TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER TAMU

(1)

THE HOSPITAL CIVIL LEGAL LIABILITY TO VISITING DOCTOR

ABSTRACT By Ilhamdani

The provisions of legislation Of Article 12 clause (4) of regulations No. 44 year 2009 about Hospital) hospitals can employ temporary employees and consultants in accordance needs and capabilities of hospitals. Temporary employees are health professionals that not owned by the hospital concerned, especially medical personnel (specialists and subspecialists). Medical personnel who are not permanent, in practice often called visiting doctor. As visiting doctor, its positions not same as permanent doctor hospital. Problems appear if there is visiting doctor negligence and result in losses of patients and their families: The first, whether the hospital can be held accountable for any errors or omissions that resulted in any damages in the patient is performed by visiting doctor and how liability form is can be performed well by the hospital or visiting doctor? Second, how the legal position between the hospital and visiting doctor? Third, how types or forms of agreements create by hospitals and visiting doctor in health care?. The Kind of normative juridical research. The approach taken is approach legislation (statute approach), and conceptual approach (conseptual approach), and the empirical approach is made to complete data is has been obtained through a normative approach.

The results show, that in principle the hospital can not held accountable for omissions by visiting doctor that causes patients to suffer any damages. This principle is in accordance the provisions of Article 46 UU RS No. 44/2009, but in practice the any damages met joint liability. The legal position between the hospital and visiting doctor is a balanced position not sub-ordinate. Each side has the same bargaining power, but nevertheless in practice the position of doctor visitors would be have a stronger bargaining position, through developments in practice, types or forms agreements made by hospitals and visiting doctor in health care has given rise to type agreement is an agreement mixture (gemengde contractus), is agreements containing elements of various agreements called. For example, labor agreements, lease agreement and purchase agreement.


(2)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER TAMU

ABSTRAK

Oleh Ilhamdani

Ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit), rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan rumah sakit. Tenaga tidak tetap adalah tenaga kesehatan yang tidak dimiliki oleh rumah sakit bersangkutan, terutama tenaga medis (dokter spesialis maupun sub spesialis). Tenaga medis yang tidak tetap tersebut, dalam praktik sering disebut sebagai dokter tamu. Sebagai dokter tamu, kedudukannya tidak sama dengan dokter tetap rumah sakit. Permasalahan muncul jika terjadi kelalaian dokter tamu dan mengakibatkan kerugian pasien dan keluarganya; pertama, apakah rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan oleh dokter tamu dan bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan baik oleh rumah sakit maupun dokter tamu? Kedua, bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu? Ketiga, bagaimana jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan?. Jenis penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach), serta pendekatan secara empiris dilakukan untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan normatif.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada prinsipnya rumah sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu yang menyebabkan pasien menderita kerugian. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, namun dalam praktiknya kerugian dipenuhi secara tanggung renteng. Kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu adalah kedudukan yang seimbang bukan sub-ordinat. Masing-masing pihak mempunyai bargaining power yang sama, namun demikian dalam praktik kedudukan dokter tamu justru lebih mempunyai posisi tawar yang lebih kuat. Melalui perkembangan dalam praktik, jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan telah melahirkan suatu perjanjian campuran (gemengde contractus), yaitu perjanjian yang mengandung unsur dari berbagai perjanjian bernama. Misalnya, perjanjian perburuhan, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli.


(3)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT

TERHADAP DOKTER TAMU

Oleh

ILHAMDANI

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

MAGISTER HUKUM

Pada

Bagian Hukum Kesehatan

Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT

TERHADAP DOKTER TAMU

(Tesis)

Oleh

ILHAMDANI

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritik ... 10

E. Kerangka Konsepsional ... 17

F. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19

2. Pendekatan Masalah ... 19

3. Data dan Sumber Data ... 20

4. Prosedur Pengumpulan Data ... 22

5. Analisis Data ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23

A. Tinjauan Tentang Rumah Sakit ... 23

B. Klasifikasi Rumah Sakit ... 26


(6)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kesalahan yang Dilakukan oleh Dokter Tamu ... 39

1. Karakter Hubungan Dokter-Pasien di Rumah Sakit ... 39

2. Karakteristik Hubungan Hukum Dokter Tamu dan Rumah Sakit serta Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kesalahan Dokter Tamu ... 49

B. Kedudukan Hukum antara Rumah Sakit dan Dokter Tamu ... 61

C. Jenis Perjanjian atau Kontrak antara Dokter Tamu dan Rumah Sakit dalam Pelayanan Kesehatan ... 72

BAB IV PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran-Saran ... 80


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit terhadap Dokter Tamu”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, karena itu penulis mengharapkan koreksi, masukan dan saran dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan melengkapi tesis ini.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Haryanto, M.S selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana. 3. Bapak Prof. Dr. Hi. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

4. Bapak Prof. Dr. Hi. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Pascasarjana Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

5. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H selaku Sekretaris Program Pascasarjana Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(8)

6. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan banyak membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak membantu dan memberikan masukan untuk melengkapi dan memperbaiki tesis ini.

8. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H dan Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H selaku Penguji yang telah melakukan koreksi, memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

9. Bapak/Ibu Dosen, Pegawai, dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

10.Seluruh teman-teman angkatan 2013/2014 Kelas A Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapat pahala yang setimpal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis,


(9)

MENGESAHKAN

tas

ll

m

r'lffi

re8 2. DcilfaFI

./.**Er-,:e, li+i';t^tr+'* /;' .s:-f *y+\t l, ::t i ry;j, E' I

I

r: 1l $;i]t 9.6 \" =. ii f ' ; ir':f.--l;l*{ei*-di+{*g

\

PjtrsC

'i\ NIP'19

' l.Y::F-*;;;

Program Patcasarjana Universitas iL ampung

{ Sudjarwo, M.S. 30s28 198103 tA02


(10)

Judul.Tesis

NamaMahasiswa ,,,,;i No. Pokok Mahasiswa : Frograni'Kekhususan '

: :: .:.1'. . :. .

Program

Studi

:

Fakultas

:

Brygqyryg,j4l4IlryE

pERDArARpl!+lI,s4l!{r

ILHAMDANI

1322011022

ProgramPascasarjanaM6gisterrHukum

"

,, ,

' '

,

i.iii:,:

i'Dr. HS. Tisnanta, iS.H,r,[f.1L NrP r9610930 198702

l 00r

Dr. M. F akih",$.H., M.S;:

NIP,,1964,1218 198803 1 009

um Fakultas Hukurn

Anwar,'S.H.;M.HuE. 314 198603 1 001


(11)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenamya bahu'a :

1.

Tesis dengan judul "'fanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit Terhadap Dokter Tamu" adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya

ilmiah ini diserahkan

sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

'Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung zrliibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar

Lampung,

Juli 2015 Pembuat Pernyataan

iLHAMDANI NPM 1322011022


(12)

MOTO

“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila dikatakan kepadamu, “berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan

memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “berdirilah kamu,” maka berdirilah,

Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa

yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah;11)


(13)

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan tesis ini kepada :

1. Ayah dan Ibuku tersayang, atas segala kasih sayang, keikhlasan, serta doa tulus yang tiada henti engkau curahkan untuk anak-anakmu.

2. Istriku tercinta Budi Utami, S.Ag, yang selalu sabar dan tak pernah lelah memberikan dukungan dan mendampingi dalam setiap keadaan.

3. Anak-anakku Muhammad Farhan Setiadi dan Aulia Azzahra Anindhita. Kalian adalah semangat dan kekuatanku, untuk menghadapi segala tantangan hidup.

4. Kakak dan Adik-adikku, serta segenap keluarga besarku, yang telah memberikan dukungan dan mendoakan keberhasilanku.

5. Pimpinan, teman kerja, serta sahabat dan teman-teman semua yang terus memberikan semangat dan dorongan untuk penyelesaian tugas akhir ini. 6. Almamater tercinta Universitas Lampung.


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumber Jaya, Lampung Barat pada tanggal 26 Oktober 1976 sebagai putra kedua dari empat bersaudara pasangan Ayah Muhammad Yunani dan Ibu Asminah.

Adapun pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Sekolah Dasar Negeri 02 Desa Way Petai Sumber Jaya Lampung Barat, selesai tahun 1989;

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Kedaton Bandar Lampung, selesai tahun 1992;

3. Sekolah Perawat Kesehatan Negeri Tanjungkarang Bandar Lampung, selesai tahun 1995;

4. Diploma III Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungkarang Bandar Lampung, selesai tahun 2002;

5. S1 Keperawatan Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Bandar Lampung, selesai tahun 2012;

6. Pada tahun 2013 penulis menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis, rumah sakit atau hospital merupakan suatu institusi hasil pelembagaan dari suatu pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, menurut sejarahnya rumah sakit tidak terpisah dengan sebuah upaya pengobatan. Pada mulanya Rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan didirikan dengan latar belakang pelaksanaan tugas keagamaan atau pelaksanaan ibadah. Rumah sakit dalam konteks ini melaksanakan tugas semata-mata untuk tujuan sosial kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Pelayanan rumah sakit pada waktu itu terutama difokuskan pada pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Pada masa itu, pelayanan kesehatan di rumah sakit dikenal suatu doktrin charitable community, yaitu rumah sakit merupakan lembaga karitas yang sarat dengan sifat sosial, kemanusiaan yang dilandasi nilai Ke-Tuhanan serta tidak untuk mencari keuntungan.

Melalui doktrin charitable community pada prinsipnya rumah sakit tidak dapat digugat jika melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada diri pasien. Alasannya adalah rumah sakit melakukan tugas kemanusiaan, menolong pasien tanpa pamrih. Namun, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan dinamika pelayanan kesehatan, rumah sakit telah berubah dari pelayanan yang bersifat sosial kemanusiaan mengarah pada pelayanan kesehatan dengan tujuan mencari keuntungan (profit motive). Kondisi demikian ditegaskan oleh Anthony Giddens, bahwa pelayanan kesehatan telah bergeser dari public goods menjadi


(16)

2

private goods, sehingga pemenuhan kepuasan pasien semakin lama semakin

kompleks dan rumah sakit bersaing untuk menarik pasien.1

Fungsi rumah sakit secara klasik adalah memberi pelayanan pengobatan dan penyembuhan kepada pasien secara rawat jalan dan rawat inap. Fungsi ini dalam literatur medis dinamakan sebagai fungsi pelayanan intramural. Melalui perkembangan yang begitu kompleks saat ini, rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dalam pelayanan tugas kesehatan perorangan secara paripurna tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Selain itu, rumah sakit juga mempunyai fungsi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, selanjutnya disingkat UU RS No. 44 Tahun 2009). Adapun yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Sedangkan, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan perorangan tingkat

1

Endang Wahyati Yustina, 2012, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, Hlm.7; Benyamin Lumenta, 1989, Hospital, Citra, Peran dan Fungsi (Tinjauan Fenomena Sosial), Kanisius, Yogyakarta. Hlm. 17-29


(17)

3 lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.

Rumah sakit dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, pada prinsipnya harus ditunjang oleh sumber daya di bidang kesehatan. Dengan kata lain, rumah sakit harus memiliki sumber daya yang memadai, sehingga tujuan pelayanan kesehatan secara paripurna dapat tercapai. Sumber daya yang dimaksud di sini adalah sumber daya manusia, yaitu tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, selanjutnya disingkat UU K No. 36 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, selanjutnya disingkat UU TK No. 36 Tahun 2014).

Selanjutnya, tenaga kesehatan di Indonesia menurut ketentuan Pasal 11 UUTK No. 36 Tahun 2014 dapat dikelompokan menjadi 13 kelompok yaitu: tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain. Untuk jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.


(18)

4 Tenaga medis yang terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis pada dasarnya merupakan tenaga kesehatan yang paling penting dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disingkat UU PK No. 29 Tahun 2004) yang dimaksud dengan Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut ketentuan Pasal 12 UU RS No. 44 Tahun 2009, bahwa rumah sakit harus memiliki tenaga medis yang bersifat tetap. Selain itu, rumah sakit juga harus memiliki tenaga tetap lainnya seperti penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit dan tenaga non kesehatan. Selanjutnya, yang dimaksud dengan tenaga tetap adalah tenaga yang bekerja secara “purna waktu”. Dokter purna waktu dapat juga disebut dokter in atau full time, yang dalam konteks ini rumah sakit bertanggung jawab atas segala tindakan dokter “in”.2 Dokter purna waktu atau dokter in atau dokter full time pada prinsipnya mempunyai kedudukan sub-ordinate dari sebuah rumah sakit (pegawai atau employee) atau sering juga disebut sebagai “dokter organik”. Hubungan ini pada umumnya terjadi di rumah sakit milik pemerintah baik pusat maupun daerah, yang tenaga dokternya digaji/dibayar secara penuh/tetap oleh rumah sakit/pemerintah. Dokter bekerja dan dibayar di rumah sakit dengan tidak melihat

2 Fred Ameln. 1991. Kapita selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya, Jakarta.


(19)

5 berapa jumlah pasien yang dilayani dan tidak melihat banyaknya tindakan yang telah ia lakukan. Oleh karena itu karakteristik hubungan yang lebih dominan adalah pasien dan rumah sakit, dan pasien berkewajiban melakukan kontra prestasi terhadap rumah sakit. Dalam kaitan dokter sebagai sub-ordinate dari rumah sakit inilah berlaku doktrin vicarious liability, respondeat superior, dan yang berkembang pada doktrin hospital liability.3

Namun demikian, pada prinsipnya rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat (4) UU RS No. 44 Tahun 2009). Yang dimaksud dengan kemampuan di sini meliputi kemampuan dana dan pelayanan rumah sakit (Penjelasan Pasal 12 ayat (4) UU RS No. 44 Tahun 2009). Berdasarkan ketentuan Pasal 12 di atas, berarti sebuah rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap seperti halnya tenaga medis atau dokter dari luar rumah sakit. Dokter tidak tetap tersebut, sering juga disebut sebagai dokter out (dokter tamu), yang berarti bukan pegawai rumah sakit tersebut.4

Dalam literatur hukum medis, dokter out tersebut, sering juga dinamakan sebagai independent contractor (tenaga bebas). Sebagai contoh, apabila dalam rumah sakit tertentu tidak memiliki dokter bedah dan dokter anestesi, maka rumah sakit akan mendatangkan dokter dari luar atau dapat saja dokter ahli bedah tersebut membawa pasiennya untuk melakukan operasi pembedahan. Artinya dapat saja dokter bedah yang praktik di luar kemudian merekomendasikan pasiennnya untuk dilakukan operasi di rumah sakit tertentu yang belum punya

3

Indra Sari Aulia. 2014. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan. Tesis Magister Hukum Unila. Hlm. 61

4


(20)

6 dokter bedah. Operasi yang dimaksud dapat saja berupa operasi yang bersifat kuratif, diagnostik, lifesaving (penyelamatan nyawa), refungsi, preventif, rekonstruksi maupun estetika.

Dalam kondisi demikian, mungkin saja akan terjadi masalah yang cukup kompleks, misalnya apabila ada operasi yang dilakukan oleh suatu tim dokter bedah. Tim dokter tersebut sebagian terdiri dari dokter spesialis yang digaji oleh rumah sakit bersangkutan atau dokter in dan sebagian dokter tamu atau dokter out. Suatu tim bedah sebagai suatu kesatuan tidak dapat dinyatakan bertanggung jawab atas suatu kesalahan atau kelalaian, karena dokter peserta dari tim tersebut selalu harus bertanggung jawab sendiri atas bagian pekerjaan yang ia lakukan sewaktu operasi dilakukan sesuai dengan keahliannya dokter peserta tersebut. Sebagai contohnya adalah terhadap kasus Dokter Nuboer, dimana Hoge Raad (HR) melalui Arrestnya No. 328 tanggal 31 mei 1968 telah menguatkan pengadilan di tingkat bawah, bahwa Dokter Nuboer tidak dapat dituntut atas tertinggalnya jarum suntik dalam tubuh pasien karena ia bekerja dalam hubungan satu tim dan tidak terbukti bahwa ia telah melakukan kelalaian.5

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pada rumah sakit-rumah sakit tertentu dokter atau tenaga medis yang bekerja di dalamnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dokter yang merupakan tenaga tetap rumah sakit bersangkutan dan dokter yang merupakan dokter tamu. Contoh, di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSAM) Provinsi Lampung tenaga medis yang melayani pasien di rumah sakit terdiri atas tenaga medis tetap dan tenaga medis sebagai dokter tamu. Tenaga medis dokter tamu di rumah sakit

5


(21)

7 tersebut, terdiri dari: dokter subspesialis hepatoloenterologi dan endoscopy, dokter spesialis bedah anak, dokter spesialis bedah otot dan tulang, dokter spesialis gizi klinik dan dokter spesialis forensik.

Dokter yang merupakan tenaga tetap secara hukum telah terjadi untuk melakukan suatu pekerjaan di rumah sakit dengan ciri-ciri tertentu. Pertama, dokter bekerja atas perintah rumah sakit. Kedua, dokter harus menaati segala bentuk peraturan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Ketiga, dokter dibayar atau digaji oleh rumah sakit bersangkutan. Dengan demikian, antara dokter tetap tersebut dengan rumah sakit bersangkutan terbit suatu perikatan untuk berbuat sesuatu sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun demikian khusus untuk dokter yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan bekerja pada rumah sakit milik pemerintah, maka berlaku sepenuhnya tentang peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Selanjutnya, dokter yang merupakan dokter tamu pada suatu rumah sakit tertentu, biasanya diadakan suatu perjanjian khusus (bijzondere overenskomst) yang mengatur hubungan kedua belah pihak. Yang pada umumnya perjanjian tersebut ditentukan oleh rumah sakit bersangkutan, dan isi perjanjiannya akan berlainan antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit yang lain. Kondisi ini disesuaikan dengan kelas rumah sakit, kemampuan dan jumlah pasien. Meskipun pola pekerjaan dokter tamu dalam sebuah rumah sakit telah diatur dalam sebuah perjanjian, namun masalah tanggung jawab rumah sakit terhadap dokter tamu tersebut, masih perlu mendapat perhatian. Timbul pertanyaan bagaimana andai


(22)

8 kata terjadi kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu di rumah sakit dan mengakibatkan kerugian pada diri pasien dan keluarganya? Apakah rumah sakit secara serta merta juga dapat bertanggung jawab sesuai dengan doktrin hospital liability?

Seperti diketahui bahwa pelayanan di rumah sakit yang paling mengandung risiko adalah bidang pelayanan bedah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Suharjo Cahyono, bahwa bidang pelayanan bedah merupakan bagian pelayanan yang lebih sering menimbulkan cedera medis dan komplikasi dibandingkan di bagian lain. Misal, dalam tindakan pra-bedah atau sebelum dilakukan operasi adalah tindakan anestesi, yang dalam tindakan inipun selalu akan berisiko terhadap tubuh pasien. Seperti peristiwa dua pasien di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang meninggal dunia setelah pemberian obat anestesi Buvanest Spinal.6 Kasus ini menunjukkan begitu kompleksitasnya prosedur pra-bedah di rumah sakit. bagaimana kalau ini dilakukan oleh dokter tamu? Terlebih-lebih kalau dokter tamu (dokter bedah dan anestesi) berpraktik di sana-sini dan melayani pasien secara kurang proporsional.

Terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan tersebut tentu saja akan merugikan pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, dalam kontek ini perlu diketahui mengenai bentuk pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kerugian akibat kelalaian dari dokter tamu, kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu, dan secara perdata perlu diketahui bentuk-bentuk atau jenis-jenis perjanjian apa saja yang dilakukan oleh rumah sakit dengan dokter tamu.

6


(23)

9

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, permasalahan dalam penulisan ini adalah:

1. Apakah rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan oleh dokter tamu dan bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan baik oleh rumah sakit maupun dokter tamu?

2. Bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu?

3. Bagaimana jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk memahami pertanggungjawaban yang dapat dilakukan baik oleh rumah sakit maupun dokter tamu terhadap kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan oleh dokter tamu. b. Untuk memahami bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan

dokter tamu.

c. Untuk memahami dan menganalisis jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian atau kelasalahan yang dilakukan oleh dokter tamu.


(24)

10 b. Selain itu, bermanfaat bagi pengelola rumah sakit dan tenaga medis

khususnya dokter tamu dalam melayani pasien di rumah sakit.

c. Secara praktik, penelitian ini akan bermanfaat bagi rumah sakit dalam menggunakan dokter tamu untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahliannya yang sesuai dengan standar profesi maupun standar prosedur operasional.

D. Kerangka Teoritik

Pada prinsipnya rumah sakit baik milik pemerintah maupun milik swasta adalah berstatus sebagai badan hukum yang memiliki personalitas hukum (legal personality) sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, rumah sakit dapat memikul tanggung jawab (aansrakelijkheid, liability) atas segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit bersangkutan. Dengan kata lain, rumah sakit dimana tempat dokter bekerja juga turut bertanggung jawab atas perbuatan dokter atau tenaga kesehatan yang bertentangan dengan profesinya. Dalam hal ini berlaku doktrin hubungan majikan dan karyawan (Vicarious Liability), yang dalam perkembangannya di dunia perumahsakitan mulai diterapkan secara universal doktrin Hospital Liability.7

Vicarious liability timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai atasan atau employer) dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinat (pegawai atau employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya

7 Guwandi. 2011. Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 14


(25)

11 dokter, bekerja sebagai mitra/tamu sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit. Menurut doctrine of vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggung jawab atas kesalahan dokter tetap yang bekerja di institusi tersebut.

Doktrin vicarious liability pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Menurut ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata di atas, majikan (employer) atau orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan mereka, bertanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawainya (servant) atau karyawannya (employee). Tanggung jawab yang dikonstruksikan Pasal 1367 KUH Perdata tersebut disebut tanggung jawab orang yang mewakili atau vicarious liability atau vicarious responsibility. Artinya, tanggung jawab perdata yang dipaksakan hukum (imposed by law) kepada seseorang atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang lain. Sebab dalam konteks ini perbuatan atau kelakuan pelaku dianggap berlaku atau dikonstruksikan berhubungan dengan orang lain.8

Dasar Pasal 1367 KUH Perdata memikul tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan bahwa karyawan atau pegawai melalui konstruksi vicarious liability, bertitik tolak dari alasan kekurang hati-hatian majikan dalam hal ini rumah sakit mengangkat karyawan atau tenaga kesehatan


(26)

12

yang disebut sebagai culpa in aligendo. Namun terhadap teori ini, ada teori lain

sebagai alasan bahwa majikan atau rumah sakit tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau tenaga kesehatannya, yang dikenal

dengan teori “menimbulkan keadaan yang membahayakan” atau gevaarzetting

theorie.9 Akan tetapi untuk mengesampingkan gevaarzetting theorie atau ajaran hukum lain yang mengatakan seseorang yang meminta bantuan pihak ketiga untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk dan atas namanya, harus berani menanggung risiko terhadap perbuatan yang dilakukan orang yang diminta

bantuannya itu untuk mana orang tersebut digunakan.10

Pertanggung jawaban yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH

Perdata di atas pada prinsipnya hanya berlaku pada dokter tetap atau dokter full

time, sebagai pegawai tetap dari suatu rumah sakit, yang pada umumnya adalah

rumah sakit milik pemerintah. Oleh karenanya secara teoritis rumah sakit sebagai

badan hukum (recht persoon) dapat dimintai pertanggungjawaban yang dapat

dibedakan menjadi dua yaitu: tanggung jawab dalam makna liability,

aansprakelijkheid atau tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab dalam makna responsibility, verantwoordelijkheid atau tanggung jawab moral (etis). Secara

prinsip liability, aansprakelijkheid menunjukkan pada akibat yang timbul dari

akibat kegagalan untuk memenuhi standar tertentu, sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Dengan kata lain tanggung jawab dalam

arti liability,aansprakelijkheid adalah tanggung jawab hukum atau yuridis.

9

Marianne Termorshiizen. 1999. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta. Hlm. 146


(27)

13 Selanjutnya, bagaimana hubungan perikatan dalam upaya pelayanan kesehatan yang melibatkan dokter, perawat, rumah sakit dan pasien. Dengan meminjam kontruksi yang pernah dikemukakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji11, maka diperoleh bagan sebagai berikut:

Bagan 1. Hubungan keperdataan dokter, perawat, pasien dan rumah sakit 1

4 5 2 3

6

Hubungan keperdataan dari bagan tersebut, akan diperoleh beberapa kontruksi hukum, yakni:

a. Hubungan 1 antara dokter dan rumah sakit, dapat didasarkan pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan bagi rumah sakit swasta, sedangkan bagi rumah sakit pemerintah berlaku hukum kepegawaian yang masuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN).

b. Hubungan 2 antara rumah sakit dan pasien, diatur melalui verzorgingsovereenkomst (perjanjian keperawatan) yang digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu (Pasal 1601 KUH

11

Hermien Hadiati Koeswadji. 2002. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 134

DOKTER

PERAWAT PASIEN


(28)

14 Perdata). Rumah sakit memikul beban tanggung jawab apabila pelayanan kesehatan yang diberikan perawat di bawah standar profesi, oleh karenannya di sini berlaku doktrin vicarious liability.

c. Hubungan 3 antara rumah sakit dan perawat, diatur berdasarkan perjanjian perburuhan bagi rumah sakit swasta, sedangkan bagi rumah sakit pemerintah berlaku hukum kepegawaian.

d. Hubungan 4 antara dokter dan pasien, termasuk dalam perjanjian penyembuhan (transaksi terapeutik). Transaksi terapeutik secara perdata dapat digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu (Pasal 1601 KUH Perdata).

e. Hubungan 5 antara dokter dan perawat, berlaku sebagai tugas bantuan. Artinya, perawat dalam tindakan medik hanya sebatas membantu dokter, oleh kerena itu yang harus dilakukan perawat sesuai dengan perintah dan petunjuk dokter. Perawat tidak bertanggung jawab atas kesalahan dokter, di sini berlaku doktrin perpanjangan tangan dokter (verlengde arm van de art).

f. Hubungan 6 antara perawat dan pasien, diatur melalui perjanjian keperawatan (verzorgingsovereenkomst). Hubungan 6 tersebut, hubungan hukumnya sama dengan yang terdapat dalam hubungan 2 di atas, yaitu digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu (Pasal 1601 KUH Perdata).

Berdasarkan telaah di atas, masing-masing hubungan dokter dan pasien, dokter dan rumah sakit, perawat dan dokter mempunyai konstruksi hukum yang berbeda-beda.


(29)

15 Selanjutnya konstruksi lain yang berhubungan dengan dokter tamu dan rumah sakit adalah pertama, bahwa hubungan dokter tamu dengan pasien dalam sebuah rumah sakit merupakan hubungan medik atau transaksi terapeutik (perjanjian penyembuhan). Kedua, hubungan pasien dengan rumah sakit dimana dokter tamu tersebut bekerja telah terjadi hubungan atau perjanjian keperawatan/perawatan (verzoring contract). Akibatnya, solah-olah pihak rumah sakit hanya menyediakan tenaga perawat dan sarana serta prasarana kesehatan yang ada, sedangkan untuk perjanjian penyembuhannya sangat ditentukan oleh dokter tamu bersangkutan.

Melalui konstruksi yang ditentukan oleh Hospital By Laws, maka dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:

Bagan 2. Kerangka Hubungan dokter, perawat, pasien dan rumah sakit.

Tanggung Jawab Rumah Sakit selaku Pelayanan Medis Profesional Terhadap Mutu Personalia Sarana/ Peralatan Tenaga Lainnya Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan Lainnya

Dokter Tetap/Purna Waktu Tenaga Medis/

Dokter

Dokter Kontrak/Paruh Waktu Dokter Tamu

Hubungan Hukum di RS: 1. Dokter dengan Pasien 2. Pasien dengan RS 3. RS dengan Dokter

ETIKA DISIPLIN HUKUM Keamanan Bangunan dan Perawatannya


(30)

16 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws), bahwa Rumah sakit merupakan suatu instansi yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pendidikan dan latihan tenaga medis, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran. Berdasarkan ketentuan tersebut pada dasarnya terdapat empat bagian berkaitan dengan pertanggungjawaban rumah sakit selaku pelayanan medis, yaitu:

a) tanggung jawab terhadap personalia;

b) tanggung jawab professional terhadap mutu; c) tanggung jawab terhadap sarana/peralatan; dan

d) tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.

Hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu: pertama, perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatannya. Kedua, perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspaninngs Verbintenis.

Rumah sakit sebagai badan hukum bertanggung jawab atas tindakan medis yang dilakukan dokternya yakni tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab etik umumnya meliputi tanggung jawab disiplin profesi,


(31)

17 sedangkan tanggung jawab hukum termasuk tanggung jawab hukum pidana, perdata, dan administrasi.Pasal 46 UU RS No. 44 Tahun 2009, dinyatakan bahwa:

“Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”.

Dokter yang bekerja di suatu rumah sakit dapat memiliki hubungan administratif yang bervariasi dengan rumah sakit tersebut. Di rumah sakit, seorang dokter dapat berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di rumah sakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan pemilik rumah sakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumah sakit, atau sebagai (d) tenaga kerja (purna waktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu, atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga.12

E. Kerangka Konsepsional

1. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Pasal 1 angka 1 UU RS No. 44 Tahun 2009).

2. Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lainnya di dalam hubungan

12 Machmud, Syahrul, 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter yang diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Bandung: CV. Karya Putra Darwati. Hlm. 200-201


(32)

18 keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.13

3. Tanggung jawab rumah sakit di sini adalah tanggung jawab (liability, aansprakelijkheid), artinya rumah sakit secara yuridis dapat digugat ke pengadilan. Secara prinsip liability, aansprakelijkheid menunjukkan pada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tertentu, sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Dengan kata lain, tanggung jawab dalam arti liability, aansprakelijkheid adalah tanggung jawab hukum perdata. Pasal 46 UU RS No. 44 Tahun 2009 menentukan, bahwa “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Purwahid Patrik, menegaskan bahwa tanggung jawab pada dasarnya ada seseorang yang harus menanggung terhadap gugatan. Berarti ada orang yang dirugikan, minta agar kerugian itu ditanggung atau dipertanggugjawabkan oleh orang yang membuat kerugian. Dalam hukum berarti adanya hubungan antara orang yang dirugikan dan orang yang membuat kerugian.14

4. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1

13 Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Hlm. 110

14 Purwahid Patrik. 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Risiko dalam Perbuatan Melawan Hukum. Semarang. Hlm. 9


(33)

19 angka 2 UU PK No. 29 Tahun 2004). Yang menurut Pasal 11 dan (2) UU TK No. 36 Tahun 2014, dokter adalah tenaga medis yang terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

5. Dokter tamu yang dimaksud adalah dokter tidak tetap dalam sebuah rumah sakit, yang juga disebut sebagai dokter out, yang berarti bukan pegawai rumah sakit tersebut. Dokter out tersebut, sering juga dinamakan sebagai independent contractor (tenaga bebas).

6. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit (Pasal 1 angka 4 UU RS No. 44 Tahun 2009). Dalam hal ini pasien bukan hanya konsultasi, akan tetapi menghendaki adanya pelayanan/tindakan medik. F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian.

Penelitian tentang Tanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit Terhadap Dokter Tamu termasuk jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif meliputi penelitian terhadap asas hukum, pengertian hukum dan ketentuan-ketentuan hukum. Sebagai penelitian normatif, penelitian ini menitikberatkan pada penelitian kepustakaan. Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis.

2. Pendekatan Masalah

Sebagai karakter penelitian yang bersifat normatif maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara perundang-undangan (statute approach), dan


(34)

20 pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan secara

perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan dan regulasi yang berhubungan dengan pembahasan. Selanjutnya pendekatan konseptual (conseptual approach) dilakukan dengan

beranjak dari pandangan-pandangan dan dokrin-doktrin yang berkembang dalam hukum kesehatan.15 Dalam penelitian ini pendekatan secara empiris dilakukan untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan normatif. pendekatan secara empiris dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan staf fungsional medis, bidang pelayanan medis dan bagian hukum di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSAM) Provinsi Lampung.

3. Data dan Sumber Data

Sesuai penelitian jenis normatif, maka data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dan berbagai literatur yang relevan. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terkait dengan penelitian ini terdiri atas : 1) Undang-Undang yang meliputi :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) b) UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran c) UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

d) UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

15

Peter mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada media Group, Jakarta. Hlm.93-95


(35)

21 e) UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

2) Berbagai peraturan menteri dan keputusan menteri kesehatan di bidang kesehatan yaitu :

a) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

b) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 147 Tahun 2010 tentang Institusi Pelayanan Kesehatan.

c) Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

d) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang mendukung atau memperjelas bahan-bahan hukum primer yaitu berupa kepustakaan atau literatur-literatur, hasil penelitian, dan berbagai jurnal atau buletin yang berkaitan dengan obyek pembahasan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan memperjelas data yang diperoleh dari unsur hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus kesehatan dan esiklopedi kesehatan.


(36)

22 4. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka yaitu dengan melakukan dan mempelajari dokumen-dokumen atau pemeriksaan literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek pembahasan. Pengumpulan bahan primer sebagai penunjang dilakukan melalui wawancara tidak struktur dengan para pengelola rumah sakit seperti yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya langkah pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengiventarisasi bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan, serta mengklasifikasi bahan hukum dan melakukan sistematisasi.

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data dalam bentuk penjelasan atau narasi kalimat yang disusun secara berurutan. berdasarkan analisis data tersebut, dilanjutkan kegiatan menarik kesimpulan secara dedukatif yaitu suatu cara berpikir yang mendasarkan pada fakta-fakta yuridis yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus (induktif) terhadap peristiwa konkrit yang merupakan jawaban dari tiga permasalahan penelitian.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Rumah Sakit

Rumah sakit dalam perjalanan sejarahnya mengalami perkembangan yang

berpengaruh terhadap fungsi dan perannya. Rumah sakit berfungsi untuk

mempertemukan dua tugas prinsip yang membedakan dengan lembaga lainnya

yang melakukan kegiatan pelayanan jasa. Pada prinsipnya rumah sakit merupakan

institusi yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik medik,

karena merupakan tempat bekerjanya para profesional para penyandang lafal

sumpah medik yang diikat dali-dalil Hipocrates dalam melakukan tugas

profesionalnya.14 Selain itu, rumah sakit juga bertindak sebagai institusi yang

bergerak dalam hubungan-hubungan hukum dengan masyarakat atau pasien yang

tunduk pada norma hukum dan norma etik masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam Kode Etik Rumah Sakit

Indonesia 2001 ditegaskan, bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan

kesehatan merupakan unit sosio ekonomi, yang harus mengutamakan tugas

kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya dan bukan mencari keuntungan

semata. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari

tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan

moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang

kurang/tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

14


(38)

24 Pada dasarnya rumah sakit merupakan salah satu sarana atau fasilitas pelayanan kesehatan yang tugas utamanya adalah melayani kesehatan perorangan di samping pelayanan lainnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 7 UU K No. 36 Tahun 2009). Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan rumah sakit menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU RS No. 44 Tahun 2009 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan tugas kesehatan perorangan secara paripurna tersebut, pada dasarnya rumah sakit mempunyai fungsi menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

Fungsi utama rumah sakit menurut ketentuan Pasal 5 UU RS No. 44 Tahun 2009 adalah:

a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam


(39)

25 d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Selanjutnya, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan subspesialistik.

Konsil Kesehatan Indonesia memberikan pengertian rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan yang memiliki sarana rawat inap. Picard mengemukakan bahwa rumah sakit pada masa dahulu merupakan tempat untuk mengatasi penyakit atau sebagai suatu lembaga dimana calon tenaga medis meningkatkan kemahirannya.15 Azrul Azwar dalam bukunya Pengantar Administrasi Kesehatan mengenai batasan rumah sakit dapat dikemukakan sebagai berikut:16

a. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita pasien.

b. Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk

15Ibid

. Hlm. 11

16


(40)

26 mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya yang diselenggarakan.

c. Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.

Selanjutnya Sofwan Dahlan, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rumah sakit adalah:17

1. Sebuah tempat kerja, yang sangat padat dengan masalah, oleh karenanya perlu ada problem solving system.

2. Sebuah fasilitas publik yang esensial, yang merepresentasikan investasi sumber daya manusia, modal dan sumber daya lainnya guna memberikan layanan penting (critical services) bagi masyarakat.

3. Sebuah proses kerja organisasi, yang inputnya berupa personil, peralatan, dana, informasi, dan pasien untuk diolah melalui kerja organisasi, alokasi sumber daya, koordinasi, integrasi psikologi sosial dan manajeman, yang hasilnya diserahkan kembali kepada lingkungan kerja dalam bentuk finished outputs. Disamping itu rumah sakit harus dapat mempertahankan identitas dan integritas sebagai sebuah sistem sepanjang waktu.

Berdasarkan pendapat di atas, pada hakikatnya rumah sakit adalah suatu lembaga atau organisasi yang membutuhkan sarana dan prasarana, sumber daya, memiliki visi sosial, serta padat akan masalah hukum.

B. Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam

Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum adalah rumah sakit

17 Sofwan Dahlan. 2000. Hukum Kedokteran (Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter). BP Undip,


(41)

27

yang memberi pelayanan kesehatan pada semua jenis dan bidang penyakit, sedangkan

rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberi pelayanan utama pada satu bidang

atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis

penyakit atau kekhususan lainnya. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 12 Permenkes

No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit:

4. Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diklasifikasikan

menjadi:

a. Rumah Sakit Umum Kelas A;

b. Rumah Sakit Umum Kelas B;

c. Rumah Sakit Umum Kelas C; dan

d. Rumah Sakit Umum Kelas D.

5. Rumah Sakit Umum Kelas D diklasifikasikan menjadi:

a. Rumah Sakit Umum Kelas D; dan

b. Rumah Sakit Umum Kelas D pratama.

2. Rumah Sakit Khusus menjadi:

a. Rumah Sakit Khusus Kelas A;

b. Rumah Sakit Khusus Kelas B; dan

c. Rumah Sakit Khusus Kelas C.

Selanjutnya, Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan)


(42)

28 spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.

Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. Rumah Sakit Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. Rumah Sakit Khusus kelas C adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal.

Menurut Pasal 21 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas A terdiri atas: tenaga medis; tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut; 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.


(43)

29

Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas: 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 5 (lima) apoteker

yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian; 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) apoteker di ruang ICU (Intensive Care Unit) yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.

Selanjutnya menurut Pasal 25 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B paling sedikit meliputi: pelayanan medik; pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan; pelayanan penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medik yang dimaksud, paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat darurat; pelayanan medik spesialis dasar; pelayanan medik spesialis penunjang; pelayanan medik spesialis lain; pelayanan medik pelayanan medik subspesialis; dan pelayanan medik spesialis gigi dan mulut. Pelayanan gawat darurat, yang dimaksud harus diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus


(44)

30 menerus. Pelayanan medik spesialis dasar, yang dimaksud meliputi pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan medik spesialis penunjang, yang dimaksud meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.

Pelayanan medik spesialis lain, yang dimaksud paling sedikit berjumlah 8 (delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik. Pelayanan medik subspesialis, yang dimaksud paling sedikit berjumlah 2 (dua) pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, yang dimaksud paling sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, dan orthodonti.

Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas: tenaga medis; tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar; 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain; 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.


(45)

31 Menurut Pasal 36 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling sedikit meliputi: pelayanan medik; pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan; pelayanan penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat inap. Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas: tenaga medis; tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut; 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang; dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.

Selanjutnya, menurut Pasal 47 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas D paling sedikit meliputi: pelayanan medik; pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan; pelayanan penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat inap. Sumber daya manusia rumah sakit umum kelas D terdiri atas: tenaga medis; tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar.


(46)

32 C. Hubungan Hukum Tenaga Dokter dengan Rumah Sakit

Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit, pada dasarnya harus dilihat bentuk rumah sakitnya. Apakah rumah sakit tersebut milik pemerintah atau milik swasta. Perbedaan tersebut akan membawa konsekwensi hukum yang berbeda antara rumah sakit yang satu dengan lainnya. Pada rumah sakit pemerintah dokter pada umumnya berstatus sebagai pegawai rumah sakit serta pada dasarnya hanya bertugas memberi pelayanan medik. Dokter dalam rumah sakit pemerintah berdasarkan status kepegawaiannya dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat: b. dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah;

c. dokter bukan PNS yang bekerja di rumah sakit dengan sistem kontrak. Berdasarkan penggolongan tersebut di atas, dokter yang berstatus PNS di rumah sakit pemerintah hubungan hukum atau perikatan yang terjadi diatur dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam hal ini dokter sebagai PNS tunduk sepenuhnya terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam hal penggajian PNS pusat digaji melalui dana yang berasal dari APBN, sedangkan PNS daerah digaji dengan dana yang berasal dari APBD. Selanjutnya dokter yang bukan PNS dan bekerja di rumah sakit dengan sistem kontrak dilakukan atas dasar kesepakatan secara sukarela antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, bagi dokter yang bukan PNS bekerja di rumah sakit pemerintah berlaku dan terikat pada perjanjian kerja. Perjanjian ini tentunya


(47)

33 berlaku ketentuan kaedah hukum perdata yang tertuang dalam Pasal 1601 KUH Perdata tentang perjanjian perburuhan yang bercirikan sebagai berikut:

a. terdapat dua pihak yaitu rumah sakit pemerintah yang berposisi sebagai

majikan dan dokter bukan PNS yang berposisi sebagai buruh;

b. antara kedua pihak tersebut terjadi hubungan hubungan vertikal

(sub-ordinasi);

c. pihak rumah sakit pemerintah memberikan imbalan jasa (upah) kepada

dokter bukan PNS.

Penempatan dokter dengan sistem kontrak tersebut di atas, merupakan salah satu tujuan adanya pendayagunaan tenaga kesehatan khususnya di bidang kedokteran. Untuk tenaga medis yaitu dokter dan dokter gigi juga dikenal sistem kontrak yaitu Dokter Pekerja Tidak Tetap (PTT). Dokter sebagai tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit pemerintah selain tunduk pada peraturan kepegawaian, juga harus berpedoman pada lafal sumpah, kode etik, standar profesi, dan standar prosedur operasional. Keempat instrumen tersebut berisi tentang norma-norma yang berlaku bagi setiap dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Namun, keempat instrumen tersebut tidak dalam bentuk hukum positif. Maka dalam hal ini dimungkinkan diterapkan kaedah-kaedah hukum lain seperti hukum perdata yang menyangkut dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan.

Selanjutnya, bagaimana perikatan atau hubungan hukum antara dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta?. Dokter yang bekerja pada rumah sakit swasta berlaku perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana di atur dalam ketentuan Pasal 1601 KUH Perdata. Pasal 1601 KUH Perdata pada


(48)

34 pokoknya menyebutkan ada tiga macam perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yaitu:

a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa khusus. b. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

c. Perjanjian Perburuhan.

Perjanjian antara dokter dengan rumah sakit swasta merupakan suatu perjanjian perburuhan. Ciri-ciri perjanjian perburuhan adalah sebagai berikut:18

a. ada dua pihak yaitu majikan dan buruh;

b. antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat sub-ordinasi; c. ada imbalan jasa (upah) bagi buruh.

Dokter yang bekerja pada rumah sakit swasta terikat pada syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh rumah sakit sebagai badan hukum. Syarat-syarat dimaksud biasanya dituangkan dalam deskripsi tugas (job discription) yang berisikan hak dan kewajiban baik pemberi pekerjaan/rumah sakit (werkgever)

maupun penerima pekerjaan (werknemer). Dengan adanya perjanjian perburuhan antara dokter dengan rumah sakit swasta tersebut, maka kedua belah pihak terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan berlaku sebagai undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata). Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perjanjian antara dokter dengan rumah sakit swasta merupakan suatu perjanjian perburuhan, dengan demikian tergolong dalam perjanjian-perjanjian bernama (nominaat contract).

Oleh karena itu jika terjadi sengketa di antara para pihak berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

18

Siti Ismijati Jenie. 1994. Beberapa Aspek Yuridis di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan. UGM, Yogyakarta. Hlm 15


(49)

35 a. Ketentuan hukum yang bersifat memaksa sepanjang ketentuan tersebut

ada.

b. Isi perjanjian sebagaimana di tetapkan para pihak, termasuk dalam isi perjanjian ini adalah juga apa yang disebut klausula standar.

c. Ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi perjanjian tersebut.

d. Ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian sebagaimana terdapat dalam Bab I sampai Bab IV Buku III KUH Perdata.

e. Kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata. f. Kepatutan.

Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian meskipun dokter pada rumah sakit swasta terikat pada perjanjian perburuhan, akan tetapi mereka itu adalah tenaga profesional yang dalam melakukan pekerjaannya terikat pada lafal sumpah dokter, standar profesi, standar pelayanan medik, dan kode etik kedokteran. Oleh karena itu, sebagai tenaga profesional dokter diharapkan bekerja dengan baik sesuai dengan standar profesinya.

Selanjutnya pada rumah sakit swasta, dokter prinsipnya sama dengan di rumah sakit pemerintah. Hanya saja pada rumah sakit swasta biasanya terdapat beberapa kelompok dokter yang dibantu perawat dalam melakukan tindakan medis yaitu:

a. Kelompok dokter tetap (attending staff)

Dokter tetap adalah para dokter yang bekerja di rumah sakit swasta secara purna waktu. Mereka ini sama dengan perawat terikat pada perjanjian perburuhan dengan pihak rumah sakit. Para dokter di sini hanya menerima imbalan atau gaji dari rumah sakit swasta tersebut. Menurut Guwandi para


(50)

36 dokter tetap ini lazimnya disebut sebagai kelompok dokter organik.19

Dengan demikian berlaku doktrin majikan dan karyawan (vicarius

liability, respondeat superior). Jadi tanggung jawab hukum dan yang harus mengganti kerugian bila ada tuntutan dari pasien adalah rumah sakit bersangkutan. Perawat dalam hal membantu dokter, selama masih dalam supervisi dokter merupakan tanggung jawab dokter organik tersebut. Akan tetapi karena di sini berlaku doktrin majikan dan karyawan maka, ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata dapat diterapkan. Berbeda jika tuntutannya berupa tuntutan pidana, maka yang bertanggung jawab adalah dokter atau perawat secara peribadi serta tergantung pada tingkat kesalahannya. Oleh karena itu lebih tepat atas pekerjaan yang dilakukan perawat di rumah sakit swasta berlaku ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi: “Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena penbuatannya sendiri, tepai juga untuk kerugian

yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi

tanggungannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata tersebut, maka perawat di rumah sakit swasta tidak lagi bertanggung gugat karena ia sebagai karyawan rumah sakit dan menjalankan pelayanan kesehatan atas perintah rumah sakit.

b. Kelompok dokter paruh waktu (part time)

Di rumah sakit swasta yang merupakan dokter paruh waktu adalah dokter spesialis bedah, spesialis anestesi, obgin, radiologi dan dokter patologi

19

Guwandi, J. 2006. Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 87


(51)

37 klinik. Di dalam hukum medik kelompok ini berlaku captain of the ship

doctrine, misalnya dokter spesialis bedah bertanggung jawab terhadap

segala sesuatu yang terjadi selama operasi berlangsung. Termasuk kelalaian tenaga perawat yang membantunya, juga harus ditanggung secara perdata oleh dokter tersebut, walaupun perawat secara hukum adalah karyawan dari rumah sakit swasta bersangkutan. Apabila dirinci masing-masing tanggung jawab dokter paruh waktu pada rumah sakit swasta adalah sebagai berikut:

1) dokter spesialis anestesi bertanggung jawab secara hukum di ruang induksi dan ruang pulih sadar (recovery room), termasuk juga terhadap kelalaian perawat rumah sakit;

2) dokter patologi klinik bertanggung jawab terhadap segala hasil pemeriksaan yang dilakukan di laboraturium;

3) dokter obgin bertanggung jawab di kamar bersalin dan dokter radiologi pada pemberian radioterapi.

Namun demikian, terhadap berbagai persoalan maupun kesalahan yang dilakukan oleh dokter paruh waktu ini, harus dilihat kasus perkasus yang bervariasi dan tergantung pada kesepakatan kerja antara dokter dengan rumah sakit swasta.

c. Kelompok dokter tamu.

Kelompok dokter tamu adalah para dokter yang tidak terikat pada rumah sakitnya, namun sudah diterima dan diperbolehkan untuk memakai fasilitas rumah sakit dalam jangka waktu tertentu. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji biasanya pada rumah sakit swasta mempersilahkan


(52)

38 dokter spesialis untuk membawa pasien pribadinya ke rumah sakit

tersebut. Menurut beliau hubungan hukumnya dinamakan

toelatingscontract (kontrak keharusan terima pasien) yang tidak diatur dalam KUH Perdata.20 Dalam kaitan ini juga dokter spesialis yang telah membawa pasiennya ke rumah sakit, tidak boleh menolak apabila rumah sakit memintanya untuk memberikan pelayanan medik di rumah sakit bersangkutan. Sudah barang tentu dokter tamu ini juga memerlukan tenaga keperawatan. Perawat sebagai karyawan dari rumah sakit swasta tersebut dipinjamkan kepada dokter tamu yang telah mengadakan perjanjian dengan rumah sakit sebelumnya. Di sini berlaku doktrin borrowed servand

(tenaga kesehatan yang dipinjamkan) yang menurut sejarahnya doktrin

borrowed servand di gunakan dalam sistem peradilan di negara-negara Anglo Saxon. Mula-mula pengadilan memeriksa secara teliti apakah terdapat hal-hal yang dapat menentukan orang-orang yang membatu dokter itu adalah orang terdidik profesinya secara individual, atau dalam kenyataanya berada di bawah supervisi dokter. Kalau faktanya orang-orang tersebut dibimbing dan atas perintah serta pengawasan dokter, maka dapat dikatakan perawat tersebut sebagai borrowed servand.

20

Hermien Hadiati Koeswaji. 2002. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 134-135


(53)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya rumah sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu yang menyebabkan pasien menderita kerugian. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU RS No. 44 Tahun 2009, yang jika ditafsirkan berbunyi: bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab semua kerugian seseorang, jika ternyata terbukti bukan karena kelalaian dari tenaga kesehatan (dokter tetap) di rumah sakit. Namun demikian dalam praktiknya jika terjadi kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu dan merugikan pihak pasien, maka kerugian tersebut dipenuhi secara tanggung renteng. Adapun bentuk ganti kerugian dapat berupa kerugian materil dan imateriil yang pada umumnya diganti dengan sejumlah uang. 2. Kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu adalah kedudukan

yang sederajat bukan sub-ordinate. Masing-masing pihak mempunyai

bargaining power yang sama, terutama untuk menentukan perjanjian dan

kontrak yang akan dibuat. Namun demikian dalam praktik, kedudukan dokter tamu justru lebih mempunyai posisi tawar yang lebih kuat, apabila rumah sakit tertentu tidak mempunyai dokter spesialis atau sub spesialis tetap, sedangkan kebutuhan dokter tersebut sangat diperlukan guna melayani tindakan medis di rumah sakit.


(54)

80

3. Melalui perkembangan dalam praktik, jenis-jenis atau bentuk-bentuk

perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan

kesehatan telah melahirkan suatu perjanjian campuran (gemengde

contractus), yaitu perjanjian yang mengandung unsur dari berbagai

perjanjian bernama. Misalnya, dalam melakukan tindakan medis di rumah sakit tertentu, dokter tamu dan rumah sakit telah melakukan perjanjian perburuhan, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli. Namun demikian, perjanjian-perjanjian yang dibuat isinya berlainan antara perjanjian yang berlaku di suatu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.

B. Saran-Saran

1. Kepada pengelola rumah sakit, hendaknya memberitahukan pada pasien dan

keluarganya bahwa dokter yang menangani atau merawat adalah sebagai dokter tamu atau dokter dari luar rumah sakit. Kondisi demikian perlu disampaikan agar pasien maupun keluarganya mengetahui secara pasti tentang kedudukan dokter yang merawat di rumah sakit tersebut.

2. Hendaknya manajemen rumah sakit, secara rinci mencamtumkan kriteria

dokter tamu dan berbagai jenis perjanjian atau kontrak yang dibuatnya.

3. Perlu adanya pembagian secara proporsional mengenai penggantian

kerugian secara tanggung renteng antara rumah sakit dan dokter tamu terhadap kerugian pasien, mengingat jenis kasus yang terjadi sangat bervariatif dan bersifat spesifik.


(1)

38 dokter spesialis untuk membawa pasien pribadinya ke rumah sakit tersebut. Menurut beliau hubungan hukumnya dinamakan toelatingscontract (kontrak keharusan terima pasien) yang tidak diatur dalam KUH Perdata.20 Dalam kaitan ini juga dokter spesialis yang telah membawa pasiennya ke rumah sakit, tidak boleh menolak apabila rumah sakit memintanya untuk memberikan pelayanan medik di rumah sakit bersangkutan. Sudah barang tentu dokter tamu ini juga memerlukan tenaga keperawatan. Perawat sebagai karyawan dari rumah sakit swasta tersebut dipinjamkan kepada dokter tamu yang telah mengadakan perjanjian dengan rumah sakit sebelumnya. Di sini berlaku doktrin borrowed servand (tenaga kesehatan yang dipinjamkan) yang menurut sejarahnya doktrin borrowed servand di gunakan dalam sistem peradilan di negara-negara Anglo Saxon. Mula-mula pengadilan memeriksa secara teliti apakah terdapat hal-hal yang dapat menentukan orang-orang yang membatu dokter itu adalah orang terdidik profesinya secara individual, atau dalam kenyataanya berada di bawah supervisi dokter. Kalau faktanya orang-orang tersebut dibimbing dan atas perintah serta pengawasan dokter, maka dapat dikatakan perawat tersebut sebagai borrowed servand.

20

Hermien Hadiati Koeswaji. 2002. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 134-135


(2)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya rumah sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu yang menyebabkan pasien menderita kerugian. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 UU RS No. 44 Tahun 2009, yang jika ditafsirkan berbunyi: bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab semua kerugian seseorang, jika ternyata terbukti bukan karena kelalaian dari tenaga kesehatan (dokter tetap) di rumah sakit. Namun demikian dalam praktiknya jika terjadi kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu dan merugikan pihak pasien, maka kerugian tersebut dipenuhi secara tanggung renteng. Adapun bentuk ganti kerugian dapat berupa kerugian materil dan imateriil yang pada umumnya diganti dengan sejumlah uang.

2. Kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu adalah kedudukan

yang sederajat bukan sub-ordinate. Masing-masing pihak mempunyai

bargaining power yang sama, terutama untuk menentukan perjanjian dan kontrak yang akan dibuat. Namun demikian dalam praktik, kedudukan dokter tamu justru lebih mempunyai posisi tawar yang lebih kuat, apabila rumah sakit tertentu tidak mempunyai dokter spesialis atau sub spesialis tetap, sedangkan kebutuhan dokter tersebut sangat diperlukan guna melayani tindakan medis di rumah sakit.


(3)

80 3. Melalui perkembangan dalam praktik, jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan telah melahirkan suatu perjanjian campuran (gemengde contractus), yaitu perjanjian yang mengandung unsur dari berbagai perjanjian bernama. Misalnya, dalam melakukan tindakan medis di rumah sakit tertentu, dokter tamu dan rumah sakit telah melakukan perjanjian perburuhan, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli. Namun demikian, perjanjian-perjanjian yang dibuat isinya berlainan antara perjanjian yang berlaku di suatu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.

B. Saran-Saran

1. Kepada pengelola rumah sakit, hendaknya memberitahukan pada pasien dan keluarganya bahwa dokter yang menangani atau merawat adalah sebagai dokter tamu atau dokter dari luar rumah sakit. Kondisi demikian perlu disampaikan agar pasien maupun keluarganya mengetahui secara pasti tentang kedudukan dokter yang merawat di rumah sakit tersebut.

2. Hendaknya manajemen rumah sakit, secara rinci mencamtumkan kriteria dokter tamu dan berbagai jenis perjanjian atau kontrak yang dibuatnya. 3. Perlu adanya pembagian secara proporsional mengenai penggantian

kerugian secara tanggung renteng antara rumah sakit dan dokter tamu terhadap kerugian pasien, mengingat jenis kasus yang terjadi sangat bervariatif dan bersifat spesifik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

Anny Isfandyarie. 2005. Malpraktik dan Risiko Medik (Dalam Kajian Hukum Pidana). Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta

Azrul Azwar. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta Benyamin Lumenta. 1989. Hospital, Citra, Peran dan Fungsi (Tinjauan

Fenomena Sosial). Kanisius, Yogyakarta

Endang Wahyati Yustina. 2012. Mengenal Hukum Rumah Sakit. Keni Media, Bandung

Fakih, M. 2012. Aspek Keperdataan Dalam Pelaksanaan Tugas Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Lampung. Disertasi Program Doktor (S3) UGM, Yogyakarta

Fred Ameln. 1991. Kapita selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya, Jakarta Guwandi, J. 2006. Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP Perjanjian

Terapeutik Antara Dokter dan Pasien. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Guwandi. 2011. Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Hermien Hadiati Koeswaji. 2002. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan

Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Penerbit PT Citra

Aditya Bakti, Bandung

Indra Sari Aulia. 2014. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian

Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan. Tesis Magister Hukum Unila

J. Satrio. 2000. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Citra Aditya Bakti, Bandung

Junus Hanafiah dan Amri Amir. 2003. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Konsil kedokteran Indonesia. 2006. Kemitraan dalam Hubungan Dokter-Pasien. Konsil Kedokteran Indonesia (Indonesian Medical Council), Jakarta


(5)

Machmud Syahrul. 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter yang

diduga Melakukan Medikal Malpraktek. CV. Karya Putra Darwati, Bandung

Mariam Darus Badrulzaman. 1996. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan

dengan Penjelasan. Alumni Bandung

Marianne Termorshiizen. 1999. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta

Moegni Djojodirdjo. 1979. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita,

Jakarta

Munir Fuady. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter). Citra Aditya Bakti, Bandung

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada media Group,

Jakarta

Purwahid Patrik. 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Risiko dalam Perbuatan

Melawan Hukum. Semarang

Siti Ismijati Jenie. 1994. Beberapa Aspek Yuridis di Dalam dan di Sekitar

Perjanjian Penyembuhan. UGM, Yogyakarta

Sofwan Dahlan. 2000. Hukum kedokteran (Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter). BP Undip, Semarang

Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung

Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta

Veronica Komalawati. 1999. Peranan Informed Consent dalam Transaksi

Terapeutik. Citra Aditya Bakti, Bandung

Yahya Harahap. 2011. Hukum Perseroan Terbatas. Sinar Grafika, Jakarta

2. Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) UU RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


(6)

UU RI No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 147 Tahun 2010 tentang Institusi Pelayanan Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

722/Menkes/SK/XII/2002 Tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit

(Hospital ByLaws)

3. Artikel, Jurnal, Majalah Ilmiah