Didikan kakek Ingin Menjadi kyai Awal Cita-cita

disana. Setelah kontraknya selesai ia kembali ke kampung halamannya, Rawabelong di Betawi. Pada tanggal 22 April 1997 ayah Muallim telah berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di pemakaman umum Gandaria, tidak jauh dari kediaman Muallim. Sedangkan ibu Muallim masih ada dan kini tinggal di Depok, Jawa Barat bersama salah satu anak perempuannya. Muallim Syafi’i mempunyai tujuh saudara kandung. Tidak seperti Muallim yang tinggal bersama kakeknya, semua saudaranya ini ketika kecil tinggal bersama kedua orang tua mereka. Mereka adalah Solehah, Safri, Sa’diah, Suhairi, Sahlani, Saidi, dan Syafwani.

1. Didikan kakek

Ketika itu ia belum berusia 2 tahun karena seingatnya masih suka jatuh bila berjalan. Ia memanggil kakek Husin dengan sebutan jid. Muallim belajar Al-Qur’an sampai khatam pada kakeknya ini bersama teman-teman mainnya. Ia sebenarnya bukan kakek langsung, melainkan paman dari ayahnya. Pada beliau ia juga belajar dasar-dasar ilmu alat grammar, yaitu nahwu dan shorof. 15 Kakek Husin mengajarinya Al-Qur’an sampai fasih, beserta ilmu Tajwidnya. Dalam mengajar Al-Qur’an, kakeknya benar-benar memberi perhatian, bukan asal khatam saja. Kakeknya ingin sang cucu benar-benar memahami apa yang dipelajari. Cara kakek Husin dalam mendidik dirasakan Muallim sangat keras. Shalat, misalnya, harus dilaksanakan tepat waktu. Bila waktu subuh telah tiba tetapi ia belum 15 Ibid h. 12 bangun, ia diguyuri air. Sikap disiplin menjalankan perintah agama semacam inilah yang ditanamkan oleh kakek. Begitu disiplinnya beliau sampai main-main pun Muallim dilarang. “Tak ada tempat bagi anak-anak malas dalam hati kakek,” kata Muallim.

2. Ingin Menjadi kyai

Pada usia 9 tahun Muallim suadah khatam Al-Qur’an. Di bawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas dalam pendidikan, Muallim juga telah mengajar anak-anak lain pada usia itu. Mereka itu anak-anak sekampungnya dan kurang lebih sebaya dengannya. “Kalau tidak begitu cara kakek mendidik, saya mungkin enggak jadi orang,” begitu kata Muallim.

3. Awal Cita-cita

Cita-cita yang tumbuh dan berkembang pada seseorang biasanya terkait dengan lingkungan di mana ia tinggal dan pengalaman-pengalamannya dalam lingkungan itu. Begitu pun dengan Muallim Syafi’i di masa kecil. Persentuhan yang intens dan terus menerus dengan persoalan-persoalan agama, membuat “dunia kecil” Muallim Syafi’i didominasi agama. Hidup baginya agama. Masa depannya adalah agama. Dalam pernik-pernik terkecil pun, warna agama tetap kuat dan tajam. 16 16 Ibid., h. 16

B. Masa Pendidikan KH. Muhammad Syafi’i Hadzami