Kerangka Teori Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

sama. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi seorang peneliti.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Pemidanaan adalah upaya menyadarkan narapidana agar menyesali akan perbuatannya dan mengembalikannya menjadi orang yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi moral dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, damai melalui asas pengayoman, pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh hakim terhadap seseorang yang diadakan dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. 9 1. Teori Retributif atau Teori Pembalasan Retribution Theory Teori-teori tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut : Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan atas pembalasan karena disyaratkan oleh pemerintah yang tidak bersyarat dari akal 9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya, 1996, hlm. 129. yang praktis. 10 2. Teori Pencegahan Deterrence Theory Dengan demikian, maka tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis. Hanya keadilan dan bukan tujuan lain yang mendapat membenarkan dijatuhkannya pidana, dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang dicapai melalui pembalasan itu, ukurannya cuma pembalasan. Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa kejahatan itu tidak selalu harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapi harus ada manfaatnya baik untuk si pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukuman berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut untuk melakukan kejahatan. 11 10 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Radjawali, 1982, hlm. 201. 11 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1983, hlm. 26-27. Bagi teori ini hal utama adalah hendak mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Kalau manfaatnya lebih besar, maka perlu suatu hukuman, bila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada. 3. Teori Rehabilitasi Rehabilitation Theory Teori ini dikemukakan oleh Rudolph J. Gerber dan Patrick D. Mc. Anany yang menyatakan bahwa seseorang yang menjalani pidana di dalam penjara atas nama perubahan sosial dan dibiarkan di sana karena mereka diobati. Keberadaan seseorang yang direhabilitasi disebabkan adanya kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. 12 4. Teori Integratif atau Teori Gabungan Teori ini dikemukakan oleh Muladi yang mengkategorikan tujuan pemidanaan ke dalam 4 empat tujuan yaitu : 13 a. Pencegahan umum dan khusus, salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang lain yang mungkin punya maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut. b. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana. c. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan. d. Pidana bersifat pengimbalanpengimbangan. 12 Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, Jakarta : . Indhill, 2007, hlm. 21. 13 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1985, hlm. 81-86 Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan saat diberlakukannya Getischen Reglement Peraturan Penjara Stb. 1917 Nomor 708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik, tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan narapidana hanya ditempatkan sebagai objek yang harus dipekerjakan saja tanpa memperhatikan potensi dan eksistensinya sebagai manusia. Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah : Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak psikis dalam berbuat sesuatu yang diakibatkan oleh putusan hakim. 14 Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat 14 Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1985, hlm. 125. menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari warga binaan, sehingga stigma- stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah mereka kembali ke masyarakat. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia memiliki 3 tiga pilar utama di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana yang diharapkan menjadi Manusia Mandiri. Ketiga pilar tersebut adalah Masyarakat, Petugas Pemasyarakatan, dan Narapidana yang mana ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada khususnya membangun manusia mandiri di pemasyarakatan. 15 Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan WBP yang salah satu di antaranya adalah narapidana, dipandang tidak lagi sebagai objek melainkan sebagai subjek. Sebagai manusia yang tidak berbeda dari manusia lainnya, maka sewaktu-waktu ia dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan- kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Warga Binaan Pemasyarakatan WBP berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenakan pidana. 16 15 Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 26. 16 Soemadipraja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1995, hlm. 3 Oleh sebab itu, eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai- nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa pada hakekatnya perbuatan pelanggaran hukum narapidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini berarti, faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan melanggar hukum bertumpu pada 3 tiga aspek tersebut. Aspek hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dan pencipta-Nya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan sesama manusia, sedangkan aspek penghidupan diartikan sebagai hubungan manusia dengan alamlingkungannya yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaannya. Oleh sebab itu tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara Warga Binaan Pemasyarakatan WBP dengan masyarakatnya reintegrasi hidup, kehidupan dan penghidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pemasyarakatan mengenal 2 dua jenis program pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Kedua jenis program pembinaan ini diintegrasikan secara terpadu sebagai upaya peningkatan kualitas narapidana, menyangkut aspek : ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran berbangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku, kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum. Menurut Bambang Purnomo, yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan adalah : Suatu proses terapi yang sejak saat itu narapidana lalu menjalani pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Pengayoman, dan Tut Wuri Handayani. 17 17 Bambang Purnomo, Op. Cit, hlm. 186. Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”. Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan, tepatnya pada tanggal 27 April 1964 dan sekarang setiap tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan. Sebelumnya Sahardjo mengemukakan perubahan tujuan pembinaan narapidana dalam pengarahannya sebagai Dr. H.C. di Istana Negara pada tanggal 15 Juli 1963. Menurut Sahardjo, untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan : Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat. 18 18 Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Jakarta : Universitas Indonesia, 1963 hlm. 8 dan 15 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bukan saja masyarakat yang harus diayomi dengan adanya tindakan pidana, tetapi juga si pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat. Sehingga dengan berubahnya nama, dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut. Dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah-tengah masyarakat secara wajar dan bertanggungjawab. Tujuan pidana penjara di sini adalah di samping untuk menimbulkan derita pada narapidana agar bertaubat dan mendidik narapidana supaya menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan-tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran narapidana itu sendiri berpatokan pada “Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan”, yaitu : 1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik ; 2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ; 3. Berikan bimbingan bukannya penyiksaan supaya mereka bertobat ; 4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada dijatuhi pidana ; 5. Selama kehilangan dibatasi kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu ; 7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila ; 8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kemudian dibina dan dibimbing ke jalan yang benar ; 9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ; 10. Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan. 19 Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan, telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu : Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang dibina atau warga binaan 19 Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman RI, 1990, hlm.14. pemasyarakatan, dan masyarakat mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan agar dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat. Pada sistem pemasyarakatan, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan narapidana sebagai manusia biasa tentunya juga mempunyai keinginan yang sama layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. 19 Pembinaan adalah hal yang pokok dalam sistem pemasyarakatan, mengingat bahwa penyebab timbulnya kejahatan atau sebab seseorang berbuat jahat itu sangat beraneka ragam. Di sinilah peran serta petugas dan masyarakat dituntut partisipasinya dalam rangka mewujudkan usaha pembinaan terhadap narapidana. Dalam proses pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Bagi narapidana, interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dalam usaha mencapai tujuan pemasyarakatan yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan yang retak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatif sebagai akibat pengasingan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta membantu narapidana dalam menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan : Narapidana berhak : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran ; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; e. menyampaikan keluhan ; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang ; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ; h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; i. mendapatkan pengurangan masa pidana remisi ; j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k. mendapatkan pembebasan bersyarat ; l. mendapatkan cuti menjelas bebas ; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan berlakunya hak-hak asasi manusia, sangat mempengaruhi sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Mereka berhak memperoleh hak- haknya seperti remisi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Jadi dapat ditegaskan bahwa cuti menjelang bebas bukanlah suatu anugerah atau hadiah, akan tetapi merupakan suatu hak yang dapat diperoleh warga binaan pemasyarakatan. Mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, khususnya dalam Bab II tentang Hak dan Kewajiban Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat serta Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06.PK.04-10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menegaskan bahwa : 1. Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada : a. Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidana sekurang-kurangnya 9 sembilan bulan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lama 6 enam bulan. b. Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 tujuh belas tahun 6 enam bulan, dan telah dinilai cukup baik. 2. Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berakhir : a. bagi Narapidana dan Anak Pidana, tepat pada saat bersamaan dengan hari bebas yang sesungguhnya; b. bagi Anak Negara, pada usia 18 delapan belas tahun. 3. Izin Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat atas usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

2. Kerangka Konsep