Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

(1)

Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.

PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

TESIS

Oleh

LUHUT SIGALINGGING 077005016/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA


(2)

Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.

PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI

NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

LUHUT SIGALINGGING 077005016/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.

Judul Tesis : PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB)

BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Nama Mahasiswa : Luhut Sigalingging

Nomor Pokok : 077005016

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Ketua

)

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.

Telah diuji pada Tanggal 21 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

Luhut Sigalingging : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, 2009.

ABSTRAK

Fungsi pemidanaan yang diamanatkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang. Salah satu pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah pemberian Cuti Menjelang Bebas.Penelitian dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, hambatan serta upaya-upaya yang dilakukan. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama, sedangkan data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung. Data yang terkumpul dianalisis, terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, dan sistematis.

Hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai menunjukkan bahwa pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas kurang optimal, karena ada beberapa narapidana tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diusulkan Cuti Menjelang Bebas, sedangkan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007, Cuti Menjelang Bebas baru dapat diberikan kepada narapidana yang telah memperoleh remisi. Ketentuan ini menjadi hambatan yang bersifat yuridis, sedangkan hambatan yang bersifat non-yuridis kurangnya pengetahuan dan motivasi Narapidana terhadap pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, kurangnya pengertian/pandangan yang positif dari masyarakat terhadap narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas, kurang optimalnya kerjasama dengan instansi terkait, sedangkan upaya-upaya yang dilakukan adalah memberikan penerangan dan penjelasan mengenai Cuti Menjelang Bebas kepada narapidana, memberikan penerangan kepada masyarakat sehingga dapat merubah pandangan masyarakat yang negatif terhadap narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas, melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait.

Agar pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas dapat dilaksanakan secara optimal, maka disarankan kepada Menteri Hukum dan HAM RI untuk merevisi Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007, dan Petugas LAPAS Klas II A Binjai sebaiknya memperbanyak memberikan penerangan/penyuluhan kepada narapidana tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, memberikan penyuluhan kepada masyarakat, meningkatkan hubungan koordinasi dengan instansi terkait dan khusus mengenai Balai Pemasyarakatan di Sumatera Utara hendaknya diadakan penambahan, sehingga pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas dapat berjalan dengan baik.

Kata Kunci : Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas, Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan


(6)

ABSTRACT

The function of condemnation according to Act No. 12 of 1995 about the Correctional Institution is not only as discouragement but as a social reintegration and rehabilitation of the condemned person that involves the counselor, the condemned person and society integrally in order to encourage the condemned person aware their mistake, self improvement and did not do the crime in the future. One of the efforts is the Leave immediately before abolition.This research aims to study the implementation of the leave immediately before abolition, obstacles and any efforts. This is a normative juridical study. The library and document study is a main data while the field data was collected through interview as support data. The collected data were analyzed and the qualitative data was estimated juridical, logically and systematically.

The results of study at the LAPAS Class II A Binjai indicates that implementation of leave immediately before abolition is not optimum, because there are condemned person who did not get a remission and has not a right for the leave. While according to article 6 paragraph (1) letter f point 3 Permen Hukum and HAM RI No. M.O1.PK.04.10 of 2007, the leave immediately before abolition can provided to the condemned person who get remission. This provision is a juridical obstacles, while non juridical obstacle is a lack of knowledge and motivation of the condemned person to the leave immediately before abolition, a lack of positive opinion of society to the condemned person who take the leave immediately before abolition, the mutual cooperation of related institution is not yet optimal. While any efforts are to do a socialization about leave immediately before abolition to the condemned person, society in order to change the negative opinion of society to the condemned person who take the leave, and to do a coordination to the related institutions.

In order to implement the leave immediately before abolition optimally, it is suggested to the Minister of Law and HAM RI to revise Article 6 Paragraph

(1) letter f point 3 penmen Hukum and HAM RI No. M.01. PK.04. 10 of 2007 and the officer of LAPAS Class II A Binjai must provide the condemned person with socialization about the leave immediately before abolition, to provide the society with extension, to build a mutual cooperation with related institution specially the construction of the new building of the correctional institution in North Sumatera to enable controlling and guidance to the condemned person who take the leave.

Key words : Implementation of Leave immediately before abolition, the condemn Person, the Correctional Institution.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi

Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan berbagai kritik yang sehat dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari.

Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana ;

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ;


(8)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ;

4. Ibu Dr. Sunarmi SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ;

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S, selaku Ketua Komisi Pembimbing, beserta Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, dan Ibu Dr. Sunarmi SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi untuk selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya ;

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Anggota Komisi Penguji ;

7. Orang tua tercinta Ayahanda A. Sigalingging dan Ibunda R. br. Pardosi, yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anak-anaknya ;

8. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Kekhususan Hukum dan HAM Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007 ;

9. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuannya, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan.


(9)

Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan trerutama bagi penulis sendiri dan semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan anugerahNya kepada kita semua. Amin.

Medan, Juli 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : LUHUT SIGALINGGING

Tempat/Tgl. Lahir : Siambaton, 12 Juni 1965 Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : Kristen Protestan Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Pendidikan :

a. Sekolah Dasar Negeri Barus Mudik, lulus tahun 1977 b. Sekolah Menengah Pertama Negeri Barus, lulus tahun 1981 c. Sekolah Menengah Atas Negeri Barus, lulus tahun 1984 d. Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung, Medan, lulus tahun 1990

e. Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, lulus tahun 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... . i

ABSTRACT... ... ii

KATA PENGANTAR ... .. iii

RIWAYAT HIDUP ... .. vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ... ix

DAFTAR SINGKATAN... ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 10

G. Metode Penelitian ... 23

BAB II PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 27

A. Perkembangan Sistem Pemasyarakatan ... 27

B. Pengaturan dan Dasar Hukum Cuti Menjelang Bebas (CMB) ... 39


(12)

D. Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) di LAPAS ... . 51

BAB III PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB) ... 57

A. Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas ... 57

B. Permasalahan yang Timbul Dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan ... 66

BAB IV UPAYA YANG DITEMPUH GUNA MENGATASI PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS ... 70

A. Re-posisi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana (Integrated Criminal Justice) di Indonesia ... 70

B. Realisasi Cuti Menjelang Bebas (CMB) Pada LAPAS Klas II A Binjai ... 84

C. Upaya yang Ditempuh Guna Mengatasi Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 110


(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapatkan Remisi Dalam Kurun Waktu Tiga

Tahun Terakhir (Tahun 2006 s/d 2008) ... 95 2. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A

Binjai Yang Mendapatkan CMK Dalam Kurun Waktu Tiga

Tahun Terakhir (Tahun 2006 s/d 2008) ... 98 3. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A Binjai Yang Mendapat Pembebasan Bersyarat (PB) Tahun

2006 s/d 2008 ... 101 4. Jumlah Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan LAPAS Klas II A

Binjai Yang Mendapat Cuti Menjelang Bebas (CMB) Tahun


(14)

DAFTAR SINGKATAN

BAPAS : Balai Pemasyarakatan

CB : Cuti Bersyarat

CMB : Cuti Menjelang Bebas

CMK : Cuti Mengunjungi Keluarga

HAM : Hak Asasi Manusia

HIR : Herziene Indonesisch Reglement Kasubdit. : Kepala Sub Direktorat

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

LITMAS : Penelitian Kemasyarakatan MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

PB : Pembebasan Bersyarat

P2U : Pintu Pos Utama

RK : Remisi Khusus

RU : Remisi Umum

RUPBASAN : Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara RUTAN : Rumah Tahanan Negara

SMR : The Standard Minimum Rule of the Treatment of Prisoners

Stb. : Statblad

TPP : Tim Pengamat Pemasyarakatan WBP : Warga Binaan Pemasyarakatan


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang.

Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan :

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.1

1

Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), (Jakarta : AKIP, 1986), hlm. 8.


(16)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamanatkan bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, bimbingan warga binaan pemasyarakatan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dengan masyarakat.2

Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di tengah-tengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat. Perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasioanal yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem

2

Konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.


(17)

perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.3 Lembaga Pemasyarakatan di

mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation.4

Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak.

Menurut Moeljatno :

5

Pembaharuan sistem pidana penjara secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak serta kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan norma-norma yang ada di masyarakat, merupakan dasar pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk

3

Mardjaman, Beberapa Catatan RUU Tentang Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Legislasi Indonesia, Ditjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 3, September 2005, hlm. 109.

4


(18)

mempersiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dan bertanggung jawab di masyarakat.6

Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, salah satu upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), yang merupakan bagian dari hak-hak warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan disamping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat, juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis.

Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat, diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem pembinaan.

Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga Pemasyarakatan itu baik, tetapi kalau narapidana itu sendiri tidak sanggup ataupun masyarakat itu sendiri yang tidak mau menerimanya, maka pembinaan tidak akan mencapai sasarannya. Konsekuensi terhadap dilaksanakannya perlakuan yang memfokuskan kegiatan narapidana di tengah-tengah masyarakat, maka selesainya masa pidana itu pun tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi berakhir di tengah-tengah masyarakat.

5

Moeljatno, Kriminologi, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), hlm. 112.

6


(19)

pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana yang dipidana satu tahun keatas, di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk beberapa waktu sebesar remisi terakhir maksimum 6 (enam) bulan, setelah menjalani

(dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan

baik.7

Sering terjadi kerancuan penafsiran antara cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan pidana bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal penahanan dengan ketentuan (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu. Sedangkan untuk pidana bersyarat, hukuman terhadap terpidana tetap dijatuhkan tetapi tidak perlu dijalani, kecuali jika dikemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat sesuatu tindak pidana lagi atau melanggar syarat-syarat yang diberikan

7

Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.


(20)

kepadanya oleh hakim, jadi keputusan hukum tetap ada hanya pelaksanaan hukuman itu yang tidak dilaksanakan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan :

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai sarana penunjang pelaksanaan hak-hak warga binaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal-pasal tersebut hak-hak warga binaan diatur dan dijamin, mengingat adanya pengakuan hak-hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan sebagai subjek, dimana kedudukannya sejajar dengan manusia lain. Pemidanaan tidak lagi ditujukan sebagai efek penjeraan, melainkan sebagai upaya preventif atau mencegah terjadinya kejahatan.

Berdasarkan praktek di Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, ternyata pemberian hak-hak narapidana khususnya tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) tidak efektif dan optimal, karena ada narapidana yang tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diberikan hak Cuti Menjelang Bebas (CMB).


(21)

Bertitik tolak dari kenyataan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut di atas dan uraian penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini jika dihubungkan dengan Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, mendorong minat Penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.

B. Perumusan Masalah

Masalah adalah setiap persoalan dalam kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.8

1. Bagaimana pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?

Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti, guna mempermudah pencapaian sasaran dan tujuan penelitian.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?

8

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991), hlm. 31.


(22)

3. Upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian

Seiring dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Dalam suatu penelitian, perumusan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi selalu dikaitkan dengan kemanfaatan penelitian baik dalam praktek maupun dalam teori.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis


(23)

a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem pembinaan narapidana.

b. Dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang Pemasyarakatan.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan penjelasan hal ikhwal mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. b. Dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Cuti

Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini merupakan pendalaman dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara tentang penelitian “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”, belum pernah ada dilakukan penelitian dalam pendekatan dan perumusan masalah yang


(24)

sama. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi seorang peneliti.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Pemidanaan adalah upaya menyadarkan narapidana agar menyesali akan perbuatannya dan mengembalikannya menjadi orang yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi moral dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, damai melalui asas pengayoman, pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh hakim terhadap seseorang yang diadakan dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.9

1. Teori Retributif atau Teori Pembalasan (Retribution Theory) Teori-teori tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang berpendapat bahwa barangsiapa yang melakukan kejahatan harus dipidana. Dipidananya itu berdasarkan atas pembalasan karena disyaratkan oleh pemerintah yang tidak bersyarat dari akal

9

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya, 1996), hlm. 129.


(25)

yang praktis.10

2. Teori Pencegahan ( Deterrence Theory)

Dengan demikian, maka tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis. Hanya keadilan dan bukan tujuan lain yang mendapat membenarkan dijatuhkannya pidana, dalam hubungan ini tidaklah penting tujuan apa yang dicapai melalui pembalasan itu, ukurannya cuma pembalasan.

Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa kejahatan itu tidak selalu harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapi harus ada manfaatnya baik untuk si pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukuman berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut untuk melakukan kejahatan.11

10

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, (Jakarta : Radjawali, 1982), hlm. 201. 11

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1983), hlm. 26-27.

Bagi teori ini hal utama adalah hendak mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Kalau manfaatnya lebih besar, maka perlu suatu hukuman, bila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada.


(26)

3. Teori Rehabilitasi (Rehabilitation Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Rudolph J. Gerber dan Patrick D. Mc. Anany yang menyatakan bahwa seseorang yang menjalani pidana di dalam penjara atas nama perubahan sosial dan dibiarkan di sana karena mereka diobati. Keberadaan seseorang yang direhabilitasi disebabkan adanya kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat.12

4. Teori Integratif atau Teori Gabungan

Teori ini dikemukakan oleh Muladi yang mengkategorikan tujuan pemidanaan ke dalam 4 (empat) tujuan yaitu :13

a. Pencegahan (umum dan khusus), salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang lain yang mungkin punya maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut.

b. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana.

c. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan.

d. Pidana bersifat pengimbalan/pengimbangan.

12

Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, (Jakarta : . Indhill, 2007), hlm. 21.

13


(27)

Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan saat diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor 708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik, tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan narapidana hanya ditempatkan sebagai objek yang harus dipekerjakan saja tanpa memperhatikan potensi dan eksistensinya sebagai manusia.

Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah :

Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu yang diakibatkan oleh putusan hakim.14

Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat

14

Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 125.


(28)

menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari warga binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah mereka kembali ke masyarakat.

Sistem Pemasyarakatan di Indonesia memiliki 3 (tiga) pilar utama di dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana yang diharapkan menjadi Manusia Mandiri. Ketiga pilar tersebut adalah Masyarakat, Petugas Pemasyarakatan, dan Narapidana yang mana ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada khususnya membangun manusia mandiri di pemasyarakatan.15

Sistem Pemasyarakatan berasumsi bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang salah satu di antaranya adalah narapidana, dipandang tidak lagi sebagai objek melainkan sebagai subjek. Sebagai manusia yang tidak berbeda dari manusia lainnya, maka sewaktu-waktu ia dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan-kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenakan pidana.16

15

Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 26.

16

Soemadipraja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1995), hlm. 3


(29)

Oleh sebab itu, eksistensi pemidanaan diartikan sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa pada hakekatnya perbuatan pelanggaran hukum narapidana adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat di sekitarnya.

Hal ini berarti, faktor-faktor penyebab terjadinya perbuatan melanggar hukum bertumpu pada 3 (tiga) aspek tersebut. Aspek hidup diartikan sebagai hubungan antara manusia dan pencipta-Nya. Aspek kehidupan diartikan sebagai hubungan sesama manusia, sedangkan aspek penghidupan diartikan sebagai hubungan manusia dengan alam/lingkungannya (yang dimanifestasikan sebagai hubungan manusia dengan pekerjaannya). Oleh sebab itu tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dengan masyarakatnya (reintegrasi hidup, kehidupan dan penghidupan).

Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pemasyarakatan mengenal 2 (dua) jenis program pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Kedua jenis program pembinaan ini diintegrasikan secara terpadu sebagai upaya peningkatan kualitas narapidana, menyangkut aspek : ketaqwaan kepada Tuhan Yang


(30)

Maha Esa, kesadaran berbangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku, kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum.

Menurut Bambang Purnomo, yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan adalah :

Suatu proses terapi yang sejak saat itu narapidana lalu menjalani pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Pengayoman, dan Tut Wuri Handayani.17

17

Bambang Purnomo, Op. Cit, hlm. 186.

Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”.

Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan, tepatnya pada tanggal 27 April 1964 dan sekarang setiap tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.

Sebelumnya Sahardjo mengemukakan perubahan tujuan pembinaan narapidana dalam pengarahannya sebagai Dr. H.C. di Istana Negara pada tanggal 15 Juli 1963.

Menurut Sahardjo, untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan :


(31)

Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.18

18

Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1963) hlm. 8 dan 15

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bukan saja masyarakat yang harus diayomi dengan adanya tindakan pidana, tetapi juga si pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, agar berguna bagi dan di dalam masyarakat.

Sehingga dengan berubahnya nama, dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut. Dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah-tengah masyarakat secara wajar dan bertanggungjawab. Tujuan pidana penjara di sini adalah di samping untuk menimbulkan derita pada narapidana agar bertaubat dan mendidik narapidana supaya menjadi seorang anggota masyarakat yang berguna.

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan-tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran narapidana itu sendiri berpatokan pada “Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan”, yaitu :


(32)

1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik ;

2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ; 3. Berikan bimbingan (bukannya penyiksaan) supaya mereka bertobat ;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada dijatuhi pidana ;

5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu ;

7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila ;

8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kemudian dibina dan dibimbing ke jalan yang benar ;

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ;

10.Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan.19

Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan, telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu :

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang dibina atau warga binaan

19

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan


(33)

pemasyarakatan, dan masyarakat mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan agar dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat.

Pada sistem pemasyarakatan, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan (narapidana) sebagai manusia biasa tentunya juga mempunyai keinginan yang sama layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan.19

Pembinaan adalah hal yang pokok dalam sistem pemasyarakatan, mengingat bahwa penyebab timbulnya kejahatan atau sebab seseorang berbuat jahat itu sangat beraneka ragam. Di sinilah peran serta petugas dan masyarakat dituntut partisipasinya dalam rangka mewujudkan usaha pembinaan terhadap narapidana.

Dalam proses pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Bagi narapidana, interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dalam usaha mencapai tujuan pemasyarakatan yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan yang retak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatif sebagai akibat pengasingan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta membantu narapidana dalam menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.


(34)

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan :

Narapidana berhak :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran ;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; e. menyampaikan keluhan ;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang ;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ;

h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) ;

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k. mendapatkan pembebasan bersyarat ;

l. mendapatkan cuti menjelas bebas ; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan berlakunya hak-hak asasi manusia, sangat mempengaruhi sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Mereka berhak memperoleh hak-haknya seperti remisi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Jadi dapat ditegaskan bahwa cuti menjelang bebas bukanlah suatu anugerah atau hadiah, akan tetapi merupakan suatu hak yang dapat diperoleh warga binaan pemasyarakatan.

Mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, khususnya dalam Bab II tentang Hak dan Kewajiban Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini dikaitkan dengan


(35)

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat serta Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06.PK.04-10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menegaskan bahwa :

(1). Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada :

a. Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani (dua pertiga) masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lama 6 (enam) bulan.

b. Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6 (enam) bulan, dan telah dinilai cukup baik.

(2). Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir :

a. bagi Narapidana dan Anak Pidana, tepat pada saat bersamaan dengan hari bebas yang sesungguhnya;

b. bagi Anak Negara, pada usia 18 (delapan belas) tahun.

(3). Izin Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat atas usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

2. Kerangka Konsep

Berdasarkan judul yang merupakan suatu syarat dalam penelitian dan agar tidak terjadinya kesalahpahaman dalam materi dalam penulisan tesis ini, maka judul harus ditegaskan dan diartikan. Judul yang penulis kemukakan adalah: Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.


(36)

Dalam penulisan tesis ini diperlukan kerangka konsep yang merupakan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.20

2. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaannya di LAPAS.21 Menurut Romli Atmasasmita dan Sumadipraja narapidana yang berada

di Lembaga Pemasyarakatan adalah bagian dari masyarakat. Setiap narapidana adalah seorang manusia yang tetap mempunyai hak-hak dasar yang harus dihormati. Narapidana sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, selalu membutuhkan orang lain untuk membantu dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya serta dapat hidup layak seiring dengan hak-hak asasi manusianya bersama-sama anggota masyarakat yang berada di sekitarnya.22

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pemidanaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

23

20

Pasal 1 angka 3 Permen Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat

21

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

22

Romli Atmasasmita dan Soemadipraja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hlm. 12

23

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


(37)

4. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.24

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh suatu kebenaran yang benar-benar dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan metode yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Penulis harus cermat dalam memilih dan menentukan metode yang akan digunakan agar metode yang dipilih tersebut efektif dalam pencapaian sasaran penelitian, sehingga hasilnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penulisan tesis ini, metode yang digunakan adalah :

1. Spesifikasi/Tipe Penelitian

Spesifikasi/Tipe Penelitian ini dilakukan tergolong yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis, dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai peraturan hukum tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan khususnya mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

24


(38)

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder25

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang pemasyarakatan, antara lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pemasyarakatan.

, yang meliputi:

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pemasyarakatan.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.26

25

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hlm. 14.

26

Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 23


(39)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui: a. Studi kepustakaan (library research).

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

b. Studi lapangan (field research)

Studi lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data pendukung mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai yakni dengan melakukan wawancara langsung kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah studi dokumen yang bersumber dari bahan hukum primer yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007. Di samping itu data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan


(40)

wawancara langsung dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.

5. Analisis Data

Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis.

Berdasarkan hal ini, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data, dimana apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan akan diteliti dan dipelajari secara utuh, dengan cara menjabarkan, menganalisa, memahami dan menjelaskan sebenarnya mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana dalam kaitannya dengan syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak warga binaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 .


(41)

BAB II

PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS (CMB ) BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Perkembangan Sistem Permasyarakatan 1. Sistem Kepenjaraan

Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Getischen Reglement (Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor 708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan, artinya seseorang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik, tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan, narapidana hanya ditempatkan potensi dan eksistensinya sebagai manusia, seolah-olah keberadaan narapidana di penjara semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam.27

Diperlukannya integrasi narapidana, petugas serta masyarakat karena hal itu dianggap dapat mencegah kekejaman penjara. Perubahan orientasi pidana penjara yang menitikberatkan kepada pemasyarakatan narapidana, hal itu dikarenakan masalah jera, rehabilitasi atau resosialisasi adalah masalah yang menghendaki pula

27

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 50


(42)

pengalaman dari masyarakat, secara implisit dan eksplisit dan untuk keperluan itu harus ada pemanifestiannya secara langsung melalui suatu proses timbal balik yang memerlukan waktu.28

Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu yang diakibatkan oleh keputusan hakim.

Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah :

29

28

Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, (Bandung : Tribisana Karya, 1977), hlm. 153-154

29

Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm. 125

Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah kembali ke masyarakat.

Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana ditempatkan sebagai objek, mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Adapun klasifikasi narapidana dapat dikelompokkan menjadi : a. Register B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.


(43)

b. Register B-IIa adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama diatas 3 bulan sampai 12 bulan.

c. Register B-IIb adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama 1 hari sampai 3 bulan.

d. Register B-III adalah narapidana yang menjalani pidana kurungan pengganti denda.

Sedangkan untuk tahanan dapat diklasifikasikan menjadi : a. Register A-I untuk tahanan Kepolisian.

b. Register A-II untuk tahanan Kejaksaan.

c. Register A-III untuk tahanan Pengadilan Negeri. d. Register A-IV untuk tahanan Pengadilan Tinggi. e. Register A-V untuk tahanan Mahkamah Agung.

2. Sistem Permasyarakatan

Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Permasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Permasyarakatan”.


(44)

Yang dimaksud dengan Sistem Permasyarakatan adalah “Suatu proses Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila, Penganyoman, dan Tut Wuri Handayani”30

Sistem permasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.

31

Perubahan nama mengakibatkan berubah pula tujuan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Dalam sistem permasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah masyarakat secara wajar dan bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara adalah untuk menimbulkan derita pada narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang berguna.32

30

Ibid, hlm. 186

31

Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 2

32

Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 10

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemasyarakatan”, yaitu :


(45)

1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik ;

2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ; 3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat ;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada dijatuhi pidana ;

5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar bersifat mengisi waktu ;

7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak adalah berdasarkan Pancasila ;

8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing ke jalan benar ;

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ;

10.Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan.33

33

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan


(46)

Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yaitu :

a. “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara warga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.34

Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat, maka harus ada usaha timbal balik, baik dari Lembaga maupun

bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip Pemasyarakatan adalah :

a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan pula suatu cara atau sistem perlakuan terpidana ;

b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong-royong, yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ;

c. Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat ;

d. Fokus pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan antara terpidana dan masyarakat ;

e. Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin kompleks;

f. Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat ;

g. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ;

h. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotong-royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ;

i. Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan, tujuan harus dapat dicapai melalui

self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach

antara sesama manusia ;

j. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan

pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ;

k. Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.


(47)

dari masyarakat. Semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dari masyarakat diharapkan akan pengertiannya, bantuannya, dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana, sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat sekitarnya.35

Oleh karena itu pula, maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan terpidana, menurut Baharuddin Soerjobroto : Tidak boleh merupakan suatu treatment sistem yang ”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong oriented”. Ini tidak berarti, bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan lagi, melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai ”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju tiang gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap, melainkan sebagai ”way-station ” alam process of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh dengan harmoni perdamaian.36

Ide ”pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum mengucapkan pidatonya, yaitu sejak tahun 1962, yakni dalam pidato Menteri Kehakiman Sahardjo pada tanggal 12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika

34

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

35

Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, (Bandung : Tribisana Karya, 1977), hlm. 153-154

36


(48)

meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai di bangun kembali. 37

“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam membangun dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Dapat dilihat pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut mengenai tujuan dan fungsi dari sistem pemasyarakatan, yaitu :

38

“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.”39

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sekarang ini lebih disebabkan karena adanya tuntutan agar pelaksanaan pidana penjara itu harus pula menghargai dan menghormati hak-hak seorang warga

37

Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61

38

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

39


(49)

binaan pemasyarakatan sebagai manusia notabene sama-sama mahluk Tuhan yang mempunyai hak kemanusiaan.40

a. pengayoman ;

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas-asas tertentu.

“Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :

b. persamaan perlakuan dan pelayanan ; c. pendidikan ;

d. pembimbingan ;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia ;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan ;

g. terjaminnya hak-hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu”.41

Dari asas-asas pembinaan sistem pemasyarakatan tersebut nampak bahwa sistem pemasyarakatan memandang warga binaan pemasyarakatan bukan hanya sebagai objek melainkan sebagai subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dikenakan sanksi pidana, sehingga mereka sebenarnya tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor penyebab yang dapat menyebabkan narapidana tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

40

Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 5

41


(50)

hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban lain yang dapat dikenakan pidana. Dengan kata lain, strategi yang harus ditangani adalah masalah atau kondisi yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.42

Adanya sistem pemasyarakatan, maka narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan.43

Sebagian besar narapidana dibina di dalam Lembaga Permasyarakatan/Rumah Tahanan Negara. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya di Lembaga Permasyarakatan saja, tidak di Rumah Tahanan Negara, karena Rumah Tahanan Negara hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak semua kabupaten/kota mempunyai Lembaga Permasyarakatan, maka sebagian narapidana terpaksa ditempatkan dan dibina di Rumah Tahanan Negara, terutama untuk narapidana dengan pidana di bawah satu tahun.44

Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Permasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana, telah kehilangan kebebasan untuk bergerak, artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga

42

Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 3

43


(51)

Permasyarakatan saja. Kebebasan/kemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup.

Dalam proses pemidanaan, Lembaga Permasyarakatan/Rumah Tahanan Negara yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui proses Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.45

a. pencatatan :

Narapidana yang diterima di Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pendaftaran ini mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. Pendaftaran menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 meliputi :

1) putusan Pengadilan 2) jati diri

3) barang atau uang yang dibawa

44


(52)

b. pemeriksaan kesehatan c. pembuatan pas foto d. pengambilan sidik jari

e. pembuatan berita acara serah terima terpidana

Menurut Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar :

a. umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan d. jenis kejahatan dan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan

Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga Permasyarakatan/ Rumah Tahanan Negara untuk membina narapidana mengenal dirinya sendiri, sehingga dapat merubah dirinya sendiri menjadi lebih baik, menjadi lebih positif, tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu memgembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarganya.46

45

Andi Mattalata, Perlindungan Narapidana dalam Perspektif HAM, Media Departemen Hukum dan HAM RI, Edisi 4 Desember, 2007

46

C.I. Harsono HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hlm. 35, lihat bandingkan dengan David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison, Menyingkap

Dunia Gelap Penjara, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 6 menyatakan menemukan

kecakapan, kemampuan dan kualitas personal yang diperlukan oleh seorang petugas Lapas merupakan langkah pertama dalam tugas psikolog. Setelah mengidentifikasi kualitas-kualitas tersebut barulah psikolog mendisain test dan interviu untuk mencari orang dengan kualitas yang diinginkan.


(53)

Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Permasyarakatan/Rumah Tahanan Negara dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, agar narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga Permasyarakatan menurut usia, misalnya Lembaga Permasyarakatan Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Permasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Permasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin Bandung, dan Lembaga Permasyarakatan Dewasa di hampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Permasyarakatan berdasarkan jenis kelamin, misalnya Lembaga Permasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Permasyarakatan juga dibagi berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga Permasyarakatan Klas I, II, dan III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut tugasnya antara Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.47

Dalam proses pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu di dalam dan di luar lembaga. Bagi narapidana, interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan oleh karena tahap pembinaan di luar lembaga adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan di dalam lembaga, dalam usaha mencapai tujuan pemasyarakatan yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan

B. Pengaturan dan Dasar Hukum Cuti Menjelang Bebas (CMB)

47


(54)

sosialnya. Pembinaan narapidana ketika menjelang bebas ini dimaksud untuk mengurangi efek negatif sebagai akibat pengasingan selama di dalam lembaga, serta membantu narapidana dalam menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat.

Cuti Menjelang Bebas (CMB) merupakan bagian dari bentuk pembinaan dalam sistem pemasyarakatan. Dimana dalam pembinaan narapidana, mereka tetap diperlakukan sebagai anggota masyarakat juga sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia.

Pengertian pembinaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) menurut Bahrudin Soejobroto diartikan sebagai berikut :

“Biasanya yang diberikan Pre Release Treatmentatau Cuti Menjelang Bebas (CMB) dalam dunia treatment of prisoners ialah pembinaan yang khusus direncanakan untuk jangka waktu tertentu sebelum periode pembinaan secara konstitusional berakhir pengembaliannya ke tengah masyarakat (dengan atau tanpa syarat)”. 48

“Sebelum menghabiskan pidananya adalah seyogiyanya kalau diambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatur dengan baik kembalinya orang terpenjara ke masyarakat secara bertahap, tergantung bagaimana soalnya, tujuan ini akan dicapai dengan suatu cara kerja pre release yang disusun di Menurut Standart minimum Rules :

48

Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), (Jakarta : AKIP, 1986), hlm. 38


(55)

lembaga yang sama atau di lembaga yang lain yang diperlukan bagi urusan-urusan ini”.49

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ;

Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah suatu masa pembinaan narapidana yang mendahului masa transisi dari pembinaan di lembaga ke pembinaan di luar lembaga, dalam rangka integrasi masyarakat luar.

a. Ketentuan Cuti Menjelang Bebas (CMB)

Dalam rangka pelaksanaan sistem pemasyarakatan warga binaan dilengkapi dengan hak-hak, dengan harapan agar dalam pelaksanaan pembinaan masyarakat itu tidak justru melanggar hak asasi narapidana. Hal ini penting, karena dengan hal ini dapat dihindarkan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh petugas lembaga permasyarakatan dan atau oleh warga binaan itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan :

“Narapidana berhak :

b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran ;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ; e. menyampaikan keluhan ;

49

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, The Standart Minimum Rules


(56)

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang ;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ;

h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) ;

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k. mendapatkan pembebasan bersyarat ;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas ;

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.50

Berlakunya hak-hak manusia, sangat mempengaruhi sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Mereka berhak memperoleh hak-haknya seperti Remisi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Jadi dapat ditegaskan bahwa Cuti Menjelang Bebas (CMB) bukanlah suatu anugerah atau hadiah, akan tetapi merupakan suatu hak yang dapat diperoleh warga binaan pemasyarakatan.

Mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) itu sendiri terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, khususnya dalam Bab II tentang hak dan kewajiban narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini dikaitkan dengan


(57)

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, menegaskan bahwa :

1. Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada :

a. Narapidana dan anak pidana yang telah menjalani masa pidana sekurang- kurangnya 9 bulan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya 6 bulan

b. Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 tahun enam bulan dan telah dinilai cukup baik.

2. Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berakhir :

a. bagi narapidana dan anak pidana, tepat pada saat bersamaan dengan hari bebas yang sesungguhnya

b. bagi anak Negara pada usia 18 tahun

3. Izin Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan oleh Kanwil Departemen Kehakiman setempat atas usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan.

Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti

50


(58)

Menjelang Bebas pada Pasal 14 menyatakan izin Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan :

a. dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan;

b. telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c,

d, e dan f angka 3 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan

Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991 tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991 tersebut;

c. tidak termaksud narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991 Tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia

Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas;

d. telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Formula APC-01 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, dan j.


(59)

Pemberian izin Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah wewenang Menteri Kehakiman yang dalam Pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.51

a. Syarat umum, yaitu tidak boleh berbuat sesuatu peristiwa pidana lagi

Sering terjadi kerancuan penafsiran antara Cuti Menjelang Bebas (CMB) dengan Pembebasan Bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan tersebut tidak kurang dari 9 bulan, sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan. Sedangkan Pidana Bersyarat, hukuman tetap dijatuhkan akan tatapi perlu dijalani, kecuali jika kemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat salah atau melanggar syarat yang diberikan oleh hakim.

Syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Pembebasan Bersyarat (PB) adalah :

b. Syarat khusus, yaitu terdiri dari apa saja mengenai kelakuan dan sepak terjang terpidana.52

Sedangkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan

51

Pasal 15 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas.

52


(1)

sekitarnya. Tetapi dalam pelaksanaannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai masih ditemui hambatan-hambatan yang bersifat non-yuridis dan yuridis seperti :

a. Kurangnya pengetahuan dan motivasi Narapidana terhadap pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) ;

b. Kurangnya pengertian/pandangan yang positif dari masyarakat terhadap Narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas (CMB);

c. Kurang optimalnya kerjasama dengan instansi terkait.

d. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 menyatakan bahwa Cuti Menjelang Bebas baru dapat diberikan apabila narapidana tersebut telah mendapatkan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan, sedangkan dalam prakteknya ada narapidana yang tidak memperoleh remisi, sehingga tidak dapat diusulkan Cuti Menjelang Bebas.

3. Dalam rangka usaha untuk mengatasi hambatan yang ada tersebut, pihak Petugas Pemasyarakatan Klas II A Binjai melakukan upaya-upaya yang bersifat non-yuridis dan upaya yang bersifat non-yuridis antara antara lain :

a. Memberikan penerangan dan penjelasan mengenai Cuti Menjelang Bebas (CMB) kepada narapidana ;

b. Memberikan penerangan kepada masyarakat dan berusaha merubah pandangan masyarakat mendapatkan kedudukan yang normal dalam


(2)

masyarakat, hal ini karena sebagian masyarakat masih memandang negatif terhadap bekas narapidana ;

c. Melaksanakan koordinasi dengan instansi-instansi terkait, seperti Kejaksaan, Pengadilan, Lurah/Kepala Desa, Balai Pemasyarakatan ;

d. Menurut penulis, upaya yuridis yang dilakukan adalah merevisi Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah:

1. Agar pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai berjalan secara optimal, maka disarankan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI untuk merevisi Pasal 6 ayat (1) huruf f angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa Cuti Menjelang Bebas (CMB) baru dapat diberikan kepada narapidana yang telah memperoleh remisi.

2. Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai sebaiknya lebih memperbanyak memberikan penerangan/penyuluhan bagi Narapidana tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB).

3. Petugas Pemasyarakatan Klas II A Binjai sebaiknya lebih meningkatkan hubungan koordinasi dengan instansi terkait dan masyarakat. Khusus mengenai Balai Pemasyarakatan di Sumatera Utara hendaknya diadakan penambahan,


(3)

sehingga pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas (CMB) dapat berjalan dengan baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ahmad S. Soemadipraja, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta : Bina Cipta, 1979.

Armein Daulay, Reintegrasi Sosial dan Resiosialisasi Bekas Narapidana Wanita dan

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanggerang ke Dalam Masyarakat,

Jakarta : Universitas Indonesia, 2000.

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di

Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1983.

Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1985.

Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), Jakarta : AKIP, 1986.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta : 1991. ..., Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika,

2002.

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1998.

C.I. Harsono HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan, 1995. David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison, Menyingkap Dunia Gelap

Penjara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006.

H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta : UNS Press, 1999. Harsono, Sistem Baru Pemidanaan, Jakarta : Djambatan, 1995.

Irwan Panjaitan, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.


(5)

Moeljatno, Kriminologi, Jakarta : Bina Aksara, 1986.

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung : 1984.

Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1983.

Notomihamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Jakarta : Gunung Mulya, 1975. Purnomo, Pelaksanaan Pidana Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta :

Liberty, 1983.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan

Narapidana/Tahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman RI, 1990.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, The Standard

Minimum Rules for The Treatment of Prisoners, Jakarta : Departemen

Kehakiman RI, 1994.

Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana, Bandung : Alumni, 1975.

……..., Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 1983. ..., Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminilogi, Bandung : Mandar

Maju, 1995.

Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Jakarta : Universitas Indonesia, 1963. Samidjo, Hukum Pidana, Bandung : Armico, 1985.

Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung : Tribisana Karya, 1977

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

...dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1985.

Soemadipraja dan Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1995.


(6)

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta : Pustaka Kartini, 1993.

B. Majalah, Buletin

Andi Mattalata, Perlindungan Narapidana dalam Perspektif HAM, Media Departemen Hukum dan HAM RI, Edisi 4 Desember, 2007.

Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007.

Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Edisi Mei, 1982.

Mardjaman, Beberapa Catatan RUU Tentang Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Legislasi Indonesia, Ditjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 3, September 2005.

C. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat

Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06.PK.0410 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas