ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

(1)

ABSTRAK

ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN

REPRODUKSI Oleh

MUTIARA PUSPA RANI

Setelah disahkannya Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya dekriminalisasi aborsi yang terdapat di dalam beberapa pasal pada peraturan tersebut. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah mengapa perlunya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan apakah faktor penghambat pelaksanaan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara seleksi data, klasifikasi data, dan sistematika data. Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa perlunya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Rreproduksi adalah agar terdapat payung hukum bagi pelaku aborsi dan tenaga ahli yang membantunya karena indikasi kedaruratan medis maupun kehamilan akibat perkosaan dan faktor-faktor yang menghambat dekriminalisasi aborsi yaitu faktor hukum itu sendiri yaitu dalam tenggang waktu 40 hari untuk melakukan aborsi, faktor aparat penegak hukum dalam hal pembuktian, faktor sarana atau prasarana bahwa belum adanya dokter khusus, faktor masyarakat mengenai kurangnya pengetahuan masyarakat, serta faktor kebudayaan yang bertentangan dengan kebudayaan timur.

Disarankan agar pemerintah meninjau kembali mengenai aspek pembuktian kehamilan akibat korban perkosaan agar tidak menimbulkan suatu kesan melegitimasi perbuatan aborsi dalam bentuk apapun, serta dalam waktu pembuktian korban perkosaan yang dibatasi hanya dalam waktu 40 hari


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 27 Oktober 1993, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari kasih sayang Ibundaku Mahdalena dan Ayahandaku Milizon.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Al-Kautsar Bandar Lampung, yang diseleaikan pada tahun 2005. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008, dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bandar Lampung, yang diselesaikan pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tertulis pada tahun 2011.

Pada bulan Januari sampai Februari tahun 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Desa Sumber Bandung, Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu.


(8)

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrobbil’alamin, Segala Puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam, Pemilik

Kerajaan Langit dan Bumi, Penghembus segala kebaikan dalam hidupku. Kupersembahkan karya kecilku ini kepada orang tuaku tercinta

“Ayahanda

Milizon dan Ibunda Mahdalena

Yang telah membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Semoga Allah SWT mempertemukan kami dan keduanya dalam Jannah-Nya kelak. Kupersembahkan pula untuk Kedua Adikku Rahmat Zulfikar dan Berlian Adinda

Yang selalu memberikan dukungan kepadaku dikala suka maupun duka. Karena kasih sayang, perhatian, dukungan,

Pengorbanan serta do’a dari kalian semua yang tiada henti,

Aku dapat mengecap pendidikan di Fakultas Hukum Universita Lampung. Walau sampai habis umurku, tidak akan pernah mampu

kubalas semua itu dengan apapun di dunia ini, sebesar apapun nilainya.

Almamater tercinta yang telah mendewasakanku dalam berfikir dan bertindak. Almamater Hijau yang selalu kubanggakan sebagai saksi bisu perjalananku


(9)

Kata Mutiara

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang benar.”

( Al-Quran Surat Al-Israa’, Ayat 33)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras

(untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.”

(Al-Qur’an Surat Al-Insyirah, Ayat 5-8)


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Dekriminalisasi Aborsi Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran selama proses perkuliahan dan terutama dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran selama proses


(11)

perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Bapak Rinaldi Amrullah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah

memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Ibu Ati Yuniati, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., Bapak Dr. M. Faqih, S.H.,M.H., Ibu Wati Rachmi Ria, S.H., M.Hum., Ibu dr. Asih Hendrastuti, M.Kes., Ibu Retno Ida Riyani, S. Km, M. Km., Ibu Aci Wina Utami, S.H., yang telah menjadi narasumber-narasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian dan penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

10.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung.

11.Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Ibundaku Mahdalena dan Ayahandaku Milizon yang telah merawat, membimbing, mendidik, menempa, dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai kapanpun agar penulis dapat menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan melupakan akhirat serta menjadi semangat untuk menggapai semua cita-cita maupun harapan yang diinginkan oleh


(12)

12. Teristimewa pula kepada kedua adikku Rahmat Zulfikar, dan Berlian Adinda yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada penulis, serta menjadi pendorong semangat agar penulis terus berusaha keras mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat menjadi contoh yang baik bagi mereka berdua.

13.Seluruh keluarga besarku (Om dan Tante, Sepupu, Keponakan) yang telah memberikan doa, motivasi, dan masukan-masukan agar penulis dapat menyelesaikan kuliah di Universitas Lampung.

14.Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terima kasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.

15.Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babe Narto atas bantuan dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

16.Sepupu-sepupuku Aci, Ane, Igo, Agung, Eja, Ica, Ncik, Oji, Yay Panji, Abang Andi, Tiwi, Anjeng, yang selalu memberikan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

17.Sahabat-Sahabatku Putri Cindy Dwiliasari, Jayanti Ulfa, Mizany Aulia, Anisa Ika Pratiwi, Soraya Nur Seftia, Triadhani Khairunnisa, Shinta Rapika Pratama, Fitri Soraya Diharani, Suci Antari, Monika Damayanti, Yusi Farida, Widya A.L Putri, Nurul Arisa Zahrani, Nurulia Desitasari, yang telah menghibur penulis, menemani disaat susah maupun senang, memberikan semangat dan motivasi tiada henti semenjak bangku Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini, semoga kebersamaan ini akan terus berlanjut hingga kita semua sukses kelak.


(13)

18.Sahabat-sahabat seperjuanganku, Murni Triana, Mia Nasya Tamara, Untari Rachma Widianti, yang telah menemani, menghibur dan memberikan semangat kepada penulis semoga kelak kita dapat meraih kesuksesan bersama.

19.Filuzil Fadli Aditya, S.H. yang telah menemani dan memberikan semangat serta motivasi kepada penulis, merci pluie. Sahabat-sahabat HIMA Pidana, Deswandi, Zakky, Dopdon, Fitri, Tifani, Aga, Kak Ami, Abdul, Indah, Kresna, Ivan, Grace, Uwi, Zahra, Sarah, Ais, Aik, Niko, Odi, Fajar, dan semua kawan-kawan Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya karena keterbatasan media namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dari penulis kepada kawan-kawan semua. Bersama kalian, kulewati saat-saat manis dan pahit perjalanan ini. terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini.

20.Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, Februari 2015

Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... .1

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup ... .8

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... .8

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E.Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Umum tentang Aborsi ... 16

1. Aborsi dan Jenis-Jenisnya ... 16

2. Faktor Penyebab Melakukan Aborsi ... 18

B. Tinjauan Dekriminalisasi Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 ... 20

C.Pengaturan Aborsi Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... 24

D. Aborsi Ditinjau Dari HAM dan Agama ... 29

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 35

B.Sumber Data ... 36

C.Penentuan Narasumber ... 37

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37


(15)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasuber ... 40 B. Perlunya Dekriminalisasi Aborsi dalam Peraturan Peerintah No. 61

Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ... 42 1. Pengaturan aborsi dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan ... 47 2. Pengaturan aborsi dalam Peraturan Pemerintah

No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ... 50 C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Dekriminalisasi Aborsi

Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014

tentang Kesehatan Reproduksi ... 57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 72


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh Pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada di dalam rahim wanita tersebut.

Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa.

Aborsi merupakan salah satu hal yang kontroversial dan menyakitkan dalam masyarakat modern. Kontroversi utama berkisar pada pertanyaan-pertanyaan yang membuat keputusan tentang aborsi, individu atau negara dalam keadaan apa mungkin dilakukan, dan yang mampu membuat keputusan. Aborsi bukanlah hal


(17)

2

baru dalam masyarakat, sebuah studi oleh antropolog George Devereux, menunjukkan bahwa lebih dari 300 kontemporer masyarakat nonindustrial manusia mempraktekkan aborsi.1 Perempuan telah melakukan aborsi pada diri mereka sendiri atau aborsi yang berpengalaman di tangan orang lain selama ribuan tahun dan aborsi terus terjadi hari ini dalam pengembangan wilayah di bawah kondisi medis primitif. Namun, teknologi modern dan perubahan sosial telah membuat aborsi sebuah bagian dari perawatan kesehatan modern. Pada saat yang sama, aborsi telah menjadi isu politik di beberapa masyarakat dan titik nyala untuk perbedaan pendapat tentang peran perempuan dan otonomi individu dalam keputusan-keputusan hidup.2

Diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, 70.000 wanita meninggal akibat hal tersebut, 1 dari 8 kematian itu disebabkan oleh aborsi tidak aman.3 Aborsi dapat dikatakan sebagai pengguguran kandungan yang di sengaja dan saat ini menjadi masalah yang hangat diperdebatkan. Pengertian aborsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) aborsi didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan aborsi sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).4

1

http://www.academia.edu/4464173/aborsi (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014 pukul 23:00 WIB)

2

http://pengertiandefinisiarti.blogspot.com/2012/03/pengertian-definisi-aborsi_29.html (diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 20:30 WIB)

3

Idayu Kristianti. Aborsi. Jakarta. Pinus. Hlm. 21 4

http://www.academia.edu/8480921/etika_keperawatan_hak_dan_kewajiban_klien (diakses pada tanggal 20 September 2014 pukul 20:00 WIB)


(18)

Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan serta teknologi, sebagaimana era saat ini, masalah aborsi tetap menjadi masalah krusial bahkan menjadi fenomena politik dalam sejarah manusia modern. Status hukum aborsi pada era ini diperjelas dengan argumentasi yang konstruktif. Hampir setengah dari kehamilan yang tidak diharapkan berakhir dengan aborsi. Sementara itu, kendati dilarang, baik oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang (UU), maupun fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau majelis tarjih Muhammadiyah, praktik aborsi (pengguguran kandungan) di Indonesia tetap tinggi dan mencapai 2,5 juta kasus setiap tahunnya dan sebagian besar dilakukan oleh para remaja.5

Aborsi atau pengguguran kandungan identik dengan hal-hal yang negatif dimasyarakat luas. Aborsi merupakan salah satu tindakan tercela yang bertentangan dengan norma agama dan norma hukum yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, dalam kata lain tindakan aborsi ada kalanya merupakan arahan yang disarankan oleh petugas kesehatan demi kondisi kesehatan ibu hamil yang lebih baik.

Masalah Aborsi erat kaitannya dengan hak setiap individu dalam menjalani proses reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan. Disisi lain, kondisi janin yang berada dalam kandungan juga berhak untuk terus hidup dan mengalami tumbuh kembang. Jika aborsi yang dilakukan adalah tindakan kriminalis tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan hukum di Indonesia.

5

http://rahmatikhsanmubut.blogspot.com/2014/06/makalah-bahaya-aborsi.html (diakses pada tanggal 9 Desember 2014 pukul 15:00 WIB)


(19)

4

Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterus─embrio, atau fetus yang belum dapat hidup.6 Aborsi dilarang jika pelaksanaannya terjadi sesudah janin terbentuk atau sudah mendapatkan nyawa, yakni sejak ada tanda-tanda pergerakan janin (quickening). 7 Istilah aborsi atau abortus secara kebahasaan berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau membuang janin. Dalam terminologi kedokteran berarti terhentinya kehamilan sebelum 28 minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).8

Aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provokatus medicialis.

Sedangkan aborsi yang digerenalisasi menjadi suatu tindak pidana disebut

abortus provokatus criminalis.9

Perkembangan berikutnya masalah aborsi ini menjadi kontroversi sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada tanggal 21 Juli 2014. Beberapa pasal yang menjadi polemik adalah Pasal 31 dan Pasal 34, yang menyatakan adanya legalisasi terhadap tindakan aborsi.

Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan.

6

Dorland, Kamus Kedokteran Edisi 29, (Jakarta : EGC, 2002)

7

CB. Kusmaryanto, scj., Kontroversi Aborsi, cet. II (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 27.

8

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: PT. Ikhtisar Baru Van Hoev, 1996), hlm. 7.

9


(20)

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014:

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Kemunculan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 menimbulkan sutau dekriminalisasi terhadap aborsi dengan 2 (dua) syarat yang terdapat di dalam Pasal 31 dan Pasal 34 peraturan tersebut. Dekriminalisasi yaitu penggolongan suatu perbuatan yg pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa. Peraturan ini juga beresiko melahirkan pihak yang memanfaatkan legalisasi terbatas untuk mengaborsi anak korban perzinahan. Hal itulah yang menjadi poin utama untuk dicegah guna menghindari pasangan muda yang tak sah melakukan aborsi. Peraturan pemerintah tersebut dinilai memberi peluang kepada pasangan yang melakukan hubungan tidak sah untuk tidak punya anak dan hal ini dapat berdampak pada meningkatnya perilaku perzinahan.

Pihak yang tidak setuju menyatakan bahwa aborsi yang dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 melanggar Pasal 338 KUHP dan bertentangan dengan aspek sosiologis masyarakat. Pasal 299, Pasal


(21)

6

338, Pasal 346, Pasal 348 dan Pasal 349 KUHP adalah pasal yang melarang aborsi dengan sanksi hukum berat. Peraturan Pemerintah ini memang mendapatkan dukungan dari beberapa lembaga keagamaan. Beberapa argumentasi ini barangkali bisa dijadikan referensi terhadap dukungan itu. Dalam agama Islam, misalnya didasarkan pada argumentasi bahwa baru pada usia 4 bulan roh seseorang dihembuskan. Dalam agama Buddha, masih diizinkan adanya aborsi karena bagi mereka kesadaran menjadi kunci keutuhan manusia. Itu berarti sejak syaraf otak terbentuk baru hak hidupnya tidak bisa diganggu gugat. Dalam beberapa argumentasi lain, bahkan dengan prinsip otonomi, kehidupan individu bahkan diakui baru sesudah dilahirkan.10

Lepas dari alasan-alasan teologis dan juga filosofis tersebut, para embriolog modern biasanya mengakui bahwa hidup dimulai sejak selesainya proses pembuahan. Dengan energi yang berasal dari dalam dirinya sendiri, embrio terus berkembang, meskipun pasokan sumber energi berasal dari induknya. Hal ini kemudian mendorong tokoh-tokoh dari 6 lembaga agama di Indonesia menandatangani pernyataan bahwa hak hidup seseorang mesti dijamin sejak selesainya pembuahan.

Mengorbankan anak dalam rangka menghindari rasa trauma juga tidak bisa dibenarkan secara moral. Bagaimanapun, yang pantas mendapatkan hukuman di sini adalah pihak pemerkosanya, bukan anaknya. Maka yang perlu diatur tentu saja adalah bagaimana hukuman terhadap pelaku perkosaan. Untuk memperjuangkan hak hidup sang ibu, janin yang ada dalam kandungannya

10

http://m.kompasiana.com/post/read/668500/3/legalisasi-aborsi-karena-perkosaan-salah-alamat-yang-salah-bapaknya.html (diakses pada tanggal 9 Desember 2014 pukul 15:30 WIB)


(22)

terpaksa dikorbankan. Meskipun bisa ditolerir, alasan ini sebenarnya mengandung kelemahan karena janin dalam keadaan tanpa pembelaan sama sekali. Apabila diibaratkan, ketika seorang militer yang punya senjata kemudian melawan anak kecil sipil, jelas tidak bisa dibenarkan secara moral kalau sampai membunuh. Tetapi, karena hal ini mengindikasikan dengan nyawa sang ibu terancam, tindakan itu masih bisa dipertanggungjawabkan secara moral sedangkan dalam kasus perkosaan, intensinya ada dua, menghindarkan korban dari rasa malu dan menghindarkan korban dari rasa trauma. Jika tujuan langsungnya hanya sekedar menghindari rasa malu, jelas alasan ini sangat lemah untuk diterima secara moral. Hidup seorang anak tidak bisa ditukar dengan harga diri.11

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dilihat bahwa masih terdapat banyak pertentangan mengenai legalisasi aborsi terhadap korban pemerkosaan. Hal ini dapat dilihat dari adanya pihak-pihak yang mendukung dilakukannya legalisasi aborsi, dan di lain pihak ada pandangan yang kontra tehadap legalisasi aborsi.Terdapat satu persoalan yang perlu mendapat jawaban dan penjelasan yaitu tentang pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam tindak pidana aborsi. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dekriminalisasi Aborsi Dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi”.

11

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/08/14/legalisasi-aborsi-karena-perkosaan-salah-alamat-yang-salah-bapaknya-668500.html (diakses pada tanggal 22 September 2014 pukul 21:00 WIB)


(23)

8

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Mengapa diperlukannya dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ?

b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang ilmu hukum pidana mengenai pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi di wilayah Bandar Lampung, penelitian dilaksanakan pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tujuan dari dekriminalisasi mengenai tindak pidana aborsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengenai legalisasi aborsi.


(24)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah untuk menambah pengetahuan dan pengkajian ilmu hukum serta mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dan acuan yang sesuai dengan disipin ilmu penulis. Penelitian ini pula dapat digunakan untuk mengetahui isi dan makna Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya mengenai kelegalan dalam aborsi.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya juga bagi aparat penegak hukum dalam memahami dan melaksanakan peraturan dekirminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.


(25)

10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.12

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 31 Peraturan Peemrintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Teori Dekriminalisasi adalah penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai suatu tindak pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa.13 Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan

12

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. 2010. hlm.125.

13


(26)

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Dalam proses dekriminalisasi ini tidak hanya kualifikasi pidana saja yang dihapuskan, tetapi juga sifat melawan hukum atau melanggar hukumnya, lebih dari itu penghapusan sanksi negatif itu tidak diganti dengan reaksi social lain baik perdata maupun administrasi.14 Penelitian kriminogi dalam proses dekriminalisasi diperlukan untuk menentukan apakah perbuatan itu layak didekriminalisasikan dan bagaimana kemungkinannya di masa yang akan datang.15

Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti, contoh ini tidak bersifat limitatif,:

1. Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.

2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.

3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.

4. Sangat terbatasnya evektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannnya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum. 16

14

Djoko Prakoso. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. 1987. Hlm. 154

15

Agus Raharjo. Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002. Hlm. 56

16

Soerjono Soekanto dkk. Kriminologi, Suatu Pengantar. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1986. Hlm. 47-48.


(27)

12

Untuk menjawab permasalahan kedua menggunakan teori Soerjono Soekanto. Terdapat beberapa faktor menurut Soerjono Soekanto yang diperlukan agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, faktor-faktor tersebut adalah :

1. Faktor hukum itu sendiri

Maksud faktor hukum disini adalah peraturan tertulis dalam bentuk undang-undang sebagai landasan dalam proses penegakan hukum guna melindungi korban dari segi hukum pidana.

2. Faktor penegak hukum

Penegak hukum yaitu mereka yang secara langsung maupun tidak langsung berkecimpung dalam upaya menjalankan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah yang sah.

3. Faktor sarana atau fasilitas

Upaya penegakan hukum juga sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas tertentu untuk mendukung kelancaran tugas suatu lembaga yang akan menangani penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. 4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai peranan penting dalam upaya penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan sangat penting karena penegakan hukum terutama hukum pidana berasal dari masyarakat, dan tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.

5. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan adalah sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 17

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.18 Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka di bawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

17

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1983. hlm.4-5.

18


(28)

a. Analisis yaitu memecah atau menguraikan suatu keadaan atau masalah kedalam beberapa bagian atau elemen dan memisahkan bagian tersebut untuk dihubungkan dengan keseluruhan atau dibandingkan dengan yang lain.19

b. Dekriminalisasi yaitu penggolongan suatu perbuatan yg pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa.20

c. Aborsi pada dasarnya merupakan perbuatan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah Abortus, yaitu pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.21

d. Abortus artificalis therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabia tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu. Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan untuk melenyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.22

19

Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. 1997. hlm. 276.

20

http://kbbi.web.id/dekriminalisasi (Diakses pada tanggal 3 Januari 2015 pada pukul 20:00 WIB)

21

Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Medika Aesculpalus. FK UI. 2004. Hlm.15

22


(29)

14

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis menguraikan secara garis besar keseluruhan sistematika materi skripsi ini sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat dan membahas tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang Tinjauan umum tentang aborsi dan tinjauan tentang dekriminalisasi aborsi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari : pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu


(30)

pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, serta faktor penghambat pelaksanaan pengaturan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014.

V. PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan diberikan sehubungan dengan temuan dari penelitian yang dilakukan berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Sedangkan saran diberikan sebagai masukan bagi masyarakat dan instansi penegak hukum.


(31)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Aborsi 1. Pengertian Aborsi dan Jenis-jenisnya

Secara umum istilah aborsi diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda (sebelum bulan ke empat masa kehamilan).23 Secara medis, aborsi adalah berakhir atau gugurnya kehamilan sebelum kandungan mencapai usia 20 minggu, yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri.24 Istilah aborsi atau abortus secara kebahasaan berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan, atau membuang janin. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).25

Tindakan aborsi mengandung risiko yang cukup tinggi, apabila dilakukan tidak sesuai standar profesi medis. Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan

23

http://www.lbh-apik.or.id/fact-32.htm ( diakses pada tanggal 16 september 2014 pukul 17:00 WIB)

24

Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes. Op.cit. Hlm.49.

25

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta: PT. Ikhtisar Baru Van Hoev, 1996), hlm. 7.


(32)

untuk bertumbuh. Dari segi medis menurut Sofoewan aborsi atas indikasi medis disebut juga aborsi terapeutik, yaitu aborsi yang dilakukan sebelum janin mampu hidup demi untuk kesehatan ibu:

1) untuk menyelamatkan jiwa ibu 2) melindungi kesehatan ibu

3) janin cacat berat sehingga tidak mampu hidup 4) kehamilan yang tidak mampu hidup

5) pengurangan janin pada kehamilan ganda

6) kehamilan sangat merugikan kesehatan fisik dan mental ibu

7) bayi yang akan dilahirkan akan menderita kelainan fisik dan mental, atau 8) kehamilan sebagai akibat dari perkosaan dan incest. 26

Aborsi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abortus spontaneous dan

abortus provocatus. Abortus spontaneous (yang tidak disengaja) terjadi apabila ibu mengalami trauma berat akibat penyakit menahun, kelainan saluran reproduksi, atau kondisi patologis lainnya. Abortus provocatus (buatan) ialah pengguguran kandungan yang dilakukan secara sengaja.27

Abortus provocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu abortus artificalis therapicus

dan abortus provocatus criminalis. Abortus artificalis therapicus adalah abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabia tindakan abortus tidak diambil bisa membahayakan jiwa ibu. Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah abortus yang dilakukan untuk melenyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar pernikahan atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.28

26

Sulchan Sofoewan, “Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap Kehidupan Janin Dalam

Kandungan Dan AborsiLegal Persepktof Medis”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi

Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang

Berkembang dalam Masyarakat”, Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana FH UAJY, 24 Februari 2005, hlm. 4.

27

Eny Kusmiran, S.Kp., M.Kes.Op.cit. Hlm.49.

28


(33)

18

Dampak mengerikan aborsi ilegal menurut Adi Utarini adalah:

1. Jika dilakukan menggunakan alat-alat tidak standar dan tajam misalnya lidi, ranting pohon, atau yang lainnya, maka resiko rahim robek atau luka besar sekali.

2. Rahim yang lebih dari 3 kali di aborsi beresiko jadi kering, infeksi, atau bahkan memicu tumbuhnya tumor

3. Aborsi ilegal yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli, dapat menyebabkan proses kuretasi tidak bersih hingga menjadi pendarahan hebat.

4. Peralatan yang tidak steril akan memicu munculnya infeksi di alat reproduksi wanita, bahkan sampai ke usus.

5. Bagi pelaku, rasa berdosa yang timbul karena aborsi dapat menyebabkan mereka menderita depresi, berubah kepribadiannya jadi introvert, serta sering tak bisa menikmati hubungan seksual jika telah menikah

6. Jika pelaku aborsi kelak hamil kembali dengan kehamilan yang diinginkan, maka kehamilan tersebut ada kemungkinan besar akan bermasalah, atau janin dapat mengalami masalah pada mata, otak atau alat pencernaannya. 29

2. Faktor Penyebab Melakukan Aborsi

Adapun yang menjadi alasan seorang wanita memilih terminasi kehamilan atau melakukan aborsi yaitu antara lain :

1. Faktor ekonomi

Telah cukup anak dan tidak mungkin dapat membesarkan seorang anak lagi. Dimana dari pihak pasangan suami istri yang sudah tidak mau menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal. Atau ingin konsentrasi pada pekerjaan untuk menunjang kehidupan dengan anaknya.

29

Adi Utarini. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 2005. Hlm. 45


(34)

2. Faktor penyakit herediter

Janin ternyata telah terekspos oleh substansi teratogenik, di mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapat kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik, atau wanita yang hamil menderita penyakit jantung yang berat (kronik), serta karena ingin mencegah lahirnya bayi dengan cacat bawaan.

3. Faktor psikologis

Seseorang yang hamil diluar pernikahan, dimana pada para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya. Atau ayah anak yang dikandungnya bukan suaminya. Dapat juga karena ada masalah dengan suami.

4. Faktor usia

Dimana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus membangun suatu keluarga yang prematur. Atau ayah anak yang dikandung bukan pria/suami yang diidamkan untuk perkawinannya. Atau juga karena ingin menyelesaikan pendidikan. Atau merasa trerlalu tua/muda untuk mempunyai anak.


(35)

20

5. Faktor penyakit ibu

Dimana dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu. Atau sang ibu terinfeksi HIV.

6. Faktor lainnya

Seperti para pekerja seks komersial, pasangan yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau pasangan yang salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur hamil. atau gagal metode kontrasepsi. Penyebab lain karena suami menginginkan aborsi.30

B.Tinjauan tentang Dekriminalisasi Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

Dekriminalisasi adalah suatu proses penghapusan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana dan juga penghapusan sanksinya berupa pidana.31Masalah dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejumlah mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.

30

http://www.masbied.com/search/latar-belakangterjadinya-abortus-di-indonesia (diakses pada tanggal 14 November 2014 pukul 08:00 WIB)

31


(36)

Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti, contoh ini tidak bersifat limitatif,:

1. Suatu sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku mengalami perubahan, sehingga perilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak lagi ditolak.

2. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.

3. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar.

4. Sangat terbatasnya evektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannnya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum. 32

Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia haruslah dilakukan secara terus menerus agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja secara efektif , sering dimanipulasi , bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.33

Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terdapat peraturan yang diperbolehkannya seseorang melakukan aborsi dengan dua syarat yaitu

32

Soerjono Soekanto dkk. Kriminologi, Suatu Pengantar. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1986. Hlm. 47-48.

33

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1996. hlm. 56


(37)

22

karena adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Yang menjadi sorotan mengenai dekriminalisasi aborsi disini adalah Pasal 75 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa pada dasarnya aborsi dilarang, akan tetapi terdapat pengecualian, yang mana salah satunya adalah jika kehamilan tersebut akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Pasal 75 UU Kesehatan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75, dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga menyatakan bahwa tindakan aborsi diperbolehkan bagi kehamilan akibat korban perkosaan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya Pasal 75, Pasal 126, dan Pasal 127.


(38)

Bagian yang menjadi sorotan adalah legalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang berbunyi:

Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukanapabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 :

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuktikan dengan:

a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan

b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Mengenai kehamilan akibat korban perkosaan, hal tersebut dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sementara yang dimaksud indikasi kedaruratan medis adalah: a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. Kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Penilaian atas indikasi medis dilakukan oleh paling sedikit terdiri dari 2 orang tenaga kesehatan, yang diketuai dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.34

34

http://parentsindonesia.com/articlem.php?type=article&cat=solution&id=3569 (diakses pada tanggal 22 Oktober 2014 pukul 16:00 WIB)


(39)

24

Berdasarkan uraian di atas, jika aborsi tersebut dilakukan atas indikasi keadaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis, maka pelaku aborsi tidak dapat dituntut pidana. Akan tetapi jika aborsi tersebut bukan termasuk ke dalam pengecualian dalam Pasal 75 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan, maka pelaku aborsi dapat dituntut pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.”

C. Pengaturan Aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Selain dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, pengaturan tentang aborsi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generalie), regulasi tentang pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Berikut ini adalah uraian tentang pengaturan abortus provocatus yang terdapat dalam masing-masing pasal tersebut:

Pasal 299 :

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana


(40)

penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 346 :

“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. “

Pasal 347 :

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348:

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 :

Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan Pasal 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.


(41)

26

Beradasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau menyuruh orang lain, diancam hukuman 4 (empat) tahun penjara.

2. Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.

3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.

4. Jika yang membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktik dapat dicabut.

Pasal-Pasal dalam KUHP tersebut dengan jelas tidak memperbolehkan suatu aborsi di Indonesia. KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan suatu pembunuhan terahadap anak.

Menurut Soewadi, aborsi berdasarkan indikasi medis atau aborsi terapeutik dapat dilakukan jika kehamilan yang mengakibatkan resiko bagi kehidupan perempuan hamil, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental, adanya resiko keutuhan fisik


(42)

bayi yang akan dilahirkan (pertimbangan eugenik) dan perkosaan dan incest

(pertimbangan yuridis). 35 Apabila pengaturan hukum tentang aborsi yang dimungkinkan atau seharusnya berlaku di Indonesia diharmonisasikan dengan konsep aborsi terapeutik sebagaimana diutarakan di atas, maka aborsi legal di Indonesia tidak hanya terbatas pada aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat, tetapi lebih luas lagi mencakup beberapa alasan aborsi terapeutik baik dari segi medis maupun psikiatri yaitu: kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan hamil mengalami gangguan jiwa berat, dan janin mengalami cacat bawaan berat.

Adanya legalitas aborsi bagi perempuan korban perkosaan dengan KUHP berimplikasi pada tidak berlakunya pertanggungjawaban pidana pada perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi sebab terdapat unsur pemaaf dan unsur pembenar baginya dalam melakukan perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban pidana hanya menuntut adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku. Pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana berbicara mengenai kesalahan (culpabilitas) yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, yang mendalilkan bahwa tidak ada pidana jika tanpa kesalahan.

Menurut Muladi, diperlukan parameter hukum yang baik agar tercapai penegakannya (enforceability) yang tinggi, oleh karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi kriteria, yaitu:

a. Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan sistematis terencana:

35

H. Soewadi, “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri”, disampaikan dalam Seminar Nasional “Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta

Opini Publik Yang Berkembang dalam Masyarakat”, Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana FH UAJY, 24 Februari 2005, hlm. 5.


(43)

28

b. Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat dan kadar kepastian yang tinggi;

c. Legal certainty, bahwa hukum harus memuat kaidah-kaidah dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan penafsiran;

d. Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan

perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian hukum;

e. Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat

dipertangggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat penataannya; f. Veribility, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang

siap uji secara objektif;

g. Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati;

h. Provability; bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah dalam pembuktian.36

Harmonisasi pengaturan hukum tentang aborsi ini membawa konsekuensi lebih lanjut berupa dekriminalisasi dan depenalisasi dalam pengaturan hukum pidana berkaitan dengan aborsi yang akan direalisasikan dalam kebijakan formulasi, aplikasi dan eksekusi untuk memenuhi asas lex certa dalam hukum pidana. Hal ini diperlukan karena ketiga alasan aborsi aman, yaitu kehamilan akibat perkosaan dan incest, perempuan hamil yang mengalami gangguan jiwa berat, dan janin yang mengalami cacat bawaan berat, di dalam ius constitutum merupakan perbuatan pidana karena itu dilarang dan diancam dengan pidana, namun dalam

ius constituendum meskipun perbuatan-perbuatan tersebut tetap bersifat melawan hukum, perempuan hamil dan tenaga medis yang membantu melakukan aborsi tidak dipidana karena tidak mempunyai kesalahan berdasarkan pengecualian berupa alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana yang bersumber dari Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht) dan kondisi darurat (noodtoestand). Penerapan Pasal 48 KUHP terhadap ketiga alasan aborsi tersebut

36

Muladi. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta. The Habibi Center. Hlm 63


(44)

dilandasi oleh teori perlindungan hukum yang seimbang yang bersumber pada Pancasila, yang dapat diukur dengan ide yaitu justice yang memuat konsep iustitia distributive.37 Konsep iustitia distributive tersebut dengan jelas menggambarkan dua hal, yaitu kewajiban pemerintah untuk membagikan kesejahteraan kepada warga negaranya dan hak warganegara untuk memperoleh kesejahteraan dari pemerintah. Konsep iustitia distributive jelas terlihat di dalam pernyataan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang memuat salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia dan menjadi landasan politik hukum Indonesia yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”.

D. Aborsi Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia dan Agama

Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Pengaturan mengenai hak-hak hidup tersebut telah jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, serta Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa hak untuk hidup tercantum sebagai salah satu hak asasi yang dijelaskan dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 setelah amandemen yaitu:

Pasal 28A UUD 1945:

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

37

P.J. Suwarno. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1993. hlm. 86


(45)

30

Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Hak hidup juga merupakan hak setiap anak yang masih berada dalam janin sang ibu, maka apabila aborsi dilakukan tanpa ada alasan yang jelas itu sama saja merampas nyawa anak yang tidak bersalah. Hal tersebut juga telah diatur dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 53 Ayat (1) sebagai berikut :

“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.”

Pasal 28I Ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Selaras dengan dasar negara Pancasila, maka dalam negara Indonesia, manusia, siapapun dia, adalah mahluk yang hakekat dan martabatnya harus dihormati. Apabila ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang sangat mendasar, namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal tersebut jelas diatur dalam UUD 1945 Pasal 28J


(46)

Ayat (2). Sehingga, meskipun seseorang mempunyai hak untuk menggugurkan kandungan, akan tetapi hal tersebut juga dibatasi oleh hak janin untuk hidup. Pasal 28A menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak asasi, termasuk hak untuk hidup, berkembang, dan diakui, sehingga apabila ditinjau dari perspektif hak asasi manusia, aborsi pada dasarnya tidak dapat diizinkan, meskipun harus dilakukan suatu tindakan aborsi hal tersebut dapat dilakukan karena keadaan yang sangat membahayakan nyawa sang ibu dan telah disimpulkan oleh ahli yang kompeten, maka aborsi dapat dilakukan. Selain itu apabila dipandang dari kacamata agama, di dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya adzab yang besar (Qs. An Nisa’: 93) “

Berdasarkan Hadist, aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh, sebagian memperbolehkan dan sebagiannya


(47)

32

mengharamkannya.38 Haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah

4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah

Saw telah bersabda:

Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40

hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh

kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil

syar’i berikut. Firman Allah SWT:

ل

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar [518]". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami (nya).

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

38

Abdurrahman Al Baghdadi. Emansipasi Adakah Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1997. Hlm. 127-128


(48)

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40

malam adalah hadits Nabi Saw berikut:

Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah

mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang

belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia

(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah

kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya, sehingga apabila dipandang dari agama yang dalam hal ini agama Islam, tindakan aborsi sangat dilarang terlebih ketika janin sudah memasuki umur 40 hari, karena berdasarkan Hadist-Hadist di atas bahwa ketika janin memasuki umur 40 hari saat itu telah ditupkannya ruh, dan apabila tindakan penggguguran kandungan dilakukan maka hal tersebut sama saja membunuh janin yang bernyawa. Dalam Islam, tindakan aborsi dapat dilakukan apabila hal tersebut benar-benar dibutuhkan untuk melindungi nyawa sang ibu atau karena alasan kesehatan lain yang mengharuskan suatu pengguguran kandungan, selain dari hal itu aborsi haram hukumnya. Hal tersebut dikarenakan setiap janin yang ada di dalam rahim sang ibu adalah pemberian dari Allah SWT, terlepas apakah kehamilan tersebut karena suatu kehamilan akibat perkosaan, ataupun karena suatu perbuatan zina, tidak ada pembenaran untuk melakukan suatu tindakan aborsi tanpa alasan yang kuat dan didasari dengan keterangan dokter yang


(49)

34

kompeten untuk melakukan suatu tindakan aborsi, hal ini didasari pada firman Allah, yaitu:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),

melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “ (Q.S. Al Israa’: 33)

Sama halnya dengan agama Islam, agama Hindu, agama Buddha dan agama Kristen juga melarang akan suatu tindakan aborsi yang tidak didasari oleh suatu pembenaran yang kuat. Dalam agama Hindu misalnya, aborsi dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut “Himsa karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai

“menghilangkan nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Larangan serupa pula diatur di dalam agama Buddha maupun Kristen, sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap agama sangat melarang suatu tindakan aborsi kecuali ada alasan yang kuat dan benar.


(50)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu sedangkan metode penelitian hukum artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian hukum dengan teratur (sistematis). 39 Dengan menggunakan metode maka akan menemukan jalan yang baik untuk memecahkan suatu masalah. Setelah masalah diketahui maka perlu diadakan pendekatan masalah tersebut dan langkah selanjutnya adalah menentukan metode yang akan diterapkan, dalam hal ini mencakup teknik mencari, mengumpulkan dan menelaah serta mengolah data tersebut.

A. Pendekatan Masalah

Upaya yang dilakukan dalam membahas dan memecahkan masalah-masalah yang ada dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan dua macam metode pendekatan, yaitu :

Pendekatan yuridis normatif, merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah. Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah

39

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004. hlm. 57


(51)

36

metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.40

B. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data primer data sekunder.

a. Data Primer (field research) yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di Kepolisian Resort Kota Bandarlampung, dan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung

b. Data sekunder (library research) yaitu terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, atau data tersier

a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer41. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara studi dokumen, buku-buku literatur, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.

40

Soerjono Soekanto,. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009, hlm. 13-14

41


(52)

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan materi penulisan yang berasal dari kamus.42

C. Penentuan Narasumber

Dalam penelitian ini diambil narasumber sebanyak 6 orang, yaitu : 1. Anggota Kepolisian Resort Kota Bandarampung : 1 Orang 2. Anggota Dinas Kesehatan Provinsi Lampung : 2 Orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 Orang 4. Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unila : 2 Orang +

Jumlah : 6 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazim nya dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.43

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi Pustaka (Library reseach)

Hal ini dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder dengan cara membaca dan mengutip bahan hukum yang ada kaitannya dengan

42

Ibid.

43


(53)

38

pokok bahasan dari bahan-bahan berupa literatur-literatur hukum, dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan.

b. Studi Lapangan (Field reseach)

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data-data sekunder. Dalam hal ini penulis melakukan serangkaian kegiatan studi dokumenter dengan cara membaca, mencatat, menyadur, mengutip buku-buku atau referensi dan menelaah perundang-undangan, dokumen dan informasi lain yang ada hubungannya dengan permasalahan.

2. Pengolahan Data

Langkah selanjutnya setelah data terkumpul baik primer maupun data sekunder dilakukan pengolahan data dengan cara :

1. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

2. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

3. Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan cara deskriptif kualitatif maksudnya adalah analisis data yang dilakukan dengan menjabarkan


(54)

secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan


(55)

71

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlunya Dekriminalisasi Aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah:

Diberlakukannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi untuk alasan kesehatan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang apabila kehamilan tetap dipertahankan dapat membahayakan nyawa ibu, sehingga perlu adanya tindakan aborsi untuk menyelamatkannya, sehingga aturan dekriminalisasi aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tersebut diperlukan bagi pelaku aborsi maupun yang membantu jalannya suatu aborsi sebagai payung hukum agar apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku

2. Faktor-faktor yang menghambat dekriminalisasi aborsi adalah yang pertama faktor hukum itu sendiri, dalam Pasal 31 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjadi


(56)

salah satu faktor penghambat pelaksanaan legalisasi aborsi dalam PP tersebut karena tenggang waktu 40 hari yang dirasa kurang cukup untuk proses pembuktian terlebih untuk melakukan suatu aborsi karena terbatasnya waktu. Kedua, faktor penegak hukum aparat penegak hukum belum banyak yang mengetahui mengenai pengaturan legalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Faktor ketiga adalah sarana atau prasarana, dimana belum adanya dokter khusus untuk menangani aborsi bagi korban yang hamil akibat perkosaan. Keempat, faktor masyarakat yang masih kurang pemahaman mengenai peraturan yang berlaku. Serta faktor kelima adalah faktor kebudayaan dimana dalam kebudayaan maupun agama di Indonesia aborsi dianggap suatu perbuatan yang tidak lazim dan sangat dilarang oleh agama.

B. Saran

1. Sebaiknya pemerintah perlu meninjau kembali mengenai Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya dalam aspek pembuktian kehamilan akibat korban perkosaan agar tidak menimbulkan suatu kesan melegitimasi perbuatan aborsi dalam bentuk apapun. Serta, dalam waktu pembuktian korban perkosaan yang dibatasi hanya dalam waktu 40 hari hendaknya di tinjau kembali, karena batasan waktu tersebut belum relatif bagi aparat hukum untuk membuktikannya.


(57)

73

2. Mengenai faktor penghambat dalam pelaksanaan peraturan ini, sebaiknya pemerintah melakukan lebih banyak sosisalisasi dengan tujuan agar tidak terjadinya kesalahpahaman maupun penyalahgunaan dalam peraturan ini di tengah masyarakat, selain itu sebaiknya tindakan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan lebih ditinjau kembali apabila hal tersebut tidak benar-benar mengancam nyawa ibu dan membahayakan janin, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan HAM dan agama.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur :

Ali, Mahrus.2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Al Baghdadi, Abdurrahman. 1997. Emansipasi Adakah Dalam Islam. Jakarta:

Gema Insani Press.

Ashshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Aziz Dahlan, Abdul. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. cet. I. Jakarta: PT. Ikhtisar

Baru Van Hoev

Budairi, Muh. 2003. HAM versus Kapitalisme. Yogyakarta: Insist Press

Budiardjo, Miriam. 1988. Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Edisi 29. Jakarta: EGC Amiruddin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2009. Jurnal Hukum No. 4 Volume 16. Yogyakarta

Howard, Rhoda E. 2000. HAM Penjelajahan Dalih Relatifisme Budaya.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Kristanti, Idayu. 2009. Aborsi. Jakarta: Pinus.

Kusmaryanto, CB. 2004. Kontroversi Aborsi. cet. II. Jakarta: Grasindo Kusmiran, Eny. 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Wanita.

Jakarta : Salemba Medika.


(59)

75

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Muladi. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibi Center.

Nawawi Arief, Barda. 1994. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Fakultas Hukum Undip.

Pendidikan Nasional, Departemen. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Prakoso, Djoko. 1987. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono. 1986. Kriminologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.

---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

---. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soewadi. 2005. Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri. Yogyakarta

Sofoewan, Sulchan. 2005. Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap Kehidupan Janin Dalam Kandungan Dan Aborsi. Yogyakarta

Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila dengan Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Kanisius.

Utarini, Adi. 2005. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


(60)

Sumber Lainnya:

GOI & UNICEF. 2000. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi Anak (Draft)

Website :

www.academia.edu

http://business-law.binus.ac.id

http://pengertiandefinisiarti.blogspot.com http://kbbi.web.id

http://kesehatan.kompasiana.com http://www.leimena.org

http://regional.kompas.com http://www.lbh-apik.or.id http://parentsindonesia.com

http://rahmatikhsanmubut.blogspot.com http://www.masbied.com


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlunya Dekriminalisasi Aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah:

Diberlakukannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi untuk alasan kesehatan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang apabila kehamilan tetap dipertahankan dapat membahayakan nyawa ibu, sehingga perlu adanya tindakan aborsi untuk menyelamatkannya, sehingga aturan dekriminalisasi aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tersebut diperlukan bagi pelaku aborsi maupun yang membantu jalannya suatu aborsi sebagai payung hukum agar apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku

2. Faktor-faktor yang menghambat dekriminalisasi aborsi adalah yang pertama faktor hukum itu sendiri, dalam Pasal 31 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjadi


(2)

salah satu faktor penghambat pelaksanaan legalisasi aborsi dalam PP tersebut karena tenggang waktu 40 hari yang dirasa kurang cukup untuk proses pembuktian terlebih untuk melakukan suatu aborsi karena terbatasnya waktu. Kedua, faktor penegak hukum aparat penegak hukum belum banyak yang mengetahui mengenai pengaturan legalisasi aborsi dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Faktor ketiga adalah sarana atau prasarana, dimana belum adanya dokter khusus untuk menangani aborsi bagi korban yang hamil akibat perkosaan. Keempat, faktor masyarakat yang masih kurang pemahaman mengenai peraturan yang berlaku. Serta faktor kelima adalah faktor kebudayaan dimana dalam kebudayaan maupun agama di Indonesia aborsi dianggap suatu perbuatan yang tidak lazim dan sangat dilarang oleh agama.

B. Saran

1. Sebaiknya pemerintah perlu meninjau kembali mengenai Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya dalam aspek pembuktian kehamilan akibat korban perkosaan agar tidak menimbulkan suatu kesan melegitimasi perbuatan aborsi dalam bentuk apapun. Serta, dalam waktu pembuktian korban perkosaan yang dibatasi hanya dalam waktu 40 hari hendaknya di tinjau kembali, karena batasan waktu tersebut belum relatif bagi aparat hukum untuk membuktikannya.


(3)

2. Mengenai faktor penghambat dalam pelaksanaan peraturan ini, sebaiknya pemerintah melakukan lebih banyak sosisalisasi dengan tujuan agar tidak terjadinya kesalahpahaman maupun penyalahgunaan dalam peraturan ini di tengah masyarakat, selain itu sebaiknya tindakan aborsi bagi kehamilan akibat perkosaan lebih ditinjau kembali apabila hal tersebut tidak benar-benar mengancam nyawa ibu dan membahayakan janin, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan HAM dan agama.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Literatur :

Ali, Mahrus.2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Al Baghdadi, Abdurrahman. 1997. Emansipasi Adakah Dalam Islam. Jakarta:

Gema Insani Press.

Ashshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Aziz Dahlan, Abdul. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. cet. I. Jakarta: PT. Ikhtisar

Baru Van Hoev

Budairi, Muh. 2003. HAM versus Kapitalisme. Yogyakarta: Insist Press

Budiardjo, Miriam. 1988. Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Edisi 29. Jakarta: EGC Amiruddin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2009. Jurnal Hukum No. 4 Volume 16. Yogyakarta

Howard, Rhoda E. 2000. HAM Penjelajahan Dalih Relatifisme Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Kristanti, Idayu. 2009. Aborsi. Jakarta: Pinus.

Kusmaryanto, CB. 2004. Kontroversi Aborsi. cet. II. Jakarta: Grasindo Kusmiran, Eny. 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Wanita.

Jakarta : Salemba Medika.


(5)

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Muladi. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di

Indonesia. Jakarta: The Habibi Center.

Nawawi Arief, Barda. 1994. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Fakultas Hukum Undip.

Pendidikan Nasional, Departemen. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Prakoso, Djoko. 1987. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono. 1986. Kriminologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.

---. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

---. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soewadi. 2005. Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri. Yogyakarta

Sofoewan, Sulchan. 2005. Kapan Dimulainya Kehidupan, Tahap-Tahap

Kehidupan Janin Dalam Kandungan Dan Aborsi. Yogyakarta

Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia; Penelitian Pancasila

dengan Pendekatan Historis, Filosofis & SosioYuridis Kenegaraan.

Yogyakarta: Kanisius.

Utarini, Adi. 2005. Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


(6)

Sumber Lainnya:

GOI & UNICEF. 2000. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi Anak (Draft)

Website :

www.academia.edu

http://business-law.binus.ac.id

http://pengertiandefinisiarti.blogspot.com http://kbbi.web.id

http://kesehatan.kompasiana.com http://www.leimena.org

http://regional.kompas.com http://www.lbh-apik.or.id http://parentsindonesia.com

http://rahmatikhsanmubut.blogspot.com http://www.masbied.com


Dokumen yang terkait

pp nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi

0 0 55

Analisis hasil Bahtsul Masail musyawarah nasional Nahdatul Ulama’ tahun 2014 terhadap hukum aborsi dalam peraturan pemerintah nomor. 61 tahun 2014 pasal 31 tentang kesehatan reproduksi.

0 1 84

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP ABORSI KARENA KEDARURATAN MEDIS DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI.

0 3 78

Tinjauan Hukum Islam terhadap dibolehkannya Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Digital Library IAIN Palangka Raya BAB VI PENUTUP (SA)

0 0 2

Tinjauan Hukum Islam terhadap dibolehkannya Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Digital Library IAIN Palangka Raya BAB V HASIL (SA)

0 0 36

Tinjauan Hukum Islam terhadap dibolehkannya Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Digital Library IAIN Palangka Raya BAB III METODE (SA)

0 0 5

Tinjauan Hukum Islam terhadap dibolehkannya Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Digital Library IAIN Palangka Raya BAB II KAJIAN (SA)

0 0 38

Tinjauan Hukum Islam terhadap dibolehkannya Aborsi Akibat Perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 18

ANALISIS DEKRIMINALISASI ABORSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI MutiaraPuspa Rani, Firganefi, EkoRaharjo email: pr_mutiarayahoo.com

0 0 7

TESIS TINJAUAN YURIDIS SYARAT-SYARAT ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN MENURUT UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

0 0 13