B. Pokok Permasalahan dan Ruang Lingkup
1
. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimanakah Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti Elektronik? 2. Ruang lingkup
Agar penulisan skripsi ini tidak terlalu luas, maka pokok bahasan hanya dibatasi pada Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, lingkup penelitian dibatasi pada wilayah hukum Polda Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1.Tujuan penulisan
Berdasarkkan permasalahan dan ruang lingkup permasalahan di atas maka penulisan skripsi bertujuan untuk mengetahui : Implementasi Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Mengenai Pemberlakuan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Sah.
2. Kegunaan Penulisan
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangan Pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya tentang Dokumen
Elektronik dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE.
b. Kegunaan Praktis Kegunaan Praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan dan referensi bagi
pendidikan dan penelitian hukum, sumber bacaan bidang hukum khususnya pemberlakuan alat dokumen eletronik sebagai alat bukti sah pada pasal 5 Undang-
Undang Nomor. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Kerangka Teoritis dan konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang di anggap revelan oleh peneliti Soerjono Soekanto, 1986 : 123.
Saat ini telah lahir suatu hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan
untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari
konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi law of
information technology, hukum dunia maya virtual world law, dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan
melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global Internet dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait
dengan penyampaian informasi, komunikasi, danatau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum
yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya
dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan
saat ini yang berkaitan dengan kegiatan siber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara, aksesnya
dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah
berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting,
mengingat data elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat
rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa
demikian cepat. Teknologi infomasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global 31 Mei 2005.
Keberadaan alat bukti sangat penting terutama untuk menunjukkan adanya peristiwa hukum yang telah terjadi. Menurut PAF Lamintang, orang dapat
mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang. Tetapi dari alat-alat bukti yang
sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
Adanya alat bukti yang sah sangat penting bagi hakim pidana dalam meyakinkan
dirinya membuat putusan atas suatu perkara. Alat bukti ini harus sah wettige bewijsmiddelen. Hanya terbatas pada alat-alat bukti sebagaimana di sebut dalam
Undang-undang KUHAP atau Undang-undang lain. UU ITE melalui pasal 5 ayat 1 dan 2 ternyata memberikan 3 buah alat bukti baru yaitu; Informasi
elektornik, dokumen elektronik dan hasil cetak dari keduanya, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia. Dalam pasal 184 KUHAP hanya mengenal 5 alat bukti yang dapat dipersidangkan
dipengadilan yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah
dipersidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan
pengamatan hakim. Pesatnya kemajuan di bidang komunikasi dan informasi, yang notabene
memanfaatkan komputer sebagai media tentunya, tidak selalu berdampak positif melainkan juga negatif. Saat ini penguasaan informasi dalam jaringan dunia
global network merupakan suatu keharusan jika kita tidak ingin menjadi objek didalamnya. Dalam dunia maya cyberspace telah terjadi perubahan paradigma,
terutama dalam pemanfaatan informasi sebagai suatu aset untuk menguasai dunia. Banyak hal dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer, informasi,
dan komunikasi yang bermuara pada jaringan internet sebagai wujud perpaduan tiga bidang teknologi tersebut Edmon Makarim, 2005:428.
Perkembangan teknologi dibidang komputer dengan sistem jaringan telah
diaplikasikan kedalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sistem jaringan yang dibentuk telah menciptakan suatu yang disebut cyber space. Pemanfaatan cyber
space ini dalam perkembangananya menuntut regulasi tersendiri, mengingat banyak dijumpai penyalahgunaan terhadap fasilitas yang ada dalam cyber space
tersebut. Kompilasi permasalahan dalam cyber space ini tentu saja memutar pembenahan
terhadap sistem hukum secara menyeluruh baik mengenai kultur hukum dan substansi hukum khususnya hukum pidana. Dengan demikian kebijakan hukum
pidana penal pollicy menduduki posisi yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern Barda Nawawi Arif, 1996:23-24.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti Soerjono Soekanto, 1986:32.
a. Implementasi adalah pelaksanaan; penerapan;pertemuan kedua ini bermaksud mencari bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990:327.
b. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisaan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange EDI, surat elektronik electronic mail, telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf; tanda, angka, Kode Akses, simbol,
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya Pasal 1 Ayat 2 UU ITE.
c. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, danatau media elektronik
lainnya Pasal 1 Ayat 3 UU ITE. d. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan informasi Pasal 1 Ayat 3 UU ITE.
e. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterina, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau Komputer atau sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancanga., foto atau sejeninya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminyaa. Pasal 1 Ayat 4 UU ITE
e. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan,
danatau menyebarkan Informasi Pasal 1 Ayat 5 UU ITE.
f. komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sisitem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan Pasal
1 Ayat 14 UU ITE. g. Alat Bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam pasal 184 KUHAP yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut : I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan skripsi
dengan judul Implementasi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE mengenai Pemberlakuan
Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Sah, kemudian dalam bab ini memuat perumusan masalah dan pembatasan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan
penulisan, serta uraian mengenai kerangka teoritis dan konseptual serta sistem penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman mengenai pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan implementasi pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik UU ITE mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagi alat bukti sah.
III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikasikan sumber
dan jenis data, serta prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis dengan bentuk uraian.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memuat pembahasan, yaitu mengenai implementasi pasal 5 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transakasi Elektronik mengenai pemberlakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti sah serta
pengaturan penggunaan alat bukti sah yang berupa dokumen elektronik dalam hukum acara pidana.
V. PENUTUP Bab ini merupakan kesimpulan secara ringkas dari hasil perubahan serta beberapa
saran dari penulis berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang dibahas.
dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata,
pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya adalah untuk cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para
pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana adalah: a surat; b keterangan saksi; c
petunjuk; d keterangan ahli; e sumpah. Sementara itu, untuk Hukum Acara Perdata Pasal 164 HIR Herzien Inlands Reglement atau RIB Reglemen Indonesia
yang diperbaraui Staatsblaad 1941 No. 44 dan KUHPerdt adalah: a surat; b pengakuan; c persangkaan; d keterangan saksi; dan e sumpah.
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana sangat penting karena merupakan
bagian yang paling utama serta menyangkut seluruh sistem yang di sebut Criminal justice system, yang di mulai dari penyelidikan. penyidikan, penuntutan, dan
puncaknya adalah persidangan, di mana terdapat tiga pihak yang berperan : Jaksa. Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi hukum pembuktian
yang merupakan dari hukum acara pidana, termuat dalam KUHAP, namun disamping itu pengaturannya juga diluar kodifikasi, yaitu pada Undang-Undang Tindak Pidana
diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil. Hukum pembuktian dikenal dengan istilah notoire feiten notorious generally known
yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sudah tercantum dalam pasal 184 ayat
2 yang berbunyi “ hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah
diketah ui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan
tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan
akibat yang pasti demikian”.
B. Sistem Pembuktian
Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana bukti awal telah terjadinya tindak pidana maka barulah dari
proses tersebut dilakukan penyelidikan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, dan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian dalam pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sistem Pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara untuk meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Ada empat sistem hukum
pembuktian hukum acara pidana, yaitu:
1. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Belaka Conviction Intime
Dalam sistem ini hakim tidak terikat oleh suatu peraturan hukum dan alat-alat bukti apapun. Putusan diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Hakim diberikan kebebasan
untuk mencari dasar putusannya itu berdasarkan keyakinan hakim belaka dan tidak
diwajibkan mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya. Namun apabila hakim dalam putusannya menyebut alat bukti yang
dipakai, maka hakim bebas menunjuk alat bukti itu, meskipun alat bukti itu sulit diterima dengan akal. Penilaian dari sistem ini benar-benar tergantung penilaian
subjektif hakim tersebut. Dasar-dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan terhadap keputusan yang tidak dikemukakan dan tidak diketahui
mengakibatkan sulit sulitnya pengawasan terhadap putusan hakim. Maka dari itu putusan hakim yang berdasarkan sisitem ini sudah tidak diterima lagi dalam
kehidupan hukum di Indonesia. Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada
keyakina hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan kebenaran sejati. Menurut Wirjono Prodjodikoro Andi Hamzah, 1995:230
“ Sistem peradilan ini pernah di anut di Indonesia yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinan hakim menyebut apa saja yang
menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.”
2. Sistem Pembuktian Bebas Vrije Bewijstheorie
Pada sistem ini alat-alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan oleh undang- undang. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah
atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam pembuktian ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim
wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinnya atas kesalahan terdakwa.Hakim tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti yang
terdapat dalam undang-undang, melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat lain.
3. Sistem Pembuktian Undang-Undang Secara Positif Positief Wettelijk
Dalam sistem ini undang-undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara-cara mempergunakannya atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan alat yang
ditentukan undang-undang dan dipergunakan sesuai undang-undang, maka hakim berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya,
meskipun belum yakin atau bahkan betentangan dengan keyakinan hakim itu sendiri. Sistem ini hanya menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai
kepercayaan diri hakim sebagai sumber keyakinanya, hingga akan menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat dari
putusan –putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak masyarakat yang akan
tercermin dalam pribadi hakim. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro Andi Hamzah, 1995;230
yang menolak teori pembuktian ini, menurutnya : “ Bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan
pada keyakinanya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang
jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.”
4. Sistem Pembuktian Undang-undang Secara Negatif Negatief Wettelijk
Dalam sistem ini hakim dibatasi dalam mempergunakan alat-alat bukti tertentu yang telah
ditentukan oleh
undang-undang dan
hakim tidak
diperkenankan mempergunakan alat-alat bukti yang lain. Cara penilaian dalam mempergunakan alat-
alat bukti yang diatur oleh undang-undang dengan adannya keyakinan seorang hakim atas adanya kebenaran.
Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut. “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.” Sebelum KUHAP, HIR juga menyebutkan dalam pasal 294 bahwa:
1. Tidak seorangpun dapat dikenakan pidana, kecuali apabila hakim
dengan mempergunakan alat bukti yang termuat dalam undang- undang mendapat keyakinan sungguh-sungguh terjadi suatu peristiwa.
2. Tidak seorangpun dapat dikenakan hukum pidana berdasarkan
persangkaan belaka atau suatu pembuktian yang tidak sempurna.
Alat-alat bukti yang secara limitatief dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya serta disertai dengan keyakinan hakim, hakim juga terikat pada
ketentuan undang-undang sehingga dapat terjamin suatu kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori undang-undang secara negatif
negatief wettelijk bewijstheori.
C. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti terdiri dari :
1. Keterngan saksi
2. Keterngan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
1. Keterngan Saksi
Pengertian Keterngan saksi tercantum dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi: “ Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Menjadi saksi adalah kewajiban setiap orang, orang yang menjadi saksi setelah
dipanggil ke suatu sidang pegadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak untuk memberikan keterngan maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku.
2. Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang menyatakan bahwa :
“ Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang
seorang ahli katakan di pengadilan. Pada pasal tersebut tidak dinyatakan siapa yang disebut ahli, dalam penjelasannya pun tidak dijelaskan mengenai hal ini, disebutkan
bahwa : “ Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umumyang dituangkan dalam suatu bentuk lapora dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum maka pemeriksaan di sidang diminta untuk diberikan setelah
mengucap sumpah atau janji di depan hakim.” Peranan seorang ahli dalam cyber merupakan sesuatu yang tidak bisa di tawar-tawar
lagi mengingat pembuktian dengan alat bukti elektronik sangat riskan penggunaannya didepan pengadilan. Disinilah pentingnya kedudukan seorang ahli, yaitu untuk
memberikan keyakinan kepada hakim. 3. Alat Bukti Surat
Dalam KUHAP hanya ada satu pasal yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu
Pasal 187. Surat yang dibuat di atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu
keadaan;
c. Surat keterngan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain. Dalam hal alat bukti surat yang ini, hanya akte autentik yang dapat
dipertimmbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana.
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan
c KUHAP merupakan alat bukti yang sempurna karena bentuk surat-surat tersebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan
perundang-undangan. Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut Pasal 187 KUHAP, bukan
merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan kekuatan pembuktian keterangan
saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktiannya bersifat bebas. Merujuk pada terminologinya, “ surat” dalam kasus
cybercrime mengalami perubahan dari bentuknya yang tertulis menjadi tidak tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti dalam sistem komputer yang telah di disertifikasi ada
dua kategori. Pertama bila sebuah sistem komputer yang telah disertifikasi oleh badan yang berwenang, maka hasil print out komputer dapat dipercaya keotentikannya.
Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena dibuat oleh dan pejabat yang berwenang. Meskipun
penggunaan kedua alat bukti surat ini mengalami kendala dari segi pengertian “ pejabat yang berwenang” dimana di dalam perundang-undangan yang dimaksud
dengan pejabat yang berwenang adalah notaris.
4. Alat Bukti Petunjuk Petunjuk disebut dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti, mengikuti Pasal 295
HIR. Ini berbeda dengan Ned. Sv. Yang baru maupun Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1950 yang menghapus petunjuk sebagai bukti. Pasal 188 ayat
1 KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut: “ Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Dalam cybercrime, pengumpulan alat bukti secara fisik akan sulit dipenuhi. Yang
paling mudah dalam melakukan pengumpulan alat bukti-bukti adalah mencari petunjuk
–petunjuk yang mengindentifikasikan telah adanya suatu niat jahat berupa akses secara tidak sah. Mewujudkan suatu alat bukti petunjuk dari bukti-bukti yang
ditemukan dalam cybercrime akan sulit jika hanya mendasarkan pada keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa saja meskipun hal tersebut mungkin saja diterapkan.
Akan tetapi apabila hakim dapat petunjuk yang diajukan dalam persidangan adalah alat bukti elektronik yang disertai keterangan ahli, maka petunjuk ini akan bersifat
lebih kuat dan memberatkan terdakwa dibandingkan dengan petunjuk-petunjuk lainnya.
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 184 KUHAP menyebutkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan
apa perbedaan antara “ keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dengan “ pengakuan Terdakwa” sebagai alat bukti.
Pengertian keterangan terdakwa menjelaskan dalam Pasal 189 ayat 1 yang berbunyi:
“ Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”
Jadi, keterangan terdakwa sebagai alat bukti harus dinyatakan dalam sidang
pengadilan. Keterangan terdakwa yang diberikan di ruang sidang tersebut dapat dipergunakan untuk membantu sebagai alat bukti di sidang, dengan syarat keterangan
itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadannya, melainkan harus dengan alat bukti yang lain.
Dalam penggunaan alat-alat bukti konvensional atas kejahatan cyber, hakim
memegang peranan penting dalam penyelesaian perkara dengan wajib menggali hukum yang hidup dalam maasyarakat. Keyakinan hakim untuk menerima alat bukti
di persidangan menjadi hal yang signifan adanya. Begitu pentingnya peran hakim
dalam kasus cyber, hakim harus mempunyai kemampuan dalam ilmu teknologi informasi dan pandangan yang luas dalam penafsiran hukum.
D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
1. Dokumen Elektronik sebagai alat bukti
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan danatau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbolatau porforasi yang memiliki makna dan arti atau dapat dipahami oleh semua
orang yang mampu memahaminya Pasal 1 ayat 4 UU ITE. Pasal 5 1 Informasi
Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.2 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik
danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum
acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronikdokumen elektronik, dan informasi elektronikdokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah
menurut UU ITE. Tidak sembarang informasi elektronikdokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronikdokumen
elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem
elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik danatau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; 4.
dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5.
memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sedemikian pesatnya. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukan adannya korelasi adanya kemajuan
teknologi dan modus operandi dalam melakukan kejahatan, yakni berupa penggunaan sarana teknologi canggih dibidang kejahatan. Umpamanya penggunaan komputer
dalam tindak pidana dibidang perbankan. Pembajakan hak cipta dengan reproduksi secara elektronik, pembajakan hak buku-buku dengan sarana grafika modern dan
sebagainya. Ditinjau dari segi hukum pembuktian, apakah KUHAP telah mempersiapkan sarana Pembuktian bagi tindak pidana bermodus operandi teknologi
canggih tersebut. Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi, terlihat pula perkembangan pada modus operandi dalam melakukan kejahatan dengan melibatkan
sarana berteknologi tersebut. Karena itu A. Hamzah mengatakan bahwa kejahatan- kejahatan yang memakai sarana teknologi canggih termasuk komputer telah melanda
negara-negara maju, dan pada tahun-tahun terakhir ini telah menampakkan dirinya di negara-negara berkembang di Indonesia A. Hamzah, 1987:5
2. Pengaturan Alat Bukti Elektronik Menurut Undang-Undang Dalam hukum Acara Perdata dan Pidana tidak mengenal pengaturan mengenai bukti
elektronik. Namun dalam aturan materiil ternyata ditemukan pengaturan bukti elektronik yang dapat dijadikan alat bukti hanya saja peraturan itu tersebar dibeberapa
Undang-Undang.
a.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Pasal 12 Undang-undang tersebut berusaha memberikan pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai
tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen atau ditranformasikan dapat dijadikan sebagai alat bukti.
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan Undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber perolehan alat
bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat keterangan terdakwa tetapi menurut
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, ataupun disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa denga itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronik data interchange, surat elektronik e-
mail, telegram, teleks, faksimil dan dari dokumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, foto, huruf, tanda, angka,
atau porforasi yang memiliki makna.
c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 27 Alat bukti pemeriksaan Tindak Pidana Terorisme meliputi:
1. alat bukti sebagaimana di atur dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu;
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a tulisan, suara, atau gambar b peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, d huruf, tanda, angka,
simbol, atau porforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh semua orang yang mampu membaca atau memahaminya.
d. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang
Pasal 38 huruf b, yaitu “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu”.
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dapat pula berupa :
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan
b. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : 1 Tulisan, suara atau gambar 2 Peta, rancangan,
foto atau sejenisnya 3 Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
f. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Dalam undang-undang ini juga di atur mengenai alat bukti a.
tanpa hak, tidak sah, memanipulasi akses kejaringan telekomunikasi Pasal 22 jo Pasal 50.
b. Menimbulakan gangguan fisik elektromagnetik terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi Pasal 38 jo. Pasal 55. c.
Menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi Pasal 40 jo Pasal 56.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE merupakan undang-undang yang ditunggu implementasinya baik oleh
dunia teknologi informasi, masyarakat umum, maupun pemerintahan. UU ITE mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
tandatangan konvesional tinta basah dan materai, alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. UU ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 dua, yaitu:
1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan melalui wawancara
dengan pihak yang mengetahui persoalan yang sedang diteliti, yaitu dengan mengadakan wawancara terhadap pihak yang terkait langsung yaitu Penyidik
Polisi Daerah Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara,
membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus dan literatur lain yang berkenaan dengan permasalahan yang
akan dibahas Rianto Andi, 2004: 57 yang terdiri dari:
a. Data sekunder berupa bahan hukum primer, yaitu terdiri dari:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik 4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan 5.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. 7.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. 8.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. Data sekunder berupa bahan hukum sekunder anatara lain meliputi peraturan pelaksanaan, Rancangan Undang-Undang, Keputusan Menteri dan Peraturan
Pemerintah.
c. Data tersier berupa bahan bacaan lain berupa karya ilmiah, literatur-literatur, hasil penelitian yang akan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau
diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan sampel