat stres, dan tingkat hormon. Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., Glaser, R., 2007 Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi, epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak esensial mencapai dermis dan aliran darah. Secara topikal minyak esensial diserap dengan cepat melalui kulit; dalam beberapa aplikasinya telah digunakan untuk meningkatkan penetrasi dermal untuk obat-obatan.Williams, A., Barry, B., 1989 . Paparan diatas menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan literature review apakah ada pengaruh aromaterapi dalam penanganan anak dengan autisme? Tujuan Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa, 2006., melakukan penelitian dengan judul “Effects of aromatherapy on the development of communication skills in children with autism” tujuannya yaitu mengetahui apakah aromaterapi bsa untuk mengatasi masalah komunikasi pada anak autis. Intervensi dilakukan dengan menggunakan diffuser aromaterapi lavender selama 15-20 menit 3x dalam satu minggu dan dilakukan dalam 4 bulan. Hasil yang peneliti dapatkan, sampel mempertahankan perhatian lebih dari waktu biasanya, tenang, interaksi dengan peneliti dengan kemauan mengulang tindakan peneliti, mengikuti petunjuk dan keinginan mengulang sesi aromaterapi. Selanjutnya penelitian Emily J. Laconic. 2014, “ Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and Ado lescents with Mental Illness ”. Penelitian ini menggunakan sampel praktisi kesehatan yang menangani kesehatan mental pada anak dan remaja, diharapkan terjadi perubahan sikap pada anak autis, lebih tenang dan rileks dalam sesi pengajaran. Tim I. Williams. 2006, juga melakukan penelitian dengan judul “ Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot Study ”. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek aromaterapi dalam onset tidur stabil anak autis. Heather Godfrey BSc Joint Hons, PGCE, MIFA. 2009, juga melakukan kajian serupa dengan judul “ The Role of Essential Oils In The Treatment and Management of Aattention Deficit Hyperactive Disorder ADHD ”, tujuannya adalah mengurangi hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian untuk anak dengan kebutuhan khusus ADHD. Terakhir adalah Cynthia C. Woo and Michael Leon. 2013, “ Environmental Enrichment as Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 58 an Effective Treatment for Autism: A Randomized Controlled Trial ”, dengan harapan sensorimotor anak autis akan meningkat setelah diberikan perlakuan aromatherapi. Metoda Metode yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan literature review ini adalah metode Evidence-Based Practice EBP. EBN merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan pada evidence atau fakta hasil penelitian. EBN ini dilakukan dengan melakukan penelusuran jurnal, publikasi lembaga ahli, maupun hasil penelitian tesis ataupun disertasi yang berkaitan dengan topik pemanfaatan aromaterapi untuk anak autis. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Critical Apprasial Tools yang menyesuaikan apakah penelitian kualitatif atau kuantitatif dan ditemukan level evidence jurnla tersebut. Sintesis dilakukan pada artikel yang sejenis yang sudah dikelompokkan untuk dibahas dan memperoleh kesimpulan. Hasil Pemanfaatan aromaterapi untu anak autis dengan masalah utama komunikasi didapatkan hasil gangguan Asperger, terdapat perbaikan dalam mempertahankan perhatian, tetapi tidak konsisten. Gangguan Perkembangan Menurun, perhatian pada objek meningkat menjadi 30 detik. Sindrom Rett, terjadi peningkatan pehatian dan konsentrasi dan juga terdapat peningkatan dalam penggunaan kontak mata, dan hasil selanjutnya gangguan Disintegrasi Anak menjadikan anak tersebut menemiliki waktu yang lebih untuk fokus pada satu kegiatan. Berikutnya adalah masalah anak autis dengan gangguan mental, hasilnya yakni menjadikan klien lebih rileks dan tenang. Anak autis dengan gangguan tidur diperoleh hasil bahwa aromaterapi tidak memberikan efek pada pola tidur. Anak autis dengan karakteristik ADHD Attention Deficit Hyperactive Disorder terbukti dapat mengurangi hiperaktifitas dan meningkatkan perhatian setelah penggunaan aromaterapi. Juga untuk anak autis berusia 3-12 tahun didapatkan jikalau aromaterapi dapat meningkatkan senorimotor anak. Pembahasan Pemanfaatan aromaterapi dalam mengatasi 5 masalah utama pada anak autis yakni, Gangguan Autistik, Gangguan Asperger, Gangguan Perkembangan Menurun, Sindrom Rett, dan Gangguan Disintegrasi Anak terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan, meskipun dalam satu gangguan tidak bisa teratasi, mengenai hal ini anggapan peneliti adalah usia sampel yang diambil dalam penelitian, karena gangguan autistik timbul pada anak autis usia dibawah 3 tahun dan seluruh sampel pada penelitian ini adalah anak dengan usia 3 tahun atau lebih, selanjutnya adalah mengenai jenis essensial oil yang dimanfaatkan dalam aromaterapi untuk anak autis, sebagai contoh pemanafaatan essensial oil lavender, dengan harga yang relatif mahal perlu pengkajian ulang mengenai jenis essensial oil bumi Indonesia untuk pengganti lavender Kesimpulan Daya aromaterapi dalam penanganan autis didasarkan pada mekanisme alamiahnya bahwa terdapat pengalaman sensorik dalam mencerna bau dan menggunakan sentuhan dalam penyampaian perawatan. Aromaterapi bekerja melalui proses penghirupan aroma, selanjutnya berjalan ke olfaktori dan diteruskan ke sisitem limbik, dimana di dalam sisitem Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 59 limbik dia bereaksi dengan korteks serebral yang punya peranan terhubung langsung ke bagian-bagian otak yang mengendalikan detak jantung, tekanan darah, pernapasan, tingkat stres, dan tingkat hormon. Sedangkan penyerapan melalui kulit adalah dengan difusi, epidermis dan lapisan lemak bertindak sebagai reservoir sebelum komponen minyak esensial mencapai dermis dan aliran darah. Mengenai mekanisme penggunaanya dapat disesuaikan dengan kondisi klien, apakah cukup dengan membaui aromanya atau jiga perlakuan pijatan dengan menggunakan essensial oil aromaterapi, perlu juga untuk mengetahuikrakteristik klien, dan bisa dimulai dari usia berlanjut ke keluhan sehingga bisa optimal dalam bekerja, selanjutnya adalah jenis essensial oil yang akan digunakan dengan harapan harga terjangkau, efek maksimal. DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association, h. 75, 2000. Diagnostic and Statictical Manual-IV Andrews, M., Angone, K.M., Cray, J.V., Lewis, J.A., Johnson, P.H. 1999. Nurse’s handbook of alternative and complementary therapies. Pennsylvania: Springhouse. Archana Kumari, Sumeet Mansingh, and Prithvi Perepa. Effects of aromatherapy on the development of communication skills in children with autism. Paper presented at „Unravelling autism: causes, diagnostics and intervention conference, New Delhi, India 2006 Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network. 2014. Community Report on Autism. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Division of Birth Defects and Developmental Disabilities. Cynthia C. Woo and Michael Leon. Environmental Enrichment as an Effective Treatment for Autism: A Randomized Controlled Trial. 2013 American Psychological Association Kiecolt-Glaser, J., Graham, J., Malarkey, W., Porter, K., Lemeshow, S., Glaser, R. 2007. Olfactory influences on mood and autonomic, endocrine, and immune function. Psychoneuroendocrinology, 1115, 765 –772. Kozier, E.B, Erb, G. L, et. All. Fundamental of Nursing: Concept, Process and Practice. 5 th ed. California: Addison-Wesley Publ. 1995. Laconic, Emily J., Health Professionals’ Use of Aromatherapy with Children and Adolescents with Mental Illness 2014.Master of Social Work Clinical Research Papers. Paper 349. http:sophia.stkate.edumsw_papers349 Libster, M. 2002. Delmar’s integrative herb guide for nurses. Victoria, Australia: Delmar Thompson Learning. Mariah Snyder, PhD, RN, Ruth Lindquist, PhD, RN, ACNS-BC, FAAN, FAHA. 2010. Complementary Alternative Therapies in Nursing. Sixth Edition Springer. Publishing Company, LLC. New York. Marriner-Tommey, A. Nursing Theorist and Their Work, 3rd ed. St. Louis: Mosby Company. 1994. Publications 8 The Role of Essential oils in the Management of ADHD: Heather Godfrey©2001 – revised 2009 One Clinic© Smith, S.F., Duell, D.J., Martin, B.C. 2004. Clinical nursing skills: Basic to advanced skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Snyder, M. Lindquist, R. 2002. Complementaryalternative therapies in nursing. 4th ed. New York: Springer. Tim I. Williams. Evaluating Effects of Aromatherapy Massage on Sleep in Children with Autism: A Pilot Study. Advance Access Publication 19 April 2006 Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 60 Williams, A., Barry, B. 1989. Essential oils as novel skin penetration enhancers. International Journal of Pharmaceutics, 57, R7 –R9. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 61 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEGAGALAN DAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN PADA PASIEN TUBERCULOSIS PARU Erika Dewi Noorratri Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Diponegoro, Semarang. Email : erika_raka2009yahoo.com Abstrak Latar Belakang. TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria WHO, 2009. Banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan tbc di Indonesia. Diantaranya dilihat dari segi sosial ekonomi, gaya hidup, obat, jangkauan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan,dan lingkungan. Oleh karena itu , sistematik review ini akan mengulas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Tujuan. Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Metode. Metode yang digunakan adalah metode sistematis review yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa. Hasil. Faktor yang paling dominan mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat antara pasien TB paru adalah pendidikan, sedangkan faktor yang tidak mempengaruhi ketidakpatuhan dengan obat adalah umur, jenis kelamin, kualitas layanan, dukungan dari obat mengambil pengawas dan jarak dari rumah ke pusat kesehatan Erni Erawatyningsih, dkk, 2009. P asien yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko sebesar 4,07 kali untuk default dibandingkan pasienyang tidak mempunyai keluhan OAT.Diketahui juga terdapat beberapa faktor risiko lain yang berpengaruh sebagai konfounder terhadap hubungan antara efek samping OAT dengan terjadinya default tersebut yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan carabayar.Samsu Rian, 2010. Pasien 42 gagal yang diberikan regiman pengobatan.Nagaraja SB, Srinath Satyanarayana, et al,2011,hasil yang paling banyak yaitu program yang didapatkan praktisi mandiri mendapatkan informasi tentang pengobatan yang diobservasi secara langsung short-course DOTS strategy. Putra I W. Ni Wayan Utami. et al, 2013.dan pasien 93 diterima pada regimen standard kategori 2. Dooley KE, Ouafae Lahlou, at al, 2011 Kesimpulan : Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien tuberculosis paru diantaranya pendidikan, adanya penyakit penyerta, jenis obat dan cara bayar. Kata Kunci : kegagalan, OAT, TBC paru Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 62 Pendahuluan TBC merupakan penyakit yang menular dan mematikan di dunia.Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30, Asia sebesar 55, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35 dari semua kasus tuberkulosis. Evaluasi WHO selama 3 tahun dari 2008,2009,2010 menunjukkan bahwa kejadian TBC Indonesia mencapai 189 per 100.000 penduduk. Indonesia masih termasuk 10 besar negara dengan beban permasalahan TB terbesar dari 22 negara di dunia. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria WHO, 2009. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8 dari total jumlah pasien TB didunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang.Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Adapun kendala yang dihadapi yaitu Komitmen dan kontribusi pemerintah daerah terhadap pengendalian TB, Masih ada populasi tidak terjangkau wilayah Indonesia Timur, penjara, pendatang di kota besar, dan populasi dengan risiko tinggi HIV, Peningkatan jumlah jaringan laboratorium untuk biakan dan uji kepekaan di pulau lain selain Jawa dan EQA, Pengenalan metode diagnostik baru LPA, Xpert MTBRIF dan integrasi ke dalam sistem, Pengembangan aktivitas kolaboratif mengenai TBHIV untuk mencakup provinsi lain, Mencegah habisnya obat lini pertama dan lini kedua. Cakupan penemuan kasus TB baru BTA + atau Case Detection Rate CDR di Jawa Tengah tahun 2006 sd 2010 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100. Meskipun masih dibawah target yang ditentukan, capaian CDR tahun 2010 sebesar 23.922 kasus 69,04 meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 48,15. CDR tertinggi di Kota Tegal sebesar 111,58 dan yang terendah di Kota Salatiga sebesar 30,60. Terdapat tiga kabupatenkota yang sudah melampaui target 100 yaitu Kota Tegal 111,58, Kota Pekalongan 105,96 dan Kabupaten Pekalongan 100,89. Penyakit TBC masih banyak diderita oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Baik itu dari penderita maupun lingkungan di sekitarnya. Salahsatunya faktor dari bagaimana pengobatan penderita TBC. Sesuai dengan aturan dan petunjuk yang diberikan atau tidak, atau ada faktor yang lain yang mempengaruhi dan sampai sekarang ini diketahui belum berhasil dalam pengobatannya. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan p engobatan pada pasien tuberculosis paru”. Tujuan a. Tujuan Umum Menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. b. Tujuan Khusus 1 Mengidentifikasi karakteristik responden tentang umur , pendidikan , pekerjaan, pendapatan. 2 Mengidentifikasi kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan tbc paru. Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 63 3 Menganalisa faktor-faktor yang paling dominan terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pada pasien tuberculosis paru. Metoda Dalam sistemik review ini , metode yang digunakan adalah campuran metode sistematis review, semacam tinjauan literatur yang menggunakan beberapa jenis artikel ilmiah seperti jurnal penelitian kuantitatif dan kualitatif , terkait dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Kemudian artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil kemudian dianalisa. Systematic review ini dilaksanakan dengan melakukan penelusuran artikel publikasi pada EBSCO, Googlesearch, proquest.com serta Sciencedirect.com dengan kata kunci yang dipilih. Artikel yang ada kesamaan dalam setiap penelusuran diambil salah satunya dan dianalisa. Penelusuran literatur dibatasi pada terbitan 2005-2015 yang dapat diakses fulltext dalam format pdf.Artikel yang dipilih adalah hasil penelitian yang berupa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegagalan dan ketidakpatuhan pengobatan pasien tuberculosis paru.Adapun topik yang dipilih adalah Artikel yang sesuai kriteria lalu dianalisis menggunakan critical appraisal tool yang sesuai untuk hasil penelitian kuantitatif untuk menilai kualitas penelitian.Data-data dari hasil temuan yang sudah dianalisis kemudian diekstraksi dan dikelompokkan yang sejenis kemudian data-data yang sudah diekstraksi tadi dilakukan triangulasi, dibahas dan disimpulkan untuk menjawab tujuan. Ada 6 artikel yang dilakukan sistematik review. Yaitu : 1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar. Pada tahun 2012 2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian Default di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur Januari 2008- Mei 2010. Pada tahun 2010 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat pada Penderita Tuberculosis. Pada tahun 2009 4. Factors associated to referral of tuberculosis suspects by private practitionersto community health centres in Bali Province, Indonesia. Pada tahun 2013 5. How Do Patients Who Fail First-Line TB Treatment but Who Are Not Placed on an MDR- TB Regimen Fare inSouth India? Pada tahun 2011

6. Risk factors for tuberculosis treatment failure,default, or relapse and outcomes of

retreatment in Morocco. Pada tahun 2011 Hasil 1. Hubungan Pengetahuan dengan Kegagalan Pengobatan Tuberculosis di Puskesmas Antang Kecamatan Manggala kota Makassar. Pengetahuan seseorang tentang suatu penyakit dapat dihubungkan dengan kegagalan dalam pengobatan.responden yang memiliki pengetahuan yang kurang lebih banyak mengalamikegagalan pengobatan dibandingkan responden yang memiliki pengetahuan yang baik dan ternyata pasien yang banyak mengalami kegagalan dalam pengobatannya adalah mereka yang pengatahuannya kurang. Menurut Brunner, bahwa pengetahuan tentang kesehatan dapat membantu individu- individu tersebutuntuk beradaptasi dengan penyakitnya, mencegah komplikasi, dan belajar untuk memecahkan masalah ketika menghadapi situasi baru. Semakin rendah pendidikan Prosiding Seminar Nasional Keperawatan Komunitas “Pera Perawat dala Pelaya a Kesehata Pri er e uju Masyarakat Eko o i ASEAN “ Semarang, 7 November 2015 64 seseorang maka semakin rendah pula pengetahuannya tentang penyakit tuberkulosis, akan tetapi gagal atau berhasilnya pengobatan seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor dukungan keluarga. Pengobatan pasientuberkulosis yang disertai dengan dukungan penuh dari keluarga maka besar kemungkinan pasien tersebut akan sembuh dari penyakitnya, begitupula sebaliknya akan kecil kemungkinan untuk sembuh jika pengobatan dari pasien tidak disertai dengan dukungan keluarga terutama dalam hal minum obat. Pengetahuan penderita tuberkulosis tentang penyakitnya jugamerupakan faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis sebab pengetahuan yang baik tentang penyakit yang diderita akan membuat penderita tahu apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan sehingga dapat membantu petugas kesehatan dalam memberantas. Penelitian oleh Sulianti 2001 menyatakan bahwa lamanya waktu pengobatan penyakit tuberkulosis yang harus dilakukan selama 6 bulan, mungkin saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Tetapi bagi penderita yang memiliki pengetahuan yang cukup akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur.

2. Pengaruh Efek Samping Obat anti Tuberkulosis terhadap Kejadian