Kontribusi KH. Muhammad Syafi'i Hadzami Dalam Pendidikan Islam

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh

Yazid Awlawi

NIM 1111011000039

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i Hadzami dalam Pendidikan Islam.

Tujuan peneltian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Penelitian ini juga bermanfaat dalam khazanah intelektual Islam dalam mengenal dan mengetahui Ulama-ulama Betawi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan dari sumber data primer, yaitu buku karya KH. M. Syafi’i Hadzami yaitu Taudhihul Adillah. Selain itu sumber sekunder dari buku biografi KH. M. Syafi’i Hadzami yang berjudul Sumur yang Tak Pernah Kering serta buku lain yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya membahas objek penelitian.

Dari penelitian didapat kesimpulan bahwa kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam yaitu mengajar ta’lim di berbagai wilayah DKI, mengarang berbagai macam kitab atau karya tulis, merintis lembaga pendidikan, serta mencetak murid-murid yang berkualitas. Sehingga beliau layak dijadikan ulama yang menyandang predikat waratsatul anbiya.


(7)

ii

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala kekurangannya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah keharibaan Baginda Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan kepada zaman terang-benderang.

Skripsi yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Terlahir dari keluarga Betawi tidak serta membuat penulis merasakan pendidikan agama yang ketat dan super seperti kebanyakan orang Betawi pada umumya. Sekolah negeri di tingkat SD dan SMP tidak cukup menjadikan penulis seorang yang mempunyai minat dalam bidang keagamaan, hingga kebiasaan masyarakat Betawi yang doyan mengaji belum penulis rasakan sampai saat itu.

Sosok Mu’allim Syafi’i Hadzami yang menginspirasi penulis menjadikan semangat dalam perburuan menuntut ilmu karena kesempatan mondok aatu

nyantren tidak penulis miliki. Oleh karena itu sebagai rasa keta’zhiman penulis walaupun belum pernah bertemu, penulis mengangkat tema tentang Mu’allim Syafi’i Hadzami dengan kontribusinya dalam pendidikan Islam, dengan harapan semoga penulis mendapat cucuran hidayah serta keberkahan dari beliau. Amin.

Menyadari bahwa halangan serta rintangan yang begitu berat terhadap suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari bantuan beberapa pihak.


(8)

iii Tarbiyah dan Keguruan (FITK).

2. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.

3. Bapak Dr. KH. Akhmad Shodiq, MA selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan.

5. Orang tua penulis, Bapak M. Yasin serta Ibu Sumarsih tercinta, yang tidak bosan-bosannya memberi nasihat, do’a yang tulus setiap waktu serta dorongan motivasi kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. 6. Para guru dari penulis yaitu Ustadz Syahrullah, Ustadz Ahmad Wasi’,

Ustadz Nazhori Idris, selaku pembiming ruhani yang senantiasa mendo’akan penulis.

7. Para informan yang telah memberikan data penelitian bagi penulis yaitu: Ustadz Hairul (Ilung), Ustadz Suhendi, KH. Fakhruddin al-Bantani, KH. Bahruddin Pondok Ranji, serta Ustadz Suhendi.

8. Adik-adikku tersayang, Farhan Fuadi dan Wildan Mukarrom yang selalu memberikan semangat kepada penulis, semoga kita bisa menjadi qurrota a’yun bagi kedua orang tua kita.

9. Faisal Abda’u sebagai sahabat senasib seperjuangan yang senantiasa memberikan nasihat kepada penulis serta sabar dalam kebersamaan melaksanakan bimbingan skripsi dengan Abi KH. Akhmad Shodiq.


(9)

iv

11.Muhammad Firdaus yang telah merelakan waktunya untuk mendampingi penulis dalam silaturahmi untuk wawancara ke beberapa murid KH. Syafi’i Hadzami.

12.Bang Amrullah yang senantiasa menyediakan waktu untuk menemani serta menyediakan hidangan untuk penulis menyusun skripsi di kediaamannya daerah Rempoa.

13.Faisal Eka Juliansyah yang telah memberikan tantangan untuk sidang skripsi secepatnya, menjadikan lecutan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi penulis.

14.Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan semangatnya untuk penulis, yaitu: Edo Hermawan, Rinastuti Rahayu yang merupakan rekan mengajar di SMP Tri Mulia JakSel.

15.Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan Rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.

Jakarta, 30 Desember 2016


(10)

v LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Penelitian ... 4

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Islam ... 6

1. Pengertian Pendidikan ... 6

2. Pengertian Pendidikan Islam ... 7

3. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 9

4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam ... 10

B. Pendidikan Islam di Indonesia ... 11

1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ... 11

2. Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia ... 12

3. Tokoh-tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia ... 15

C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya ... 18

D. Pertumbuhan Etnis Betawi ... 21

E. Perkembangan Islam Masyarakat Betawi ... 23


(11)

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

B. Sumber Data ... 28

C. Metode Penelitian ... 30

D. Teknik Pengumpulan Data ... 30

E. Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV: PEMBAHASAN A. Pengertian Kontribusi... 33

B. Guru, Mu’allim, Ustadz, Sayyid dan Habib ... 33

C. Biografi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ... 35

D. Kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam ... 46

1. Mengajar Ta’lim di Berbagai Wilayah DKI Jakarta ... 47

2. Mengarang Berbagai Macam Kitab ... 51

3. Merintis Lembaga Pendidikan ... 53

4. Mencetak Murid-murid yang Berkualitas ... 58

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 59

B. Implikasi ... 60

C. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(12)

1

dahulu hingga kini, karena etnis Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi. Corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi perlu banyak dikaji, karena perhatian lebih banyak difokuskan kepada sejarah sosial, politik, kesenian dan kebudayaan serta kepurbakalaan.

Masyarakat Betawi terbentuk relatif baru, yaitu sekitar permulaan abad ke-19 yang merupakan hasil percampuran dari berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar wilayah nusantara.1 Islam dalam masyarakat Betawi mempunyai warna tersendiri dan dalam sejarahnya Islam menjadi salah satu simbol pembeda yang sangat penting bagi orang Betawi dalam menghadapi penetrasi dari kekuatan luar.2

Peran Ulama yang sangat besar pada telah membuat tanah Betawi sangat kental akan keislaman. Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era Penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manaqib Syaikh Saman, maulid Barzanji serta Diba’. Semua merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri

isyhadu bi anna muslimun (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekspresi teologis yang nyaris sepi dari politik, namun penjajah Belanda dibuat tak berkutik.3

Islamisasi yang terjadi pada masyarakat Betawi berbeda dengan etnis lainnya seperti Sunda atau Jawa yang mengalami proses Islamisasi ketika mereka sudah mapan sebagai suatu komunitas. Sedangkan etnis Betawi mengalami proses

1

Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet. ke-1 hal. 2

2Ibid ., hal. 4 3

Yasmine Zaki Shahab (ed), Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan, (Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), hal. 96


(13)

Islamisasi berbarengan dengan pembentukan etnisnya. Jadi dua proses (Islamisasi dan pembentukan etnis) terjadi dalam waktu yang sama.4

“Masyarakat Betawi” yang dilukiskan oleh KH. Abdussalam Djaelani adalah masyarakat yang fanatik pada agama Islam, terlebih masyarakat Betawi di wilayah Jakarta Selatan yang fanatik terhadap aqidahnya, prinsip, bukan sekedar ikut-ikutan.5 Wajah Betawi tidak lepas dari sejarah yang melingkupinya, mulai dari peran Ulama yang membetuk identitas kebetawian dan masjid sebagai pusat penyebaran dan pembelajaran agama Islam. Di antara para Ulama Betawi yang terkenal dan memiliki kontribusi besar dalam pendidikan Islam di tanah Betawi adalah KH. Abdul Mughni, KH. Ahmad Marzuqi, KH. Muhammad Mansyur, dll. Di era pembaruan abad ke-20 yang terkenal adalah KH. Abdullah Syafi’i dengan pesantren Asy Syafi’iyah, Radio AKPI Asy-Syafi’iyyah, kemudian KH. Noer Ali dengan Pesantren At Taqwa yang didirikannya. Selanjutnya ada KH. Tohir Rohili yang peduli akan pendidikan orang Betawi dengan mendirikan Universitas At Thahiriyyah, lalu ada KH. Rahmatullah Shiddiq dengan Pondok Pesantren Al Falah, terakhir yang akan menjadi pembahasan penulis adalah KH. Syafi’i Hadzami dengan mendirikan Perguruan Al ‘Asyirotus Syafi’iyyah dan Pesantren Al ‘Arba’in.

Begitu banyaknya kontribusi para Ulama Betawi untuk pendidikan Islam untuk masyarakat Betawi. Perjuangan mereka yang begitu luar biasa sehingga patut rasanya bagi kita untuk bangga dan tidak melupakan apa yang telah diberikan oleh mereka. KH. Syafi’i Hadzami adalah Ulama yang luar biasa, beliau tidak mondok ke Timur Tengah atau belajar di pondok pesantren layaknya Ulama-ulama Betawi lainnya, tapi kualitas keilmuan beliau tidak bisa dibantahkan lagi kedahsyatannya. Beliau hanya berguru kepada Ulama di wilayah Jakarta seperti Guru Sa’idan (Kemayoran), Guru Ya’qub (Kebon Sirih), Guru Kholid (Gondangdia), Guru Madjid (Pekojan). Salah satu guru utama beliau adalah Habib Ali bin Hussein Al Atthas biasa dipanggil Habib Ali Bungur.

4

Abdul Aziz, Op Cit., hal. 3

5 Tuty Alawiyah AS, (Penyunting), KH. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 9

-1985, (Jakarta: Perguruan Islam Asy-Syafi’iyah, ), hal.


(14)

Ulama-ulama sekelas Syekh Yasin Al Fadani pun tidak mau menganggap beliau murid karena mereka mengetahui dan menghormati keilmuan beliau yang luar biasa. Beliau mendirikan Yayasan Perguruan Al Asyirotus Syafi’iyyah yang di dalamnya merupakan sekolah pendidikan dari Ibtidaiyyah sampai Tsanawiyyah. Beliau juga mengisi pengajian di masjid-masjid di berbagai wilayah Jakarta, serta pada usia muda sudah dipercaya sebagai pengisi ceramah di Radio Cendrawasih, serta menjawab berbagai permasalahan agama, sehingga memerlurkan karya kitab Taudhihul Adillah yang terdiri dari 7 jilid, masing-masing jilid terdapat 100 pertanyaan dan jawaban. Kontribusi besar yang sukses beliau ciptakan adalah mendirikan Pesantren Al Arba’in yang menpunyai visi misi untuk mencetak Ulama-ulama muda. Penerimaannya pun hanya 40 orang sesuai nama pesantren untuk dididik, digembleng serta dimatangkan pengetahuan agama Islamnya. Pesantren tersebut sudah banyak menelurkan Kyai-Kyai dan Ulama-ulama muda yang siap menyampaikan dakwah di tanah Betawi ataupun luar Betawi.

Hidupnya benar-benar didedikasikan untuk agama dan umat. Beliau ibarat sebuah universitas yang di dalamnya terdapat beberapa fakultas-fakultas keilmuan. Beliau menguasai segala ilmu dalam bidang agama. Beliau mufassir, ahli ilmu qiraat, ahli grammar, mutakallim, dan berbagai ilmu lain yang terkenal dengan 12 fan ilmu.6

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KH. Syafi’i Hadzami merupakan sosok Ulama kharismatik yang berperan sentral dalam pendidikan Islam di tanah Betawi. Beliau merupakan tokoh yuang disegani oleh msyarakat Betawi di Jakarta, khususnya daerah Gandaria, Kebayoran Lama. Para Ulama Betawi dan Ulama Timur Tengah juga segan dan hormat kepada beliau.7

6

Wawancara degan KH. Fakhruddin Al-Bantani, Minggu: 28 Oktober 2016 pukul 15:00 WIB 7Suatu ketika urid KH. M. Syafi’i Hadza i yaitu Ali Yahya e gala i kesulita dala masalah fiqih yang berkaitan dalam masalah haji sewaktu ia di Mekkah. Maka ia menanyakan kepada Kiai Damanhuri, seorang ulama yang tinggal dan menuntut ilmu di Mekkah. Ternyata

beliau e jawab, ”Ente kan anak Jakarta. Enteke al Syafi’i Hadza i da ente muridnya sebagaimana yang ente katakan. Jangan tanya masalah itu sama saya. Nanti kalau pulang, bawa masalah itu dan tanyakan pada Syafi’i Hadza i.


(15)

Keberhasilannya dalam menuntut ilmu tanpa pesantren atau mondok mematahkan sangkaan kebanyakan orang yang beranggapan bahwa jika mau menjadi seorang Ulama harus melewati pendidikan di pesantren. Hal ini menjadi lecutan semangat bagi para penuntut ilmu khususnya penulis sendiri, bahwa sikap istiqomah dan ta’zhim kepada gurulah yang menjadikan seorang itu sukses dalam menuntut ilmu. Pengorbanan waktu, tenaga dan kesenangan dunia juga diperlihatkan oleh beliau dalam menuntut ilmu, sehingga menggugah penulis untuk serius dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menuntut ilmu.

Untuk itu penulis sebagai salah seorang yang berdarah Betawi merasa penjelasan tentang kontribusi pendidikan Islam yang diberikan oleh KH. Muhammad Syafi’i Hadzami penting untuk dikaji secara akademis dalam skripsi yang penulis beri judul: “Kontribusi KH. Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1.Kurangnya perhatian terhadap kontribusi KH. Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam.

2.Rendahnya minat generasi muda Betawi terhadap Sejarah Para Ulama Betawi yang telah berjasa besar terhadap pendidikan Islam.

3.Masih sedikitnya kajian tentang sejarah intelektual keislaman yang dikaji tentang Betawi.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya Ulama Betawi yang berjasa bagi masyarakat Betawi maka penulis membatasi permasalahan untuk berfokus pembahasan Ulama Betawi dikhususkan kepada KH. Muhammad Syafi’i Hadzami.

Selanjutnya karena luasnya Tanah Betawi yang ada di Jakarta yang terdiri dari lima wilayah kota administrasi serta satu kabupaten, maka penulis membatasi


(16)

untuk membahas pada wilayah tempat tinggal Ulama yang akan penulis bahas yaitu daerah Gandaria, Kebayoran Lama dan sekitarnya.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam di Indonesia?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan informasi tentang apa saja kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam pendidikan Islam.

2. Secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah intelektual Islam pada umumnya dan bagi akademika Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam.

3. Menambah wawasan ilmu pengetahuan Islam serta dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya sehingga proses pengkajian secara mendalam akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal.

4. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(17)

6

1. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pergaulan dengan anak-anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan

agoge (saya membimbing, memimpin).1

Pendidikan bisa berarti pemeliharaan dengan penuh kasih sayang agar dipelihara dapat berkembang dengan baik dan memberi manfaat bagi manusia dan bagi alam itu sendiri, lantaran di antara satu alam dengan lainnya saling membutuhkan dalam ekosistem. Misalnya, air jika dipelihara dengan baik akan memberi manfaat bagi manusia, tumbuhan, binatang dan seterusnya.

Pada tingkat operasional pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah, antara lain beliau telah membacakan ayat-ayat Tuhan kepada manusia, membersihkan mereka dari kemusyrikan dan mengajarkan kepada manusia kitab dan hikmah (QS. 62:2). Kata mensucikan pada ayat tersebut menurut M. Quraisy Shihab, dapat diidentikkan dengan mendidik, sedang mengajar, tidak lain kecuali mengisi benak anak-anak dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika dan fisika.

Berdasarkan pernyataan di atas, pendidikan berarti berkaitan dengan menyucikan, membentuk perilaku dengan adab sopan santun.2 Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan tingkah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.3

1

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD PRESS, April 2005), hal. 17 2Ibid

. hal. 186-188 3


(18)

Menurut M. Arifin dalam bukunya menjelaskan, “Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadiannya serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal maupun non formal.”4

Sedangkan menurut Hasan Langgulung bahwa “Pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.”5

Sementara itu, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sistematis dalam membimbing anak manusia yang berlandaskan pada proses individual dan sosialisasi dalam mengembangkan serta memberi pengetahuan ilmu dari segala bidang apapun terhadap seseorang yang belum mengetahuinya atau belum memahaminya.

2. Pengertian Pendidikan Islam

Agama Islam adalah agama yang universal, mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.6 Islam adalah damai, sentosa dan aman. Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan untuk umat manusia, melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW. Tujuan ajaran Islam yaitu untuk mendorong manusia agar patuh dan tunduk kepada Tuhan, sehingga terwujud keselamatan, kedamaian, aman dan sentosa, serta sejalan pula dengan misi ajaran Islam, yaitu menciptakan kedamaian di

4

M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. ke-4, hal. 14

5

Abuddin Nata, Loc. cit., hal. 28 6


(19)

muka bumi dengan cara mengajak manusia untuk patuh dan tunduk kepada Tuhan. 7

Kata “Islam” dalam “Pendidikan Islam” menunjukkan warna pendidikan tertentu yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam.8 Salah satu di antara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Kerena menurut ajaran Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal kehidupannya.

Jika kita memperhatikan wahyu yang pertama kali turun kepad Nabi Muhammad SAW yaitu QS. al-‘Alaq:1-5, telah nyata bahwa Allah menekankan perlunya orang untuk belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Urgensi ini bahkan sampai diawali dengan fi’il amer yang berarti perintah pada kata “Iqro” di awal ayat. Jika disambungkan dengan kaidah Ushul Fiqih maka “a

l-Ashlu fil amri lil wujub”, yang artinya asal pada perintah itu menunjukkan kepada kewajiban.

Islam di samping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi, Islam mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo educandus, dalam arti manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan hal teresebut, diantaranya:9

M. Arifin memandang pendidikan Islam sebagai proses mengarahkan dan membimbing anak didik ke arah pendewasaan pribadi yang beriman, berilmu

7

Abuddin Nata, Op. Cit., hal. 32 8

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, hal. 24

9


(20)

pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam perkembangannya untuk mencapai titik optimal kemampuannya.10

Samsul Nizar mendefinisikan bahwa pendidikan Islam sebagai rangkaian proses yang sistematis, terencana dan komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada anak didik, mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik sehingga anak didik mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama (al-Qur’an dan Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.11

Proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada di dalam nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syariah dan akhlakul karimah.12

3. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Dasar atau fundamen dari suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya bengunan itu. Pada suatu pohon dasar atau pundamennya adalah akarnya. Fungsinya yaitu mengokohkan berdirinya pohon itu.13 Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas pendidikan. Karena dsar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan landasan pandangan hidup yang kokoh dan komprehensif, serta tidak mudah berubah.14

Menurut al-Syaibany dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu

10

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bina Aksara, 1991), hal. 44

11

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2001), hal. 94

12

M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), Cet. ke-1, hal. 13 13

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1980), Cet. ke-4, hal. 38

14


(21)

Qur’an dan hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk qiyas syar’i, ijma’ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan manusia dan akhlak, dengan merujuk kepada kedua sumber asal (al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber utama.15

4. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam

Setiap kegiatan yang dijalankan pasti memiliki tujuan, dan tujuan dari sebuah kegiatan biasanya untuk mencapai sesuatu yang baik, terarah dan mempunyai manfaat. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam terlihat sangat besar dalam membangun peradaban manusia. Artinya, peradaban dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.

Menurut Omar al-Toumy al-Syaibani yang dikutip oleh Jalaluddin, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga tercapai tingkat akhlakul karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar berakahlak mulia” kemudian akhlak mulia yang dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungan dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.16

Zakiah Daradjat berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT.17 Sedangkan Umar Tirta mengemukakan: “Bahwa yang dimaksud dengan

manusia utuh adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang mempunyai hubungan vertikal (dengan Tuhan), horizontal (dengan lingkungan)

15

Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)

16

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 92 17


(22)

dan konsentris (dengan diri sendiri) yangn berimbang antara duniawi dan ukhrawi.”18

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalam perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik tingkah laku individu maupun kehidupan masyarakat.

B. Pendidikan Islam di Indonesia

1. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia

Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia, yaitu kira-kira abad ke-10 masehi. Ahli sejarah umumnya sependapat bahwa agama Islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera bagian Utara di daerah Aceh. Dalam mengetahui sejarah masuknya Islam, tahun berapa, dan siapa yang mula-mula memasukkan? Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam sejarah.

Namun bukti kuat masuknya Islam sekitar abad ke-10 berdasarkan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu kerajaan Samudra Pasai, yang dalam sejarah tercatat berdiri pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. 19

Pendapat ini dikuatkan lagi dengan keterangan ahli sejarah, bahwa orang Arab atau Islam telah mengenal pulau Sumatera dalam abad ke sembilan. Oleh sebab itu, banyak di antara mereka itu datang ke Sumatera dan ke pulau-pulau Indonesia yang lain untuk berniaga sekaligus mereka menyiarkan agama Islam kepada penduduk negeri. Secara berangsur-angsur penduduk negeri tertarik kepada agama Islam, lalu mereka memeluk agama itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh sebelum abad kedua belas.

18

Umar Tirta Raharja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rangka Cipta, 1995), hal. 2

19


(23)

2. Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia

Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Langkah pertama yang diwujudkan adalah kesadaran berorganisasi.

Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui media pendidikan namun tidak banyak membawa hasil, justru berakibat sebaliknya makin menumbuhkan kesadaran tokoh-tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Sikap dan rasa nasionalisme tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat melalui pendidikan. Kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh nasionalisme menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Kemudian lahirlah Perguruan-Perguruan Nasional yang ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir) menurut istilah waktu itu yang berkembang pesat sejak awal tahun 1900 an.

Para pemimpin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka insyaf bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah partikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu: a. Sesuai dengan haluan politik, seperti:

1) Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yogyakarta

2) Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis

3) Ksatrian Institut, yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung.

4) Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung b. Sesuai dengan tuntutan/ajaran agama (Islam), yaitu:

1) Sekolah-sekolah Serikat Islam 2) Sekolah-Sekolah Muhammadiyah


(24)

3) Sumatera Tawalib di Padang Panjang 4) Sekolah-Sekolah Nahdlatul Ulama

5) Sekolah-Sekolah Persatuan Ulama Islam (PUI) 6) Sekolah-Sekolah al-Jami’atul Wasliyah

7) Sekolah-Sekolah Al-Irsyad 8) Sekolah-Sekolah Normal Islam

9) Dan masih banyak sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan kepulauan Indonesia baik dalam bentuk pondok pesantren maupun madarasah.

Berikut ini adalah kilasan tentang organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak aktivitas kependidikan Islam, yaitu:

a. Al-Jami’at al-Khairiyyah

Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami’at Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal-usul. Umumnya anggota dan pimpinannya terdiri dari orang-orang yang berada yang memungkinkan penggunaan waktu mereka untuk perkembangan organisasi tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah.

b. Al-Islah wal Irsyad

Syeikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta dalam bulan Februari 1912, seorang alim yang terkenal dalam agama Islam, beberapa lama kemudian meninggalkan Jami’at Khair dan mendirikan gerakan organisasi sendiri bernama Al-Islah wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme).

Pada tahun 1941 berdirilah perkumpulan Al-Islah wal Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan Al-Irsyad, yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun 1951 berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu.


(25)

c. Persyerikatan Ulama

Persyerikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan saudara-saudaranya mempunyai hubungan yang erat secara kekeluargaan dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.

d. Muhammadiyah

Salah sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II sampai sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan denga tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H, oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.

e. Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (3 Januari 1926) di Surabaya. Yang mendirikannya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur, di antaranya ialah:

1) KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng 2) KH. Abdul Wahab Hasbullah 3) KH. Bisri Jombang

4) KH. Ridwan Semarang 5) KH. Nawawi Pasuruan 6) KH. R. Asnawi Kudus 7) KH. R. Hambali Kudus 8) Kyai Nakhrawi Malang 9) KH. Doromuntaha Bangkalan 10) KH. M. Alwi Abdul Aziz 11) Dan lain-lain


(26)

f. Persatuan Islam

Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain, meskipun Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah sebuah cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.20

3. Tokoh-Tokoh (Ulama) Pendidikan Islam di Indonesia

Semakin majunya pendidikan di Indonesia tidak lepas dari peran para tokoh pemikir pendidikan. Di antara beberapa tokoh pendidikan Islam di Indonesia adalah:

a. KH. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, khatib di masjid besar (Jami’) Kasultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putrid Haji Ibrahim, seorang penghulu.21

Beliau menggantikan kedudukan ayah menjadi khatib masjid besar Kauman Yogyakarta dan dianugrahi gelar Kathib Amin di samping jabatannya yang resmi itu. Pada tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotannya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat akhirnya memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan juga di kantor-kantor pemerintah.22

Di bidang pendidikan, Ahmad Dahlan berusaha memmberikan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam. Selain mendirikan perkumpulan Muhammadiyah

20

Zuhairin., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana PTAI, 1986), hal. 210-215

21

Ibid., hal. 201 22


(27)

pada tahun 1912 M, beliau juga membangun sekolah-sekolah formal. Lahirlah kemudian lembaga-lembaga pendidikan modern, yang memadukan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dengan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu modern.

Ahmad Dahlan kemudian melangkah dengan nuansa Islam yang baru. Pikiran-pikiran pembaruan yang disampaikan lewat tablignya banyak memukau kalangan intelektual dan kaum terpelajar Islam di Indonesia. Tidak kurang para aktivis Boedi Oetomo ikut terpesona dan sering mengundang Ahmad Dahlan untuk memberikan ceramahnya.23

b. K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 M di Jombang Jawa Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren di Purbolinggo, kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain.

Beliau bermukim selam 8 tahun ke Mekkah untuk menuntut agama Islam dan bahasa Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan membuka ilmu pengetahuaanya, yaitu Pesantren Tebu Ireng di Jombang (pada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1899 M)24. Selain mengembangkan ilmu di Tebu Ireng ia juga turut membangunkan perkumpulan Nahdlatul Ulama, bahkan ia sebagai Syekhul Akbar dalam perkumpulan itu. Selain daripada itu K.H. Hasyim Asy’ari duduk dalam pucuk pimpinan M.I.A.I. yang kemudian menjadi Masyumi.

Sebagai ulama ia hidup dengan tidak mengharapkan sedekah dan belas kasihan orang. Tetapi beliau mempunyai sandaran hidup sendiri, yaitu beberapa bidang sawah, hasil peniagaannya. Beliau seorah salih, sungguh beribadat, taat dan rendah hati. Ia tidak ingin pangkat dan kursi, baik di zaman Belanda, atau di zaman Jepang. Kerap kali beliau diberi pangkat dan kursi, tetapi ia menolak dengan bijaksana.25

23

Kholid O. Santosa, Manusia Panggung Sejarah: Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2007), hal. 12-13

24

Deliar Noer, Gerakan Modern, Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Sejarah Muhammadiyah, Pemikiran dan amal Usaha, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal.62

25

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya), hal. 237- 238


(28)

K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan sosok pengarang produktif yang telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku. Diantara karya K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat monumental yaitu kitab adab al-alim wa al- muta’alim fima

yahtaj ila al-muta’allim fi ahwal ta’allum wa ma yataqaff al-muta’allim fi

maqamat ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1451 H. Kitab tersebu terdiri dari 8 bab, yaitu keutamaan ilmu serta keutamaan mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran, etika yang harus dipedomani oleh guru, etika guru ketika akan mengajar, etika guru terhadap murid-muridnya dan etika terhadap buku.26

c. Mahmud Yunus

Mahmud Yunus lahir di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Februari 1899 dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Beliau termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).

Usaha yang dilakukan Mahmud Yunus di bidang pendidikan setelah kembali ke Indonesia yaitu memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di sana yang bernama al-Jami’ah al-Islamiyah, dengan mendirikan sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan ilmu umum yaitu Normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki Laboratorium ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan diutamakan pada metode mengajar bahasa arab.

Mahmud Yunus memiliki komitmen dan perhatian yang besar terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan agama Islam. Dia ingin lulusan pendidikan Islam mutunya lebih baik dan mampu bersaing dengan lulusan sekolah yang sudah maju, beliau juga menawarkan pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa arab, mengubah sistem yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal, cara mengajarkan agama sesuai dengan tingkat usia dan jenjang

26


(29)

pendidikan dengan menggunakan metode yang bervariasi.27 Mahmud Yunus bukan hanya mengajarkan tentang kebahasaannya, tapi juga bagaimana cara mudah dan cepat untuk bisa menguasai bahasa Arab. Pada tanggal 16 Januari 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia di Jakarta.28

d. Imam Zarkasyi

Dilahirkan di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1901 M dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.29 Semasa hidup beliau pernah menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Selain itu, beliau juga orang yang aktif dalam bidang pendidikan, sosial dan politik negara. Imam Zarkasyi juga seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Banyak sekali karyanya yang hingga saat ini dapat dinikmati. Beliau juga rajin menulis beberapa petunjuk teknik bagi para santri dan guru di Pondok Gontor dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangannya hingga kini masih dipakai di KMI Gontor dan pondok-pondok pesantren yang didirikan para alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.30

e. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain pendidikan Islam di Indonesia

C. Ulama, Status, Fungsi dan Perannya

Kata ulama adalah berasal dari kata Jama’-A’lima yang mempunyai arti seseorang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap.31 Dalam al-Qur’an terdapat dua kata “ulama”, yaitu pada surat Fatir:2832 dan surat

27

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Indonesia,( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hal. 57-70

28

Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 90

29

Abuddin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 157

30

Ibid., hal. 195 31

Abdul Qodir Djaelani, Peran Ulama danSantri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia , (Surabaya: PT Bina Ilmu,1990), hal. 3

32 “…. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.


(30)

Syu’ara: 196 - 197 33. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Ulama adalah seseorang yang memiliki kepribadian akhlak yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah, tunduk, patuh dan “khasyyah” (takut) kepada-Nya.

Nabi Muhammad SAW memberikan rumusan tentang ulama itu sendiri yaitu bahwa ulama adalah hamba Allah yang berakhlak Qur’ani yang menjadi

warotsatul anbiya (pewaris para nabi), qudwah (pemimpin dan panutan) , khalifah, pengemban amanah Allah, penerang bumi, pemelihara kemaslahatan dan kelestarian hidup manusia.34

Pada masa Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi, seperti ahli fikih disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif dan ahli tafsir disebnut mufasir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama tetapi ahli di dalam bidangnya masing-masing.35

Di Indonesia, ada beberapa macam istilan atau sebutan ulama. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Timur disebut Kiai, di daerah Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara disebut Tuan Guru. Adapun ulama yang memimpin tarekat disebut Syaikh.36 Sedangkan ulama di Betawi disebut Guru, Muallim dan Ustadz.37

Dalam konteks kemasyarakatan, status ulama adalah informal leader (pemimpin non formal) yang diangkat dan diakui oleh masyarakat sebagai pemimpin yang disegani, dipatuhi, dijadikan sumber bertanya dan pertukaran

33Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang dahulu. Dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?

34

Ahmad Fadli, Ulama Betawi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2001), hal. 32-33 35Ibid

., hal. 33 36

Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 120-121 37

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: Gunara Kata, 2001), hal. 200-202


(31)

pikiran bagi masyarakat. Oleh karenanya, status ulama sebagai informal leader masih berlaku selama masyarakat yang dipimpinnya masih mengakui atau menerimanya sebagai pemimpin. Kendati sebagai pemimpin non formal, ulama memiliki peranan yang signifikan terhadap perubahan suatu sosial masyarakat.38

Sebagai pewaris para nabi, para ulama menjalankan fungsi-fungsi kenabian, seperti mendidik untuk menyempurnakan akhlak mulia di kalangan masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran dan lain-lain. Ulama juga bertugas menyebarkan pengetahuan dan pengalaman ajaran-ajaran Islam sehingga masyarakat yang dicita-citakan agama terwujud. Ulama di samping memiliki pengetahuan dan ketaatan dalam menjalankan agama, mereka juga harus mempunyai kepedulian terhadap penderitaan manusia, baik moral maupun material dan terhadap orang-orang yang beriman dan jama’ah binaanya bersikap kasih sayang.39

Mengenai konsep ulama dan tugas yang diembannya, maka tugas-tugas yang mereka emban tidak berubah. Oleh karenanya, peran yang harus dimainkan secara garis besar adalah sama dari masa ke masa. Persoalannya terletak pada pendekatan yang mereka gunakan dan dapat berubah serta berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu dan tuang tertentu. Mengenai perkembangan situasi dan kondisi itu, perubahan juga dapat terjadi pada konsep ulama sebagaimana yang dipahami oleh umat, bukan seperti disebutkan dalam teks suci. Oleh karenanya, konsep ulama di masa lampau bisa berbeda dengan konsep yang dianut pada masa sekarang. Perbedaan konsep itu tentu saja akan menyebabkan perbedaan peran yang mereka mainkan yang secara teknis berbeda.40

38

Ahmad Fadli HS, Organisasi dan Administrasi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2002), hal. 23

39

Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi, Op Cit., hal. 35 40

Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi dalam Abdul Aziz, Islam & Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos, 2002), hal. 132


(32)

D. Pertumbuhan Etnis Betawi

Tidak ditemukan laporan tertulis mengenai kota Jakarta ketika masih bernama Sunda Kelapa dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sejarawan Portugis Baros, yang mencatat peristiwa perjanjian perdagangan antara Portugis dengan Pajajaran pada tahun 1522 memperkirakan jumlah penduduk Sunda Kelapa 15.000 orang. Sementara itu pengunjung Belanda paling awal memperkirakan penduduk Sunda Kelapa 2.000 keluarga atau 10.000 orang, tanpa menyebutkan identitas etnisnya.41 Ketika Sunda Kelapa dikuasai oleh Fadhilah Khan juga tidak ditemukan keterangan apapun mengenai penduduk atau kelompok etnis yang mendiami kota itu, melainkan hanya perubahan nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527.

Memasuki abad ke 17, Jayakarta berkembang sebagai pelabuhan dagang dan mulai mengadakan perjanjian perdagangan dengan orang-orang Inggris dan perusahaan Belanda VOC. Pada masa ini pun tidak ada catatan mengenai penduduk dan identitas etnis mereka. Sekitar tahun 1619 terjadi pertikaian antara Jayakarta dan VOC yang saat itu dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang berakhir dengan peperangan dan Jayakarta berhasil dikuasai oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Sementara pengikut pangeran Jayakarta melarikan diri, antara lain ke daerah Jatinegara Kaum sekarang.

Setelah berhasil membumi hanguskan Jayakarta, VOC membangun kota baru bernama Batavia42, di atas reruntuhan kota Jayakarta yang kemudian dijadikan basis utama VOC. Batavia dibangun dalam bentuk yang berbeda dibanding kebanyakan kota-kota di Jawa. Bentuk kota Batavia itu meniru gaya kota di Eropa, khususnya Belanda dengan ciri utama tembok pembenteng yang mengitari pusat kota dan kali-kali buatan yang membelah bagian kota sekaligus menghubungkan aliran-aliran sungai alamiah. Jumlah penduduk Batavia relatif jarang karena Jan Pieterszoon Coen tidak memberikan kesempatan kepada penduduk pedalaman Jawa untuk bermigrasi ke Batavia dengan alasan keamanan.

41

Abdurrahman Surdjomiharjo, Beberapa Segi Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, hal. 21

42

Nama Batavia ini diberikan oleh seorang pegawai VOC yang bernama Van Raay pada tanggal 12 Maret 1619.


(33)

Namun guna memenuhi keperluan membangun pertahanan dan perdagangan akhirnya Jan Pieterszoon Coen secara terbatas membolehkan orang Cina dari Banten dan Malaka untuk tinggal di Batavia. Selain mendatangkan orang Cina, Jan Pieterszoon Coen juga membolehkan orang-orang Moor43, orang Melayu dan orang Bali untuk menetap di Batavia. Catatan harian yang dibuat Belanda yang berdiam dalam benteng kota Batavia tahun 1673, penduduk Batavia dan sekitarnya kala itu berjumlah 33. 687 orang, sebagian di dalam benteng dan sebagian lagi di luarnya.

Tahun 1779, penduduk di dalam benteng tercatat 12.131 orang, sementara di luar benteng 160.968 orang. Tetapi pada tahun 1788 jumlah penduduk berkurang akibat terjangkitnya wabah penyakit. Catatan penduduk di dalam maupun di luar benteng tidak diklasifikasikan berdasarkan etnisitas, agama dan status sosial, sehingga sulit untuk mengetahui, misalnya berapa jumlah pribumi yang beragama Kristen, atau berapa budak yang berasal dari kepulauan Nusantara.44

Pada tahun 1930, terdapat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda berdasarkan etnis yang relatif kategoris. Berdasarkan sensus ini penduduk Batavia telah berlipat ganda dibanding tiga dekade sebelumnya, menjadi 786.800 orang. Dari sensus ini juga diketahui, penduduk yang tinggal di wilayah Batavia dan Mr. Cornelis (sekarang Mester-Jatinegara) yang pada dasarnya merupakan wilayah inti Batavia, tercatat 533.015 oarng.45

Hasil sensus pada tahun 1930, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makassar, Sumbawa, dsb. Tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis penduduk Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat. Sebaliknya, selain muncul kelompok etnis pendatang seperti Minangkabau, Batak dan Madura, juga telah lahir sebuah kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar. Para ahli menyatakan bahwa sebuah kelompok etnis

43“Moor”, yaitu orang Islam da

ri India Selatan. Perkampungan orang Moor disebut dengan

“Pakojan”. Orang-orang ini juga diduga merupakan keturunan komunitas muslim asal Arab yang telah lama menetap di Gujarat, India Selatan. Dan berasal dari komunitas Khojjah yang kemudian diperkirakan menjadi nama Kampung Pakojan. Lih. Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 13

44

Sobri, KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 2006), hal. 11

45Ibid


(34)

baru yaitu Betawi telah terbentuk secara jelas sekitar pertengahan abad ke-19, sebagai hasil peleburan dari berbagai kelompok etnis.46

E. Perkembangan Islam dan Masyarakat Betawi

Disebutkan bahwa fakta sejarah masuknya Islam di Jakarta mulai terjadi pada abad ke 14 Masehi. Masuknya Islam di Batavia (Jakarta) dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Waktu itu dikenal seorang Syekh bernama Syekh Quro, yang bernama asli Syekh Hasanuddin, yang kemudian diketahui berasal dari negara Kamboja.

Mula-mula maksud kedatangannya ke Pulau Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh Quro urung meneruskan perjalanannya ke Jawa Timur karena dia menikah dengan penduduk setempat dan membangun pesantren di Quro. Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang.

Dalam perkembangannya, seorang santri pesantren Quro, Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran Kian Santang yang kelak menjadi penyebar Islam di Pajajaran dan Batavia, sehingga banyak warga Betawi menjadi pengikutnya.47 Pada waktu itu Kerajaan Pajajaran mendudukin wilayah Batavia atau Jakarta yang sebelumnya masih bernama Sunda Kelapa.

Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushola dengan langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.

Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kian Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait,

46Ibid

., hal. 19 47

http://www.maharprastowo.com/2011/02/perkembangan-islam-di-batavia.html diakses pada 19 Januari 2015


(35)

Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke.

Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.

Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).

Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar komplek Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).

Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.

Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke-19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan


(36)

atau Guru Cit, pelanjut kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.

Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawakitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang, yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.48

Pembacaan rawi, manaqib, ratib juga banyak dijumpai di penjuru daerah masyarakat Betawi. Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayyul, bid’ah, dan khurafat).49

48

https://alwishahab.wordpress.com/2009/12/10/penyebaran-islam-di-betawi-2/ diakses pada 19 Januari 2015

49


(37)

F. Penelitian yang Relevan

Penulisan kajian tentang kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami ini memiliki penelitian yang relevan, diantaranya:

1. Ahmad Fadli, HS., sebuah tesis yang berjudul “Ulama Betawi: Studi Tentang

Jaringan Ulam Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19”, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia tahun 2006. Tesis ini kemudian dicetak menjadi buku pada tahun 2011 dengan judul “Ulama Betawi” disertai penambahan materi yang tidak ada pada saat berbentuk tesis. Tesis atau buku itu berisi penelitian tentang jaringan ulama Betawi yangn belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20. 2. Sobri, sebuah skripsi yang berjudul “KH. Thohir Rohili, Riwayat Hidup dan

Perjuangannya di Kalangan Masyarakat Betawi”, UIN Syarif Hidaytullah Jakarta, tahun 2006. Pada skripsi ini diuraikan bagaimana biografi, aktivitas serta peranan KH. Thohir Rohili terhadap masyarakat Betawi.

3. Maya Maryati, sebuah skripsi yang berjudul “Peran KH. Ahmad Sanusi dalam

Pendidikan Islam”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. Pada skripsi ini diinformasikan biografi serta peranan KH. Anwar Sanusi dalam pendidikan Islam.


(38)

27

merekonstruksi masa lampau dari objek penelitian itu ditempuh melalui metode Historis, yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik sejarah, interpretasi: analisa dan sintesis, dan penulisan.1

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Kontribusi KH. Muhammad Syafi’i Hadzami dalam Pendidikan Islam” ini dilaksanakan di Pesantren Al-‘Asyirotus Syafi’iyyah, tepatnya di daerah Jl. KH. M. Syafi’i Hadzami, Gandaria, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dalam proses pengumpulan data dibagi menjadi tiga tahap:

Pertama, tahap persiapan dimulai pada tanggal 28 April 2016. Pada tahap persiapan ini, penulis merinci daftar keluarga KH. M. Syafi’i Hadzami. Mulai dari istri, anak, sampai murid-murid beliau. Kedua, pada bulan Mei 2016 penulis pertama kalinya berangkat ke Pesantren Al-‘Asyirutos Syafi’iyah di Gandaria yang dibangun oleh KH. M. Syafi’i Hadzami untuk memperoleh sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari lembaran ataupun buku-buku autobiografi, tulisan tentang beliau ataupun karya-karya beliau. Selain itu penulis silaturahmi ke rumah keluarga KH. M. Syafi’i Hadzami yang berada di pesantren tersebut guna mendapatkan informasi tentang beliau. Penulis juga memperoleh kutipan yang bersangkutan dari perpustakaan, internet, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami dalam pendidikan Islam dari beberapa sumber sebagai sumber sekunder.

Pada Mei 2016, penulis pun berangkat kedua kalinya ke Gandaria tepatnya pesantren beliau guna mencari dokumentasi yang tersedia sekaligus digunakan untuk penelitian dalam bentuk wawancara dengan salah seorang keluarga dari KH. M. Syafi’i Hadzami. Setelah didapatkan hasil wawancara dari keluarga-keluarga beliau, kemudian penulis mendatangi murid-murid beliau yang umumnya sekarang masyhur menjadi ‘Ulama penerus beliau di daerahnya


(39)

masing-masing. Murid-murid beliau yang penulis datangi diantaranya adalah Ustadz Suhendi (Rawa Belong), H. Basri Muhajir (Cidodol), Ustadz Syahrullah (Kelapa Dua – Kebon Jeruk), KH. Bahruddin (Pondok Ranji - Ponpes Darul Hikam), KH. Fakhruddin Al-Bantani (Bintaro).

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yakni sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang bersumber dari khazanah kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Semua sumber dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan Ulama Betawi secara umum serta kontribusinya serta tentang KH. M. Syafi’i Hadzami secara khusus.

Penekanan penelitian ini adalah ingin menemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan lain-lain yang dapat di pakai untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.2 Jadi, penelitian ini mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan konsep belajar dan kajian aspek psikologisnya.

B. Sumber Data

Penelitian ini tergolong penelitian pustaka yang bersifat literatur dan menggunakan metode atau cara: membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Oleh karena itu sumber-sumber data yang di gunakan adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan penelitian ini. Data primer dalam penelitian ini adalah:

a. Taudhihul Adillah (Seratus Masalah Agama) b. Sullamul ‘Arsy fi Qira’at Warsy (ilmu qiraat)

c. Qiyas Adalah Hujjah Syar’iyyah (qiyas adalah hujjah syariah) d. Qabliyyah Jum’at (tentang kesunnahan qabliyah Jum’at) e. Shalat Tarawih


(40)

f. ‘Ujalah Fidyah Shalat (membahas tentang khilaf dalam membayar fidyah)

g. Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba (pembahasan tentang riba) 2. Data Sekunder

Sumber data sekunder sebagai data pendukung, yaitu berupa data-data tertulis atau sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. Kegunanan dari data sekunder ini adalah untuk menginterpretasi data primer. Dikarenakan penelitian ini adalah mengenai aktivitas hidup serta kontribusi KH. M. Syafi’i Hadzami terhadap pendidikan Islam. Beberapa di antara data sekunder penulis adalah:

a. Sumur yang Tak Pernah Kering (Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami) oleh Ali Yahya. Jakarta: Yayasan Al ‘Asyirotus Syafi’iyyah

b. Ulama Betawi (Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20) oleh Ahmad Fadli HS. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011

c. Wawancara terhadap orang-orang terdekat KH. M. Syafi’i Hadzami, seperti anak, cucu, kerabat juga murid-murid beliau.

Pemilihan informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah berdasarkan pada asas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data, dan bersedia memberikan informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber data dan informasi harus memenuhi syarat, yang akan menjadi informan narasumber (key informan) dalam penelitian ini adalah:

1) Narasumber mengenal atau paling tidak mengetahui tentang tokoh yang diteliti,

2) Narasumber pernah menyaksikan dan hidup bersama tokoh yang diteliti,

3) Narasumber merupakan orang yang dapat dipercaya kebenarannya dan termasuk orang yang dikenal baik.


(41)

Dilihat dari segi sumber data, bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Sumber tertulis lainnya adalah dokumen pribadi, yaitu tulisan tentang diri seseorang yang ditulisnya sendiri.3

C. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research) yaitu penelitaian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.4 Penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan analisis isi (contetnt analysis). Analisis isi merupakan teknik untuk mempelajari dokumen. Dari dokumen yang tersedia, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap ingormasi-informasi yang berguna di bidang masing-masing.5

Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian” mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.6 Peneliti mencari tulisan-tulisan baik skripsi, buku, majalah yang berkaitan tentang KH. M. Syafi’i Hadzami terutama pada kontribusinya, juga segala hal yang berbuhungan dengan ulama dan masyarakat Betawi baik dari segi pengertian, hubungan keislaman, dll.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi

3

Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011) Cet. 29, h. 159

4 Pedoman Penulisan Skripsi

, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), hal. 62

5

M. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: CV Pustaka Setia 2001), hal. 37

6


(42)

Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Pengamatan dapat dilakukan secara terlibat (partisipatif) ataupun non partisipatif. Maksudnya pengamatan terlibat merupakan pengamatan yang melibatkan peneliti dalam kegiatan orang yang menjadi sasaran peneliti, tanpa mengakibatkan perubahan pada kegiatan atau aktivitas yang bersangkutan dan tentu saja dalam hal ini peneliti tidak menutupi dirinya selaku peneliti. Untuk menyempurnakan aktivitas pengamatan partisipasif ini, peneliti harus mengikuti kegiatan keseharian yang dilakukan informan dalam waktu tertentu, memperhatikan apa yang terjadi, mendengarkan apa yang dikatakan, mempertanyakan informasi yang menarik dan mempelajari dokumen yang dimiliki.7

2. Wawancara

Wawancara atau (interview) merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual, dan adakalanya secara berkelompok.8

Wawancara ini dilakukan dalam bentuk dialog langsung dengan informan yaitu kepada salah seorang keluarga Muallim Syafi’i Hadzami (anak Muallim yaitu bapak Chudlary), murid-muridnya (Ustadz Hairul, Ustadz Suhendi, KH. Bahruddin, KH. Fakhruddin al-Bantani, dll).

3. Dokumenter

Meotode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Sedangkan, dokumenter adalah informasi yang disimpan atau didokumentasikan sebagai bahan dokumenter seperti, otobiografi,

7

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial (Pendekatan kualitatif dan kuantitatif), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 101.

8

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet ke-9, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hal. 216


(43)

karya pribadi, surat-surat pribadi, catatan-catan pribadi, data yang tersimpan di website, dll.

E. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis isi (content analysis) yang merupakan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilih berbagai pengertian hingga ditemukan pengertian yang relevan dengan fokus penelitian.9 Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.

9

Amin Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multi Disipliner, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semester, 2006), hal. 226


(44)

33

DALAM PENDIDIKAN ISLAM”

A. Pengertaian Kontribusi

Kontribusi berasal dari bahasa inggris yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi atau tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu yang kemudian memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap pihak lain.

Kontribusi dalam pendidikan Islam berarti kontribusi atau sumbangan tersebut bisa dipakai untuk kepentingan ilmu pengetahuan keislaman. Contoh: KH. Muhammad Syafi’i Hadzami telah banyak berkontibusi dalam bidang keilmuan fiqih yang memudahkan masyarakat mengetahui dalil-dalil dalam permasalahan kehidupan sehari-hari.

B. Guru, Muallim, Ustadz, Sayyid dan Habib

Masyarakat Betawi mengklasifikasi para ulama dan penganjur agama ke dalam tiga kriteria, pertama adalah Guru, yaitu ulama ang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya menghabiskan seluruh waktunya di masjidnya saja, biasanya di dekat masjidnya itu berdiri komplek madrasah. Guru tidak keluar dari lingkungannya karena masyarakatlah yang mendatanginya. Kriteria berikutnya adalah Mu’allim. Seorang mu’allim itu mempunyai otoritas untuk megajarkan kitab tetapi belum memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa. Seorang mu’alllim masih aktif mendatangi kelompok


(45)

-kelompok pengajian untuk mengajarkan kitab. Ktiteria ketiga adalah Ustadz yang mengajarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Qur’an.1

Selain dari tiga kriteria tersebut, masyarakat Betawi juga memakai istilah Sayyid dan Habib bagi para ulama keturunan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari Hadramaut dan Makkah. Orang-orang Arab yang bermukim di Betawi sebagian besar dari Hadramaut. Hanya satu dua di antara mereka yang datang dari Maskat, di tepian teluk Persia, dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari pantai Timur Afrika.2 Orang Hadramaut datang ke Betawi secara masal pada tahun terakhir abad ke-18. Mereka kebanyakan tinggal di Pekojan, Tanah Abang dan Krukut.

Sayyid secara etimologi berarti “tuan” atau “junjungan”. Dalam msyarakat Arab golongan sayyid adalah mereka yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fatimah az-Zahra dan melalui cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sedangkan keturunan Nabi Muhammad melalui cucunya yang lain, Hasan bin Ali bin Abi Thalib disebut Syarif. Kata Sayyid dan

Syarif hanya atribut atau keterangan dan bukan sebagai gelar. Gelar bagi mereka adalah habib (kekasih).

Interaksi antara habaib dan ulama di Betawi sangat cair dan harmonis dalam konsep kesetaraan. Begitu pula dengan masyarakat Betawi, penghormatan mereka terhadap habaib sama saja dengan penghormatan mereka terhadap ulama. Misalnya, di rumah-rumah orang Betawi, foto-foto yang terpasang bukan hanya foto para habaib tetapi juga ulamanya. Perayaan haul3 seorang habaib sama ramainya dengan perayaan haul seorang ulama Betawi.

Masyarakat Betawi sangat menghormati para ulama-ulamanya, baik yang dipanggil guru, mu’allim, ustadz maupun habib dan sayyid. Rasa hormat orang

1

Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: Gunara Kata, 2001), hal. 200-202

2

Ahmad Fadli, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20), hal. 68-69

3

Haul yang dalam bahasa Arab berarti tahun, dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama atau kyai. Lih. M. Hanif Muslih, Peringatan Haul Ditinjau dari Hukum Islam, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2006, Cet. I), hal. 1


(46)

Betawi kepada ulama-ulama dan habaib tercermin dalam setiap pengajian-pengajian dan majelis taklim mereka yang kerapkali dikunjungi oleh orang Betawi. Rasa hormat kepada ulama juga ditampilkan orang Betawi yang berprofesi sebagai jagoan atau jawara. Kendati para jagoan dan jawara Betawi memiliki ilmu silat yang mumpuni tetapi jika sudah ketemu ulama dan habib maka mereka akan menghormatinya dengan mencium tangan para ulama dan habib tersebut.

Hubungan mu’allim dan jagoan tidak konfrontatif, bahkan di antara keduanya ada hubungan fungsional. Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk meningkatkan kemampuan silatnya. Beberapa senjata jagoan biasanya diberi wifik yang diajarkan oleh mu’allim. Para mu’allim memberikan doa-doa kepada jagoan yang pergi ke medan perang. Seperti apapun bengalnya jaogan tetapi mereka tetap menghormati mu’allim.4

Mu’allim dan jagoan merupakan ujung tombak kepemimpinan non formal msayarakat Betawi, terutama pada masa revolusi fisik. Seiring dengan makin kompleknya struktur masyarakat Jakarta, figur jagoan tidak lagi menonjol tetapi figur mu’allim masih tetap diakui oleh masyarakat. Hal itu makin membuktikan kentalnya masyarakat Betawi dengan Islam.

C. Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami

Muhammad Syafi’i dilahirkan pada tanggal 12 Ramadhan 1349 H/31 Januari 1931. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. KH. Syafi’i Hadzami sejak kecil di bawah bimbingan kakeknya, Husin di Batutulis XIII Pecenongan. Di sinilah KH. Syafi'i Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar al Qur’an hingga fasih beserta tajwidnya. Ia juga belajar ilmu nahwu dan Sharaf. Ketika berusia 9 tahun, ia sudah menghatamkan al Qur'an di bawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.5

4

Yasmine Zaki Shahab, Betawi dalam Perspektif Kontemporer, Perkembangan, Potensi dan Tantangan, (Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi, 1997), hal. 30

5

Ali Yahya, KH. M. Syafi’i Hadzami, Sumur yang Tak Pernah Kering, (Jakarta: Yayasan


(47)

KH. Syafi’i Hadzami sejak kecil senang melihat orang-orang pintar, terutama para kiai. Ia ingin menyamai mereka. Oleh karenanya saat kecil ia senang berpakaian seperti para ulama. Tetapi ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarganya ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kiai. Mungkin didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka. Keinginan itulah yang menjadikan KH. Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu. Kegigihan ini tidak pernah hilang dalam perjalanan hidupnya, tak ada satu masapun dalam hidupnya yang kosong dari kegiatan menimba ilmu.6

Luar biasa cintanya pada ilmu, bahkan pada ketika KH. Syafi’i Hadzami di kemudian hari sudah menjadi seorang pengajar di berbagai wilayah DKI Jakarta, beliau masih menyempatkan diri untuk melakukan muthola’ah terhadap kitab-kitab selama 1-2 jam setiap harinya setelah selesai aktivitas mengajar. Hal itu dilakukannya sekitar pukul 23.00 WIB - 01.00 WIB.7

Dalam menuntut ilmu, Syafi’i hanya terbatas pada wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan para ulama Betawi lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Ia tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang masih berlangsung di masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi KH. Syafi’i Hadzami.

Namun keyakinan hatinya, ketekunan dan semangat juang yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak dan kecerdesan otaknya telah menghantarkan KH. Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang layak dibanggakan dan setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan KH. Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan ulama abad ke 19-20.

6Ibid

., hal. 14

7Wawancara dengan Ustadz Suhendi (murid Mu’allim Syafi’i Hadzami yang sekarang menjadi ulama di Rawa Belong, memiliki majelis Darul Musyaffa’), Jum’at: 29 Juli 2016, pukul 20.00 WIB


(48)

Dalam biografinya yang disusun oleh Ali Yahya disebutkan, KH. Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuan. Di masa awal setelah mempelajari al-Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang dipelajarinya adalah tauhid, fiqih dan ilmu alat (nahwu, Sharaf dan balaghah). Ia menghafalkan berbagai kitab matan terutama yang berbentuk nazham. Ia memberikan perhatian khusus untuk ilmu-ilmu alat. Penguasaan yang mendalam dalam ilmu alat menjadi prioritas utama di masa-masa awal. KH. Syafi’i Hadzami berkeyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat bergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat barulah ia menekuni ilmu lainnya, seperti ilmu ushul fiqih beserta qawaidnya, manthiq, tafsir, ulumul hadist, tasawuf, falak, 'arudh dan lain sebagainya.

Beberapa Ulama yang dikunjungi KH. Syafi'i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. KH. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca zikir di tempat Kiai Abdul Fattah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad Syarif al-Sanusi di Mekah. Dari gurunya ini, ia pernah mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berzikir bersama kelompok tarekat Idrisiyah yang dipimpin Kiai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, KH. Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami tahap fana' (lupa dan hilang kesadaran diri), karena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak persis bagaimana situasinya saat itu. Maka, kiai pun memberinya sebuah doa khusus menghadap. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kiai. Kiai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i agar kelak menjadi orang baik.

KH. Syafi'i Hadzami juga berguru kepada Pak Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Pak Sholihin seperti kakeknya dalam mengajar yang tergolong keras dan disiplin seperti kakek Husin. Sebagai seorang yang telah berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar


(49)

dinamakan Raudhah al-Sholihin. Beberapa tahun setelah Mu’allim KH. Syafi’i Hadzmai belajar kepada Pak Sholihin, hubungan mereka menjadi terbalik. Pak Sholihin justru menjadi murid Mu’allim dan belajar kepadanya, karena keilmuan Mu’allim yang lumayan pada saat masih berusia belasan tahun. Ia pun tak tahu kapan mu’allim belajar kepada orang lain.

Setelah mengaji al-Qur’an kepada guru-gurunya, KH. Syafi'i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran selama lima tahun (l948-1953). Pada gurunya ini ia belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhat

al-I’rab dan ilmu fiqih dengan kitab pegangan al-Tsimar al-Yani'ah yang merupakan syarah dari kitab al-Riyadh al-Badi'ah. Guru Sa’idan pula yang menyuruhnya belajar kepada guru-guru yang lain, seperti Guru Ya'qub Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia) dan Guru Abdul Madjid (Pekojan).

Salah satu guru utama KH. Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali bin Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. KH. Syafi'i Hadzami belajar kepadanya kurang lebih 18 tahun, mulai sejak 1958-1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (K.H.S. Muhammad bin Ali al Habsyi, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, KH. Abdullah Syafl’i, KH. Thohir Rohili, KH. Ahdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), KH. Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab di hadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan8. KH. M. Syafi’i Hadzami adalah salah satu murid yang paling disayang dan dicintainya. Sangat wajar karena pada saat mengaji, KH. Syafi’i Hadzami terlihat begit menonjol dan tampak kecerdasannya. Hingga pada suatu ketika Habib Ali melantunkan sebuah syair yang ditujukan kepada muridnya ini:

ث

يس

ا

#

ش

ي

ج

8

Sorogan adalah sistem pengajian yang disampaikan kepada murid-murid secaraindividual. Lih. Zamachsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, Jakarta, 1983), hal. 28

Menurut Hasbullah sorogan ialah metode yang santrinya cukup men-sorog-kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibacakan di hadapannya. Lih. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 26


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI:

Nama Lengkap : Yazid Awlawi

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Oktober 1993 Alamat : Jl. Sawo No. 10 RT 05/01

Kelapa Dua Kebon Jeruk Jakarta Barat

Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah Kewarganegaraan : Indonesia No. Handphone : 089630069633 Email : awlawiy@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN:

1999-2005 SDN Kelapa Dua 01 Pagi 2005-2008 SMPN 189 Jakarta 2008-2011 MA Al-Falah VI Jakarta

2011-2017 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, S1 Jurusan PAI

RIWAYAT ORGANISASI:

2014-2015 Anggota Bidang Keagamaan BEM-J PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta