Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan

(1)

TESIS

Oleh

DEDY HUMALA MARPAUNG

067011111/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Dedy Humala Marpaung : Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan, 2009


(2)

ANALISIS HUKUM PELAKSANAAN PEMBERIAN IZIN

MENDIRIKAN BANGUNAN DALAM RANGKA

PEMELIHARAAN TATA RUANG KOTA MEDAN

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDY HUMALA MARPAUNG

067011111/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 16 Januari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum 3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(4)

Judul Tesis : Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan

Nama Mahasiswa : Dedy Humala Marpaung

Nomor Pokok : 067011111

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr.Pendastaren Tarigan, SH, MS) Ketua

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Notaris Syafnil Gani, SH,MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(5)

ABSTRAK

Berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan fisik dan psikhis masyarakat. Pemerintahan Kota Medan tampaknya memang lebih senang membangun pusat kota dengan berbagai fasilitas modern yang tidak berdampak langsung pada masyarakat di pinggiran kota. Pembangunan yang terfokus di pusat kota hanya akan memperluas. kesenjangan sosial antara warga di inti dan warga pinggiran kota. Minimnya perencanaan Pemkot Medan untuk membangun kota yang berkesinambungan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kalau paradigma pembangunan Medan tidak segera diubah, apa yang menjadi persoalan di Jakarta sekarang pasti akan segera terjadi di Medan, sehingga sangat tidak sebanding pembangunan kota dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Medan yang pada tahun 2004 saja sudah mencapai Rp 1,13 triliun. Berdasarkan hal tersebut, di atas maka penulis mempunyai minat untuk meneliti lebih dalam tentang Izin Mendirikan Bangunan yang berkaitan dengan Tata Ruang Kota Medan dengan judul ”Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan”, untuk mengkaji keabsahannya secara hukum, sehingga dengan demikian, akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan yang terdapat di dalam penelitian ini.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dari segi hukum Pertanahan Nasional maupun hukum politik dan hukum Administrasi Negara. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis

empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang

kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku pejabat pemerintah dalam pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan atau field research yaitu Masyarakat warga Kota Medan serta aparat Pemerintah Kota Medan mulai dari Kepala Lingkungan, Lurah, Camat serta Staf Bidang Perizinan IMB pada Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan.

Pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan, dilakukan dengan mengacu kepada Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Pelaksanaan Perda tersebut diatur melalui Keputusan Walikota Medan Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda Nomor 9/2002 dan Keputusan Walikota


(6)

Medan Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2002, dalam upaya mewujudkan program penyempurnaan Medan sebagai kota metropolitan, yang menyatukan konsep kota baru dan kota lama, walaupun sampai saat ini, belum adanya konsep tata ruang yang jelas dan tegas yang mengakibatkan Kota Medan telah mengalami masalah banjir dan kemacetan sistem lalulintas yang semakin parah, akibat pengaturan tata bangunan belum sejalan dengan peruntukan tata ruang kota Medan. Kendala yang di hadapi dalam pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan adalah rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat akan arti penting dan manfaatnya memiliki IMB, masih banyak dijumpai kegiatan pelanggaran pembangunan dan persoalan peruntukan bangunan yang terjadi pada masyarakat, yaitu munculnya bangunan-bangunan tanpa IMB, Bangunan yang di dirikan tidak sesuai dengan peruntukan dan tata ruang serta bangunan bangunan liar di berbagai lokasi dan kawasan, yang akhirnya banyak terjadi penggusuran bangunan secara paksa oleh petugas Satpol Pamong Praja yang di bantu aparat dari kepolisian, di samping itu, sarana dan prasarana serta perlengkapan atau peralatan operasional Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan masih sangat terbatas, serta Database bangunan-bangunan yang belum ber-IMB belum tersedia. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dalam menghadapi kendala pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan, adalah dengan melakukan penyuluhan dan informasi masalah IMB dan Tata Ruang Kota Medan kepada masyarakat, Melakukan pelayanan secara terpadu guna memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh IMB.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul ”Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr.Pendastaren Tarigan,SH,MS selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Ibu Chadijah Dalimunthe, SH, MS selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :


(8)

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof.Dr.Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi

Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak

Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH, Prof.Dr. Tan Kamello, Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,M.Hum, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, M.Kn, DR.Pendastaren Tarigan,SH,MS, Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum, dan lain lain serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Afni, Mas Adi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.


(9)

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, kepada yang tercinta Ayahanda A.T Marpaung dan Ibunda T Br. Silalahi yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Kasih, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, 15 Januari 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Dedy Humala Marpaung

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 22 November 1982

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Turi No. 42 Medan

II. ORANG TUA

Nama Ayah : A.T Marpaung

Nama Ibu : T Br Silalahi

III. PEKERJAAN Wiraswasta

IV. PENDIDIKAN

1. SD : SD Antonius I Medan (1988 – 1994)

2. SMP : SLTP Methodis 7 Medan (1994 – 1996)

3. SMA : SMU Methodis 7 Medan (1997 – 2000)

4. S – 1 : Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (2005)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II : PELAKSANAAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DALAM RANGKA PEMELIHARAAN TATA RUANG KOTA MEDAN ... 31

A. Pengertian dan Dasar Hukum Izin Mendirikan Bangunan 31

B. Pengaturan IMB di Pemko Medan ... 34

C. Keterangan Rencana Peruntukan (KRP)... 43

D. Kebijakan Penataan Ruang dalam Pengembangan Wilayah ... 54


(12)

E. Paradigma Penataan Ruang ... 55

F. Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dan Pemeliharaan

Tata Ruang ... 57

BAB III : KENDALA DALAM PELAKSANAAN PEMBERIAN

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DALAM RANGKA

PEMELIHARAAN TATA RUANG KOTA MEDAN ... 61

A. Problematika IMB dan Tata Ruang Kota Medan ... 61

B. Bangunan Tanpa IMB di Medan Semakin Menjamur ... 63

C. Pemko Medan Tidak Tegas Tegakkan Aturan IMB dan

Tata Ruang ... 64

D. Warga Kota Medan Menilai Repot dan Mahal Mengurus

IMB ... 71

E. Masyarakat Minta Pemko Medan Tertibkan Oknum dan

Calo IMB ... 73

F. Potensi Kerugian Negara Akibat Permasalahan IMB di

Medan ... 74

G. Kasus Korupsi Dokumen Rencana Tata Ruang Medan .... 75

BAB IV : UPAYA YANG DILAKUKAN PEMERINTAH KOTA MEDAN DALAM MENGHADAPI KENDALA PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DALAM RANGKA PEMELIHARAAN TATA RUANG KOTA MEDAN ... 79 A. Gambaran Umum Kota Medan ... 79

B. Struktur Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota

Medan ... 86

C. Penyampaian Informasi dan Penyuluhan IMB dan Tata

Ruang ... 89

D. Pembuatan Perda Bangunan dengan Orientasi Tata

Ruang ... 93 E. Kebijakan Pemberian IMB Diperketat ... 95


(13)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR KEPUSTAKAAN... 103 LAMPIRAN


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan fisik dan psikhis masyarakat.1

Pertumbuhan kota Medan yang cepat, tidak seorang pun dapat membantah fakta itu. Memang, di usianya yang bakal menginjak 418 tahun pada bulan Juli 2009 yang akan datang, Kota Medan terus bersolek merias wajahnya. Berbagai pusat perbelanjaan modern, pasar tradisional, dan lampu yang terang benderang terus dibangun, kota ini terus membangun untuk mewujudkan obsesinya menjadi kota metropolitan.

Pemerintahan Kota Medan tampaknya memang lebih senang membangun pusat kota dengan berbagai fasilitas modern yang tidak berdampak langsung pada masyarakat di pinggiran kota. Pembangunan yang terfokus di pusat kota hanya akan memperluas kesenjangan sosial antara warga di inti dan warga pinggiran kota.2

1

Teguh Wicaksono, Konsep Pembangunan Perkotaan Indonesia, (Jakarta, Penerbit : LP3IS, 2005), hal. 2.

2

Effendi Panjaitan, Medan Menuju Metropolitan, Berhasilkah ?, sebuah Opini, (Medan, Penerbit : Analisa, 2996), hal. 8.


(15)

Secara kasatmata, pembangunan pusat perbelanjaan dan bisnis elite di Kota Medan memang dapat memacu peningkatan pendapatan daerah. Namun, secara riil, manfaat dari peningkatan pendapatan daerah tersebut baru dirasakan oleh mereka yang selama ini berdomisili di pusat atau inti kota.3

Pembuktian hal itu memang bukan persoalan yang sulit. Lihat saja di kawasan Jalan Letda Sujono ujung, kawasan Medan Tembung menuju Perumnas Mandala. Selanjutnya, di Jalan Karya Wisata di kawasan Medan Johor, warga di sana sudah bertahun-tahun terguncang-guncang di dalam kendaraan atau melompat-lompat di atas jok sepeda motor mereka setiap hari karena jalan berlubang nyaris tanpa aspal.4

Pemerataan ekonomi merupakan hal yang terpenting. Hal ini untuk mencegah melebarnya kesenjangan perekonomian antarwarga pinggiran dan pusat kota. Konsep pembangunan yang terpusat di inti kota juga tak sepenuhnya benar. Rendahnya perhatian Pemkot Medan terhadap kawasan pinggiran, telah memacu arus urbanisasi besar-besaran ke inti kota.

Minimnya perencanaan Pemkot Medan untuk membangun kota yang berkesinambungan akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kalau paradigma pembangunan Medan tidak segera diubah, apa yang menjadi persoalan di Jakarta sekarang pasti akan segera terjadi di Medan, sehingga sangat tidak sebanding

3

Ibid, hal. 9.

4


(16)

pembangunan kota dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Medan yang pada tahun 2004 saja sudah mencapai Rp 1,13 triliun.5

Tingginya pertumbuhan di Kota Medan memang baru dinikmati warga di kawasan inti kota. Jalan yang mulus, lampu yang gemerlap, dan indahnya taman kota. Ditambah lagi, pusat perbelanjaan modern yang saat ini sudah lebih dari 10 buah, 11 plaza serta tiga mal. Pembangunan di pusat kota hanya akan memancing sektor lain untuk berkembang di pusat kota. Ketimpangan antara warga yang hidup di pusat kota dan warga yang tinggal di pinggiran terasa sangat mencolok. Tahun 2007 saja, 2.135.499 orang sudah memadati Kota Medan yang luasnya 26.510 hektar atau 265,10 kilometer persegi.6

Direktur Lembaga Pengkajian Permukiman dan Perkotaan Medan Rafriandi Nasution mengatakan, sejak awal seharusnya pemkot membuat rencana umum tata ruang kota sebagai acuan pembangunannya. Dengan rencana umum tata ruang kota, katanya, konsep pembangunan akan menjadi jelas sehingga Pemkot Medan tinggal membuat rencana pembangunan berdasarkan skala prioritas.

Menurut dia, jika pembangunan dilaksanakan dari pinggiran kota, kawasan inti kota akan lebih tertata untuk masa mendatang. Artinya, pembangunan suatu kawasan akan tertata dengan rapi sehingga kawasan bisnis tidak bercampur dengan perkantoran.

5

Siaran Pers dan Penjelasan Ikrimah Hamidy, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Medan, dalam Temu Pers dengan Wartawan di Harian Warta Kita terbitan pada tanggal 15 Oktober 2007, hal. 5.

6


(17)

Strategi membangun Kota Medan berawal dari pusat kota ke pinggiran, sebagai sesuatu kebijakan yang sah-sah saja. Hanya saja, perputaran ekonomi dan kepesatan pembangun di pusat kota harus segera diikuti dengan sentuhan menyeluruh ke pinggiran kota yang menjadi kawasan permukiman padat.7

Menurutnya, Idealnya pembangunan pasar-pasar tradisional di pinggiran juga dibenahi dan diberi peran besar. Misalnya, dijadikan sentra penjualan barang-barang lokal yang khas, yang tidak ada di mal atau plaza. Jika ada yang butuh tas bermerek terkenal, sepatu atau parfum dari luar negeri, ia bisa datang ke mal dan plaza. Tetapi, begitu mereka mau membeli ulos, bordiran, atau asinan Medan, ia akan mencari ke pajak Sukarame, Simalingkar, atau pajak tradisional lainnya. Keseimbangan pusat kota dan pinggiran kota seperti inilah yang seyogianya segera ditata di Kota Medan.8

Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.

7

Jhon Tafbu Ritonga, Konsep Pembangunan Kota Medan, Memperhatikan Daerah Pinggiran, (Medan, Penerbit : Pascasarjana SPs USU, 2006), hal. 5.

8


(18)

Kiranya pemerintah telah menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia yang sekarang bernama Jakarta. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad Nomor 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad Nomor 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.9

Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah atau Ditjen PUOD Departemen Dalam Negeri RI. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning yang ketat.10

9

Sunaryo, Perencanaan Pembangunan Kota di Indonesia, (Jakarta, Penerbit : Dep. Cipta Karya, 2005), hal. 2.

10


(19)

Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 1985, Tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya ;

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas

Wilayah Kota di Seluruh Indonesia

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Kota.

Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.

Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes atau fleksible, karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.

Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai


(20)

dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.

Di Indonesia reformasi total telah digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses penetapan peraturan daerah,

kesemuanya berbau KKN.11

Karenanya di dalam proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya perubahan/reformasi.

Tata Ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti atau blue print.12

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan

11

Teguh Wicaksono, op.cit, hal. 5.

12


(21)

pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning.13

Blue print planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah

mantap, karena pada masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning.14

Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.

Berdasarkan hal tersebut, di atas maka penulis mempunyai minat untuk meneliti lebih dalam tentang Izin Mendirikan Bangunan yang berkaitan dengan Tata Ruang Kota Medan dengan judul ”Analisis Hukum Pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan”, untuk mengkaji keabsahannya secara hukum, sehingga dengan demikian, akan

13

Ibid, hal. 6.

14


(22)

terjawab kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan yang terdapat di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka

Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan ?

2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan

Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan ?

3. Upaya apakah yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dalam menghadapi

kendala pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.

2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.


(23)

3. Untuk mengetahui Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Medan dalam menghadapi kendala pemberian Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan

ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang pertanahan/agraria yang menyangkut dalam hal pemberian izin mendirian bangunan dan penataan tata ruang kota.

2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi

ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pertanahan atau agraria. terutama bagi praktisi hukum dan pejabat atau pegawai pemerintah, di dalam melaksanaan pekerjaannya sebagai pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang, untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan pemberian izin bangunan serta penataan kota yang disesuaikan dengan tata ruang yang telah diatur dengan undang-undang.

3. Disamping itu, penelitian ini dapat berguna bagi para Notaris dan PPAT, selaku Pejabat Negara yang ditunjuk oleh Undang-Undang, untuk membuat Akta Otentik, yang berkaitan dengan pembuatan akta-akta serta administrasi pertanahan dalam rangka kepentingan urusan izin mendirikan bangunan dan tata ruang.


(24)

Demikian pula halnya bagi masyarakat pemilik tanah dan bangunan, hasil penelitian ini di harapkan akan membuka cakrawala berfikir dalam menghadapi permasalahan hukum yang berkaitan dengan izin mendirikan bangunan serta penataan kota sesuai dengan konsep tata ruang yang ada..

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara bahwa penelitian mengenai judul belum pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya.

Sehubungan dengan penelusuran yang telah dilakukan, maka penelitian dalam tesis ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain mengingat pembahasan utama adalah analisis hukum tentang izin mendirikan bangunan dan pemeliharaan tata ruang di kota Medan sehingga penelitian dalam tesis ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Berbicara mengenai pembangunan kota, adalah bicara mengenai konsep-konsep pembangunan. Konsep pembangunan kota harus memiliki beberapa dimensi dan esensi. Esensi pembangunan, ideologi pembangunan, strategi pembangunan, dimensi taktis pembangunan dan dimensi pragmatis pembangunan. Untuk


(25)

mengetahui sejauhmana konsep-konsep itu, ketika bicara tentang konsep pembangunan perkotaan, harus lebih spesifik lagi, harus bicara tentang konseptual.15

Kota adalah suatu entitas yang utuh. Ada relasi fungsi sosial ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Yang prosesnya bukan serta merta ada begitu saja, tetapi ada suatu proses kultural panjang, ungkapnya.16

Hubungan dan fungsi dalam konteks struktur dan sistem kota, mestinya ada sistem tata ruang yang dieksplisitkan. Yang fungsi tata ruang itu harus fungsional. Ada hubungan saling mempengaruhi dan tidak berdiri sendiri. Kota merupakan suatu entitas yang sistematik atau utuh. Sebagai suatu entitas yang utuh, apapun realitas kota merupakan wahana hidup bagi seluruh warganya.

Hal mendasar yang harus diperhatikan adalah, bagaimana sumber daya kota secara materiil dan non materiil menjadi wahan hidup bagi seluruh warga. Kota mesti punya peran menjembatani berbagai kehidupan masyarakatnya, baik secara ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Dalam konteks ini, warga harus punya daya hidup, sebagai pedagang, pengrajin, pegawai atau lainnya.

Suatu kota dilihat secara sosial memiliki relasi antar kelompok etnik. Warga punya hak dan daya hidup sebagai kelompok sosial, politik atau budaya dan semuanya itu dapat layanan dan tidak dibedakan. Artinya sebagai suatu entitas yang dimiliki tak hanya individu, tapi juga entitas kemanusiannya. Meski begitu, ada hak

15

Ripana Puntarasa, Pembangunan Perkotaan di Indonesia, (Jakarta, Penerbit : Institutional Development Spesialist, 2006), hal. 5.

16


(26)

tradisional yang tidak bisa diganggu gugat. Perkembangan lingkungan seperti kota dan pedesaan, tanpa sentuhan dari luar komunitasnya, punya otoritas mengembangkan kemampuan dan lingkungan sosial. Komunitas itu secara kultural berkembang dengan kebutuhan tadi.17

Selain itu ada komitmen internasional yang sangat universal. Bahwa semua manusia punya sepuluh hak dasar. Hak yang sama untuk hidup, beragama, sosial, hidup layak, dapat mengakses air, kesehatan, pendidikan, seni, budaya dan hak atas lingkungan hidup, paparnya.

Setiap warga, apakah sudah merasa hidup nyaman dan aman, ketika bekerja atau menjalani kehidupan lainnya. Nyaman dan aman dalam hal ini adalah ketika orang bekerja, ia tidak khawatir akan dipecat. Ketika orang berjualan, tidak khawatir akan dirazia dan digusur.

Secara keseluruhan, hal itu belum terpenuhi. Apalagi ketika melihat berbagai fenomena sosial tentang perkampungan dan kota. Semua masih menyisakan sesuatu yang bermasalah. Salah satu contoh, rekomendasi yang dihasilkan dalam Rakernas Apeksi, misalnya, yang menganjurkan pemenuhan hak dasar yang mengatakan bahwa semua kota harus memenuhi hak dasar warga kotanya.18

Kalau konsep pembangunan kota harus dilihat secara makro dengan memahami esensinya. Yang bisa menjamin hak hidup setiap orang. Sehingga setiap

17

Sunaryo, op.cit, hal. 5.

18

Zakaria Gintano, Konsep Pembangunan Makro, (Jakarta, Penerbit : Swara Bangsa, 2006), hal. 5.


(27)

orang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh. Sejahtera diartikan bukan pada jumlah materi yang dimiliki. Tapi juga pada hidup itu sendiri. Hal ini akan menjaga stabilitas manusia dan alam sekitarnya.19

Pembangunan kota harus berpegang pada sesuatu yang bersifat ideoligis. Kalau konteks ideologi dikembalikan pada substansi hidup di Indonesia, berarti orang harus bisa memenuhi apa yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu ikut memajukan kesejahteraan bangsa, menjaga ketertiban dunia, berdasarkan keadilan sosial dan lainnya.20

Sementara dalam konteks menuju proses pembangunan, berdasarkan kebijakan maka kebijakan pembangunan mengacu pada amanat Negara, yang mengandung kewajiban dari pemerintah secara strategis dalam konteks pembangunan. Strategi dalam hal ini, bagaimana pembangunan harus dirancang, direncanakan dan dikelola. Pembangunan harus direncanakan secara jangka pendek, menengah dan panjang.

Menjadi pertanyaan mendasar, apakah pembangunan kota punya rencana pembangunan strategis secara menyeluruh. Ketika bicara mengenai pembangunan kota secara holistik, maka harus bicara mengenai banyak hal. Misalnya hak warga untuk hidup, yang jadi pertanyaan, ada atau tidak langkah strategis seperti ini.

Perencanaan strategis harus mengandung aspek sejarah. Sejarah sosial

19

Ibid, hal. 5.

20


(28)

ekonomi, politik. Bicara mengenai kota, harus bicara mengenai sistem tata ruang kota dan harus dikelola dengan baik. Sistem tata ruang menjadi referensi pembangunan bagi pemerintah, swasta maupun rakyat. Selama sistem tata ruang tidak disusun dengan baik, berdasarkan relasi-relasi fungsional maka tidak akan pernah tertata dengan baik.21

Salah satu contoh relasi fungsional misalnya, pembangunan pusat pertokoan. Ketika pertokoan dibangun, kehidupan disekitarnya juga terkait. Pusat pertokoan dibangun tanpa harus menganggu lingkungan permukiman di sekitarnya.22

Tapi bagaimana lingkungan sekitarnya bisa dipelihara dengan baik, sehingga pekerja pertokoan itu bisa tinggal di permukiman tersebut. Seharusnya pusat pertokoan juga memberi ruang pada komoditas di sekitarnya untuk ditampung di pertokoan. Pembangunan pusat pertokoan seharusnya tidak mematikan pedagang kecil. Relasi perusahaannya harus diterjemahkan secara visual dan konseptual.23

Begitu pula unit pengembangan masyarakat, akan terkait dengan soal-soal ekonomi, budaya, perumahan dan permukiman. Bagaimana sistem penataan dan perumahan di kota memberi ruang pada yang tinggal di lingkungannya, tidak merasa terganggu kenyamanan dan kenikmatan dalam hidup.

Dalam sejarahnya ada masalah pembangunan di Indonesia. Ketika pembangunan masih bersifat sentralistik, ada berbagai rencana tata ruang. Semua

21

Ripana Puntarasa, op.cit, hal. 6.

22

Ibid, hal. 6.

23


(29)

diberikan dari pusat, padahal realitas sehari-hari dihadapi pemerintah daerah. Ketika otonomi daerah mask, maka rencana pembangunan strategis daerah mesti dikaitkan dengan kewenangan otoritas daerah untuk mengelola daerahnya. Sekarang ini kewenangan daerah secara operasional atau teknis sangat tinggi.24

Wilayah taktis, ketika rencana kerja disusun, harus bekerjasama dengan siapa saja. Apa masalah pembiayaannya, apa program pengorganisasiannya. Ketika wilayah taktis ini dilakukan, maka rencana kerja strategis menjadi acuan dari pemerintah melakukannya.

Dalam proses pembangunan kota, ada proses pelembagaan. Pemerintah kota dapat memanfaatkannya secara maksimal dan memutuskan secara pragmatik. Pembangunan kota harus bisa melihat masalah yang tidak bisa ditunda waktunya. Misalnya, orang perlu makan, kerja. Harus ada langkah-langkah praktis dalam setahun.25

Dalam APBD, diterjemahkan dalam program masyarakat dan lainnya, konteks pembangunan kita secara umum harus bisa menjelaskan hal itu dengan baik. Seorang pemimpin apakah itu gubernur, walikota, bupati, camat hingga kepala desa, harus bisa menerjemahkan lima dimensi esensi pembangunan, strategi pembangunan, dimensi taktis pembangunan dan dimensi pragmatis pembangunan. Kalau ini bisa dikuasai, tidak akan terjadi pragmatisme pembangunan yang materialistik. Seolah-olah hanya karena kebutuhan investasi, segera ingin tampak berhasil sebagai

24

Ibid, hal. 7.

25


(30)

gubernur atau walikota, hal ini segera dilakukan.

Yang selalu dimanfaatkan kekuatan penguasa pasar dan punya modal. Ini yang selalu menjadi ancaman bagi warga, sehingga tidak nyaman tinggal di lingkungan karena selalu dianggap kumuh. Sementara di lingkungan yang dianggap kumuh itu ada pekerja kota, konsumen, warga sebagai konstituen pembangunan, penyelenggara pemerintah dan lainnya26.

Pembangunan kota tidak boleh meninggalkan sejarah atau menghilangkan pencapaiannya pada bangunan bersejarah. Hal ini harus dilihat, agar proses pengembangan sosial, proses kesejarahan budaya bisa ditandai dengan baik. Sehingga tidak ada budaya fandalis.

Ketika membangun sesuatu harus menghancurkan yang lama, bangun kemudian. Namun kalau toh itu dilakukan, harus dibicarakan dengan publik. Pembangunan kota harus ada proses teknis dan program pembelajaran kota yang lebih populis dan humanis. Sehingga pemerintah bisa lebih punya legitimasi secara politik, demokrasi dan pemerintahan yang transparan.

Dalam rangka menuju ke sana, tentu pemerintah daerah tidak boleh dibiarkan melakukan proses itu sendiri. Orang atau lembaga yang peduli seperti jurnalis, LSM, akademisi harus diorganisasikan untuk mengawal proses ini.

Beberapa hal yang penting dan relatif baru dari konsep rencana tata ruang wilayah kota Medan 2016 dibanding dengan rencana tata ruang wilayah sebelumnya

26


(31)

ialah, Medan sudah memiliki masterplan atau rencana tata ruang wilayah 2 kali, yaitu tahun 1975-2000 dan 1995-2005.27

Rencana tata ruang yang sekarang sudah kadaluwarsa dan syukur Pemko Medan telah mempersiapkan gantinya, yaitu masterplan Medan 2016 dan dalam proses pengesahan. Sayang pengesahan tidak dapat dilanjutkan karena dasar penyusunan tadinya Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, padahal sekarang baru saja keluar undang Undang yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 26 tahun 2007, tentang hal yang sama. Judulnya memang sama tapi substansinya banyak yang berbeda, lebih rinci, lebih luas dan lebih keras sanksinya dan masa berlakunya lebih lama jadi 20 tahun sedangkan sebelumnya hanya 10 tahun.28

Rencana yang sudah selesai disusun memerlukan penyesuaian kembali. Memang repot karena kontrak dengan konsultan telah selesai, tapi karena tuntutan Undang-undang harus dilakukan.

Pusat primair kota dibuat dua, yaitu di kawasan eks bandara Polonia dan pusat primer di Belawan. Idenya tentu baik karena bentuk kota yang agak memanjang, jadi kurang efisien kalau hanya satu.29

Bagian wilayah Kota (BWK) Medan dijadikan 9 yaitu Belawan, Marelan Labuhan, Timur, Perjuangan, Helvetia, Selayang dan Area. Dalam tata ruang wilayah

27

Budi Derita Sinulingga, Konsep Ruang Kota Medan, (Medan, Penerbit : BAPPEDA Kota Medan, 2005), hal. 1.

28

Ibid, hal. 1.

29


(32)

1995-2005 hanya 5. Pembuatan BWK menjadi 9 lebih realistis mengingat berkembang pesatnya seluruh wilayah kota.Satu BWK seyogianya memiliki kesamaan dalam isu perkembangan kota.30

Pusat pemerintahan dipindahkan ke kawasan Tanjung Mulia dekat persimpangan jalan Tol. Pusat pemerintahan ini mencakup pemerintahan provinsi pemerintahan kota dan unsur unsur pemerintah pusat dan lembaga tinggi negara lainnya. Dasar pemikirannya karena adanya dua pusat primair maka perlu diikat dengan pusat pemerintahan yang terletak di tengah kedua pusat primair tersebut.31

Menyediakan ruang terbuka hijau publik seluas 20 % dari luas kota. Total luasnya 5560 ha dengan rincian hutan mangrove Belawan 1029 ha, kawasan lindung sempadan sungai 666 ha, sekitar danau (luasnya tak dicantumkan), taman kota dan taman lingkungan 612 ha termasuk yang ada sekarang 22 ha (betapa besarnya taman yang harus diadakan), sempadan jalan 3050 ha, tidak jelas apakah maksudnya lahan pekarangan masyarakat yang dibuat hijau, karena kalau demikian bukan ruang terbuka hijau publik lagi namanya, tapi ruang terbuka privat.32

Pengembangan kawasan Utara yang mencakup pembangunan kawasan industri hitech, waterfront city, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan proses ekspor.33

Pengembangan transportasi massal dengan menghidupkan lintasan kereta api dan membuat lintasan dengan jalan raya tidak sebidang dan kemungkinan membuat

30

Ibid, hal. 3.

31

Ibid, hal. 2.

32

Ibid, hal. 3.

33


(33)

sistem monorail yang memerlukan studi lebih lanjut.34

Pengembangan perumahan dengan kewajiban membangun sistem sumur resapan air untuk mengurangi resiko banjir.35

Pasal 65 Undang-undang No 26 tahun 2007 mengatakan, (1) Penyelenggraran penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana ayat 1 dilakukan antara lain melalui :36

a. partisipasi dalam penyusunan tata ruang, b. partisipiasi dalam pemanfaatan ruang,

c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang

Dari ketentuan pasal 65 ini maka dapat dilihat bahwa masyarakat termasuk korporasi atau lembaga pemerintah lainnya, harus memberikan masukan sebaik-baiknya dalam penataan ruang apakah telah mengikuti asas penataan ruang yang digariskan dalam pasal 2 yaitu ;

a) keterpaduan

b) keserasian, keselarasan dan keseimbangan c) keberlanjutan

d) keberdayaangunaan dan keberhasilgunaan e) keterbukaan

f) kebersamaan dan kemitraan g) perlindungan kepentingan umum

34

Ibid, hal. 3.

35

Ibid, hal. 4.

36


(34)

h) kepastian hukum dan keadilan dan i) akuntabilitas.

Pemindahan pusat pemerintahan ke Tanjung Mulia yang meliputi luas 100 ha, perlu diminta pendapat dari instansi pemerintah provinsi dan pusat apakah mereka merasa perlu pindah ke Tanjung Mulia, sehingga hendak mau diapakan kantor gubernur yang begitu megah dan telah dibiayai dengan pelepasan aset provinsi yang demikian banyak.37

Masyarakat mungkin akan bertanya pada pemerintah provinsi apakah keberdayagunaan dan keberhasilgunaan dari pemindahan pusat pemerintahan provinsi dari segi kepentingan masyarakat.

Hal yang sama akan terjadi pada kantor kejaksaan maupun pengadilan. Ditinjau dari segi pelayanan permerintah kota maka walaupun lokasinya agak di tengah antara jarak Utara dan Selatan tapi penduduk banyak berkonsentrasi di kawasan Selatan sehingga lebih banyak penduduk yang merasakan berkurang kenyamanannya apabila dipindahkan.38

Mungkin konsepnya ingin meniru pusat pemerintahan di Kuala Lumpur yang di pindahkan ke Putrajaya, akan tetapi kalau dicermati lebih dalam kasusnya sangat berbeda dengan Medan, yaitu, Bahwa semua kantor kantor pemerintahan yang dipindahkan ke Putrajaya berada dalam satu komando yaitu kantor perdana menteri.

Karena yang dipindahkan kantor pemerintah pusat sementara itu kantor kantor

37

Budi Derita Sinulingga, op.cit, hal. 5.

38


(35)

pemerintahan tingkat lainnya termasuk kantor Walikota tidak dipindahkan, sedangkan di Medan menyangkut kantor kantor dari 3 tingkatan pemerintahan.

Pemerintah Malaysia punya dana dan memang mereka jauh lebih kaya dari kita untuk membeli tanah tanpa harus menjual lokasi yang lama. Untuk kasus Medan patut dipertanyakan bagaimana menyediakan uang untuk membeli lahan yang 100 ha itu agar segera dapat dibebaskan karena nilainya bisa mencapai Rp 700 miliar sampai Rp 1 triliun belum termasuk prasarananya.39

Kalau semua pemilik kantor pemerintahan memang sudah sepakat untuk memindahkan kantornya, maka tanah seluas 100 ha itu harus segera dibebaskan. Siapa pemikul dana pembebasan? Sistem tukar guling sangat tidak mudah karena demikian banyaknya objeknya dan sesuai ketentuan yang berlaku harus ditenderkan dan pemegang kewenangan terdiri dari berbagai instansi dan akan mengundang masalah yang berkaitan dengan hukum.40

Oleh karena itu meletakkan kawasan pemerintahan di eks Bandara Polonia merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan dalam rencana tata ruang wilayah kota Medan, terlebih semua kantor penting itu masih dalam satu BWK. Dan yang perlu dipindahkan hanyalah kantor Walikota dan DPRD nya karena memang tidak representatif lagi.41

Penyediaan ruang terbuka hijau Luas taman kota dan taman kota yang

39

Bangun Tampubolon, Melihat Konsep Pembangunan Malaysia Sebuah Impian, (Medan, Penerbit : Analisa, 2006), hal. 8.

40

Ibid, hal. 8.

41


(36)

direncanakan ialah 612 ha termasuk 22 ha yang ada sekarang, berarti diperlukan 590 ha lagi. Ini suatu jumlah yang besar. Pengadaan hutan kota setidaknya 50 ha selayaknya ditempatkan di kawasan eks Bandara Polonia karena kawasan ini akan diarahkan jadi kawasan bisnis dengan bangunan tinggi dengan aktivitas penduduk yang intensif sehingga memerlukan ruang terbuka hijau yang banyak. Selanjutnya direncanakan kawasan terbuka hijau di sempadan sungai, rasanya melihat susahnya membebaskan tanah maka sempadan sungai yang 15 m agak terlalu optimis, untuk itu sangat di harapkan agar masterplan yang dibuat itu dapat direalisasikan.42

Belum dibuat arahan tentang kawasan evakuasi bencana seperti yang diarahkan oleh Undang-undang Nomor 26 tahun 2007, sehingga dengan demikian sistem drainase dan pengendalian banjir masih mengikuti pola lama, yang bertumpu pada sungai sungai yang ada. Dalam pola lama areal pelayanan Sei Sikambing terlalu luas, sedangkan kapasitasnya kecil dan susah untuk ditingkatkan mengingat banyak yang sudah di lining atau ditembok. Layak dipikirkan mini floodway ke Sei Belawan untuk mengurangi bebannya. Bandara Kuala Namu akan dapat dioperasikan pada tahun 2009.43

42

Ibid, hal. 8.

43

Budi D Sinulingga, Tata Ruang Medan Dan Bandara Kuala Namu. Catatan Menyempurnakan Konsep Masterplan Kota Medan. Penulis adalah widyaiswara utama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dan Dosen Pascasarjana PWD USU untuk perencanaan Tata Ruang.


(37)

2.Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Izin Mendirikan Bangunan adalah Izin untuk mendirikan bangunan yang meliputi kegiatan penelitian tata letak dan desain bangunan, pengawasan pelaksanaan bangunannya agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan rencana teknis bangunan dengan tetap memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan (KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB) meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat-syarat keselamatan bagai yang menempati bangunan tersebut.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau yang diberikan oleh pemerintah daerahuntuk kepentingan orang peribadi atau badan.


(38)

Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingandan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Retribusi Perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Retribusi Peruntukan Penggunaan Tanah adalah pemungutan daerah sebagai pembayaran atas pemberian pelayanan peruntukan penggunaan tanah kepada orang pribadi atau badan yang dilaitkan dengan rencana tata ruang kota medan berupa Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), perubahan peruntukan penggunaan tanah, penghapusan rencana jalan dan dispensasi Garis Sempadan Bangunan (GSB), dan pengukuran tanah.

Rencana Tata Ruang Kota adalah hasil perencanaan tata ruang kota medan berupa rencana umum tata ruang kota, rencana detail tata ruang kota dan rencana teknik ruang kota.

Keterangan Rencana Peruntukan adalah keterangan yang menyatakan informasi mengenai rencana peruntukan atau penggunaan tanah.


(39)

Perubahan Peruntukan Penggunaan tanah adalah perubahan atas rencana peruntukan penggunaan tanah yang telah ditetapkan daalm rencana tata ruang kota atas suatu persil tanah menjadi peruntukan penggunaan lainnya.

Penghapusan rencana jalan adalah pembatalan/penghapusan rencana jalan yang telah ditetapkan daalm rencana tata ruang kota.

Dispensasi Garis Sempadan Bangunan adalah dispensasi terhadap garis atau batas sempadan bangunan terhadap jalan atas suatu persil tanah dari besaran yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kota menjadi besaran tertentu.

Sempadan Bangunan adalah ruang yang membatasi bagian persil tanah yang boleh dan tidak boleh dibangun, terdiri dari sempadan muka bangunan, sempadan samping bangunan dan sempadan belakang bangunan.

Pengukuran Tanah adalah pengukuran bentuk dan luas tanah. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budaya.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.


(40)

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.

Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dari segi hukum Pertanahan Nasional maupun hukum politik dan hukum Administrasi Negara. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku pejabat pemerintah dalam pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.

Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan atau field research yaitu Masyarakat warga Kota Medan serta aparat Pemerintah Kota Medan mulai dari Kepala Lingkungan,


(41)

Lurah, Camat serta Staf Bidang Perizinan IMB pada Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan.

Data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier yaitu melalui penelitian kepustakaan atau library

research berupa peraturan Perundang-undangan, buku-buku, laporan hasil penelitian

terdahulu, dokumen resmi dan bahan-bahan kepustakaan lainnya berbentuk tertulis yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kota Medan, dengan melakukan penelitian di kantor Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan.

3. Wawancara dan Nara Sumber

Dalam melakukan penelitian ini, maka penulis melakukan tehnik wawancara dengan beberapa sumber, yaitu Pejabat Pemko Medan yang terdiri dari Staf Bidang Perijinan IMB Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan, Camat, Lurah dan Kepala Lingkungan untuk mengetahui prosedur pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan serta anggota DPRD Kota Medan dari segi pembuatan Peraturan Daerah serta tanggapan beberapa masyarakat dalam melakukan pengurusan izin mendirikan bangunan di kantor Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan.


(42)

Untuk menunjang kelengkapan data maka diambil sebagai nara sumber atau informan tambahan sebanyak 5 (lima) orang dengan perincian sebagai berikut :

1. 1 (satu) orang Camat di Pemko Medan.

2. 1 (satu) orang Pejabat Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan.

3. 1 (satu) orang Pejabat Bagian Hukum dan Pemerintahan Pemko Medan.

4. 1 (satu) orang Anggota DPRD Kota Medan.

5. 1 (satu) orang Lurah di Pemko Medan.44

4. Alat Pengumpul Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat : a. Studi Dokumentasi

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Wawancara

Untuk memperoleh data primer, dilakukan wawancara dengan 10 (sepuluh) masyarakat warga Kota Medan yang terkait dengan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan daftar pertanyaan.

44

Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi masalah pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan dalam rangka pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan tersebut dalam upaya mengidentifikasi masalah.


(43)

5. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat pelaksanaan pemberian izin mendirikan bangunan di kota Medan yang di kaitkan dengan pemeliharaan Tata Ruang Kota Medan.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara ”kwalitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”45

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

45

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik (Self Efident) yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.


(44)

BAB II

PELAKSANAAN PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN

BANGUNAN DALAM RANGKA PEMELIHARAAN

TATA RUANG KOTA MEDAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Izin Mendirikan Bangunan

Ijin Mendirikan Bangunan atau di singkat IMB adalah ijin untuk mendirikan, memperbaiki, menambah, mengubah, atau merenovasi suatu bangunan, termasuk ijin kelayakan menggunakan bangunan atau untuk bangunan yang sudah berdiri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.46

Dasar pengaturan IMB adalah Undang-Undang Nomor 34 tahun 2001 tentang pajak dan retribusi daerah, yang kemudian dijabarkan di masing-masing daerah menjadi Peraturan Daerah. Badan yang berwenang menerbitkan IMB di masing-masing daerah memiliki sebutan yang berbeda-beda. Untuk Pemerintahan Kota Medan misalnya, namanya adalah Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan. Sedang untuk daerah lain ada yang bernama Dinas Bangunan, Dinas Tata Bangunan, Dinas Tata Kota dan lain-lain.46

Pada prinsipnya, IMB bertujuan agar terjadi keserasian antara lingkungan dan bangunan. Selain itu, dengan IMB diharapkan agar bangunan yang akan dibangun aman bagi keselamatan jiwa penghuninya. Sebab dalam pemberian IMB, seharusnya

46

Kusno Wijoyo, Mengurus IMB dan Permasalahannya, (Jakarta, Penerbit : Pemko Bekasa, 2006), hal. 2.

46


(45)

dilakukan analisis terhadap desain bangunan tersebut, apakah sudah memenuhi persyaratan bangunan dan lingkungan.47

Persyaratan lingkungan meliputi penentuan garis sempadan atau jarak maksimum bangunan terhadap batas jalan, jarak bebas muka samping dan belakang bangunan, batas-batas persil pembangunan dan jarak antarbangunan, keadaaan tanah tempat bangunan,dan lain-lain. Sedangkan persyaratan bangunan antara lain meliputi luas denah bangunan, tinggi bangunan, ukuran-ukuran ruang, pencahayaan dan pengudaraan.48

Sekilas, peraturan yang diberlakukan dalam proses IMB terasa menjengkelkan. Misalnya, untuk mendirikan rumah, wajib mundur 3-8 meter dari batas depan tanah. Rasanya seperti menyia-nyiakan lahan, apalagi jika luas lahan yang dimiliki terbatas. Padahal pembuatan garis sempadan ini sesungguhnya dimaksudkan untuk kenyamanan dan keamanan si penghuni. Dengan adanya batas sempadan itu, maka terpaan debu dan kebisingan dari jalan bisa diredam supaya tidak langsung masuk ke dalam rumah.49

Lalu ada pula larangan untuk meningkat rumah di daerah tertentu. Hal ini berkaitan erat dengan konstruksi bangunan dan kondisi tanah di daerah tersebut. Bisa jadi kondisi tanah di daerah tersebut tidak mendukung untuk konstruksi rumah

47

Ibid, hal. 2.

48

Pengumuman Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan Tentang Pengurusan IMB, (Medan, Penerbit : Pemko Medan, 2006), hal. 1.

49


(46)

bertingkat. Jika tetap memaksa, alih-alih tampil mentereng, bisa-bisa rumah cepat ambruk karena kondisi tanah yang labil.

Dengan memiliki IMB, pemilik lahan juga memiliki kepastian hukum untuk bangunan yang dimiliki. Tentunya pemilik lahan tak ingin rumah yang sudah susah payah dibangun tiba-tiba diserobot orang lain yang memalsukan surat kepemilikan. Selain itu, dengan memiliki IMB, dapat lebih mudah dalam dapat mengurus kredit bank, ijin usaha, dan dapat meyakinkan pihak-pihak yang memerlukannya untuk transaksi jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain.

Dari segi arsitektur, IMB juga berguna untuk melestarikan warisan budaya. Bila ternyata rumah yang akan direnovasi termasuk salah satu warisan budaya, maka tidak diperkenankan untuk mengubahnya. Langkah yang diijinkan hanya untuk

memugarnya.50

Sebelum memulai mendirikan bangunan, sudah menjadi ketentuan untuk segera melakukan pengurusan ijin mendirikan bangunan atau IMB dalam upaya memiliki kepastian hukum atas kelayakan, kenyamanan, keamanan sesuai dengan fungsinya. IMB tidak hanya diperlukan untuk mendirikan bangunan baru saja, tetapi juga dibutuhkan untuk membongkar, merenovasi, menambah, mengubah, atau memperbaiki yang mengubah bentuk atau struktur bangunan.

Tujuan diperlukannya IMB adalah untuk menjaga ketertiban, keselarasan, kenyamanan, dan keamanan dari bangunan itu sendiri terhadap penghuninya maupun lingkungan sekitarnya. Selain itu IMB juga diperlukan dalam pengajuan kredit bank.

50


(47)

IMB sendiri dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat Dalam pengurusan IMB diperlukan pengetahuan akan peraturan-peraturannya, sehingga dalam mengajukan IMB, informasi mengenai peraturan tersebut sudah didapatkan sebelum pembuatan gambar kerja arsitektur.51

B. Pengaturan IMB Di Pemko Medan

Surat Izin Mendirikan Bangunan yang diterbitkan oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan yang wajib dimiliki oleh pemohon untuk mendirikan bangunan di dalam wilayah administratif Pemerintah Kota Medan. Izin Mendirikan Bangunan diberikan dengan tujuan penataan bangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang kota. Pelaksanaannya berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2002, dengan masa berlaku 6 (enam) bulan.

Ijin Mendirikan Bangunan selanjutnya disingkat IMB adalah ijin yang diberikan untuk mengatur, mengawasi serta mengendalikan terhadap setiap kegiatan membangun, memperbaiki dan merombak dan merobohkan bangunan. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 35 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja

Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan.52

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan. Pelaksanaan Perda tersebut diatur melalui Keputusan Walikota Medan

51

Ibid, hal. 4.

52

Pengumuman Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan, dalam Medan dalam Angka 2007, hal. 25.


(48)

Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda Nomor 9/2002 dan Keputusan Walikota Medan Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2002.53

Gambar 1. Skema Pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) di Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemerintahan Kota Medan

Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk menggali, menimbun, meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan, memperbaiki atau renovasi serta menambah bangunan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2002, maka di Kota Medan, IMB dibuat berdasarkan rencana Tata Kota dan memuat penjelasan mengenai:

a. Bentuk dan ukuran persil b. Alamat persil

c. Jalan dan rencana jalan di sekeliling persil

53


(49)

d. Penggunaan bangunan dan jumlah lantai e. Peruntukan tanah diatas persil

f. Garis-garis sempadan

g. Arah mata angin

h. Skala gambar

i. Tanah yang dikosongkan untuk rencana jalan dan sarana utilitas umum lainnya j. Biaya retribusi KRP

Persyaratan permohonan IMB ditujukan kepada Walikota Medan, yang dalam hal ini di tujukan kepada Kepala Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan dengan mengisi formulir yang telah disediakan dan dengan melengkapai persyaratan yang terdiri dari :

1. Pengisian Formulir Surat Permohonan IMB.

2. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku.

3. Fotocopy SPPT dan Pelunasan PBB tahun terakhir.

4. Fotocopy Hak Atas Tanah yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang,

antara lain :

a. Fotocopy Sertifikat yang dilegalisir oleh BPN ataupun Notaris.

b. Fotocopy Akta Jual Beli dari Notaris atau Camat Akta yang

dikeluarkanolehNotarisdilegalisirolehNotaris.Aktayangdikeluarkan oleh Camatdilegalisir oleh Camat.


(50)

c. AsliSuratTidakSilangSengketa.yangdikeluarkanolehLurahdandiketaui oleh Camat setempat; bagi surat tanah yang bukan Sertifikat dan SK Camat.

d. Asli Rekomendasi dari Bank bagi tanah yang sedang diagunkan.

5. Rekomendasi dari Instansi terkait untuk pembangunan tempat ibadah, tempat

persemayaman mayat, galon (SPBU), dan pendidikan.

Sedangkan, dalam pengurusan IMB pemohon diwajibkan untuk melengkapi berkas dan dokumen yang diperlukan adalah :

a. Formulir permohonan IMB

b. Fotokopi KTP

c. Fotokopi pembayaran PBB terakhir

d. Fotokopi sertifikat/akte jual-beli/surat keterangan kepemilikan tanah yang sah sesuai ketentuan

e. Gambar arsitektur dan gambar situasi bangunan yang akan didirikan

f. Gambar Peta Rencana Kota yang diperoleh dari Sudin Tata Kota (operasional). Demikian juga dengan tarif yang berlaku, umumnya berbeda-beda antardaerah. Hal ini disebabkan IMB sebenarnya terkait erat dengan pendapatan asli daerah (PAD). Dari sinilah ditengarai munculnya kasus-kasus penyelewengan dalam pengurusan IMB oleh oknum tertentu. Beberapa oknum memandang IMB semata-mata sebagai retribusi guna meningkatkan PAD. Selain itu masih ada juga oknum yang memiliki pola pikir, jika bisa dipersulit, mengapa dibuat mudah. Hal-hal seperti inilah yang mesti diberantas, agar masyarakat tidak apatis terhadap pengurusan IMB.


(51)

Secara umum, tahapan dalam proses pengurusan IMB diawali dengan pengajuan pembuatan IMB. Setelah lima hari, diterbitkan IP (Ijin Pembangunan), dan 20 hari kemudian baru diterbitkan IMB. Setelah itu masih dilaksanakan kontrol lapangan dan evaluasi.

Sebenarnya setelah IMB, masih ada satu surat lagi yakni IPB yaitu Ijin Penggunaan Bangunan. Ketentuan ini memang belum begitu memasyarakat, padahal sebenarnya sudah cukup lama diberlakukan. IPB diterbitkan setelah di lapangan dilaksanakan proses kontrol dan evaluasi. Untuk bangunan hunian rumah tangga, IPB berlaku selama 10 tahun. Sementara untuk bangunan non-hunian, berlaku selama 5 tahun.

Setelah IPB habis masa berlakunya, maka pemilik lahan harus mengajukan Permohonan Kelayakan Menggunakan Bangunan (PKMB). Jika setelah dilakukan pengecekan ke lapangan ternyata bangunan sudah sangat rapuh konstruksinya, maka pemilik bangunan wajib merenovasi bangunan dan prosesnya menjadi sama seperti saat pengajuan IMB. Pengecekan lapangan untuk PKMB dilakukan oleh Seksi Pengawasan Kelayakan Bangunan.

Disamping itu, para pemohon di wajibkan dalam surat permohonan Izin Mendirikan Bangunan menyampaikan persyaratan teknis yang terdiri dari ;

1. Gambar Rencana Bangunan rangkap 3 yang terdiri dari ;

a. Denah / Site Plan

b. Tampak (depan dan samping)


(52)

d. Gambar Konstruksi (pondasi, sloop, kolom, balok, lantai, tangga, rencana atap/kap, kecuali untuk bangunan rumah tempat tinggal 1 (satu) lantai.

e. Sumur peresapan, septic tank, dan bak kontrol.

f. Untuk Bangunan Pagar (Denah, Tampak Potongan dan Situasi)

2. Perhitungan konstruksi yang dibuat oleh konsultan dan ditandatangani oleh

perencana, bagi bangunan dengan :

a. Bentangan balok lebih dari 6 (enam) meter.

b. Ketinggian 2 (dua) lantai atau lebih bagi bangunan yang digunakan untuk

kepentingan umum.

c. Ketinggian bangunan lebih dari 3 (tiga) lantai.

d. Konstruksi baja atau kayu yang bentangnya lebih dari 12 meter.

e. Konstruksi baja atau kayu yang ketinggian tiangnya lebih dari 6 (enam) meter perlantai.

3. Perhitungan rencana anggaran biaya (RAB) untuk bangunan Tower/Menara,

Tanki, Gapura/Tugu dan Cerobong asap, serta renovasi bangunan.

Dalam kaitan permohonan surat izin mendirikan bangunan, Pemerintah Kota Medan dapat menolak permohonan IMB jika ;

1. Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.

2. Bertentangan dengan rencana kota.

a. Bangunan yang direncakan tidak sesuai dengan peruntukan tanah pada lokasi


(53)

b. Diatas persil dimohon terdapat rencana jalan / pelebaran sehingga sisa luas tanah tidak dapat dibangun sesuai dengan persyaratan peruntukan.

c. Bangunan yang dimohon tidak sesuai ketentuan teknis lainnya.

3. Mengganggu dan mengakibatkan kerusakan terhadap kelestarian, keserasian dan

keseimbangan lingkungan.

4. Bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Disamping itu diatur juga ketentuan lain berupa ;

1. IMB dicabut apabila melanggar ketentuan izin yang diberikan atau dikemudian

hari diketahui bahwa salah satu atau beberapa syarat-syarat untuk memperoleh izin mendirikan bangunan dimaksud tidak benar keabsahannya.

2. Pekerjaan mendirikan bangunan dapat dimulaai setelah IMB diberikan oleh

Kepala Daerah. Apabila pekerjaan mendirikan bangunan tidak dimulai setelah 6 (enam) bulan sejak izin diterbitkan tanpa alasan yang dapat diterima Kepala Daerah, maka izin dapat dicabut.

3. Bangunan dapat dibongkar, apabila :

a. Pelaksanaan mendirikan bangunan bertentangan, tidak sesuai atau

menyimpang dari izin yang telah diberikan.

b. Pelaksanaan mendirikan bangunan tidak memiliki izin.

Dalam hal pejabat yang berwenang dalam melakukan penanda tanganan dan pengesahan surat izin mendirikan bangunan di Kota Medan diatur berdasarkan luas bangunan, dengan ketentuan ;


(54)

1. Luas Bangunan ≤ 200 m² ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan.

2. Luas Bangunan ≥ 200 m² ditandatangani oleh Walikota Medan.

Sedangkan proses dan lama waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan KSB/ IMB adalah 16 hari kerja, dengan biaya dan besar retribusi yang wajib di serahkan oleh Pemohon untuk membayar retribusi ke Kas Pemko Medan melalui Bendaharawan Penerima Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan sebelum mengambil IMB yang terbit, dengan besarnya biaya retribusi itu di tetapkan berdasarkan luas permeter Bangunan di kalikan dengan Luas Bangunan. Secara prinsip, bila dokumen lengkap, 5-7 hari kemudian akan diterbitkan Izin Prinsip atau IP. Dengan IP kita sudh bisa mulai membangun sambil menunggu IMB yang keluar 20-30 hari kemudian.

Selama pembangunan, petugas daerah akan melakukan control berkala dan evaluasi di lapangan. IMB memiliki masa berlaku 1 tahun. Apabila dalam 1 tahun pembanguna belum selesai, maka harus mengajukan permohonan perpanjangan IMB. Bila tahun berikutnya masih belum selesai, maka harus mengajukan permohonan pembuatan IMB baru.

Setelah bangunan selesai, masih ada surat yang diperlukan yaitu IPB atau Ijin Penggunaan Bangunan. IPB memiliki masa berlaku 10 tahun untuk rumah tinggal dan 5 tahun untuk bangunan non hunian. Bila masa IPB habis, maka pemilik harus mengajukan PKMB atau Permohonan Kelayakan Menggunakan Bangunan. Dalam


(55)

proses tersebut petugas akan memeriksa kelayakan bangunan tersebut, terutama dari segistruktur dan konstruksinya.

Pengukuran Tanah adalah pengukuran bentuk dan luas tanah dalam bentuk Gambar Situasi diberlakukan bagi permohonan Izin Mendirikan Bangunan untuk persil tanah yang belum beralaskan hak sertifikat atau tidak dilengkapi Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dan Gambar Situasi Tanah dari Kantor Pertanahan. Hasil pengukuran tanah berupa Gambar Situasi diterbitkan oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan setelah diketahui oleh Lurah setempat.

Struktur dan besarnya tarif retribusi pengukuran tanah adalah ; 54

Jenis Pengukuran Besar Tarif

a Luas tanah s/d 100 m ² Rp. 30.000,-

b Luas tanah > 100 m ² s/d 500 m ² Rp. 40.000,-

c Luas tanah > 500 m ² s/d 1000 m ² Rp. 60.000,-

d Luas tanah > 1000 m ² s/d 2000 m ² Rp. 80.000,-

e Luas tanah > 2000 m ² s/d 3000 m ² Rp. 100.000,-

f Luas tanah > 3000 m ² s/d 4000 m ² Rp. 120.000,-

g Luas tanah > 4000 m ² s/d 5000 m ² Rp. 140.000,-

h Luas tanah > 5000 m ², setiap kelebihan s/d 1000 m ²

dikenakan tambahan sebesar Rp. 150.000,-

54

Seluruh rangkaian pengurusan IMB di Pemko Medan seluruhnya di proses pada, Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan Jl. Karya Jasa No. 17 Medan - Telp. 7864147.


(56)

C. Keterangan Rencana Peruntukan (KRP)

Dasar keterangan rencana peruntukan atau KRP ini adalah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan.

Peraturan Daerah Kota Medan No. 17 Tahun 2002 tentang Peruntukan Penggunaan Tanah. Pelaksanaan Perda tersebut diatur melalui Keputusan Walikota Medan No. 41 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda No. 17/2002 dan Keputusan Walikota Medan No. 61 Tahun 2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan No. 17 Tahun 2002.

Gambar 2. Skema Pengurusan Keterangan Rencana Peruntukan atau KRP di Pemerintahan Kota Medan


(57)

Pelayanan untuk memperoleh keterangan rencana kota terdiri dari ;

1. Keterangan Rencana Peruntukan (KRP)

2. Peta-peta kota

3. IMB (diberikan dalam bentuk lampiran Gambar Situasi)

4. Informasi secara lisan (informal) di Kantor Dinas

Keterangan Rencana Peruntukan atau KRP adalah surat keterangan yang menyatakan informasi mengenai rencana peruntukan/penggunaan atas suatu persil tanah yang berguna untuk;

1. Mengetahui rencana peruntukan/penggunaan tanah pada suatu persil sesuai

rencana kota.

2. Pertimbangan di dalam pembelian atau mensertifikatkan tanah sehingga luas

tanah yang akan diberikan atas haknya sesuai dengan rencana kota.

3. Sebagai syarat permohonan IMB pembangunan pagar.

KRP dibuat berdasarkan rencana kota dan memuat penjelasan mengenai; a. Bentuk dan ukuran persil

b. Alamat persil

c. Jalan dan rencana jalan di sekeliling persil d. Peruntukan tanah diatas persil

e. Garis-garis sempadan

f. Arah mata angin

g. Skala gambar


(58)

i. Biaya retribusi KRP

Permohonan KRP ditujukan kepada Wlikota Medan c/q. Kepala Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan dengan mengisi formulir yang telah disediakan dengan syarat-syarat :

1. 1 (satu) foto copy Surat Tanah, Surat jual Beli

̇ Fotocopy sertifikat yang dilegalisir oleh BPN/Notaris ̇ Fotocopy akta jual beli dari Notaris/Camat

1. Akta yang dikeluarkan Notaris dilegalisir oleh Notaris. 2. Akta yang dikeluarkan Camat dilegalisir oleh Camat. 2. 1 (satu) lembar foto copy KTP permohonan yang masih berlaku.

3. 1 (satu) lembar foto copy SPPT pelunasan PBB tahun terakhir dengan menunjukkan aslinya.

4. 1 (satu) lembar foto copy pelunasan SPPT tahun terakhir 5. Map berwarna biru 1 (satu) buah

Proses atau lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan KSB dan IMB adalah 16 hari kerja.

Penolakan Permohonan KRP suatu permohonan KRP ditolak jika ; 1. Bertentangan dengan rencana kita.

2. Menganggu dan mengakibatkan kerusakan terhadap kelestarian, keserasian dan keseimbangan lingkungan.

3. Tidak sesuai persyaratan permohonan.


(59)

5. Diatas persil dimohon terdapat rencana jalan/pelebaran sehingga sisa luas tanah tidak sesuai dengan peruntukannya.

6. Persil tanah dimohon berada di atas rencana peruntukan taman. Sedangkan retribusi KRP diatur sebagai berikut;

1. Sebelum penyerahan KRP, pemohon wajib membayar retribusi ke Kas Pemda

Medan melalui Bendarahawan Penerima Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan.

2. Besarnya retribusi KRP yang harus dibayar pemohon ditetapkan dengan Peraturan

Daerah Kota Medan No.17 Tahun 2002.

Mengenai jumlah retribusi mengikuti ketentuan sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan tersebut dibawah ini;

Retribusi KRP sama dengan 0,0015 x NJOP x Luas Tanah, NJOP sama dengan Nilai Jual Obyek Pajak per m² pada PBB, Luas Tanah sama dengan luas tanah yang dimohonkan sesuai surat.

Perubahan Peruntukan Penggunaan TanahPerubahan Peruntukan Tanah adalah perubahan atas rencana peruntukan penggunaan tanah yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kota atas suatu persil tanah menjadi peruntukan penggunaan lainnya.

Jumlah retribusi mengikuti ketentuan berikut, Tarif Retribusi sama dengan Indeks Perubahan x NJOP x Luas Tanah, NJOP sama dengan Nilai Jual Obyek Pajak per m² pada PBB, Luas Tanah sama dengan Luas tanah yang dirubah peruntukannya.


(60)

Sedangkan berdasarkan data dari Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Pemko Medan tahun 2007, maka dilakukan kebijakan untuk penataan kota dengan membuat Rencana dan Perubahan KRP dari Jalur Hijau ke Industri, Pergudangan, Daerah Cadangan dan Perumahan serta Peruntukkannya di Kota Medan, sebagaimana yang ditetapkan dibawah ini.

Jenis Perubahan Indeks

a. Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan Jalur Hijau ke Industri/Pergudangan

0,40 0,25 0,20 0,15 0,10 0,03 b. Daerah Cadangan ke Industri/Pergudangan

Daerah Cadangan ke Industri/Pergudangan Daerah Cadangan ke Industri/Pergudangan Daerah Cadangan ke Industri/Pergudangan Daerah Cadangan ke Industri/Pergudangan

0,05 0,05 0,04 0,03 0,02 c. Perumahan ke Industri/Pergudangan

Perumahan ke Industri/Pergudangan Perumahan ke Industri/Pergudangan Perumahan ke Industri/Pergudangan

0,10 0,05 0,04 0,03 d. Di luar Jalur Hijau, Daerah Cadangan dan

Perumahan ke peruntukan lainnya 0,02

C. Kebijakan dan Pengaturan Tata Ruang di Indonesia

Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 menyebutkan bahwa, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya, tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Pengertian penataan ruang adalah proses


(61)

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang kota.

Beberapa persoalan dalam penataan ruang adalah :

1) Kebijakan Pemerintah yang tidak sepenuhnya berorientasi kepada masyarakat,

sehingga masyarakat tidak terlibat langsung dalam pembangunan.

2) Tidak terbukanya para pelaku pembangunan dalam menyelenggarakan proses

penataan ruang atau gap feeling yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.

3) Rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang

akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan, sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.

4) Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama

atau common interest, akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana Pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut. Jadi semua proses keputusan yang diambil harus melibatkan masyarakat.

5) Tidak optimalnya kemitraan atau sinergi antara swasta dan masyarakat dalam


(62)

6) Persoalan yang dihadapi dalam perencanan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan. Jarak antara penyampaian aspirasi hingga jadi keputusan relatif jauh.

Undang undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang undang Nomor 22 Tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, Tentang Otonomi Daerah yang telah menggeser pemahaman dan pengertian banyak pihak tentang usaha pemanfaatan sumber daya alam, terutama asset yang selama ini diangap untuk kepentingan Pemerintahan Pusat dengan segala perizinan dan aturan yang menimbulkan perubahan kewenangan.

Perubahan sebagai tanggapan dari ketidak adilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi Regional atau Nasional. Meskipun di dalam Undang undang tersebut, desa juga dinyatakan sebagai daerah otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian besar kebijakan publik, paling rendah masih diputuskan di tingkat kabupaten.55

Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di tingkat lokal dan desa. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan potensi terjadinya deviasi, baik yang pada gilirannya menyebabkan banyak kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.

55


(1)

cenderung menjadikan areal milik publik sebagai kawasan ekonomi seperti perubahan peruntukan lapangan merdeka sebagai kawasan pusat jajanan.

2. Hendaknya Pemerintah Kota Medan dalam menertibkan bangunan-bangunan tanpa IMB, Bangunan yang di dirikan tidak sesuai dengan peruntukan dan tata ruang serta bangunan bangunan liar di berbagai lokasi dan kawasan tidak main gusur dan bongkar paksa, sebaiknya terlebih dahulu di lakukan penindakan terhadap oknum-oknum dan calo-calo IMB.

3. Hendaknya Pemko Medan berupaya semaksimal mungkin melakukan penyuluhan dan informasi masalah dan fungsi serta manfaat IMB dan Tata Ruang kepada masyarakat dan melakukan pelayanan secara terpadu guna memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh IMB secara mudah dan tidak dengan birokrasi yang berbelit-belit dalam pengurusannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arifin P. Soeria Atmadja, Transformasi Status Hukum Uang Negara Sebagai Teori Keuangan Publik Yang Berdimensi Penghormatan Terhadap Badan Hukum, (Jakarta : Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UI, 2007).

Airifin, Syamsul, 1993, Perkembangan Hukum Lingkungan Dewasa Ini, USU Press. __________, 2003. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Materi Kursus Dasar-Dasar AMDAL Tipe A Angkatan IX PSKLH dan BAPEDALDA Sumatera Utara, Medan.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya, (Bandung : Alumni, 1993).

Gunawan Soeratmo, 1981, Analisa Menenai Dampai Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Gunawan Djayaputra, Aspek Yurudis Peranan Audit Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta.

Holling B. Leopold, 1971, A. Procedure for Evaluating Environmental Impact Geogology Survey Cicular.

Hein Eualu and Kennerth Prewitt, 1991, Pengantar Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hadi S Aloka, 1991, Kebijakan Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bapedal Jakarta.

Harja Soematri Koesnadi, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Harja Soematri Koesnadi, 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta. Husein Harun, M. 1992, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakkan


(3)

Hear, e John and Hagertly Joseph, 1997, Environmental Assessment and Statements, Van Nostrands Reinhold Company Ny.

Ikhsan, Achmad, Hukum Perdata IA, (Jakarta : Pembimbing Masa, 1967). ______, Hukum Perdata IB, (Jakarta : Pembimbing Masa, 1969).

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penetapan Good Corporate Governance, (Jakarta : Kencana dan Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMK) Fakultas Hukum UI, 2006).

Kie, Tan Thong, Studi Notariat, Buku I, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000;

Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Perdata, Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, Penerbit Djambatan, 1999. Ashashofa, Burhan, 1994, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1986.

_____________, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003.

Moleong, Lexi J. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya Bandung.

Musanif Jamil, 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Nanik Suparni, 1992. Pelestarian Pengelolaan dan Penegakkan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.

N.M. Spelt & J. B. J. M. Ten Berge, 1991, Pengantar Hukum Perizinan, Disunting oleh Dr. Philipus H. Hadjon, Utrecht Desember.

Pedoman Penggunaan Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM), Yayasan Kesejahteraan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.


(4)

Rangkuti Siti Sundari, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press Surabaya.

__________________, 1991, Asepk Administrasi dalam Penegakkan Hukum Lingkungan.

Salim Emil,. 1979, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutara Jakarta. _________, 1991, Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3 ES, Jakarta.

Siahaan, N. H. T, 1997, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan, Djambatan Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI Press) Jakarta.

Soemartono, RM, Gatot P, 1991, Mengenal Hukum Lingkungan, Indonesia Sinar Grafika Jakarta.

Soemarwoto, Otto, 1988. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Gadjah Madah University Press, Yogyakarta.

___________, 1981 Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan Nasional, Saran-saran untuk GBHN Konperensi PLS II.

Sunggono Bambang, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Karya Unipress Jakarta. Supardi, 1985, Lingkungan Hidup dan Kelestarianya, Alumni Bandung.

Soemiro, Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurismetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Subagio, P. Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta Jakarta Sudharto P. Hadi, 1995, Apek Sosial AMDAL, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Tobing MI, 1993, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, Erlangga Jakarta. Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, 1961.


(5)

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Gangguan (HO) Stbl. 1926 Nomor 226 yang telah dirubah dengan Stbl. 1927 nomor 499 dan stbl 1940 Nomor 14 dan Nomor 450.

Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Kota besar Dalam Lingkungan Daerah Kota Propinsi Sumatera Utara jo. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1973 Tentang Perluasan Daerah Kotamadya Medan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Nomor 54 tahun 2000).

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertangungjawaban Keuangan Daerah.

Peraturan Daerah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Nomor 119 Tahun 2001).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 Tentang Penyidik Pegawai Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 1993 Tentang Bentuk Pembangunan Daerah dan Peraturan Daerah Perubahan.


(6)

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 Tentang Ketentuan, Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun 1997 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dibidang Ritribusi Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Sistim dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.