Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semua hukum kembali pada al-Kitab dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun menurut lahiriyahnya atau dengan perantara pemikiran dan ijtihad serta istinbath. Namun, baik secara langsung atau tidak, bila seorang muslim telah memahami suatu hokum, berarti itu adalah hokum itu adalah hokum Allah yang tidak boleh ia abaikan. 1 Seringkali kita temukan di kalangan para ulama yang berselisih pendapat, namun sebagian besar masih dalam masalah furu’ atau sering kita kenal dengan masalah cabang, yang pada dasarnya masih dapat berubah menurut beberapa disiplin ilmu yang berkaitan dengan ijtihad. Hal ini yang dapat menyebabkan perbedaan tekhnisi dalam ibadah. Ibadah adalah bahasa Arab yang secara etimologi berasal dari akar kata – ی – – yang berarti taat, tunduk, patuh merendahkan diri dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh merendahkan diri dan hina diri di hadapan yang disembah disebut abid yang 1 Muhammad Said Ramadhan al-Buuthi, Bahaya Bebas Madzhab, penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaf, Bandung : Pustaka Setia, 2001 cet. Pertama, h. 48 beribadah. Budak disebut dengan karena dia harus tunduk dan patuh serta merendahkan diri terhadap majikannya. 2 Berkaitan dengan masalah perbedaan, para ulama pun mendefinisikan ibadah bermacam-macam, akan tetapi subtansinya tak jauh berbeda, di antaranya yaitu : Yusuf Qardhawi mengemukakan kata Ibadah di kalangan orang Arab diartikan sebagai berikut : ﻡ ی ﻥ ﺱ 3 Artinya : “Ibadah dalah puncak ketundukan yang tertinggi yang timbul dari kesadaran hati sanubari dalam rangka menganggungkan yang disembah”. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mengemukakan pengertian ibadah dari seni terminology dengan rumusan yang bervariasi sesuai dengan bidangnya. Menurut ulama tauhid dan hadits, ibadah ialah : . ﺕ + ﺕ, ی - .ﻡ , + Artinya : “Mengesakan dan mengangungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukan jiwa kepada Nya”. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ibadah itu sama dengan tauhid. Ikrimah ialah salah seorang ahli hadits mengatakan bahwa segala lafazh ibadah dalam Al-Qur’an diartikan dengan tauhid. Para ahli di bidang akhlak mendefinisikan ibadah sebagai berikut : 2 . Yusuf al-Qaradhawi, Al-‘Ibadah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, cet. 6, Beirut, 1979, h. 27 3 . Hasbi Ash Shidiqi, Kuliah Ibadah, Bulan Bintang Jakarta, 1994, h. 2-6 .1 2 , ﻥ 3 4 Artinya : “Mengerjakan segala bentuk keataan badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat hukum”. “Akhlak” dan segala “tugas hidup” kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atas pribadi, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Ulama tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai berikut : + ﺕ + 5ﻥ 6 78ﺥ : ; = 4 Artinya : “Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya”. Ada tiga bentuk ibadah menurut ahli tasawuf, pertama ibada kepada Allah SWT karena sangat mengharap pahala-Nya atau takut karena siksa-Nya. Kedua, ibadah kepada Allah SWT karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia, dilakukan oleh orang mulia jiwanya, ketiga ibada kepada Allah SWT karena memandang Allah SWT berhak disembah, dengan tidak memperhatikan apa yang akan diterima atau diperoleh dari pada-Nya. Menurut ahli Fiqih, ibadah ialah ﺥ ?= + A, +B C D Eی ﻡ 5 Artinya : “Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan mengharapkan pehala-Nya di akhirat”. 4 Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah Jakarta : Gaya Media Pratama : 2002, Cet- Kedua h. 2. 5 . Ibid., h. 3 Dari semua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik pengertian umum dari ibadah itu sebagaimena rumusan berikut : 5ﺥ, F G B 8 = F G, H I ی, + Jی .ﻡ B ﺱ ?6 + + A, ﺕ Artinya : “Ibadah itu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagunggkan Allah SWT dan mengharapkan pahala Nya”. Sesungguhnya Allah Yang Maha agung dan Mahatinggi serta Mahasuci nama-nama-Nya, telah memilih diantara hamba-hambaNya, orang-orang yang Dia sukai dengan memberikan petunjuk kepada mereka berupa anugrah keimanan. Di antara mereka yang beriman Dia pun telah memilih orang-orang yang di cintai-Nya dengan memberikan kepada mereka beberapa keutamaan dan menganugrahkan pengetahuan Al Kitab dan Al Hikmah. 6 Dialah yang memberi mereka kecerdasan dalam memahami agama, mengajarkan pengetahuan tentang takwil, memberikan mereka keutamaan diantara orang-orang beriman di setiap akhir zaman. Dialah yang meninggikan derajat mereka dengan ilmu pengetahuan dan menghiasi tingkah laku mereka dengan etika kesopanan. 7 6 Hasbi Ash Shidiqi, Ibadah di Tinjau Dari Segi Hukum dan Hikmah, Jakarta : Bulan Bintang, 1994 cet. 8, h. 6 7 Abu Bakar Muhammad, Ensiklopedi Akhlak, Al Ulama : Pewaris Nabi atau Pelacur Agama. Penerjemah Wido Wahyudi, Jakarta : Harakah, 2002, cek. Pertama, h. 3-4. Kedudukan dan fungsi para imam mujtahid dalam hal kewajiban menyampaikan amanat Sunnah Rasulullah SAW dan kemampuan memahami Sunnah tersebut adalah sebagaimana kedudukan Rasulullah SAW terhadap Allah ‘Azza Wajalla dari segi kewajiban menyampaikan amanat tabligh dari Allah dan menjelaskan apa yang diturunkan oleh Allah kepadanya, berupa al-Qur’an al-Karim. Imam asy-Syatibi rahimahullah berkata, “orang yang alim tentang masalah syari’at bila diikuti orang lain dikarenakan ilmunya tentang syariat bukan karena segi lain. Jadi, pada hakikatnya dia menyampaikan apa yang diterima dari Rasulullah SAW., sedangkan beliau SAW menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT” . 8 Selanjutnya, as-Syathibi rahimahullah berkata, “Dengan demikian , keadaan mukallaf yang dibebani hokum syriat terbagi tiga macam, yaitu : 1. Seorang mujtahid, kewajibannya ialah melaksanakan hasil ijtihadnya. 2. Seorang muqallid yang murni, yaitu tidak mengetahui apa-apa tentang hokum. Kewajibannya ialah harus ada orang yang membimbingnya dan menuntutnya kemudian ia mengikutinya. 3. Ia belum mencapai tingkat ijtihad, tetapi cukup mampu memahami dalil dan mampu melakukan tarjih. Untuk orang yang ketiga ini, kita perlu melihat keadaannya. Bila kemampuan tarjih-nya dapat dianggap 8 Said Ramadhan al-Buuthi, Muhammad, Bahaya Bebas Madzhab, penerjemah Abdullah Zakiy al-Kaf, Bandung : Pustaka Setia, 2001 cet. Pertama, h. 100 memenuhi syarat, berarti ia adalah mujtahid sebab hakikat mujtahid hanyalah mengikuti ilmu dan menganalisisnya. 9 Seorang ulama pun mendapatkan kemuliaan ilmu yang manfaat dengan cara bersungguh-sungguh, khusyu, khudhu, mujahadah, pendekatan dan menjauhkan maksiat-maksiat yang dapat menghalangi cahaya Allah Ta’ala perantara ilmu yang dituntutnya, sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi’i ra, di dalam kitab Risalah Dua Ilmu, inilah Nazhomnya : ?5 C ﺱ . G, : 3 K L M ﺕ : N ?ﻥ O= , P ?ﻥ ﺥ O F ﻥ K ?Q :4 ی ﻥ, Artinya : “Bermula aku mengadukan bebelku kepada Syekh Waki, maka ia menunjukan daku pada tinggal segala maksiat, dan ia kabarkan padaku bahwasanya ilmu itu cahaya dari pada Allah, dan cahaya ia tiada diberi bagi orang yang berbuat maksiat.” 10 Berkat keberadaan mereka di tengah masyarakat, dapat di kenal mana yang halal dan mana yang haram, dapat di bedakan bedakan mana yang hak kebenaran dan mana yang batil, dapat dipisahkan mana vang sia-sia dan mana yang bermanfaat, serta dapat dipilah mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap jelek. Keutamaan mereka sangat besar, kemuliannya melimpah ruah, pewaris nabi dan belahan hati para wali. Ikan-ikan turut memintakan ampunan untuk mereka. 9 Ibid., h. 101 10 Ustman bin Yahya al-alawi, Risalah Dua Ilmu, Jakarta : Pustaka Ath-thohiriyah, t.th, h. 14. Malaikat pun turut merendahkan sayapnya, suatu saat di hari kiamat setelah Nabi Saw. memberikan syafaat kepada ummat, merekapun diberikan kehormatan untuk menganugerahkan pertolongan kepada insan pilihan. 11 Bersama mereka, bercengkrama akan membawa hikmah. Aktivitas mereka mengentaskan orang-orang yang lengah. Keutamaan mereka diatas para ahli ibadah, derajat mereka melebihi orang-orang yang zuhud pada dunia. Dengan adanya mereka, kehidupan penuh keberuntungan, tanpa mereka hidup akan tertimpa kemalangan. Mereka mengingatkan orang-orang yang lalai dan mengajarkan siapa pun yang tidak memiliki pengetahuan. Pribadi mereka . jauh dari sifat yang tidak, mengenakan, bahkan tak usah khawatir akan melakukan keburukan 12 Begitu pun sosok seorang ulama yang herasal dari Betawi yang sedari kecil bercita-cita menjadi seorang ulama. Berasal dari keluarga sederhana, sehingga sang kyai kecil dititipkan oleh orang tua kepada kakeknya yang pada saat itu sebagai kyai kampung. Didikan kakeknyalah yang belakangan menjadi Mualimin, Murobbi, sekaligus Mursyid. Beliau adalah K.H.Muhammad Syafi’i Hadzami bin Muhammad Saleh Raidi. Menurut Prof. Dr. Sayyid Agil al-Munawwar, berbagai disiplin ilmu agama beliau kuasai, atau bisa disebut multi d i s ip li n e r. Beliau itu seorang 11 Abu Bakar Muhammad, Akhlak Al-Ulama, h. 4 12 Ibid, h. 5 f a qi h, s e ka lig u s s e o ra ng a h li u s h u li, s e o r a ng m uf a s si r, s eo r a ng m u ha d di t s. J ad i be lia u it u ko mp lit . 13 Sehubungan dengan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka penulis memilih pembahasan yang berkaitan seputar ijtihad masalah fiqih ibadah menurut K.H.Muhammad Syafi’i Hadzami, dan dalam pembahasan ini penulis lebih memfokuskan seputar posisi jenazah ketika di salatkan, dengan ini penulis memberi judul skripsi “Pemikiran KH. Muhammad Syafi’i Hadzami Dalam Bidang Fiqih Ibadah”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah